Source :
http://www.madadulhaqq.net/content/view/1/36/
Sohbet - Syaikh Mustafa Haqqani
Written by Web Master
Saturday, 12 June 2004
Maret 2005
Untuk dapat melakukan ziarah dengan baik, perlu diperhatikan adab yang benar,agar tercapai tujuan yang semestinya, dan tidak meleset arahnya. Pastikan bahwa kita benar-benar sedang mengarah hanya pada apa-apa yang disukai dan di ridhoi Allah SWT, jangan pada arah yang tidak jelas.
Image
Bahwa berziarah kepada para Awlia ataupun kekasih Allah SWT apalagi yang merupakan sahabat Nabi SAW ataupun umumnya para wali, merupakan perkara yang sangat dianjurkan, dan seyogyanya begitu rupa kita pentingkan. Rasulullah SAW sendiri nyata-nyata mengunjungi makam sahabat-sahabat beliau, yang merupakan awlia itu, di Baqi’ al-Gharqad, mendoakan ampunan Allah SWT bagi sahabat –sahabat beliau. Demikian juga beliau berziarah ke Uhud. Bahkan suatu ketika Rasulullah SAW juga menyapa suatu makam orang kafir...
Betul nggak janji-janji Allah SWT yang aku di suruh menyampaikannya kepadamu? Ancaman-ancamannya sudah kamu jumpai sekarang kan?”
Para sahabat lalu bertanya,”Apakah mereka dapat mendengar sapaanmu itu yaa Rasulullah SAW? Rasulullah SAW menjawab ”Mereka mendengar,namun (karena kafirnya di dunia dahulu,kini mereka sibuk dengan penderitaan yang sedang melilit dirinya di dalam kubur) tak mampu lagi menjawab sebagaimana mestinya.”
Nah, kalau orang kafir saja mendengar,walaupun tak berdaya menjawab, bagaimana halnya dengan orang mukmin? Bagaimana dengan orang saleh? Bagimana dengan dengan Awlia? Bagaimana dengan para Syuhada? Bagaimana dengan Anbiya? Bagaimana dengan sahabat-sahabat nabi yang mereka merupakan suluh bagi kita untuk dapat meraih petunjuk Allah SWT yang kita cari, dan yang sangat kita perlukan? Yang demikian ini sudah jelas terungkap dalam riwayat dan hadits yang shahih.
Hal-hal yang sepatutnya menjadi tujuan ziarah ke makam para wali ataupun orang-orang alim adalah agar kita menjadi semakin dekat (qarib/taqarrub) kepada Allah SWT itu sendiri. Kedua adalah agar kita berdo’a dengan tulus, dan bersungguh-sungguh untuk beliau, karena sesungguhnya Allah SWT telah menganugerahi suatu bentuk barakah yang berlimpah kepada beliau dan karena lubernya barakah itu, semoga terlimpah kembali kepada para peziarah dan keluarganya yaitu dalam bentuk dan takaran rahmat yang semakin melimpah ruah.
Yang sepatutnya dilakukan oleh para peziarah adalah mengambil posisi berhadapan muka dengan yang diziarahi. Dalam jarak yang cukup dekat namun penuh hormat. Menyampaikan salam dengan sikap yang sopan,khusyuk, merunduk, memandang ke bumi dengan teduh, serta menghormati pribadi yang diziarahi, seraya menanggalkan aneka macam kesadaran diri yang ada. Imajinasikan seolah-olah kita sedang menatap muka beliau, dan sorot mata beliau pun seolah-olah menatap kita. Hati meliput cakrawala keluhuran martabat maupun asrar (rahasia rohaniah) yang dilimpahkan Allah SWT pada beliau, pada keluhuran kewalian beliau pada aspek kedekatan beliau dengan Allah SWT dan lantaran ketaatan beliau kepada-Nya yang telah mendatangkan limpahan wacana Rabbaniyah pada diri beliau itu. Lakukan hal ini dengan khidmat. Kalbu ataupun bashirah (mata batin) peziarah seharusnya terus menerus dan semakin cermat menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa betapa dangkal dan tumupulnya upaya diri kita untuk meraih taraf ”kasih” Allah SWT seperti yang telah beliau peroleh itu. Maka tumbuhkanlah sendiri suatu nuansa kesadaran diri untuk memulai semakin bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah SWT dengan meniru beliau yang sedang diziarahi itu, dan agar memperoleh pencerahan dari beliau.
Inilah nikmatnya berziarah yang dapat di tempuh untuk dapat lebih bergegas-gegas lagi menuju Allah SWT, bangunkan sendiri garis lurus dalam alam sadar (conscious) kita suatu energi ghaib (di dalam qalbu) seraya mengelakkan diri dari pesona (magnitude) maupun tarikan kuat ”selera duniawi”.
Ketahuilah, sesungguhnya getaran selera dangkal, atau duniawi itulah yang membutakan ”bashirah” dan menghalangi suatu kedekatan antara kita dengan Allah SWT atau pun dengan citra diri yang baik dan itu jugalah yang tak henti-hentinya membuat kita berputar-putar secara tak berkeputusan.
Hendaknya peziarah memandang diri sendiri dengan mata hatinya, betapa sesungguhnya dengan ziarah itu berarti Allah SWT, sedang bermurah hati menjadikan diri peziarah itu semakin mendekati seorang wali tertentu, dan bahwa dirinya mulai bersedia menyandang perilaku (akhlak) para kekasih Allah SWT itu, bahwa ia semakin mantap dalam berpegangan kepada model panutan, serta jalan hidup yang benar, dan penuh kesungguhan menuju Allah SWT seperti dilakukan beliau-beliau para Awlia itu. Dan agar dapat mencapai martabat kehambaan yang hakiki di sisi Allah SWT seperti yang saat ini menjadi reputasi beliau-beliau para wali itu.
Namun betapa kenyataan sehari-hari yang di jalani para peziarah justru mendepak kembali peluang, dan kondisi yang dihadapkan oleh Allah SWT itu menjadi hanya selintas maya. Jika memang demikian, seharusnya peziarah mulai membayangkan seolah-olah dirinya sedang hadir di hari kiamat, ataupun di hari kebangkitan. Saat itu para awlia yang bangkit dari makamnya itu pun dalam tampilan ataupun citra yang cerah dan penuh keriangan karena menyandang ridha Allah SWT dari sebab perilaku yang beliau-beliau lakukan di dunia dahulu dengan penuh ketaatan – disamping keterkaitan nya yang intens bersama Rasulullah SAW. Beliau-beliau mengendarai kereta cahaya yang menggambarkan karamah beliau, seraya dipayungi oleh para malaikat dengan payung gemerlap, yang berawal dari amalan-amalan salehnya. Di atas kepala beliau-beliau bertemaram cahaya tiara, sedemikian teduh, dan dapat kita jadikan tambatan yang dapat menyaput derita para pendosa ataupun orang-orang yang berbekal ketaatan, namun lantaran pengejarannya di dunia ini atas syahwat yg tak berkeputusan, dapat menjungkalkan yang bersangkutan ke derita kubur. Orang-orang seperti itu kini sedang melolong dalam tujuannya dan kebingungannya. Penuh ketakutan dan bersimbah peluh yang telah menenggelamkan dirinya dalam nestapa, seraya makin tak tahu apa yang bisa di perbuatnya.
Yakinlah dirimu wahai peziarah, jangan sampai kelak akan mengalami yang demikian itu. Maka bangkitkan rohanimu jangan lagi berlalai-lalai, berdukalah sekarang, menangislah saat ini, jangan nanti. Dan mulailah berdoa untuk kedua perspektifmu di dunia ini, terutama di akhirat nanti. Mohonlah agar Allah SWT yang Rahim membenahi dirimu dengan mengkaruniakan taufik kepadamu seperti halnya menjadi karunia Allah SWT bagi orang-orang saleh. Bacalah ayat-ayat Al Quran, perbanyak doa, istighfar, penyadaran diri kepada Allah SWT yang semakin bersunggu-sungguh dan penuh harap. Tentramkan dirimu bersama Awlia, anbiya, atau sahabat, dan merasakan cukup bersamanya sajalah, jika demikian ini dapat kita persembahkan kepada Allah SWT. Niscaya Dia makin melimpahkan rahmat, dan semakin berkenan mengjibahkan doamu.
Ketahuilah hanya dengan bersungguh-sungguh, orang akan mendapatkannya dan yang beruntung meraih pintu Sang Pemurah, pasti tak akan kandas dari segala apa yang menjadi maksud dan tujuannya. Oleh karena itu hindarilah kecondongan hati yang tak bersungguh-sungguh melalui ziarahmu kepada orang saleh.
Berziarahlah dalam kekhusyukan dalam taqarrub kepada Allah SWT. Janganlah karena pertimbangan membutuhkan pengakuan orang, dan jangan pula supaya terkesan sebagai orang saleh, malah nanti akan menjadi tambahan puing petaka rohanimu saja.
Hindarilah dari bercakap yang tidak baik, ataupun tak senonoh, ataupun yang tak jelas perlu dan manfaatnya, di haribaan makam orang saleh. Sebab hal itu dapat menimbulkan murka Allah SWT dapat menimbulkan ”gelo” (kekecawaan – Jawa) ataupun kedukaan orang saleh itu sendiri, dan sekiranya malah akan menghampirkan dirimu sendiri kepada kehancuran secara tidak kita sendiri. Sekali lagi elakkan yang demikian ini.
Poin utama dalam ziarah adalah menggerakkan dzikir, shalawat, baca ayat Al-Quran, sepenuh jiwa dan raga.
Hanya Allah SWT saja yang dapat menunjukkan kita ke jalan yang benar dan membahagiakan. Maka kita bersandar, bertumpu, dan berserah diri ke jalan-Nya. Shalawat dan salam semoga makin terlimpah kepada Rasulullah SAW, pegangan kita hingga hari pembalasan kelak. La hawla wala quwwata illa billahil ’aliyyil ’adhiim.
Wa min Allah at Tawfiq