786
4444
“Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.”
( al-Qusyairi )
Source : http://darulhadis.wordpress.com/tarekat/
http://sufimuda.wordpress.com/2008/05/07/
7-tanya-jawab-tantang-thariqat/
7 Tanya Jawab Tentang Thariqat
Ditulis pada Mei 7, 2008 oleh sufimuda
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Pengunjung sufimuda yang dirahmati Allah, terima kasih atas kunjungan dan tanggapannya terhadap blog sufimuda, tentu lebih banyak kurangnya dari pada lebihnya, setelah sebulan sufi muda menerbitkan artikel-artikel, kami menerima banyak pertanyaan (45 pertanyaan) yang dikirim ke email sufimuda@gmail.com, sebagian besar bertanyaannya seputaran Thariqat, Mursyid dan Wasilah. Masalah thariqat bagi sebagian awam masih ragu-ragu, apakah memang bagian dari ajaran Islam atau suatu amalan yang diadakan oleh orang-orang sufi tanpa ada dasar dalilnya. Karena pertanyaannya sebagian besar menginginkan dalil-dalil, maka kami menjawabnya dengan dalil-dalil, sebagian besar kami ambil dari buku:
Permasalahan Thariqah, Hasil Kesepakatan Muktamar & Musyawarah Besar Jami’ah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah Nahdlatul Ulama (1957-2005M), Penghimpun : K.H. A. Aziz Masyhuri diterjemahkan oleh : Achmad Zaidun.
1.
Hukum Masuk Thariqah
Tanya : Bagaimana pendapat muktamirin tentang hukum masuk Thariqah dan mengamalkannya?
Jawab : Jikalau yang dikehendaki masuk thariqah itu belajar membersihkan dari sifat-sifat yang rendah, dan menghiasi sifat-sifat yang dipuji, maka hukumnya fardhu ‘ain. Hal iniseperti hadis Rasulullah Saw, yang artinya: ”Menuntut ilmu diwajibkan bagi orang Islam laki-laki dan Islam perempuan”. Akan tetapi kalau yang dikehendaki masuk Thariqah Mu’tabarah itu khusus untuk dzikir dan wirid, maka termasuk sunnah Rasulullah Saw. Adapun mengamalkan dzikir dan wirid setelah baiat, maka hukumnya wajib, untuk memenuhi janji. Tentang mentalqinkan (mengajarkan) dzikir dan wirid kepada murid, hukumnya sunat. Karena sanad Thariqah kepada Rasulullah Saw, itu sanad yang shahih.
Keterangan dari kitab:
1.
Al-Ma’aarif al-Muhammadiyah, hal. 81;
2.
Al-Adzkiyaa
Al-adzkiyaa’: Pelajarilah ilmu yang membuat sah ibadahnya.
Al-Ma’ararifah al-Muhammadiyyah, hal. 81: Sanad para wali kepada Rasulullah Saw. Itu benar (shahih), dan shahih pula hadis bahwa Ali ra. Pernah bertanya kepada Nabi Saw. Kata Ali, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan terdekat kepada Allah yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama bagi Allah!” Rasulullah Saw. Bersabda, ‘Kiamat tidak akan terjadi ketika di muka bumi masih terdapat orang yang mengucapkan ‘Allah’. Dasar lainnya adalah firman Allah Swt. ‘Penuhilah janji, sesunggunhya janji itu akan diminta pertanggungjawabannya’”. (Al-Israa’; 34).
2.
Murid Pindah Thariqah
Tanya : Apakah boleh seorang murid Thariqah pindah dari satu thariqah kepada Thariqah yang lain?
Jawab : Haram pindah dari satu Thariqah kepada Thariqah yang lain. Namun dapat dikatakan : Boleh pindah, apabila dia dapat menetapi kepada Thaiqah yang sudah dimasuki dan istiqamah (tekun) pada tuntunannya.
Keterangan dari kitab-kitab:2 )
1.
fataawa al-Haditsiyah, hal.50;
2.
majmu’ah al-rasail, hal. 114;
3.
ahkaamul Fuqaha, soal no. 173.
Al-fataawa al-hadiitsiyah, hal 50: Barangsiapa telah menyatakan baiat kepada seorang mursyid, dan mampu melaksanakan isi baiatnya, dan telah mendapat pancaran rohani darinya dengan sifat yang pertama dan kedua, maka haram baginya –menurut mereka (para ulama)-meninggalkan mursyid tersebut dan beralih ke mursyid yang lain.
Majmu’ah al-rasaail,. Hal: 114: Ketahuilah bahwa Thariqah-Thariqah yang ma’tsur, yang masyhur, yang sanadnya bersambung dari para guru thariqah terdahulu sampai belakangan adalah seperti empat madzhab dalam hal perpindahan dari satu madzhab ke madzhab yang lain, yaitu boleh, dengan syarat bidang yang dimasuki oleh orang yang berpindah madzhab itu harus utuh dengan senantiasa menetapi tata kramanya.
3. Mursyid Melarang Muridnya Menerima Baiat dari Mursyid lain
Tanya : Apakah boleh seorang mursyid melarang sebagian muridnya menerima baiat dari mursyid yang lain?
Jawab : Boleh, kalau di dalam melarang itu untuk mengarahkan murid pada apa yang menjadikan kemaslahatannya.
Keterangan dari kitab:
Tanwiir al-quluub hal. 536: Yang kedua belas adalah mursyid tidak boleh lengah dalam membimbing murid-muridnya kepada apa yang menjadikan kebaikan bagi diri mereka.
4. Tidak Bersanad Mengajarkan Thariqah
Tanya : Apakah boleh orang yang tidak mempunyai sanad yang sambung kepada Rasulullah Saw mengajarkan thariqah kepada murid? Apakah boleh memberi ijazah kepadanya?
Jawab : Tidak boleh, kalau thariqah itu Thariqah Mu’tabarah seperti Thariqah Naqsyabandiyah, Qadriyah, Khalidiyah, dan semacamnya, yaitu Thariqah yang silsilahnya sampai kepada Rasullullah.
Keterangan dari kitab:
1.
Khaziinah Al-asraar, hal. 188.
2.
Ushuul al-Thariiq, hal. 89.
3.
Tanwir al-Quluub, hal. 534
Khaziinah Al-asraar, hal. 188: Orang yang silsilah/sanadnya tidak bersambung kehadirat Nabi saw. Itu terputus dari pancaran rohani dan ia bukanlah pewaris Rasullullah Saw. Serta tidak boleh membaiat dan memberi ijazah.
Ushuul al-Thariiq, hal. 89: Semua ulama salaf sepakat bahwa orang silsilahnya tidak bersambung kepada guru-guru thariqah dan tidak mendapat izin untuk memimpin umat di majlis thariqah, tidak boleh menjadi mursyid, tidak boleh membaiat, tidak boleh mengajarkan dzikir dan amalan-amalan lain dalam thariqah.
Tanwir al-Quluub, hal. 534: tidak boleh menjadi guru thariqah dan mursyid kecuali setelah mendapat penempaan dan izin, sebagaimana kata para imam, karena sudah jelas bahwa orang yang menjadi guru thariqah tanpa mendapat izin itu bahayanya lebih besar daripada kemashlatannya, dan ia memikul dosa sebagai pembegal/penjambret thariqah, serta jauh dari derajat murid yang benar, apalagi dari derajat guru thariqah yang arif.
5. Hukum Peringatan Haul (Hari Wafat)
Tanya : Apakah peringatan hari wafat (haul) termasuk bid’ah atau memang ada nash dari hadis?
Jawab : Sesungguhnya peringatan hari wafat (haul) ada nash hadis dariperbuatan Rasullullah Saw., Abu Bakar, Umar ra, dan utsman ra.
Keterangan dari kitab:
1.
Syaarah al-Ihyaa’,X
2.
Kitab nahju al- balaaqhah, hal. 394-396.
3.
Kitab manaaqib sayyidi al-syuhada’ Hamzah ra., hal. 15.
Syaarah al-Ihyaa’, juz X Yang menjelaskan ziarah kubur. Al-Baihaqi meriwayatkan dari Al-Waqidi mengenai kematian, bahwa Nabi Saw. Senantiasa berziarah ke makama para syuhada’ di bukit Uhud setiap tahun dan sesampainya disana beliau mengucapkan salam dengan mengeraskan suaranya, “Salaamun’alaikum bimaa shabartum fani’ma’uqbaddaar” (QS. Al-Ra’d: 24. Artinya: keselamatan tetap padamu berkat kesabaranmu, maka betapa baiknya tempat kesudahan itu). Abu bakar juga berbuat seperti itu setiap tahun, kemudian Umar lalu Utsman. Fatimah juga pernah berziarah ke bukit Uhud dan berdoa. Sa’d bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada para syuhada’ tersebut kemudian ia menghadap kepada para sahabatnya lalu berkata, “mengapa kamu tidak mengucapkan salam kepada orang-orang yang akan menjawab salam mu?”
Keterangan yang sama juga terdapat dalam kitab Nahju al- balaaqhah, hal. 394-396, dan Kitab manaaqib sayyidi al-syuhada’ Hamzah ra. Oleh sayyid ja’far al Barzanji hal. 15: Rasulullah Saw. Senantiasa berkunjung ke makam para syuhada’ di bukit Uhud pada penghujung setiap tahun dan beliau mengucapkan “Salaamun’alaikum bimaa shabartum fani’ma’uqbaddaar” (Artinya: keselamatan tetap padamu berkat kesabaranmu, maka betapa baiknya tempat kesudahan itu. QS. Al-Ra’d: 24.). ini tepat sebagai dalil/dasar orang-orang madinah yang melakukan ziarah rajabiyyah (pada bulan rajab) ke makam sayyidina Hamzah yang di tradisikan oleh Syaikh Junaid al-Masyra’I karena ia pernah bermimpi bertemu dengan sayyidina Hamzah yang menyuruhnya melakukan ziarah tersebut.3)
6. Cara Rabithah kepada Mursyid dengan Tata Sila Kesembilan
Tanya : Bagaimana cara rabithah kepada syaikh mursyid yang disebut dalam tata sila kesembilan dalam kitab Tanwiir al-Quluub tentang cara berdzikir?
Jawab : Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniyah dalam gambar itu pada permulaan dzikir sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.
Keterangan dari kitab:
1.
Tanwiir al-Quluub, hal. 518.
2.
Al-Bahjah a-Saniyyah, 40.
Al-Bahjah a-Saniyyah, 40: Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/ membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada rohaniyyah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban.
Tanwiir al-Quluub, hal. 518: Murid wajib berusaha memperoleh pancaran rohani ari gurunya yang sempurna yang fana’ di dalam Allah (larut/tenggelam di dalam sifat-sifat ketuhanan –pen), dan sering berkonsentrasi pada rupa gurunya agar semakin kuat pancaran rohani yang diterima dari gurunya pada saat tidak bertemu secara fisik seperti ketika bertemu secara fisik, sehingga dengan konsentrasi tersebut murid merasakan gurunya benar-benar hadir dan merasakan nur yang sempurna…
7. Ocehan Bahwa Thariqah tidak Termasuk Sunah Nabi
Tanya : Bagaimana hukumnya orang yang melarang orang masuk Thariqah Mu’tabarah seperti Thariqah Naqsyabandiyah khalidiyyah, Qadiriyah, syathariyyah dan sebagainya, dan dia berkata bahwa Thariqah tersebut tidak termasuk sunah Rasulullah Saw.?
Jawab : Kalau tujuan melarang itu ingkar kepada thariqah maka orang itu menjadi kufur.
Keterangan dari kitab:
Jaami’u al-ushuuli al-auliyaa’,hal. 136: Jauhilah ucapan, “Thariqah orang-orang sufi itu tidak diajarkan dalam Al-Quran dan hadis”, karena orang yang berkata seperti itu adalah kafir. Semua thariqah orang-orang sufi itu sesuai dengan akhlak dan perilaku Nabi Muhammad Saw.serta ajaran Allah.
Demikian jawaban yang kami berikan atas pertanyaannya, Jawaban yang kami kutip langsung dari buku ini mudah-mudahan bisa menjawab beberapa pertanyaan yang pernah diajukan oleh pengunjung, pada kesempatan lain akan kami lanjutkan lagi tanya jawabnya, pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi kami berikan jawaban langsung via email.
Wassalam
Sufi Muda
http://sufimuda.wordpress.com/2008/05/07/7-tanya-jawab-tantang-thariqat/
—————————————————–
hakikat tarekat naqsybandi haqqani
الحجة الساطعة
فى
بيان الطريقة النقشبندية الحقانية
“al-Hujjah al-Sathi’ah fi Bayan al-Thariqah
al-Naqsyabandiyyah al-Haqqaniyyah”
(Argumentasi Cemerlang
dalam Menyingkap Hakikat
Tarekat Naqsyabandiyah Haqqaniyah yang benderang)
Oleh: H. Abbas Arfan Baraja, Lc., M.H.[1]
A. Islam dan Sufisme
Pengertian Sufisme.
Tasawuf atau Sufisme adalah satu cabang keilmuan dalam Islam atau secara keilmuan ia adalah hasil kebudayaan Islam yang lahir kemudian setelah Rasulullah wafat.. Menurut Hakim Hassan dalam al-Tasawwuf fi Syi’ri al-’Arab, istilah tasawuf baru terdengar pada pertengahan abad kedua hijriyah dan menurut Nicholson dalam bukunya al-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi, pertengahan abad ketiga hijriyah.[2]
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama berbeda pendapat dari mana asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari kata “Shuf’ (bulu domba), “Shaf’ (barisan), “Shafi/Shofa” (jernih) dan dari kata “Shuffah” (emper Masjid Nabawi yang ditempati oleh sebagian shahabat Nabi saw.). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatarbelakangi obsesinya dan fenomena yang ada pada diri para sufi.[3]
Dan Imam al-Qusyairi[4] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil Shodiq bin Hasan al-Qonuji dalam kitabnya “Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum” sebagai berikut:
وقال القشيري - رحمه الله - : ولا يشهد لهذا الاسم اشتقاق من جهة العربية ولا قياس والظاهر إنه لقب ومن قال : اشتقاقه من الصفا أو من الصفة فبعيد من جهة القياس اللغوي قال : وكذلك من الصوف لأنهم لم يختصوا بلبسه قلت : والأظهر إن قيل : بالاشتقاق أنه من الصوف وهم في الغالب مختصون بلبسه لما كانوا عليه من مخالفة الناس في لبس فاخر الثياب إلى لبس الصوف فلما اختص هؤلاء بمذهب الزهد والانفراد عن الخلق والإقبال على العبادة اختصوا بمآخذ مدركة لهم.[5]
“Imam al-Qusyairi RA berkata: Tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini ( tasawwuf) adalah berakar kata dari bahasa arab juga tidak dianalogikan dari bahasa arab. Secara lahiriyah itu hanya laqab (julukan) saja, adapun pendapat yang mengatakan bahwa kata (tasawwuf) itu berasal dari kata shofa atau shuffah adalah sangatlah jauh dari sudut pandangan qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata Shuf adalah tidak berdasar, karena mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memkai pakaian dari shuf (bulu domba). Walau memang mereka pada umumnya memakai pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang yang tidak menunjukan kebanggaan atau kemewahan seperti umumnya orang-orang, lantas mereka yang sebagai besar memakai pakaian sedarhana itu (bahkan rendah dan hina pada masa itu) terkenal dengan sifat zuhud, uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai identitas) yang mudah dari apa yang orang-orang ketahuai.”
Secara terminologispun banyak dijumpai definisi yang berbeda-beda, yang oleh Syekh Yusuf al-Rifa’i[6] dianalisa mencapai lebih kurang dua ribu definisi[7] dan yang paling simpel menurutnya adalah definisi tasawuf yang dibuat oleh Ibn ‘Ajibah[8], yaitu:
صدق التوجه الى الله بما يرضاه و من حيث يرضاه
“Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan apa-apa yang diridloi-Nya sesuai dengan apa yang diridloi-Nya (diingini-Nya)”
Al-Qonuji mendefinisikan tasawuf dengan;
علم يعرف به كيفية ترقي أهل الكمال من النوع الإنساني في مدارج سعادتهم والأمور العارضة لهم في درجاتهم بقدر الطاقة البشرية [9]
“Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia.”
Dari sekian definisi yang ada dapat dikatakan, bahwa tasawuf adalah moralitas Islam yang pembinaannya melalui proses tertentu (mujahadah dan riyadlah) dengan tetap berpegang teguh pada syariat Islam.
2. Kedudukan Tasawuf dalam Ajaran Islam.
Dan sufisme adalah bagian dari syari’ah Islamiyah, yakni wujud dari Ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam. Dua sebelumnya ialah Iman dan Islam. Oleh karena itu perilaku sufi harus tetap berada dalam kerangka syari’ah Islam. al-Qusyairi mengatakan: “Seandainya kamu melihat seseorang yang diberi kemampuan khusus (keramat), sehingga ia bisa terbang di angkasa, maka jangan terburu tergiur padanya, sehingga kamu melihat bagaimana dia menjalankan perintah, meninggalkan larangan menjaga hukum yang ada.”[10]
Sebagaimana dikatakan bahwa tasawuf adalah identik dengan Ihsan. Dalam hadits Nabi SAW dalam Sahih Muslim, Hadits No. 09;[11] arti ihsan ialah:
أن تعبد الله كأنك تراه فإنك إن لا تراه فإنه يراك
“Beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, jika kalian tidak bisa melihat-Nya, maka harus diketahui bahwa Dia melihat kita”.
Pernyataan ini mengandung makna ibadah dengan penuh ikhlas dan khusyu’, penuh ketundukan dengan cara yang baik.[12] Namun dalam pandangan penulis Hadits di atas mengindikasikan ada dua maqam (tingkatan) dalam beribadah, yaitu: pertama, maqam musyahadah; mampu melihat Allah dengan mata hati atau ilmu pengetahuan yang dimiliki. Kedua, maqam muraqabah; mampu menghadirkan Allah dalam kesehariannya, sehingga memunculkan rasa diawasi Allah. Kedua maqam itu sama-sama akan memberikan dampak khusu’ dalam beribadah. Dan ilmu tasawuf berusaha mencapai kedua maqam itu dan maqam-maqam yang lain.
Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa atau roh dari iman dan islam. Iman sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya yang berupa tindakan badaniah (ibadah lahiriah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma dalam pribadi dalam bentuk akhlak al-karimah atau disebut ihsan[13] sebagaimana tersebut dalam surat Luqman/31: 22.
Oleh karena itu, maka kedudukan tasawuf dalam ajaran Islam adalah sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ajaran Islam itu sendiri. Karena memang dasar rujukan dalam tasawuf adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan al-Atsar (peninggalan) para ulama terpercaya.[14] Maka dalam keyakinan ini pula, Imam al-Syatibi dalam kitabnya al-I’tisham membela mati-matian tasawuf dan para sufi dari tuduhan orang-orang yang menuduhnya sebagai ilmu yang keluar dari syariat Islam dan membersihkan para sufi dari julukan sebagai ahli bid’ah, bahkan beliau sebaliknya menjuluki orang yang menolak tasawuf dan para sufi sebagai orang bodoh yang ahli bid’ah. Dan beliau menegaskan bahwa para sufi adalah orang selalu menimbang awal perbuatan dan perkataannya dengan itba’ sunnah Nabi dan menjauhi segala yang dilarang dan bertentangan dengan sunnah Nabi.[15]
Dukungan dan pembelaan terhadap tasawuf dan sufi tidak hanya datang dari Imam Syatibi sendirian, namum hampir sebagian besar ulama tradisional dan modern pun turut memperkuat barisan ini, seperti dituliskan Syekh Yusuf al-Rifa’i dalam bukunya bahwa diantara ulama-ulama tradisional (salaf) yang mendukung tasawuf dan para sufi adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abdul Qahir al-Bagdadi, Imam Ghazali, Imam al-Razi, Imam Izzuddin Abd. Salam, Imam Nawawi, Imam Taj al-Din al-Subki, Imam Suyuthi dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, Syekh Yusuf al-Rifa’i mencantumkan fatwa-fatwa mufti timur tengah, yaitu: Syekh Muhammad al-Sayid al-Thanthawi (Syekh al-Azhar yang mantan mufti Mesir), Syekh Ahmad Kaftar (Mufti Suriah), Syekh Muhammad bin Ahmad Hasan al-Khozrazi (mantan menteri wakaf dan urusan Islam Uni Emirat Arab), Syekh Nuh Salman (Mufti militer Yordania), Stekh Hasan Kholid (Mufti Lebanon) dan Syekh al-Sayid Muhammad Abd. Rahman bin Syekh Abu Bakar bin Salim (Mufti Juzur Qamar).[16]
Oleh karenanya, apabila tasawuf diperbandingkan dengan teologi, maka kedua-duanya mempunyai kesamaan tujuan, yakni ma’rifatullah (mengenal Allah), hanya saja berbeda dalam yang ditempuh. Teologi melalui pembuktian yang dapat diterima rasio, sedang tasawuf secara langsung dengan mata hati. Teologi mengkonstruksikan dan memahami keyakinan melalui rasio, sedang tasawuf berusaha merasakan keyakinan itu dengan Qalb (hati nurani). Adapun perbandingan dengan ilmu fiqh, kedua-duanya sama-sama membicarakan bagaimana berkomunikasi dengan Allah SWT. hanya bedanya, fiqh lebih menitikberatkan pada lahiriah sedang tasawuf pada batiniyah. Fiqh memakai pendekatan legal formal, sedang tasawuf berbicara pada hakikat sesuatu dan memberi makna terhadap perilaku lahir itu dengan ikhlas dan menghindarkan diri dari sifat-sifat tercela. Meskipun demikian, secara keilmuan ketiganya dapat dibedakan dalam aspek metode, obyek dan tujuan, namun secara ideal ketiganya menyatu dalam pribadi secara utuh. Sehingga dapat diwujudkan akidahnya benar, ibadahnya benar serta dapat terselamatkan dari sifat-sifat tercela dan berhias dengan sifat-sifat terpuji.[17]
AI-Hujwiri menyatakan. bahwa sufi adalah sebuah nama yang diberikan kepada wali-wali dan ahli-ahli kerohanian yang sempurna. Pengikut sufi ada tiga derajat, yaitu sufi, mutasawwif dan mustaswif. Sufi adalah yang mati pada dirinya dan hidup oleh Kebenaran: ia bebas dari batas-batas kemampuan manusiawi dan benar-benar telah sampai kepada Tuhan. Dan Mutasawwif adalah orang yang berusaha keras untuk mencapai tingkatan ini dengan cara menundukkan hati dan hawa nafsu (mujahadah) dan dalam pencariannya ia meluruskan tingkah lakunya sesuai dengan teladan mereka (para sufi). Sedanggkan Mustaswif adalah orang yang membuat dirinya secara lahiriah serupa dengan mereka (sufi-sufi) untuk sekedar mencari uang, kekayaan, kekuasaan serta keuntungan-keuntungan duniawi, tapi sedikitpun tidak mempunyai pengetahuan tentang kedua hal ini (kesufian dan tasawuf). Kaum sufi yang beutujuan mencari Tuhan menyebut dirinya sebagai pengembara (salik) la meningkat secara perlahan melalui tahap-tahap (maqomat) setelah melalui sejumlah lintasan (thuruqot) guna mencapai tujuan bersatu dengan kenyataan (al-Haqq).[18]
Namun dalam pandangan penulis, istilah sufi dan mutaswwif adalah sama. Karena sama-sama orang yang sedang salik/berjalan menuju Allah SWT dengan melakukan mujahadah lahir dan batin dalam mendapatkan posisi yang dekat dengan Allah SWT. Dan dalam literatur klasik tidak ditemukan perbedaan antara dua istilah di atas, baru kemudian pada literatur modern ada upaya penjelas atau pembeda dengan munculnya tiga istilah di atas. Walau pada hakikatnya kita sulit membuktikan bahwa seseorang yang nyamar sebagai seorang sufi atau mutasawwif yang di sebut mustaswif itu bisa kita tuduhkan pada seseorang yang secara lahiriah seakan-akan ia mengeruk keuntungan duniawi dengan baju sufi, karena kita hanya bisa melihat secara lahiriyah dan batiniah seseorang kita tidak tahu.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang diletakkan oleh Tuhan untuk menunjukkan kehidupan rohani sesuai dengan ajaran AI-Qur’an. Tasawuf menarik kembali manusia dari keadaan assfala safilin yang hina dalam rangka mengembalikannya ke dalam kesempurnaan.. Jalan mistik, sebagaimana lahir dalam bentuk tasawuf, adalah salah satu jalan di mana manusia berusaha mematikan nafsunva dalam rangka supaya lahir kembali di dalam Ilahi dan oleh karenanva mengalami persatuan dengan Yang Benar (al-Haqq). Ajaran-ajaran sufi berkisar di sekitar dua ajaran dasar; tentang kesatuan transenden wujud dan manusia universal atau manusia sempurna. Menjadi seorang wali dalam Islam adalah dengan melaksanakan semua kemunginan dari keadaan manusia menjadi insan kamil. [19]
3. Sejarah Munculnya Tasawuf dan Sufi.
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa menurut sebagain besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad kedua atau dipenghujung abad kedua adalah masa di mana munculnya istilah tasawuf dan sufi, walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan prilaku yang mencerminkan kesufian, -seperti ketawakalan, kesabaran dan rajin beribadah bahkan cenderung tajarrud/tajrid[20] (totalitas) dalam beribadah sehingga terkesan mengenyampingkan mutasabbib/kasab (bekerja) untuk kehidupan dunia- itu sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul SAW.
Mereka adalah adalah sahabat Nabi SAW yang tinggal dan hidup di emper masjid Nabawi yang populer di kenal sebagai Ahl Suffah. Dan Nabi SAW men-taqrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl Suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi SAW melihat mereka kuat dan bisa mengambil manafaat dari ke-tajridan tersebut. Di samping Nabi SAW pun men-taqrir prilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak tajrid tapi mutasabbib dalam mencari rizqi Allah SWT, karena memang Nabi SAW melihat hal itu lebih cocok bagi jenis sahabat yang tidak tinggal di emper masjid.[21]
Senada dengan hal tersebut di atas, al-Qonuji menukil pendapatnya Imam al-Qusyairi bahwa hakikatnya tasuwuf dan sufi sudah lahir sejak lahirnya Islam itu sendiri, namun orang yang hidup pada generasi pertama bersama Nabi SAW tidak disebut kaum sufi, tapi sahabat Nabi SAW, karena tidak ada julukan yang paling pas dan mulia bagi mereka selain sebutan sahabat Nabi SAW. Begitupun bagi generasi kedua yang di kenal dengan nama tabi’in. Inilah perkataan Imam Qusyairi yang dinukil al-Qonuji dalam bukunya;
قال القشيري : اعلموا أن المسلمين بعد رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لم يتسم أفاضلهم في عصرهم بتسمية علىما سوى صحبة الرسول - صلى الله عليه وسلم - إذ لا أفضلية فوقها فقيل لهم الصحابة. ولما أدركهم أهل العصر الثاني سمي من صحب الصحابة : بالتابعين . ثم اختلف الناس وتباينت المراتب . فقيل لخواص الناس ممن لهم شدة عناية بأمر الدين : الزهاد والعباد. ثم ظهرت البدعة وحصل التداعي بين الفرق فكل فريق ادعوا أن فيهم زهادا فانفرد خواص أهل السنة المراعون أنفسهم مع الله - سبحانه وتعالى - الحافظون قلوبهم عن طوارق الغفلة باسم التصوف . واشتهر هذا الاسم لهؤلاء الأكابر قبل المائتين من الهجرة . انتهى [22]
“ Imam al-Qusyari berkata: “Ketahuilah bahwa kaum muslimin sepeninggal Rasulullah SAW tidak dijuluki dengan julukan yang mencerminkan keutamaan mereka pada masa itu dengan nama selain nama para sahabat Nabi SAW, karena tidak ada nama yang lebih utama dan mulia selain nama tersebut. Begitu juga bagi generasi kedua, yaitu orang-orang yang belajar dan hidup bersama para sahabat tidak dinamai selain nam tabi’in. Namun pada generasi berikutnya (ketiga) saat kaum muslimin sudah berbeda-beda (kekutan iman dan ibadahnya), maka orang yang khusus yang teguh memegang dan mengamalkan agamanya dikenal dengan sebutan zuhhad (jamaknya zahid; orang yang zuhud) dan Ubbad (jamaknya abid; orang yang ahli ibadah). Kemudian bid’ah meluas di mana-mana dan saling membanggakan golongannya masing-masing; setiap kelompok mengklaim bahwa mereka memilki orang-orang zahid dan abid. Oleh sebab itu sebagian orang khusus (zahid atau abid) dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah yang hanya mencari ridlo Allah SWT dan selalu menjaga hatinya dari bisikan-bisikan yang melalaikan Allah SWT, maka mereka inilah yang disebut kaum sufi yang mengamalkan ilmu tasawuf sehingga nama ini mulai terkenal dan melekat pada tokoh-tokoh sufi sejak sebelum abad kedua Hijriah.”
Imam Ibn Kholdun[23] pun berpendapat sama dengan Imam al-Qusyairi; yang pendapat beliau dinukil al-Qonuji dalam kitabnya:
قال عبد الرحمن بن خلدون : هذا العلم من العلوم الشرعية الحادثة في الملة وأصله : أن طريقة هؤلاء القوم لم تزل عند سلف الأمة وكبارها من الصحابة والتابعين. [24]
“Abdurahman bin Kholdun berkata: “Ilmu (tasawuf) ini termasuk bagian dari ilmu syariat yang baru lahir dalam Islam (baru dalam pengertian menjadi sebuah ilmu yang teoritis dan independen-penulis). Dan pondasi yang membentuknya adalah mereka (para sufi) adalah orang-orang yang berpegang ada prilaku tokoh-tokoh umat Islam, yaitu para sahabat dan tabi’in.”
Memang mengenai asal-usul atau timbulnya sufisme dalam Islam. terdapat berbagai teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan pengaruh ajaran Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Atau ajaran filsafat mistik Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi juga dipandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Demikian pula filsafat emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan, dan karena pengaruh dunia materi roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke alam asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kafau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan, filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum wihdah al-wujud (manunggaling kawula-Gusti) dan sufi dalam Islam. Bahkan ajaran Buddha dengan faham nirwananya dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Tan Brahman juga dianggap berpengaruh terhadap sufisme Islam. Namun penelitian modern telah membuktikan bahwa asal-usul sufisme tidak dapat dilacak hanya melalui satu lintasan tunggal saja. Sufisme adalah sesuatu yang rumit, tak ada jawaban yang bersahaja. Ada pengaruh-pengaruh non Islami, Nasrani, Neoplatonisme, Gynostisisme dan Buddhisme dan pengaruh eksternal itu bisa saja terjadi. tetapi laku tasawuf itu sebenarnya telah inheren dalam ajaran Islam. Dalam Al Qur’an Tuhan menerangkan diri-Nya sebagai al-Dzahir (Lahir) dan yang al-Bathin (Batin). Karena itu. semua realitas dari dunia ini juga memilki aspek lahir (eksoteris) dan batin (esoteris). Dalam Islam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan tasawuf.[25]
Maka dari sudut pandang Islam; Tasawuf seperti al-din atau al-Islam dalam pengertiannya yang universal adalah abadi dan sekaligus universal. Hal ini tidak berarti bahwa adalah mungkin melaksanakan tasawuf di luar kerangka Islam. Tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu AI-Qur’an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Buddha dalam konteks syariat Islam atau sebaliknya.[26] Dan kalau ada persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran agama lain; baik dengan ajaran agama samawi (seperti, Yahudi dan Kristen) atau non samawi (seperti, Hindu dan Budha) itu adalah sesuatu hal yang tidak mustahil terjadi. Ajaran Islam saja dengan ajaran samawi lainnya bukankah memilki kesamaan sumber, yaitu sama-sama bersumber dari Allah SWT, bukankah ibadah dalam Islam seperti khitan, kurban, haji, puasa dan lain-lain adalah warisan dari ibadah umat terdahulu. Adapun adanya persamaan ajaran tasawuf dengan ajaran agama non samawi itu adalah sebuah kebetulan saja; bukankah cara berpakaian para biksu agama Budha sama persis dengan orang yang sedang berpakaian kain ihram untuk ibadah haji atau umrah, yaitu sama-sama dari dua helai kain tidak berjait dan sama-sama membuka lengan kanan dalam memakainya, walau ada perbedaan tapi dari warna kainnya saja. Lalu apakah langsung kita katakan bahwa haji dan umrah adalah dipengaruhi ajaran Budha?
Lalu siapakah yang di maksud para sufi atau mutasawwif pada zaman sekarang ini? Ada analisa dan ungkapan menarik dan sederhana yang disampaikan Syekh Yusuf al-Rifai dalam bukunya ketika mendiskripsikan siapakah yang bisa di sebut sufi pada masa ini. Beliau menulis dalam pengantar bukunya al-Sufiyah wa al-Tasawwuf fi Dlau al-Kitab wa al-Sunnah sebagai berikut;
“Julukan sufi, jika dimutlakkan pada zaman sekarang ini, maka yang dimaksud adalah mayoritas kaum muslimin yang bertaqlid pada salah satu Imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam masalah al-Furu’ (mazhab fiqh) dan secara ushul (aqidah) mengikuti pada salah satu dari beberapa ulama salaf yang salih, maka sebagian mereka berpegang teguh pada prinsip teologi Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang menjadi pegangan hampir sebagian besar golongan ahlus sunnah wal jama’ah di hampir seluruh penjuru dunia. Prinsip ajaran mazhab ahlus sunnah wal jama’ah ini (yang bermazhab fiqh pada salah satu Imam empat mazhab dan berteologi dengan teologi Asy’ariyyah) adalah ajaran yang sampai sekarang di ajarkan dan dipraktekkan di hampir sebagian besar negara Islam, seperti Universitas al-Azhar Mesir, kecuali lembaga-lembaga pendidikan Islam di negara Saudi Arabia atau negara lain yang dalam naungan dan bantuan saudi Arabia yang berpegangan pada prinsip ajaran Islam yang digagas oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya (Wahhabiyyah) yang menamakan diri dengan nama “al-Da’wah al-Salafiyyyah”. Identitas sufi atau sufiyyah pada zaman ini juga identik dengan kaum muslimin yang merayakan peringatan-peringatan hari besar Islam bahkan menjadi hari libur nasional, seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra’ mi’raj dan lain-lain. Di samping itu mereka tetap menjaga tradisi ziarah kubur ke makam Nabi Muhammad SAW setelah atau sebelum ibadah haji, mengkhatamkan al-Qur’an saat ada kematian, menggunakan hitungan tasbih dalam berzikir pada Allah (atau bershalawat pada Nabi SAW), mentalqin mayit (saat naza’ dan baru selesai dikuburkan), berziarah kubur (pada orang tua, kerabat dan sesama muslim) saat hari raya atau momentum lainnya untuk menganbil pelajaran kematian (kesadaran akan tibanya ajal) dan menghadiahkan pahala baca al-Qur’an (atau tahlil, tasbih, takbir, shalawat dan lainnya) pada arwah-arwah mereka dan masih banyak lagi prilaku-prilaku keagamaan yang telah membudaya dan mentradisi di tengah masyarakat Islam sejak jaman lampau (sebelum munculnya wahabiyyah dan tidak ada penolakan dari ulama-ulama besar saat itu dan hal ini terus bertahan sampai sekarang walau mendapat rongrongan dan penolakan kaum wahabiyyah). Walhasil tradisi sufi ini adalah tradisi mayoritas umat Islam (maka hakikatnya mayoritas umat Islam adalah para sufi) dan mayoritas umat Islam ini dalam Hadits Nabi SAW disebut dengan al-Sawad al-A’adlom. Dan Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk tetap berada pada barisan al-Sawad al-A’adlam: “Alaikum bi al-Sawad al-A’adlom!”[27]
B. Sufisme dan Gerakan Tarekat
1. Pengertian Tarekat
Kata Tarekat di ambil dari bahasa arab, yaitu dari kata benda thoriqoh yang secara etimologis berarti jalan, metode atau tata cara. Adapun tarekat dalam terminologis (pengertian) ulama sufi; yang dalam hal ini akan saya ambil definisi tarekat menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi al-Irbili al-Syafi al-Naqsyabandi[28] dalam kitab Tanwir al-Qulub-nya[29] adalah;
”Tarekat adalah beramal dengan syariat dengan mengambil/memilih yang azimah (berat) daripada yang rukhshoh (ringan); menjauhkan diri dari mengambil pendapat yang mudah pada amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah; menjauhkan diri dari semua larangan syariat lahir dan batin; melaksanakan semua perintah Allah SWT semampunya; meninggalkan semua larangan-Nya baik yang haram, makruh atau mubah yang sia-sia; melaksanakan semua ibadah fardlu dan sunah; yang semuamnya ini di bawah arahan, naungan dan bimbingan seorang guru/syekh/mursyid yang arif yang telah mencapai maqamnya (layak menjadi seorang Syekh/Mursyid).”[30]
Dari definisi di atas dapat kita simpulkan bahwa tarekat adalah beramal dengan syariat Islam secara azimah (memilih yang berat walau ada yang ringan, seperti rokok ada yang berpendapat haram dan makruh, maka lebih memilih yang haram) dengan mengerjakan semua perintah baik yang wajib atau sunah; meninggalkan larangan baik yang haram atau makruh bahkan menjauhi hal-hal yang mubah (boleh secara syariat) yang sia-sia (tidak bernilai manfaat; minimal manfaat duniawiah) yang semuanya ini dengan bimbingan dari seorang mursyid/guru guna menunjukan jalan yang aman dan selamat untuk menuju Allah (ma’rifatullah), maka posisi guru di sini adalah seperti seorang guide yang hafal jalan dan pernah melalui jalan itu sehingga jika kita dibimbingnya akan dipastikan kita tidak akan tersesat jalan dan sebaliknya jika kita berjalan sendiri dalam sebuah tujuan yang belum diketahui, maka kemungkinan besar kita akan tersesat apalagi jika kita tidak membawa peta petunjuk. Namun mursyid dalam tarekat tidak hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah bahkan juga berfungsi sebagai mediasi antara seorang murid/salik dengan Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Dengan bahasa yang lebih mudah, tarekat adalah sebuah kendaraan baik berupa bis, kapal laut atau pesawat terbang yang disopiri oleh seseorang yang telah punya izin mengemudi dan berpengalaman untuk membawa kendaraannya dengan beberapa penumpang di dalamnya untuk mencapai tujuan.
Tasawuf dapat dipraktekkan dalam setiap keadaaan di mana manusia menemukan dirinya, dalam kehidupan tradisional maupun modern. Tarekat adalah salah satu wujud nyata dari tasawuf. Ia lebih bercorak tuntunan hidup praktis sehari-hari daripada corak konseptual yang filosofis. Jika salah satu tujuan tasawuf adalah al-Wushul ila Allah SWT (sampai kepada Allah) dalam arti ma’rifat, maka tarekat adalah metode, cara atau jalan yang perlu ditempuh untuk mencapai tujuan tasawuf tersebut. [31]
Tarekat berarti jalan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri, atau perjalanan yana ditempuh oleh seseorang untuk mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan. Orang yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau Syaikh. Syaikh atau mursyid inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah serta rohaniah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi perantara (washilah) antara murid dan Tuhan dalam beribadah. Karena itu, seorang Syaikh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakekat. Di samping itu, untuk (dapat) wenjadi guru, ustadz atau Syaikh diperlukan syarat-syarat tertentu yang mencerminkan sikap orang tua yang berpribadi akhlak karimah dan budi pekerti yang luhur.[32]