Source :
http://gus7.wordpress.com/2008/04/29/
martabat-tujuh-dalam-suluk-sujinah-dan-serat-wirid-hidayat-jati/#more-51
http://gus7.wordpress.com/2008/04/29/
martabat-tujuh-dalam-suluk-sujinah-dan-serat-wirid-hidayat-jati-2/
MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI
L.S. AHMAD
Dalam mencari ridhoNya, para sufi menggunakan jalan yang bermacam-macam. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan melalui kearifan, kecintaan dan tapa brata.
Sejarah mencatat, pada akhir abad ke-8, muncul aliran Wahdatul Wujud, suatu faham tentang segala wujud yang pada dasarnya bersumber satu. Allah Ta’ala. Allah yang menjadikan sesuatu dan Dialah a’in dari segala sesuatu. Wujud alam adalah a’in wujud Allah, Allah adalah hakikat alam. Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan antara wujud qadim dengan wujud baru yang disebut dengan makhluk. Dengan kata lain, perbedaan yang kita lihat hanya pada rupa atau ragam dari hakikat yang Esa. Sebab alam beserta manusia merupakan aspek lahir dari suatu hakikat batin yang tunggal. Tuhan Seru Sekalian Alam.
Faham wahdatul wujud mencapai puncaknya pada akhir abad ke-12. Muhyidin Ibn Arabi,seorang sufi kelahiran Murcia, kota kecil di Spanyol pada 17 Ramadhan 560 H atau 28 Juli 1165 M adalah salah seorang tokoh utamanya pada zamannya. Dalam bukunya yang berjudul Fusus al-Hikam yang ditulis pada 627 H atau 1229 M tersurat dengan jelas uraian tentang faham Pantheisme (seluruh kosmos adalah Tuhan), terjadinya alam semesta, dan keinsankamilan. Di mana faham ini muncul dan berkembang berdasarkan perenungan fakir filsafat dan zaud (perasaan) tasauf.
Faham ini kemudian berkembang ke luar jazirah Arab, terutama berkembang ke Tanah India yang dipelopori oleh Muhammad Ibn Fadillah, salah seorang tokoh sufi kelahitan Gujarat (…-1629M). Di dalam karangannya, kitab Tuhfah, beliau mengajukan konsep Martabat Tujuh sebagai sarana penelaahan tentang hubungan manusia dengan Tuhannya. Menurut Muhammad Ibn Fadillah, Allah yang bersifat gaib bisa dikenal sesudah bertajjali melalui tujuh martabat atau sebanyak tujuh tingkatan, sehingga tercipta alam semesta dengan segala isinya. Pengertian tajjali berarti kebenaran yang diperlihatkan Allah melalui penyinaran atau penurunan — di mana konsep ini lahir dari suatu ajaran dalam filsafat yang disebut monisme. Yaitu suatu faham yang memandang bahwa alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari satu hakikat tunggal. Allah Ta’ala.
Dr. Simuh dalam Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap Serat Wirid Hidayat Jati menyatakan; “Konsep ajaran martabat tujuh mengenai penciptaan alam manusia melalui tajjalinya Tuhan sebanyak tujuh tingkatan jelas tidak bersumber dari Al Qur’an. Sebab dalam Islam tak dikenal konsep bertajjali. Islam mengajarkan tentang proses Tuhan dalam penciptaan makhluknya dengan Alijad Minal Adam, berasal dari tidak ada menjadi ada.”
Selanjutnya, konsep martabat tujuh di Jawa dimulai sesudah keruntuhan Majapahit dan digantikan dengan kerajaan Demak Bintara yang menguasai Pulau Jawa. Sedangkan awal perkembangannya, ajaran martabat tujuh di Jawa berasal dari konsep martabat tujuh yang berkembang di Tanah Aceh — terutama yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai (…-1630) dan Abdul Rauf (1617-1690).
Lebih lanjut ditambahkan; “Ajaran Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf kelihatan besar pengaruhnya dalam perkembangan kepustakaan Islam Kejawen. Pengaruh Abdul Rauf berkembang melalui penyebaran ajaran tarekat Syatariyah yang disebarkan oleh Abdul Muhyi (murid Abdul Rauf) di tanah Priangan. Ajaran tarekat Syatariyah segera menyebar ke Cirebon dan Tegal. Dari Tegal muncul gubahan Serat Tuhfah dalam bahasa Jawa dengan sekar macapat yang ditulis sekitar tahun 1680.”
Sedangkan Buya Hamka mengemukakan bahwa faham Wahddatul Al-Wujud yang melahirkan ajaran Martabat Tujuh muncul karena tak dibedakan atau dipisahkan antara asyik dengan masyuknya. Dan apabila ke-Ilahi-an telah menjelma di badan dirinya, maka tidaklah kehendak dirinya yang berlaku, melainkan kehendak Allah.
Dr. Simuh pun kembali menambahkan, dalam ajaran martabat tujuh, Tuhan menampakkan DiriNya setelah bertajjali dalam tujuh di mana ketujuh tingkatan tersebut dibagi dalam dua wujud. Yakni tiga aspek batin dan empat aspek lahir. “Tiga aspek batin terdiri dari Martabat Ahadiyah (kesatuan mutlak), Martabat Wahdah (kesatuan yang mengandung kejamakan secara ijmal keseluruhan), dan Martabat Wahadiyah (kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batas setiap sesuatu). Sedangkan aspek lahir terdiri Alam Arwah (alam nyawa dalam wujud jamak), Alam Mitsal (kesatuan dalam kejamakan secara ijmal), Alam Ajsam (alam segala tubuh, kesatuan dalam kejamakan secara terperinci dan batas-batasnya) dan Insan Kamil (bentuk kesempurnaan manusia).
Menanggapi hal ini, Buya Hamka mengutip dari karya Ibnu Arabi yang berjudul Al-Futuhat al-Makkiya fi Marifa Asrar al-Malakiya (589 H atau 1201 M), bahwa tajjalinya Allah Ta’ala yang pertama adalah dalam alam Uluhiyah. kemudian dari alam Uluhiyah mengalir alam Jabarut, Malakut, Mitsal, Ajsam, Arwah dan Insan Kamil — di mana yang dimaksud dengan alam Uluhiyah adalah alam yang terjadi dengan perintah Allah tanpa perantara.
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.
Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.
Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.
Sumber: Majalah Misteri, edisi 411, 5 Januari 2007
MARTABAT TUJUH DALAM SULUK SUJINAH DAN SERAT WIRID HIDAYAT JATI (2)
L.S. AHMAD
Martabat Ke dua, Martabat Wahdah
Martabat kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal. Tingkat perbedaan pertama, atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan awal, namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam alam ketuhanan-Nya, yang disebut al-Martabah Ilahiyyah.
Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;
Dan martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan. Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang wujudnya masih dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud ilmu dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat. Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.
Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati;
Nur Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist; rupanya seperti burung merak yang berada di dalam permata putih, dan berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma yang menjadi tempatnya alam Wahdah.
Sejatinya, ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya. Ruh dalam tingkatan ini bersifat al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah ibarat penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan menurut hadist, pertama kali wujud yang diciptakan Allah adalah ruh.
Di dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya adalah sifat kejamakan-Nya. Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan atau manunggal — karena dari ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-Nya, maka, yang menerangkan dan yang diterangkan menjadi nyata.
Dan keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari hakikat yang tidak terinci lewat hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.
Konsep adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada mulanya ialah dari adanya hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah yaitu hadrah yang tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam ketiadaan.
Pada perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad memiliki dua rupa. Rupa pertama disebut dengan qadim dan yang kedua adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya segala zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya yang qadim itulah sumber terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari segala kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur Muhammad.
Rupa kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud sebagai manusia yang terikat oleh masa dan mengalami pemunahan. Ia juga mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan manusia lainnya.
Sementara, di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah yang kedua. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan menciptakan Nur Muhammad yang wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.
Nur Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya masih gaib, pengertian gaib di sini adalah, belum dapat dilihat dengan indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur Muhammad, masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.
Dengan kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari Hayyu — sebab sifat-sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu (Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu), adalah sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan sandaran hidup Nur Muhammad. Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan berkembang, maka, di situ pasti ada sumber air.
Dalam alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di sini belum ada batas-batas pemisahan meski sudah adanya kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.
Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah
Martabat ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah (ketentuan yang bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua), al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal), al-Barzakh al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah (kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud), Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan Zakir Ilm (ilmu zakir).
Pada martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal dengan Asma ul’Husna di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul dalam wujud kenyataan.
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;
Tiada Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya. Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua. Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad. Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.
Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Miratul Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam tersebut terdapat di depan Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam wahadiyah.
Di dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan ucapan “tiada Tuhan selain Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih dalam kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan lewat nama-namanya satu persatu.
Dalam kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua pengetahuan. Persaksian yang pertama mengandung Syahadah Tauhid, sedang yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi; “Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga disebut dengan kalimat Taqwa. Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada dalam tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.
Sementara, menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah Mir’atul Haya’i yang tercipta dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau rahsa disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.
Pengertian pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat tersebut tiada turut rasa sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan minuman utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah dengan melakukan do’a-do’a atau hal-hal yang bersifat religius.
Sejatinya, fungsi utama pramana di dalam tunbuh adalah untuk menegakkan jasmani. Jadi, apabila pramana berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan karena pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad yang dijadikan sebagai perantaranya Hayyu.
Martabat Ke empat, Alam Arwah
Martabat yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang hampa bagi manusia yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal al-tanazzulat li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang menengah), al-Martabat al-Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah), al-Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-Ashya al-Kawiyyah (segala sesuatu di alam semesta).
Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;
Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.
Yang mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama Muhammad adalah ada dalam kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.
Itulah hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai kejadian terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud, khayal dan hak. Jangan sembrono.
Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Ruh Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal dari Nur Muhammad. Itulah hakikat suksma yang dakui keadaan Zat, yang merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.
Dalam martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak. Sejatinya, semua ruh dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh Allah tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang disebut dengan Af’al — Allah menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur, sifat kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.
Tentang alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya. Kerahasiaan dan keberadaan alam al-Arwah hanya Tuhan yang bisa menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua kafir kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam Uluwwi yang hakikatnya adalah murni. Dengan kata lain, al-Arwah berasal dari Zat Hakk Ta’ala.
Tegasnya, pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di mana wujudnya masih dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam al-Arwah.
Di dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni, Namiya, Mutaharrika, Natika dan Ruh Kudus. Ruh Namiya adalah membentuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan, sedang Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri manusia dan hewan. Sedang Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara, Ruh Natika yang disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan manusia — Ruh Natika berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.
Sedang yang disebut dengan Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerakl bagi semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka faham akan semua ma’ani dan batin. Dan kesemuanya ini dari la’thir ruh Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari cahaya pilihan, maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab jiwanya tak terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.
Alam al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari zat ilahi. Dalam alam kabir tersebut, alam besar, Nur Muhammad menenrangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan melingkarinya. Nur Muhammad yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat dipisahkan. Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam kesatuan.
Alam al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu A’rad (kejadian-kejadian atau penciptaan-penciptaan), yang terhimpun pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.
Alam al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa berkumpul dalam wujud kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan mengakui bahwa Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian majaji, adalah pralambang dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain, majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada yaitu ada-Nya yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab, makhluk muncul dari adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.
Oleh karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama, adalah penunjukkan pada sang pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan pengertian kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya yang merupakan lambang atau simbol dari kekuasaan-Nya.
Di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang keempat. Setelah bertajjali dalam alam Mir’atul Haya’i, kemudian bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari pramana atau sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar lingkaran pramana. Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah, wujud kejamakan ruh. Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu pun makhluk yang mentetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh karena itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh Idlafi karena ia berhadapan dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan menyinari segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu yang nampak dan sinar-sinarnya menerangi semesta alam, dan bidang-bidang kenisbian.
Martabat Ke lima, Alam Mitsal
Martabat ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran segala sesuatu di alam semesta), Surah al-Rahman (bentuk Rahman), Surah al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al Ilahi (bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:
Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:
Kandil: artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menkjadi tempatnya alam Mitsal.
Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa dikenali baik secara batin maupun lahir.
Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan aajaran martabat tujuh, Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya, suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang terletak di luar suksma.
Martabat Ke enam, Alam Ajsam
Martabat ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir peninggalan bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia), al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah (nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir (lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum (terkungkung), al-Mahsusat (alam rasa).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:
Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Dharah artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna, kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam Ajsam.
Pada Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam. Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.
Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.
Sedang Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata. Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai perhiasan zat.
Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil
Martabat ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya. Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan), Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa. Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.
Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:
Sifat yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong kafir, dan belum mengerti sahadat.
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:
Hijab: disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.
Dalam Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah. Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang diperagakan dalam garis lurus berikut ini;
Allah
!
!
Ahadiyah
!
!
Wahdah
!
!
Wahadiyah
!
!
Alam Arwah
!
!
Alam Mitsal
!
!
Alam Ajsam
!
!
Alam Insan Kamil
Berdasarkan uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak, oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung. Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh tingkatan.
Demikian sekelumit sajian Martabat Tujuh yang diangkat dari Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati. Sudah barang tentu, semuanya tak luput dari kekurangan, maka, akan terasa lebih sempurna bila ada tulisan-tulisan lain yang akan mampu menambah khasanah perbendaharaan ilmu kita dengan tujuan mencari ridho Allah semata. Semoga.
Sumber: Majalah Misteri, edisi 412, 20 Januari 2007
Source :
http://soulidaritas.wordpress.com/2008/01/19/bratasena-bertemu-sukma/
Bratasena Bertemu Sukma
Januari 19, 2008
Lautan itu diam, tenang. Duduk termangu Bratasena putra Pandu di tepinya. Sentuhan halus sang bayu menerpa wajahnya, Ia rasakan belaian suara dentum ombak, perciknya membuat separuh tubuhnya basah. Masih teringat jelas perintah gurunya Drona untuk mencari Tirtapawitra. Begitulah murid, ibarat kitab suci dan pembacanya. Murid diwajibkan menanamkan bakti, walau terkadang sangat sulit menjalankannya.
Begitu tegas terlintas di alam pikir Bratasena, bagaimana ia memporak-porandakan hutan Candradimuka. Dibongkarnya gunung kesadaran, dicabutnya pohon-pohon, angin besar bergemuruh menerbangkan bongkah-bongkah batu terpecah, mungkin menakutkan bagi orang yang ada disana. Tapi tak ia temukan juga yang namanya Tirtaparwita.
Dalam lamunan, tanpa disadari oleh Bratasena. Nun jauh disana sang Marbyudyengrat memandangnya dengan penuh iba. Beliau tahu betul tirta pawitra memang tak pernah ada, dan mustahil bisa ditemukan oleh manusia, dan makhluk lain dari jenis apapun. Dihampirinya Bratesena dan berkata-tanya,”Hai Bratasena, apa yang kau cari di tempat sesunyi dan sekosong ini?”
Terhenyak-kejut Bratesena, ia palingkan wajah kekiri-kanan, depan-belakang, tiba-tiba saja makhluk sekecil ibu jarinya ada di depan mata. “Siapakah kau ini?” ia tak menjawab dan balik bertanya.
“Ketahuilah Bratasena, akulah yang disebut Dewaruci, yang tahu segalanya tentang dirimu, yang keturunan hyang Guru dari hyang Brahma, kehadiranmu di sini atas perintah gurumu dahyang Dronauntuk mencari Tirtapawitra yang tak pernah ada”.
“Oh, dewa jagad batara, ampunilah hamba, manusia lancang tiada etika, tunjukkanlah cahaya utama di kegelapan bimbang dan ragu hamba, akupun tak tahu apa yang sedang ku cari karena wujudnya pun tak pernah tahu, bahkan aku pun sampai lupa siapa sebenarnya diriku kini”, memelas Bratasena dihadapan Dewaruci.
“Hanya ketiadaan di sini, sebuah keniscayaan mengharap wahyu suci nan tama [luhur], hanya kesia-sianlah mencari tanpa tahu tujuan, tanpa dasar, bakti membuta bisa menyesatkan” lanjut Dewaruci. “Oh dewa jagad batara, tahu hamba di mana salah, berbuat tanpa mengetahui sangkan paran”, hanya pada Mu lah aku berserah raga”.
“Jika demikian ucap katamu wujudkan kesungguhan mu, bersatulah dengan ku, masuklah ke dalam diriku !”, sang Dewaruci memberikan perintah. Bratasena terdiam seribu bahasa, tertegun dan seakan tak percaya. Dia berpikir bagaimana mungkin tubuhnya yang sebesar gunung Semeru, bisa masuk ke tubuh sekecil ibu jarinya.
Melihat Bratasena berkecamuk dalam kebimbangan, sang Dewaruci melanjutkan perkataannya,“Bratasena, jangan biarkan pikiran menguasai dirimu, Karena pikiran akan menjadikan penghalang, lepaskan dalam kasunyatan. Aku beri penjelasan, kamu tak ubahnya satu titik dalam semesta. Dan akulah semesta, semua alam yang ada bisa masuk dalam diriku”.
Mendengar ucapan sang Dewaruci, Bratasena tersentak dalam lamunan pikirannya. Saat itu juga hilanglah segala keraguan yang menguasai jiwa. “Wahai paduka, maafkan hamba manusia bodoh penuh nestapa, yang masih perlu petunjuk untuk menempuh jalan. Lewat manakah hamba harus memasuki tubuh paduka?”
“Masuklah kamu lewat kuping kiriku, dan ingat, katakanlah segala apa yang kamu lihat setelah masuk ke dalam tubuhku!” Sang Dewaruci memberi petunjuk. Secepat kilat Bratasena meloncat memasuki kuping kiri Dewaruci. Seakan masuk dalam sebuah pintu yang begitu lebar, baru beberapa tapak langkah ia saksikan samudera luas tanpa batas, tak tahu lagi arah, mana selatan, timur,barat dan utara. Dalam kebingungannya Bratasena mendengar suara, “ Jangan kamu takut, dan cemas, yakinlah dalam kebimbangan kamu akan temukan pertolongan dewata”. Suara itu seakan membimbingnya, suara itulah guru sejati yang tetap ada di saat seorang murid membutuhkan.
Tak lama kemudian, suara itu hilang, sang Dewaruci menampakkan diri. Bratasena melihatnya, karena hati dan tekadnya mantap pada sang guru sejati. Keyakinan hatinyalah, mengantarkan Bratasena menemukan arah, setelah itu tampak sinar terang memancar menerangi tubuhnya, disusul cahaya warna putih, hitam, kuning, dan merah. Semakin jauh Bratasena masuk dalam lingkaran cahaya, dia merasa terkejut tiba-tiba saja cahaya itu lenyap dan kini muncullah sorot cahaya delapan warna, ada ratna bercahaya, maya, terang menyala. Dan seperti sebelumnya cahaya itu kemudian menghilang. Rasa bingung sempat menghinggapi Bratasena, tapi ditekannya dalam-dalam. Kini tampaklah cahaya berwarna gading terang menyala berputar-putar dan lambat laun berbentuk boneka gading. Ada penasaran yang cukup besar dalam hatinya, karena ketidak mengertian segala apa yang telah dialami dan dilihatnya.
“Duh, dewa jagad batara, paduka katakan pada hamba untuk menceritakan segala apa yang aku lihat, dan apa arti dari semua cahaya itu, berikanlah segala kemurahan untuk menjelaskan pada hamba Mu yang bodoh ini!”
“Ketahuilah Bratasena, cahaya yang pertama kamu lihat itulah yang disebut sebagai Pancamaya, pembimbing manusia untuk mempunyai sifat mulia, cahaya itu terdiri dari lima warna seperti yang kau saksikan. Karena tempatnya yang ada di lubuk ‘hati’ [: makna rohani] maka Pancamaya adalah gambaran dari segala isi hati pembungkus dari wadag [badan],melambangkan lima indera [mata,hidung,kuping,lidah dan kulit]yang bisa memunculkan keinginan “baik dan buruk”. Sedangkan cahaya yang terdiri dari empat warna disebut warna hati, itulah nafsu yang selalu menyertai manusia.
Bratesena mendengar dengan seksama setiap wejangan kwaruh begja yang diberikan padanya. Melihat kesungguhan manusia di depannya, Sang Dewaruci melanjutkan bertutur, ”Bratasena anakku, setiap cahaya memiliki arti tersendiri, warna hitam adalah cahaya yang bisa membangkitkan rasa amarah, warna merah mendorong munculnya emosi pada manusia, warna kuning bisa mengakibatkan manusia memiliki rasa keinginan, dan warnah putih adalah warna yang bisa mengantarkan manusia menuju budi-nya. Kuasailah dan menangkanlah cahaya berwarna putih ini, dan apabila bisa kau kuasai, menjadikan mu waskita, menembus ruang-batas semesta. Tapi tentunya semua tidaklah mudah, Kamu harus mengalahkan ketiga warna cahaya, merah,hitam,dan kuning, karena cahaya itulah warana:[bhs jw: penghalang]”.
“Duh sanghyang kang murbeng dumadi, sedikit terceralah hamba, tapi apa maksud dari cahaya delapan warna, yang hamba lihat?” hilangkan haus – dahaga hamba !” Terlihat mimik Bratasena menghiba. Sejenak sang Dewaruci terdiam, perlahan bibir nya bergerak, dan melanjutkan wejangannya.
“Baiklah akan aku selesaikan penjelasanku pada mu, cahaya delapan warna itu tak lain dan tak bukan adalah kesejatian yang tunggal, keseluruhan dari isi semesta, ada dalam dirimu dan makhluk ciptaan lainnya. Tak adalah kemudian beda antara jagad cilik dan jagad gedhe [buana alit-buana agung]. Dan, cahaya terang berputar berwarna gading, berbentuk boneka menyerupai mu tak lain adalah sang pramana atau sang suksma,rasa sejati yang menghidupkan, dan merawat raga manusia, ia lepas dari rasa lapar dan kenyang, susah dan senang”.
Kepala Bratasena manggut-manggut, tapi dibalik itu, terlihat raut mukanya yang masih menyimpan rasa ingin tahu begitu dalam. Terlanjur basah, dia berpikir untuk mendapatkan pengetahuan selengkap-lengkapnya, ibaratkan mebaca buku dia harus bisa dapatkan epilognya. Sekali lagi, pertanyaan pun terlontar dari bagian tubuh yang bernama mulut.
“Jelaslah kini hamba, tapi apa yang dimaksud dengan rasa sejati? Bagaimanakah wujudnya? Maafkan atas kelancangan dan kebodohan hamba?” Sang Dewaruci tertegun mendengar pertanyaan Bratasena, tapi beliau memberikan apresiasi yang begitu dalam akan kesungguhan Bratasena untuk menemukan rasa sejati. Dan memang hanya orang-orang yang bersungguh-sungguh mencarilah yang akan menemukan rasa sejati [jumbuhing kawula gusti}, seperti apa yang terungkap dalam Q.S, Al Isyiqaaq : 6,
…Hai manusia sesungguhnya kamu selalu bekerja keras menuju Tuhan mu, maka kamu akan menemuinya…
“Baiklah Bratasena, akan aku jelaskan padamu. zat sejati yang kamu cari itu tidak berbentuk, tidak terlihat,namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini. Zat sejati akan kamu temukan, setelah memahami segala sebab kegagalan dari laku – tirakat dan mampu untuk bertahan dari segala durgama [godaan]. Di saat itulah dengan sendirinya sang suksma akan datang menemui mu. Dan selanjutnya kamu akan hidup dengan sang sukma sejati. Tapi sekali lagi ingatlah Bratasena! Pengetahuan ini tidak untuk hanya sekedar tahu, ibarat mata memandang keindahan tanpa tahu kebesaran dan keagungan dibaliknya. Jalankan! Lakukan! Dan berbuatlah! Dan jangan di bicarakan saja, layaknya orang berebut kebenaran atas dasar akalnya”.
Wejangan pengetahuan Sang Dewaruci membuat Bratasena semakin kesengsem, tak ingin rasanya keluar dari suasana yang serba nikmat,damai tiada sedih,takut,sengsara, tak bisa lagi diungkapkan oleh kata-kata. “ Duh dewa, biarkan hamba tinggal ditempat ini, rasanya hamba tak ingin lagi keluar ke alam asal hamba” memelaslah Bratasena penuh harap.
“Wahai Bratasena, itu tidak boleh terjadi, iku tan kena, yen ora lan antaka: [bhs jawa: itu tak boleh terjadi, sebelum meninggal dunia]”, Dewaruci mengingatkan Bratasena, lebih lanjut beliau memberikan wedharan pengetahuan, sebelum akhirnya menyudahinya. Dipeluknya tubuh Bratasena, beliau bisikan rahasia dari segala rahsa. Laiknya bunga matahari merekah, harum bagai campaka, terpancarlah sinar terang di wajah Bratasena, tak ada keindahan dunia yang bisa dibandingkan dengan pancaran wajahnya. Dan tiba-tiba Secepat kilat menyambar, Bratasena sudah keluar dari tubuh Marbyudyengrat, sepi ditepi lautan. Sendiri dimana kali pertama ia berada, hanya nyanyian ombak, setianya sang bayu membelai wajah dan tubuhnya yang basah oleh rintik air lautan, Bratasena sudah di alam nyata. Ia langkahkan kaki menyusuri belantara kehidupan sebelum nantinya menuju jumbuhing kawula gusti [bersatunya manusia dengan Tuhannya], seperti pengetahuan yang telah di wedharkan [diajarkan]padanya.