"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Selasa, 23 September 2008

Qasidah Al Burdah

Source Link :
http://agiston.wordpress.com/

Qasidah Al Burdah
July 26, 2008 - 3 Responses

مولاي صل وسلم دائما أبدا
على حبيبك خير الخلق كلهم

محمد سيد الكونين والثقلين
والفريقين من عرب ومن عجم

Maula ya shalli wa sallim da iman abadan
-O God send prayer & peace, for always & forever

‘Ala habibika khayril khalqikullihimi
-Upon the one you have loved, the best from all of creations

Muhammadun, Sayyidul kaunayni wa tsaqalayn
-Muhammad SAW, Prince of the two worlds & the two beings

Wal fari qaini min ‘urbin wa min ‘ajami
-And of all people from amongst the Arabs & the non Arabs

Uzitafilla hilam tuhzam walam tahimi
-Nothing deterred you, no defeat, no loss

Hatta ghadat Ummatal Islami finn nujumi
-Until this community of Islam was set amongst the stars

Habiballah Rasulullah Imamal Mursalin
-Beloved of Allah, Messenger of Allah, Imam of the Prophets

Saraitamin haramil lailan idza haramain
-You journeyed from one sanctuary by night to another sanctuary

Kama saral badru fidaajin minal ulamin
-As the full moon travels through intense darkness

Wabi tatan qaila ahnil taman zilatan
-And you kept ascending until you reached a position

Min qabiqau saiyilam tudrat walam turabi
-At a distance of two orbits as had never been attained nor has been sought

Huwal habibul ladhi turja shafa’atuhu
-Beloved by Allah is he upon whose pleading we depend

Likulli hawlin minal ahwali muqtahami
-From terrors of the Day of Judgement,which on us descend

Tsummar ridha ‘an Abi Bakrin wa ‘an ‘Umarin
-Then we ask You to be pleased with Abu Bakar and Umar

Wa ‘an ‘Aliyyin wa ‘an ‘Utsmana dzil Karami
-’And Ali and ‘Utsman the generous one

Ya Rabbi, bil Mustafa balligh maqasidana
-’O my Lord! with Al Musthafa (The Elect One, Rasulullah SAW) make us attain our goals

Waghfirlana ma mada ya Wasi’al Karami
-And forgive us for what has passed, O The Most Munificent One!

Doa berbentuk syair ini disusun oleh Syeikh Muhammad Al Bushairi yang hidup pada abad ke-7 H. Beliau adalah seorang ulama Tarekat Syadziliyah. Syair ini disusun ketika beliau yang jatuh sakit hingga lumpuh. Beliau bermimpi berjumpa Rasulullah SAW dan Rasulullah sendiri yang melengkapi syair yang sedang disusun itu. Dengan mukjizat Rasulullah SAW beliau sembuh dari penyakitnya. ‘Al Burdah’ berarti: Jubah Kebesaran Rasulullah SAW.

Syair ini sangat populer. Salah satunya versinya dibawakan oleh Mesut Kurtis, seorang artis Macedonia:

http://www.youtube.com/watch?v=yJQgVYG7ELE

Artikel lain:

* Al Bushiri Shohibul Burdah http://sachrony.wordpress.com/h2007/08/27/al-bushiry-shohibul-burdah/
* Apakah Engkau Benar-benar Kenal Nabimu? http://www.ikhwan-global-locus.info/?module=serba&act=detail&id=58


Source Link :
http://www.al-hasani.com/melayu/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=15

Pengabadi keluhuran Nabi lewat puisi


مولاي صل وسلم دائما أبدا ÷ على حبيبك خير الخلق كلهم
“wahai Tuanku !
sholawat dan salam sudi Engkau limpahkan
selalu kepada kekasih-Mu
sebaik-baik mahluk yang Engkau titahkan

Pelantun puisi sanjungan atas Nabi ini bernama lengkap Syaikh al-Imam, al-Alim Syarafuddin Abu Abdullah, Muhammad bin Sa'id bin Hammad bin Muhsin bin Abdullah bin Shonhaj bin Hilal al-Shonhaji. Tentang kapan dan di mana ia dilahirkan, Imam Suyuthi dalam kitab “Khusnul Muhadloroh”menuturkan : “Syarafuddin Muhammad bin Sa'id bin Hammad, yang berasal dari Maghrib, hidup di kota Bushir ini dilahirkan di kota Dallas pada tahun 608 Hijriyah.
Penulis burdah yang sangat fenomenal ini kadang-kadang juga disebut al-Dallashiri. Satu sebutan yang merujuk pada asal kedua orang tuanya, yaitu Dallas dan Bushir satu daerah di wilayah Shaid (daerah selatan Mesir). Tapi di kemudian hari ia lebih terkenal dengan Bushiri.

Tentang Dallas dan Bushir
Dallas adalah nama suatu perkampungan yang pada masa Mesir kuno disebut dengan Habi. Pada masa Kristen Orthodoks namanya berganti menjadi Taa laas, kemudian diarabkan menjadi Dallas. Ibnu Khaldun berkata: “Dallas tempo dulu terletak di sepanjang sungai nil ". Pendapat ini dikukuhkan dengan perkataan Raja Batlimus yang menyebut Dallas dengan Nilobulis, artinya Madinat al-Nil (kota di sungai Nil ). Tersebut dalam kitab “Mu'jamul Buldan “ bahwa Dallas adalah termasuk salah satu kota di Wilayah Sha'id, Mesir, yang terdiri dari beberapa perkampungan yang cukup luas. Ia masuk dalam wilayah Kaurah al-Bahnasi.
Al-Idrisi berkata: “Dallas adalah suatu kota kecil yang sangat ramai sekali, sebagai pusat pabrik besi dan bermacam-macam industri yang lain. Di kota Dallas juga diproduksi kendali kuda al-Dalllashiyyah, di ambil dari nama kota Dallas. Abu Shalih al-Armini menambahkan, di kota Dallas, ada sebanyak tiga ratus tukang besi yang semuanya memproduksi kendali kuda. Oleh karena itu pada masa pertengahan terkenal dengan sebutan Dallas al-Lujum.

Tentang kota Dallas, lebih lanjut Ibnu Khauqal menuturkan : “Kota Dallas pada masa Kristen Orthodoks (Mesir kuno) merupakan kota yang sangat ramai dan padat penduduknya, hanya saja sekarang (di masa Ibnu Khauqal) tidak lagi menjadi kota besar, setelah bangsa Barbar dari Maroko, dibantu sebagian orang-orang Arab yang berhati jahat telah menguasainya, memporak-porandakan apartemen–apartemen yang megah, yang tersebar di seluruh penjuru kota. Akhirnya mayoritas penduduknya mengungsi, dan tinggal kelompok minoritas yang tetap mempertahankan kota Dallas.
Ada kemungkinan, sebagaimana tersebut dalam kitab “Al-khuthat al-Taufiqiyyah”, kakek Syarafuddin datang bersama-sama bangsa Barbar dari Maroko ke kota Dallas.
Sementara itu, kota Abu Shir yang telah menjadi nisbat Imam Syarafuddin adalah kampung halaman ibundanya, yaitu suatu perkampungan yang di masa Mesir kuno bernama Amdu Mahit, yang artinya Abidusy al-Syamaliyyah (Abidusy Utara) untuk membedakan Abidusy bagian selatan, yang terkenal saat itu dengan sebutan Al-Markaz al-Balina (Markas Balina). Pada masa Baltimus nama Abu Shir adalah Bus Aris artinya tempat tinggal Tuhan Aururis. Dan pada masa Kristen Orthodoks adalah Bushir, sedang dalam bahasa Arab adalah Abu Shir. Pada abad 19 kota ini terkenal dengan sebutan Abushir Almalaq, karena berlokasi di Wilayah al-Malaq.

Imam Bushiri sang penyair
Kepakaran dan ketenaran Imam Bushiri dalam bidang syair bukan hanya diakui masyarakat pada zaman sekarang. Ketika orang hendak melantunkan sanjungan atas baginda Nabi maka yang terlintas dalam benak adalah untaian qasidah yang menjelma lewat tangan dingin Imam syair sepanjang zaman ini.
Adalah Imam al-Shihab bin Hajar, rupanya ia tidak rela untuk tidak turut menyanjung Imam Bushiri : “Imam Bushiri telah mendapatkan limpahan dari Allah SWT berupa keahlian yang cemerlang di bidang syair, sajak dan natsar atau prosa ", begitu ia mengungkapkan suatu ketika. Lebih lanjut ia mengatakan : "Kalau saja karyanya, hanyalah Qashidah Burdah yang terkenal itu, maka itu sudah cukup menjadi suatu kebanggaan. Sebab ia juga mempunyai karya Qashidah Hamziyyah yang indah ". Dan memang qashidah Burdah ini banyak didendangkan, dikaji di rumah-rumah, di masjid-masjid dan tempat perayaan. Oleh karena itu tak ayal lagi keharumanya semakin semerbak.
Rasanya kurang afdol menuturkan keharuman nama Imam satu ini tanpa menelisik perjalanan karirnya hingga menjadi sebuah nama yang demikian tenar. Sebelum menekuni dunia sastra Syarafuddin pernah menjabat sekretaris di bidang perpajakan di Wilayah Bilbis, propinsi Syarqiyyah yang merupakan awal profesinya. Namun jiwa kesufiannya memberontak ketika melihat teman sejawatnya mayoritas bermental korup. Keadaan seperti ini memaksanya menjauhkan diri dari hal-hal yang berbau keduniaan, termasuk profesinya itu dan dunia sufi menjadi alternatif satu-satunya. Di 'dunia' yang baru ini ia menitinya untuk meraih cinta dan kedekatan dengan Yang Maha Asih. Pengalaman pahit saat menjadi pegawai negeri sipil membuatnya membuat sajak: “Aku diuji dalam barisan abdi bangsa, namun tak kutemui seorangpun yang bisa dipercaya”.
Rupanya 'dunia pengabdian tulus kepada Tuhan' semakin bulat ia masuki. Kota Bilbis ia tinggalkan unutk selanjutnya menuju sebuah kota wali kesohor yaitu Iskandariah untuk menimba ilmu pada Syaikh Abu Abbas al-Mursi. Ali Mubarok dalam bukunya “Al-khutat al-Taufiqiyyah “ berkata; “Imam Bushiri dan Ibnu Atho' al-Sakandari adalah anak didik Syaikh Abu Abbas al-Mursi. Kemahiran di bidang syair dimiliki Imam Busiri, dan kepakaran di bidang natsar ada di tangan Imam Ibnu Atho' al-Sakandari.
Syarafuddin al-Bushiri adalah murid yang rajin, selau hadir dalam majlis pengajian sang guru. Berkat ketekunannya itu Allah menganugerahi kematangan dalam beragama, kedalaman ilmu, kewiraian dan kewalian. Hal ini berpengaruh dalam sajak-sajaknya yang lebih bercorak sufistik dan lebih khusus lagi bertema tentang penyanjungan pada Baginda Nabi Muhammad SAW.
Atasi problem yang menimpamu dengan akal budimu, dan ketika itu tidak memadahimu pahami dengan himah kebijaksanaanmu. Dan ketika itupun tak terjangkau maka serahkan segalanya pada Yang Mahaesa. Begitulah petuah bijak dunia sufi. Dan begitulah yang dirasakan dan dijalani oleh tokoh ini. Sebagai manusia biasa ia pernah mendapatkan ujian dari Allah berupa penyakit "falij " atau lumpuh, yang mengakibatkan tidak berfungsinya sebagian organ tubuhnya. Ahli medis sudah angkat tangan tidak bisa mengobatinya. Maka ia berfikir untuk merangkai sajak dengan segudang harapan semoga dengan sajaknya itu Allah berkenan melimpahkan kesembuhan penyakitnya. Setelah ia selesai merangkai bait-bait Qasidah-nya, ia bermimpi bertemu dengan Baginda Nabi Muhammad SAW. Dalam mimpinya itu baginda Nabi mengusapnya dengan kedua tangan beliau yang mulia. Dan ketika terjaga penyalit yang menimpanya itu telah benar-benar sembuh. Allah telah berkenan menyembuhkannya.
Dalam kitab “al-Natakhat al-Syaziliyyah fi syarhi al-Burdah , Imam Hasan al-Nadawi berkata; “Alkisah, setelah kejadian itu Imam Bushiri keluar dari rumahnya. Di jalan ia bertemu dengan seorang laki-laki shalih yang memintanya membacakan sajak–sajaknya. Maka terkejutlah ia mendengar permintaan itu. Karena ia memang belum pernah bercerita pada siapapun, perihal sajaknya yang baru itu. Dengan nada heran al-Bushiri balik bertanya; “Dari mana Anda mengetahui sajak-sajak saya?”, Orang itu menjawab: “Aku mendengarnya tadi malam di kala engkau membacanya di hadapan Baginda Rasul”, mendengar jawaban lelaki itu Bushiri segera memberikan sajak itu kepadanya. Kemudian Imam Bushiri berkata: "Setelah aku membacakan pada laki-laki tersebut, ia segera meninggalkan aku".
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Imam Bushiri dipanggil menghadap Shahib Bahauddin, seorang menteri Raja Dhahir Bibres al-Bun Daqori, yang memintanya membacakan Qasidah-nya, yang berisikan sanjungan pada Baginda Rasul. Sang menteri berjanji akan mendengarnya dengan berdiri, dan tanpa tutup kepala demi menghormat Nabi. Imam Bushiripun segera membacakannya dan menulisnya dengan tangannya sendiri. Diceritakan bahwa tulisan tersebut selalu disimpan oleh menteri tersebut untuk dibaca, kadangkala untuk tabarruk-an , lebih-lebih ketika ada sesuatu yang penting. Hal itu dilakukan oleh sang menteri, sampai ia meninggal dunia. Setelah sang menteri tersebut meninggal dunia, tulisan tersebut selalu dijaga rapi oleh putranya.
Shahib Bahauddin bin Hana adalah orang yang wira'i. Ia gemar membeli peninggalan–peninggalan Nabi dari Bani Ibrahim di kota Yanbu'. Demi menimpan dan menjaga koleksinya ini ia membangun bangunan khusus yang memanjang dekat sungai Nil. Daerah tersebut sekarang terkenal dengan sebutan Atsarun Nabi.
Qasidah Imam Bushiri yang berisikan sanjungan pada Baginda Nabi terkenal dengan sebutan al-Burdah , tetapi sebetulnya nama yang lebih sesuai adalah al-Baro'ah, karena pengarangnya dibebaskan dari penyakit lumpuh. Adapun Burdah adalah sebauh Qashidah tulisan Ka'ab bin Zuhair yang berisikan penghinaan kepada Baginda Rasul sebelum dia masuk Islam. Maka Nabi pun mengurungkan untuk membunuhnya setelah dia datang bertaubat ke Masjid Nabawi, dan sambil membacakan Qasidah-nya yang permulaannya berbunyi:


بانت سعاد فقلبي اليوم متبول ÷÷÷ متيم أثرها لم يفد مكبول

وقد نبئت أن رسول الله أوعدني ÷÷÷ والعفو عند رسول الله مأمول.


“Suad telah tega meninggalkanku
dan kini aku menjadi gila
tak mampu menahan diri
namun bayangnya tak jua sirna

aku dengar janji
dari baginda Nabi
hanya ada asa
tuk meraih ampunnya
Maka Nabi pun mengampuninya sambil melepaskan burdah-nya yang mulia. Dari cerita ini Qasidah Ka’ab bin Zuhair terkenal dengan sebutan Burdah. Banyak pula beredar kitab Burdah yang tertera dengan sebutan al-Baro’ah (dibebaskan) sebagaimana yang telah dialami oleh Imam Bushiri sendiri.
Ada sedikit cerita, ketika Imam Bushiri merangkai Qasidah-nya, ia menemukan kesulitan setelah sampai pada kalimat


فمبلغ العلم فيه أنه بشر .

Pada saat itu baginda Nabi berkata “Bacalah, teruskan !". Imam Bushiri menjawab; “Aku tak mampu menemukan bait setengahnya, maka Nabi bersabda padanya;

وأنه خير الخلق كلهم.

Jumlah bait-bait Qasidah ini ada seratus enampuluh. Di dalamnya terdapat beberapa fasal yang mengandung sanjungan pada Baginda Nabi, perjuangan Nabi, dan tawassul kepada Nabi. Banyak para penyair yang mengikuti jejak Imam Busiri dalam merangkai syair, dengan mengikuti lirik lagu Imam Bushiri. Di antaranya adalah al-Syauqi, (sang pangeran para penyair) dalam Qasidah-nya, “Nahju al-Burdah”.

Wafatnya Imam Bushiri
Sebagaimana penuturan Imam Suyuthi, Imam Bushiri meninggal pada tahun 696 hijriyyah. Makamnya ada dalam komplek masjid Imam Bushiri yang berlokasi di kota Iskandariah berhadapan dengan Masjid Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi. Masjid Imam Bushiri, dahulunya adalah sekedar zawiyyah (bagian ruangan dari ruangan besar) yang cukup kecil. Beberapa waktu kemudian diadakan penambahan, perluasan sehingga seperti sekarang ini. Bentuk bangunan yang ada sekarang merujuk pada seni gaya bangunannya pada tahun 1274 H.[]

Source Link:
http://ahmadiftahsidik.blogspot.com/2007/03/maulid-nabi.html

Maulid Nabi
Kelahiran Sang Nabi Dalam Untaian Puisi

Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhuran budinya, dengan segala keterbatasan para ulama pecintanya merangkum saat-saat kelahiran dan akhlaqnya dalam untaian puisi yang indah.

Bulan Maulid telah tiba. Seluruh dunia menyambutnya dengan gegap gempita. Ada yang menggelar pengajian, ada yang menyelenggarakan selamatan dan tumpengan. Bahkan ada yang menggelar prosesi besar-besaran selama hampir sebulan, seperti tradisi Grebeg Maulud di Keraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kasultanan Cirebon. Semuanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas kelahiran utusan-Nya, Muhammad SAW.

Dari berbagai tradisi merayakan kelahiran Rasulullah SAW tersebut, ada sebuah ritus yang nyaris seragam di semua tempat, yakni pembacaan kisah kelahiran sang nabi. Berbeda dengan sirah (biografi) dan tarikh (sejarah) karya sejarawan, kisah-kisah kelahiran Nabi yang dikenal dengan nama Maulid – atau dalam budaya Betawi disebut Rawi – itu berupa puisi panjang yang digubah oleh para ulama besar yang juga ahli syair.

Ada beragam jenis Maulid. Ada yang digubah dalam lirik-lirik qashidah murni yang indah, seperti Maulid Burdah, oleh Imam Muhammad Al-Bushiri, dan Maulid Syaraful Anam. Ada pula yang bercorak prosa lirik yang dipadu qashidah, seperti Maulid Ad-Diba’i, karya Al-Imam Abdurrahman bin Ali Ad-Diba’i Asy-Syaibani Az-Zubaidi; Maulid Azabi, karya Syaikh Muhammad Al-Azabi; Maulid Al-Buthy, karya Syaikh Abdurrauf Al-Buthy; Maulid Simthud Durar, karya Al-Habib Ali bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi; dan yang mutakhir Maulid Adh-Dhiya-ul Lami’, karya Al-Habib Umar bin Hafidz dari Hadhramaut.

Ada pula ulama pujangga yang menyusun dua Maulid dalam dua model berbeda, seperti Syaikh Ja’far bin Hasan bin Abdul Karim Al-Barzanji al-Madani, penyusun Maulid Barzanji. Maulid karya khatib Masjid Nabawi (Madinah) yang wafat pada 1177 H/1763 M itu disusun dalam dua model: natsar (prosa lirik) yang terdiri atas 19 bab dengan 355 bait, dan nazham (qashidah puitis) berisi 16 bab dengan 205 bait.

Meski dengan corak penyusunan beragam, setiap karya Maulid memiliki kesamaan: mengandung keunikan dalam gaya dan irama yang khas, serta penuh metafora dan simbol. Dalam kajian sastra Arab, keunikan itu disebut Al-Madaih al-Nabawiyah, puisi-puisi sanjungan kenabian. Meski isinya sering kali disalahpahami oleh kalangan penentang Maulid sebagai kemusyrikan, metafora dan simbol dalam Maulid justru merupakan kekuatan dalam memunculkan kerinduan dan kecintaan umat pembaca kepada Nabi junjungannya.

Meski tidak sama persis, ada kesamaan lain dari Maulid-maulid tersebut. Yakni dalam pembagian kisah yang biasanya terdiri dari kisah penciptaan Nabi Muhammad SAW, kisah kehamilan ibunda sang Nabi, berbagai keajaiban menjelang kelahiran beliau, sosok dan kepribadian Rasulullah SAW, serta kiprah dakwah beliau.

Nur Muhammad
Beberapa Maulid juga menambahkan bagian-bagian yang tidak ada pada Maulid lainnya sebagai kekhasan. Misalnya, pencantuman silsilah Rasulullah SAW hingga Nabi Ibrahim AS dalam maulid Barzanji, atau pengutipan hadits-hadits tentang Nur Muhammad dalam Simthud Durar, dan tentang keutamaan Rasulullah dan umatnya dalam Ad-Diba’i.

Sebagai bagian dari karya sastra, penambahan-panambahan itu pun dirangkai dalam kalimat kalimat indah yang bersajak. Tengok, misalnya, pohon silsilah Nabi yang dirangkai oleh Syaikh Ja’far Al-Barzanji dalam Maulid-nya yang berjudul asli Qishshah al-Maulid an-Nabawi (Kisah Kelahiran Nabi). “Wa ba’du, kukatakan bahwa junjungan kita Nabi Muhammad SAW adalah putra Abdullah, putra Abdul Muthalib, yang nama aslinya ialah Syaibatul Hamd, karena budi pekertinya yang sangat terpuji. (Abdul Muthalib) adalah putra Hasyim, yang nama aslinya Amr, putra Abdu Manaf, yang nama aslinya Al-Mughirah, yang telah berhasil mencapai kedudukan yang sangat tinggi...”

Lebih indah lagi, bab nasab itu ditutup dengan serangkaian qashidah yang menawan.

Nasabun tahsibul ‘ulâ bihulâh,
qalladathâ nujûmahal jawza-u

(Inilah untaian nasab yang dengan berhias namanya menjadi tinggi,
laksana kecemerlangan bintang Aries di antara bintang-bintang yang membuntuti).

Habbadzâ ‘iqdu sûdadiw wa fakhâri,
anta fîhil yatimatul ‘ashma-u

(Betapa indah untaian yang sangat mulia dan membanggakan itu,
dengan dikau yang laksana liontin berkilau di dalamnya).

Rangkaian pembacaan Maulid biasanya dibuka dengan shalawat dan doa yang dirangkai dalam bentuk qashidah nan indah. Pembacaan Maulid Diba’ dan Barzanji, misalnya, selalu diawali dengan syair berikut:

Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Ya Rabbi shalli ‘alaihi wa sallim
Ya Rabbi balligh-hul wasîlah
Ya Rabbi khush-shah bil fadhîlah

(Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad.
Wahai Tuhan, tetapkanlah limpahan rahmat dan kesejahteraan kepadanya.
Wahai Tuhan, sampaikanlah kepadanya sebagai perantara.
Wahai Tuhan, khususkanlah kepadanya dengan keutamaan).

Sedangkan Simthud Durar dibuka dengan syair:

Ya Rabbi shalli ‘alâ Muhammad
Mâ lâha fil ufuqi nûru kawkab

(Wahai Tuhan,
selagi cahaya bintang gemintang masih gemerlapan di kaki langit,
tetapkanlah limpahan rahmat kepada Nabi Muhammad).

Seluruh ungkapan dalam Maulid memang disusun dengan bahasa sastra yang sangat tinggi. Dalam disiplin ilmu balaghah (paramasastra bahasa Arab), penyimbolan dan metafora (tasybih) dalam Maulid sudah masuk kategori baligh, tingkatan metafora tertinggi.

Qashidah lain yang sangat populer dan sangat baligh terdapat dalam Maulid Barzanji:

Anta syamsun anta badrun
Anta nurun fawqa nuri

(Engkaulah surya, engkaulah purnama.
Engkau cahaya di atas cahaya)

Dalam tradisi sastra Arab, syair tersebut bernilai tinggi justru karena menghilangkan sebagian unsur kalimatnya. Jika dilengkapi – yang berarti menurunkan kualitasnya – kalimat tersebut bisa berbunyi...

Anta kasy-syamsi fi tanwiri qulubin nas
Anta kal badri fil taksyifi zhulamiz zamani
Anta fil anbiya-i ka nurun fawqa nuri

(Engkau laksana surya, dalam menyinari hati manusia.
Engkau laksana purnama, dalam menyingkap kegelapan masa.
Di antara para nabi, Engkau laksana cahaya di atas cahaya).

Keindahan lain juga terkandung dalam pengisahan proses penciptaan ruh Nabi Muhammad SAW, yang diyakini berasal dari pancaran cahaya Ilahi. Karena itulah bentuk awal penciptaan Rasulullah disebut nur Muhammad, yang diciptakan sebelum penciptaan alam semesta raya. Bahkan diceritakan oleh para ahli hikmah, karena Muhammad-lah Allah menciptakan alam semesta ini.

Syaikh Al-Barzanji melukiskannya dengan ungkapan Huwa akhirul anbiya-i bi shuratihi wa awwaluhum bi ma’nah (Beliau adalah nabi terakhir dalam wujud, namun nabi pertama secara maknawi). Sedangkan Dhiya-ul Lami’ menggambarkannya berupa dialog ketika Rasulullah ditanya oleh seseorang, “Sejak kapankah kenabianmu?” Beliau bersabda, “Kenabianku sejak Adam masih berupa air dan tanah.”

Masih tentang hal yang sama, Habib Ali Al-Habsyi dalam Simthud Durar mengutip hadits Abdurrazzaq dari Jabir bin Abdullah Al-Anshari, bahwasanya ia pernah bertanya, “Demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah, beritahukanlah kepadaku tentang sesuatu yang pertama diciptakan Allah sebelum yang lain.” Maka jawab Rasulullah, “Wahai Jabir, sesungguhnya Allah telah menciptakan nur nabimu, Muhammad, dari nur-Nya sebelum menciptakan sesuatu yang lain.”

Penggambaran tentang penciptaan nur Muhammad ini dengan indah dilukiskan oleh kakek (alm.) Habib Anis, Solo, dengan ungkapan, “Pecahlah ‘telur’ penciptaan-Nya di alam mutlak yang tak berbatas ini. Menyingkap keindahan yang bisa disaksikan pandangan mata, mencakup segala kesempurnaan sifat keindahan dan keelokan. Dan berpindah-pindahlah ia dengan segala keberkahan, dalam sulbi-sulbi (punggung) dan rahim-rahim yang mulia. Tiada satu sulbi pun yang menyimpannya, kecuali beroleh nikmat Allah nan sempurna.”

Arsy Pun Berguncang
Sementara Maulid Diba’ menggambarkannya dengan lebih mendetail melalui periwayatan Sayyidina Abdullah bin Abbas RA. Dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya ada seorang Quraisy yang ketika itu masih berwujud cahaya (nur) di hadapan Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, dua ribu tahun sebelum penciptaan Nabi Adam AS, yang selalu bertasbih kepada Allah. Dan bersamaan dengan tasbihnya, bertasbih pula para malaikat mengikutinya.

Ketika Allah akan menciptakan Adam,nur itu pun diletakkan di tanah liat asal kejadian Adam. Lalu Allah Azza wa Jalla menurunkannya ke bumi melalui punggung Nabi Adam dan Allah membawanya ke dalam kapal dalam tulang sulbi Nabi Nuh dan menjadikannya dalam tulang sulbi sang Kekasih, Nabi Ibrahim, ketika ia dilemparkan ke dalam api.

Tak henti-hentinya Allah, Yang Mahaperkasa dan Mahaagung, memindahkannya dari rangkaian tulang sulbi yang suci, kepada rahim yang suci dan megah, hingga akhirnya Allah melahirkannya melalui kedua orangtuanya yang sama sekali tidak pernah berbuat serong.”

Setiap tahapan penciptaan dan kelahiran Rasulullah memang sarat dengan keajaiban dan keluarbiasaan. Ketika Nabi masih dalam kandungan ibundanya, Aminah, Syaikh Ja’far Al-Barzanji melukiskan kesuburan yang mendadak mewarnai sekitar kota Makkah, dan hujan yang mendadak turun, setelah bertahun-tahun kemarau melanda tanah suci itu.

Berita tentang telah dekatnya kelahiran seorang calon nabi akhir zaman, rupanya telah sampai ke telinga para pendeta Yahudi dan Nasrani, juga para penyihir dan dukun. Tak mau kecolongan, mereka minta bantuan jin untuk mencuri dengar kabar dari langit. Namun, sejak kehamilan Aminah, segenap pintu langit telah dijaga ketat oleh para malaikat bersenjatakan panah berapi.

Dalam Maulid-nya, Habib Umar bin Hafidz menambahkan, “Dan ketika Aminah mengandung Nabi, ia tidak pernah merasa sakit sebagaimana lazimnya wanita yang tengah hamil.” Sementara Syaikh Abdurrahman Ad-Diba’i memilih penggambaran yang gempita dan agung, dengan sajak-sajak yang berakhiran huruf ra berharakat fathah.

Fahtazzal ‘arsyu tharaban was-tibsyâra
Waz-dâdal kursiyyu haibatan wa waqâra
Wam-tala-atis samâwâtu anwâra
wa dhaj-jatil mala-ikatu tahlîlan wa tanjîdan was-tighfâra

(Maka Arsy pun berguncang
penuh suka cita dan riang gembira.
(Sementara) Kursi Allah bertambah wibawa dan tenang.
Langit dipenuhi berjuta cahaya.
Dan bergemuruh suara malaikat
membaca tahlil, tamjid (pengagungan Allah), dan istighfar.)

Detik-detik kelahiran Nabi dilukiskan sebagai peristiwa luar biasa yang sarat kemukjizatan. Para penyusun Maulid pun berlomba mengabadikannya dengan rangkaian kalimat indah yang tak terhingga nilainya, misalnya untaian puisi dalam Maulid Diba’ seperti berikut:

Wa lam tazal ummuhû tarâ anwâ’an min fakhrihî wa fadhlihî,
ilâ nihâyati tamâmi hamlih
Falammâsy-tadda bihâth-thalqu bi-idzni rabbil khalqi,
wadha’atil habîba shallallâhu ‘alaihi wa sallama sâjidan syâkiran hâmidan ka-annahul badru fî tamâmih

(Dan sang ibunda tiada henti melihat bermacam tanda kemegahan dan keistimewaan sang janin,
hingga sempurnalah masa kandungannya.
Maka ketika sang bunda telah merasa kesakitan,
dengan izin Tuhan, Sang Pencipta makhluk, lahirlah kekasih Allah, Muhammad SAW,
dalam keadaan sujud, bersyukur, dan memuji,
dengan wajah yang sempurna, laksana purnama).

Sementara Simthud Durar menggambarkannya dengan untaian kalimat yang tak kurang indah...

“Maka dengan taufik Allah,
hadirlah Sayyidah Maryam dan Sayyidah Asiyah,
yang diiringi bidadari-bidadari surga
yang beroleh kemuliaan agung
yang dibagi-bagikan Allah
atas mereka yang dikehendaki
Dan tibalah saat yang tlah direncanakan Allah
bagi kelahiran ini
Menyingsinglah fajar keutamaan nan cerah
Terang benderang menjulang tinggi
Dan terlahirlah insan nan terpuji
Tunduk khusyu’ di hadapan Allah
Terang benderang menjulang tinggi.....”

Dalam Maulid-maulid itu juga diriwayatkan, Rasulullah SAW dilahirkan dalam keadaan telah terkhitan, mata beliau indah bercelak, tali pusarnya telah bersih terpotong – berkat kuasa kodrat Ilahi.

Habib Ali juga menukil periwayatan Abdurahman bin ‘Auf, yang bersumber dari pengalaman ibu kandungnya, Syaffa’, yang berkisah, “Pada saat Rasulullah SAW dilahirkan oleh Aminah, ia kusambut dengan kedua telapak tanganku. Dan terdengar tangisnya pertama kali. Lalu kudengar suara, ‘Semoga rahmat Allah atasmu.’ Dan aku pun menyaksikan cahaya benderang di hadapannya, menerangi timur dan barat, hingga aku dapat melihat sebagian gedung-gedung Romawi.”

Cerita kehadiran Sayyidah Maryam (ibunda Nabi Isa AS) dan Sayyidah Asiyah (istri Firaun yang juga ibu angkat Nabi Musa) saat kelahiran Rasulullah SAW, dikisahkan dalam Maulid Barzanji. Dilukiskan pula berbagai peristiwa ganjil yang menghiasi malam kelahiran beliau, seperti retaknya Istana Kerajaan Persia, banjir bandang yang melanda Lembah Samawah di Gurun Sahara, padahal sebelumnya belum pernah ditemukan air setetes pun; serta cahaya terang benderang di atas kota Makkah dan sekitarnya.

Lebih lanjut Al-Barzanji juga menceritakan kondisi bayi Muhammad sesaat setelah kelahirannya, “Nabi lahir ke dunia dalam keadaan meletakkan kedua tangannya ke bumi seraya menengadahkan wajahnya ke arah langit yang tinggi sebagai penanda ketinggian kedudukannya dan keluhuran budinya.”

Demikianlah berbagai ungkapan keindahan pada detik-detik kelahiran Rasulullah SAW dalam puisi Maulid karya ulama shalih dari zaman ke zaman. Meski tiada kata yang cukup mewakili untuk menggambarkan keluhurannya, dengan segala keterbatasannya para ulama penyair itu berusaha merangkumnya dalam serangkaian puisi indah.

Betapa beruntung orang-orang yang mencintainya dengan cara apa pun, sebagaimana ungkapan Imam Bushairi dalam Maulid Burdah-nya, “Dialah sosok yang sempurna makna dan bentuknya, yang kemudian dipilih menjadi kekasih Sang Penghembus Angin Sepoi. Pengungkapan kebaikannya terjaga dari kemusyrikan, maka mutiara keindahannya tak terbagi. Tinggalkanlah apa yang dikatakan kaum Nasrani tentang nabinya, dan pujilah ia (Rasulullah) semaumu asal masih dalam batasan hukum itu. Maka nisbatkanlah kemuliaan dan keagungan apa pun yang kau kehendaki kepadanya.”

Rasulullah SAW memang manusia biasa, namun beliau telah dipilih oleh Allah SWT untuk dianugerahi berbagai keistimewaan, yang menjadikan posisi beliau di antara umat manusia bak permata di antara bebatuan semata....

(Kang Iftah. Sumber : Maulid Ad-Diba’i, Simthud Durar, Dhiya-ul Lami’, Burdah, Barzanji)

Other Link about burdah :
http://www.deenislam.co.uk/burdah/burdah.htm

Al Fatiha

 Print Halaman Ini