Source Link :
http://blog.its.ac.id/syafii/page/6/
Ust. Muhsin al-Hamid:
Pertemuan Rasulullah dengan Kekasihnya Menghadap Hadirat Allah SWT
Allah SWT telah menentukan bahwa setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Siapa pun pasti akan ditemui oleh kematian. Tidak peduli apapun jabatan dan kedudukannya. Tua atau muda, sakit atau tidak, pria maupun wanita, jika tiba ajalnya maka tidaklah dapat dimajukan atau diundurkan walau sesaat.
Para Anbiya’ telah menghadap Allah, umat-umat terdahulu telah merasakan kematian. Tidak terkecuali Nabi kita tercinta Nabi Muhammad SAW. Sebagai hamba Allah, beliau tak luput dari kematian. Hal ini telah dinyatakan sendiri oleh Allah SWT dalam Al Quran surat Az Zumar ayat 30 (yang artinya):
“Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) akan mati dan mereka juga akan mati.”
Untuk sebagian orang, kematian dianggap suatu yang menakutkan, tetapi untuk pribadi Rasulullah SAW kematian adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu karena dengan itulah beliau berjumpa dengan Kekasihnya. Tuhan sekalian alam. Setiap kekasih akan selalu senang berkumpul dan bersua dengan yang dicintainya.
Wafat Rasulullah SAW
Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin, dan beliau wafat pada hari Senin pula. Menurut jumhur ulama’beliau saw meninggal pada hari Senin, 12 Rabiul Awwal di waktu dhuha(awal siang). Dan dikebumikan pada hari Rabu.
Hari itu hari Jumat. Rasulullah SAW jatuh sakit. Orang-orang silih ganti membesuk beliau.
Esoknya beliau masih sakit. Esoknya lagi belum sembuh. Dan seterusnya. Pada hari ke-17, hari Ahad, sakit beliau memburuk sangat. Beliau tidak kuat bangun.
Fajar merekah, Bilal r.a. mengumandangkan adzan. Seperti biasa, usai adzan, dia berjalan ke depan pintu kediaman Nabi SAW.
“Assalamu’alaika ya Rasulallah,” katanya.
“Waktunya shalat, rahimakallah.”
Beliau mendengar panggilan Bilal ini, namun Fathimah r.a. yang menyahut,
“Bilal, Rasulallah SAW hari ini udzur. Beliau tidak kuat bangun.”
Bilal masuk kembali ke dalam masjid. Ketika hari meremang, Bilal berkata pada diri sendiri,
“Demi Allah, aku tidak akan menyeru iqamat, sebelum aku meminta izin pada Rasulullah Saw.”
Dia pun kembali ke pintu rumah beliau.
“Assalamu’alaika ya Rasulallah wa barakatuh. Ash-shalah yarhamukallah (Waktunya shalat, mudah-mudahan Allah merahmatimu).”
Mendengar panggilan ini, beliau bersabda,
“Masuklah Bilal, Rasulallah SAW sangat payah, tak bisa bangun. Suruh Abu Bakar mengimami jamaah.”
Bilal keluar dari kediaman beliau sembari menaruh dua tangannya di belakang kepala.
“Duh, tolonglah Gusti. Duh, putus sudah harapan. Duh, remuk redam punggungku. Andaikan ibuku tak pernah melahirkanku. Ah, tapi dia sudah melahirkanku. Andai saja aku tidak melihat kondisi Rasulullah SAW hari ini.”
Setiba di dalam masjid dia berkata,
“Abu Bakar, Rasulullah SAW menyuruhmu mengimami shalat jamaah.”
Abu Bakar r.a. berjalan menuju ke mihrab. Dia adalah lelaki kurus. Ketika melihat tempat di mana Rasulullah SAW biasa berdiri sekarang kosong, dia tidak tahan. Dia jatuh bergedebam. Pingsan. Orang-orang langsung gaduh. Semua menangis. Rasulullah SAW mendengar suara gaduh ini.
“Ada apa kok gaduh?” tanya beliau.
“Kaum muslimin gaduh karena kehilangan Engkau, ya Rasulallah.”
Beliau memanggil Ali ibn Abi Thalib r.a. dan Ibnu Abbas r.a. Dengan bertelekan pada tubuh mereka, beliau berjalan ke luar ke masjid. Kemudian beliau mengimami slalat shubuh dengan cepat. Usai shalat, beliau memalingkan muka beliau yang bagus, menghadap ke arah jamaah.
“Kaum muslimin sekalian, aku titipkan kalian kepada Allah. Kalian akan berada di bawah perlindungan Allah dan keamanan-Nya. Allah menggantikanku bagi kalian. Kaum muslimin sekalian, hendaklah kalian tetap bertakwa pada Allah, tetap menjaga taat pada-Nya setelah kematianku. Aku akan segera meninggalkan dunia ini. Ini adalah hari permulaan akhiratku dan hari terakhir duniaku.”
Keesokan harinya, sakit beliau bertambah parah. Allah menyampaikan wahyu pada malaikat pencabut nyawa,
“Turunlah kamu ke tempat kekasih-Ku, pilihan-Ku, Muhammad SAW dengan rupa paling bagus. Cabutlah nyawanya dengan lembut.”
Maka turunlah malaikat maut. Dia berdiri di depan pintu rumah beliau dengan rupa orang Badui (pedalaman).
“Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk?”
Aisyah r.a. menoleh ke arah Fathimah r.a.
“Tolong lelaki itu dijawab.”
Fathimah berkata,
“Mudah-mudahan Allah membalas jalan Anda, wahai Abdullah (hamba Allah). Rasulullah SAW sedang udzur, sakit sangat parah.”
Lelaki di luar pintu tersebut tidak beranjak dari tempat. Dia malah menyeru seperti tadi. Aisyah berpaling ke arah Fathimah,
“Fathimah, tolong lelaki itu dijawab.”
“Mudah-mudahan Allah membalas jalanmu, tapi Rasulullah SAW sedang payah, sakit sangat parah.”
Lelaki itu kembali memanggil untuk yang ketiga kali.
“Assalamu’alaikum wahai para penghuni rumah Nabi dan tambang risalah serta tempat mondar mandirnya para malaikat. Bolehkah saya masuk? Saya memang harus masuk.”
Rasulullah SAW mendengar panggilan ini.
“Fathimah, siapa di pintu?” tanya beliau.
“Ya Rasulallah, seorang lelaki berdiri di depan pintu. Dia minta izin untuk masuk. Kami sudah jawab berkali-kali. Lalu untuk ketiga kali dia menyeru dengan suara yang membuat bulu kudukku berdiri, bergetar seluruh tubuhku.”
“Fathimah, tahukah Kamu siapa di depan pintu itu? Dia adalah penghancur kelezatan dan pemisah jamaah. Dia membuat istri-istri menjadi janda, anak-anak jadi yatim. Dia peroboh rumah-rumah dan pemakmur kubur-kubur. Masuklah rahimakallah, wahai malaikat maut.”
Maka masuklah si malaikat maut. Nabi SAW bersabda,
“Malaikat maut, engkau datang untuk berziarah atau mencabut nyawa?”
“Aku datang untuk berziarah sekaligus mencabut nyawa. Allah memerintahkan aku supaya tidak masuk ke rumahmu kecuali dengan izinmu, dan tidak mencabut nyawamu kecuali dengan izinmu. Kalau kamu izinkan, aku masuk. Kalau tidak, aku kembali pada Tuhanku.”
“Malaikat maut, di mana kau tinggalkan kekasihku, Jibril?”
“Aku tinggalkan dia di langit dunia. Sementara para malaikat lain bertakziah kepadanya untuk Baginda.”
Tak lama kemudian Jibril a.s. datang. Dia duduk di damping kepala beliau.
“Jibril, ini adalah keberangkatan dari dunia. Berilah aku kabar gembira, tentang aku kemudian Allah.”
“Pintu-pintu langit telah dihias bagus. Para malaikat berdiri berbaris memakai wewangian dan dengan ucapan selamat. Mereka hendak menyongsong ruhmu, Muhammad.”
“Hanya untuk Allah segala pujian. Berilah aku kabar gembira, Jibril.”
“Aku beri kabar gembira bahwa pintu-pintu surga telah dihias indah. Bengawan-bengawannya sudah dialirkan. Pohon-pohonnya sudah berjuntai ke bawah. Para bidadarinya telah bersolek guna menyambut kedatanganmu, Muhammad.”
“Hanya bagi Allah segala pujian. Beri aku kabar gembira, Jibril.”
“Engkau bakal menjadi orang yang pertama kali memberi syafaat, dan orang pertama yang diberi syafaat pada hari kiamat.”
“Hanya bagi Allah segala pujian.”
“Kekasihku, tentang apakah Engkau hendak bertanya?”
“Aku ingin bertanya mengenai kegundahanku. Siapakah (penjaga bagi) pembaca-pembaca Quran setelahku? Siapakah yang berpuasa bulan Ramadhan setelahku? Siapakah berhaji ke Baitullah setelahku? Siapakah umatku yang terpilih setelahku?”
“Berbahagialah, kekasih Allah, karena Allah SWT berfirman, ‘Aku telah mengharamkan surga bagi seluruh nabi dan seluruh umat samapai Engkau memasukinya, dan umatmu.’”
“Sekarang hatiku lega. Malaikat maut, tunggu apa lagi, laksankan apa yang diperintahkan padamu.”
Ali r.a. berkata,
“Ya Rasulallah, kalau nyawamu telah dicabut, siapakah yang akan memandikan jasadmu? Bagaimana kami mengkafanimu? Siapakah yang menyalatimu? Dan siapa yang masuk ke kuburmu?”
Beliau bersabda,
“Ali, adapun soal memandikan, hendaklah Engkau yang memandikanku. Al-Fadhal bin Abbas akan menuangkan air padamu, dan Jibril adalah orang ketiga dari kalian berdua. Kalau kalian sudah memandikanku, kafanilah aku dengan tiga lembar kain kafan yang baru, dan Jibril akan membawakan wewangian (untuk kafanku) dari surga. Bila kamu telah meletakkan jasadku di atas keranda, letakkan aku di dalam masjid. Keluarlah kalian, tinggalkan aku sendiri karena yang pertama kali shalat (memberi rahmat) padaku ialah Allah dari atas ‘Arasy-Nya. Lantas Jibril a.s., Mikail a.s., kemudian Isrofil a.s., menyolatiku. Selanjutnya para malaikat secara berkelompok-kelompok. Setelah itu, masuklah kalian ke dalam masjid. Berdiri berbarislah kalian dalam shaf-shaf. Tak seorang pun boleh maju daripada yang lain (menjadi imam).”
Fathimah r.a. berkata,
“Hari ini adalah hari perpisahan. Kapankah aku dapat menjumpaimu?”
“Pada hari kebangkitan (hari kiamat), lalu di telaga. Aku memberi minum pada orang-orang dari umatku yang datang ke telagaku.”
“Kalau aku tidak dapat bertemu denganmu?”
“Di timbangan (Mizan). Aku akan memberi syafaat pada umatku”
“Kalau aku tidak jumpa?”
“Di Shirathal Mustaqim. Aku akan menyeru, ‘Tuhan, selamatkanlah umatku dari neraka.’”
Sakaratul Maut
Malaikat mendekat dan mulai mencabut nyawa beliau dengan lembut. Ketika ruh sampai di dua lutut, beliau berseru,
“Auh.”
Ruh terus bergerak. Saat ruh sampai di pusar, beliau tersenyum,
“Oh sedihku.”
Fathimah menyahut,
“Betapa sedihku, Ayahanda.”
Ketika ruh mencapai dada, beliau bersabda,
“Jibril, betapa pahitnya kematian.”
Jibril memalingkan mukanya. Dan beliau bersabda,
“Jibril, apa kamu tidak suka melihat keadaanku?”
“Kekasihku, siapa yang tahan melihatmu yang mengalami sakaratul maut?”
Lantas, beliau menghembuskan nafas terakhir. Ruh telah dicabut dari jasad beliau seluruhnya.
Kemudian, Ali memandikan jasad beliau, sementara Ibnu Abbas menuangkan air untuknya, dan Jibril berdiri menunggui.
Setelah itu, beliau dikafani dengan tiga lembar kain. Lalu dibawa di atas keranda ke dalam masjid. Setelah meletakkan keranda di sana, orang-orang keluar. Allah yang pertama memberi rahmat pada beliau. Dilanjutkan Jibril, Mikail, dan para malaikat menyalati.
“Kami mendengar suara ‘hm’yang bersahutan di dalam masjid, padahal kami tidak melihat satu sosok pun.” kenang Ali.
Kemudian kami mendengar suara tanpa wujud,
‘Masuklah kalian rahimakumullah. Shalatilah nabi kalian SAW.’
Maka kami masuk dan berdiri dalam shaf-shaf sebagaimana beliau perintahkan. Tak seorang pun dari kami maju. Kami bertakbir bersama takbir Jibril.”
Kemudian upacara pemakaman. Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., dan Ibnu Abbas r.a. masuk ke liang kubur, dan jasad beliau dikuburkan. Ketika orang-orang bubar, Fathimah r.a. berkata kepada Ali r.a., suaminya,
“Abal Hasan, kalian telah mengubur Rasulullah?”
“Ya.”
“Tega sekali kalian menguruk jasad beliau dengan tanah. Tidak adakah rasa sayang di hati kalian kepada Rasulullah SAW? Bukankah beliau pembimbing kea rah kebajikan?”
“Tentu, Fathimah. Tetapi keputusan Allah tidak ada yang dapat menolak.”
Seketika Fathimah menangis mengguguk.
“Oh ayah, sekarang terputuslah Jibril. Dulu Jibril biasa mendatangi kami membawa wahyu dari langit.”
Beliau SAW menutup kehidupan dunia ini dengan ridho dan diridhoi oleh Allah SWT pada usia 63 tahun. Ketika meninggal, jasad beliau ditutupi kain dari Yaman. Para sahabat yang mendengar berita itu, spontan terkejut dan kaget seakan tidak percaya bahwa Nabi telah betul-betul menghadap Allah.
Umar bin Khattab awalnya mengingkari berita kematian Nabi itu, Utsman bin Affan pura-pura tuli sedang Ali bin Abi Thalib jatuh lemas. Dan sahabat yang lain menangis tertunduk lemah. Sungguh tidak ada yang lebih kuat menahan diri pada saat itu kecuali ‘Abbas, paman Nabi dan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a.
Beliau dikafani dengan tiga lapis kain putih, dihamparkan karpet merah di bawah jasad Nabi ketika akan dikubur.
Yang mengurus pembuatan lahat Rasulullah SAW adalah sahabat Abu Thalhah. Beliau dikuburkan di rumah isteri tercintanya Sayyidah ‘Aisyah r.a. dan setelah itu dikubur pula berdampingan dengan beliau dua sahabatnya yang mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab.