"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Selasa, 09 Juni 2009

Dulu satu padepokan

Source Link :http://www.mail-archive.com/daarut-tauhiid@yahoogroups.com

[daarut-tauhiid] Dulu satu padepokan
firliana putri
Thu, 09 Oct 2008 03:21:23 -0700

Dulu satu padepokan
Selepas jamaah tarawih Cak ZhudhrunH asyik menikmati kopi hangatnya di beranda
depan rumah, melepas lelah setelah seharian sibuk dalam kegiatan kerjanya.
Tiba-tiba terlintas di ingatannya kenangan akan masa lalu, terlihat di roman
mukanya sebuah senyum yang panjang, sebuah senyum geli, sebuah senyum getir

karena teringat masa lalunya. Ya.... dia dulu seorang petualang spiritual yang
selalu mencoba memuaskan dahaga jiwanya dengan melakoni berbagai metode oleh
rasa yang berujung pada terungkapnya suatu kekuatan lebih pada dirinya sampai
akhirnya dia terdampar di sebuah padepokan sekaligus majelis dzikir yang konon
menurut pemangku padepokan itu seluruh ilmu dan dzikir yang diajarkan merupakan
warisan dari para sufi terutama bersumber dari salah satu wali songo di Jawa
Timur sehingga bersifat khas dan tidak ada yang menyamai dan memang menurut Cak
ZhudhrunH, di padepokan itulah semua menu tersedia secara lengkap dengan nafas
religius Islam. Tapi saat ini
baginya semua tinggal kenangan sebagai bagian perjalanan hidup yang telah
dilaluinya. Saat ini semua telah ditinggalkannya sejak dia menempuh jalan
tarekat melalui baiat dari seorang mursyid di sebuah kota di Jawa Timur.
“Assalamu’alaikum..... Cak”, sejenak kelebatan pikirannya ke masa lalu buyar
mendengar ucapan salam itu. Dengan segera Cak ZhudhrunH menjawabnya,
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, eeh... awakmu tah Di, ayo-ayo
masuk”. Segera keduanya pun berjabat tangan. “Yok opo kabare Di ?”
“Alhamdulillah Cak, baik”. Segera saja setelah itu mereka berdua terlibat
perbincangan seru tentang kabar mereka masing-masing, maklum sudah lama mereka
jarang berjumpa, diselingi seruputan wedang kopi buatan istri Cak ZhudhrunH dan
nyamil jajanan seadanya.
“Oh iya Cak, sekalian saya menyampaikan salam dari sedulur-sedulur padepokan.
Mereka nanyain kapan Sampeyan mau latihan lagi sama dzikiran bareng-bareng ?”
“Oalah Di... Di..., awakmu kan sudah tahu to kalo aku ini sudah pensiun, Sudah
enggak gitu-gituan lagi. Lha sekarang kan sudah jelas pakaianku, aku pake baju
tarekat yang tentunya aku yakin seyakin-yakinnya thoriqohku lebih agung dari
semua keilmuan padepokan walaupun atas nama dakwah dan syiar Islam. Lha awakmu
sendiri gimana Di, kok masih terus ngelmu, apa karena sekarang kamu sudah lolos
ujian kepewarisan ilmu padepokan sehingga berhak menurunkan ilmu padepokan ke
khalayak ramai, bisa dakwah dan syiar Islam ? Atau kamu merasa eman atas
tirakatmu selama ini yang sudah banyak kelihatan khasiatnya, apalagi sekarang
muridmu sudah banyak.” “Wah ya ndak gitu to Cak, kan guru kita dahulu pernah
bilang bahwa tidak masalah kalo murid padepokan menjadi jamaah atau murid
tarekat, bukankah tujuannya
sama-sama baik mencapai kejayaan dunia akhirat, sepanjang tarekat tersebut
jelas runtutan sejarahnya, masih meng'esa'kan Allah swt, menegakkan sholat
dengan benar, dan menegakkan syariat Islam dengan benar, maka apapun alirannya
dan siapapun mursyidnya Insya Allah baik.”
Mendadak dada Cak ZhudhrunH terasa sesak, tetapi alhamdulillah dia segera sadar
dan beristighfar, ya... mungkin memang baru sebatas itu pemahaman si Aldi walau
pun sebenarnya dia juga sudah mengambil baiat dari Yai Mursyid yang sama dengan
Cak ZhudhrunH. Cak ZhudhrunH tersenyum tetapi tidak menanggapi pernyataan Aldi
lebih dahulu melainkan malah balik bertanya, “Di, kamu punya cita-cita endak ?
Apa cita-citamu ?” “Kalo dulu sih saya pengennya jadi tentara Cak, kelihatannya
kok gagah, tapi kalo sekarang sih saya sendiri bingung, apa ya cita-cita saya.
Yang penting pengennya hidup saya enak Cak, gampang cari rejekinya gusti Allah,
sehat dan kecukupan.” “Opo awakmu ndak punya cita-cita mati ?” “Hush....
sampeyan itu Cak-Cak, cita-cita kok mati, mati itu kan kewajiban meski banyak
orang merasa terpaksa mati karena endak bisa ngelawan kematian itu. Pengennya
sih hidup terus gitu loch...”
“Di... ini rahasia lho.... he... he... he.... jangan bilang siapa-siapa,
siapapun orangnya, apapun prestasi keduniaannya ibarat sudah mencapai puncak
kesuksesan hidup sebagaimana yang sering diperbincangkan orang, seperti
misalnya dari kalangan militer dia itu jendral, panglima lagi, umpama dari
kalangan pengusaha, dia itu top bangetlah pokoknya, omsetnya per bulan
triliunan rupiah, umpama dari kalangan trainer, dia itu trainer kelas atas yang
alumni pelatihannya sudah mencapai puluhan ribu orang, umpama dari kalangan
artis sinetron, dia itu tarif per episodenya mencapai puluhan juta rupiah,
umpama pendekar gitu ilmunya paling tinggi dan tidak ada yang bisa menandingi,
atau juga dari kalangan lain yang dianggap sukses dan menjadi standar kemewahan
hidup bagi banyak orang, ternyata akhirnya mati juga. Jatah ruang dan waktu
baginya habis di dunia ini. Ternyata hidup itu menunggu mati, mati itu berarti
kembali, kembali kepada yang memiliki, yang memiliki
itu Allah. Masa depan kita dan masa depan hidup ini adalah Allah, cita-cita
kita salah jika bukan Allah, semuanya sia-sia jika tidak dengan Allah, semuanya
sia-sia jika tidak bersama Allah, semuanya sia-sia jika tidak untuk Allah,
subhanallah - Allah saja yang ada yang lain tidak ada, alhamdulillah - Allah
juga di balik semua yang ada.” “Wah sampeyan kok jadi puitis, filosofis dan
melankolis gitu Cak, bingung aku jadinya.” “Sorry Di, lagi kumat soalnya. Lagi
pula enggak usah bingung Di, gampang kok kalo bingung itu, jarene dosenku biyen
cuman dua caranya, pertama gocekan mejo trus kalo masih bingung, klambimu
waliken. Dijamin tambah bingung hi.... hi.... hi....” “Pancet ae sampeyan itu
Cak-cak.” “Gini lho Di, yang kumaksud itu, setiap orang mesti mati to ? Lha
kalo sudah mati tentunya mbalik lagi ke gusti Allah to ?” “Ya jelas Cak, trus
maksude yok opo ?
“Berarti untuk kembali lagi ke gusti Allah dengan selamat kita perlu ajaran,
metode dan panduan kan ? Ajaran itu namanya Islam dengan tiga pilar dasarnya
yaitu iman yang disiplin ilmunya nanti menjadi teologi/tauhid, islam yang
disiplin ilmunya nanti menjadi fiqih dan ihsan yang merupakan intisari dengan
displin ilmunya bernama tasawuf dengan metode tarekatnya dan mursyid sebagai
pemandu jalannya.” “Terus Cak ?” “Ya terusannya itu, ketika kita sudah
mengambil baiat dari Yai Mursid, seharusnya yang kita turut ya Yai Mursid kita
sebagai pemandu perjalanan kita menuju Allah. Lha Yai Mursid kita memerintahkan
meninggalkan amalan-amalan dzikir di luar dzikir tarekat apalagi yang namanya
ilmu-ilmu hikmah, apalagi kalo ilmu kejawen harus dilepas itu.”
“Tapi sedulur-sedulur lain ada juga yang menjadi murid tarekat, tapi mursyidnya
membolehkan tetap dengan amalan padepokan Cak, gimana itu ?” “Nah... itulah
bedanya. Awakmu tadi kan bilang kalo guru padepokan kita dahulu pernah bilang
bahwa tidak masalah kalo murid padepokan menjadi jamaah atau murid tarekat,
bukankah tujuannya sama-sama baik mencapai kejayaan dunia akhirat, sepanjang
tarekat tersebut jelas runtutan sejarahnya, masih meng'esa'kan Allah swt,
menegakkan sholat dengan benar, dan menegakkan syariat Islam dengan benar, maka
apapun alirannya dan siapapun mursyidnya Insya Allah baik. Aku menangkap tiga
kata kunci dari ucapanmu tadi Di. Pertama masalah tujuan, kedua aliran dan
ketiga mursyid. Mulai dari yang kedua dulu ya Di, trus ketiga baru mbalik ke
yang pertama ?” “Iya Cak.” “Setahuku aliran tarekat itu bisa
dipertanggungjawabkan jika termasuk tarekat yang mu’tabar dalam arti mempunyai
mata rantai silsilah pengajaran yang
tanpa terputus menyambung terus sampai pada Rasulillah Muhammad SAW, inilah
keistimewaan tarekat yang sebenarnya merupakan ajaran Nabi yang paling orisinil
dan yang pertama kali diajarkan yaitu dzikir. Sedangkan yang mengajarkan dzikir
itu sendiri haruslah seseorang yang mempunyai otoritas pengajaran dari
Rasulullah yaitu seorang mursyid dengan kualifikasi kamil mukammil dalam arti
seorang mursyid yang sempurna dan dapat menyempurnakan perjalanan ruhani
murid-muridnya sampai di hadapan Allah. Banyak mursyid yang mengajarkan
terakat, tapi belum tentu dia kamil mukammil sehingga malah akan membingungkan
murid-muridnya dalam menempuh perjalanan spiritualnya. Jadi belum merupakan
jaminan kemuliaan dari Allah walau pun pengikut tarekat itu sangat besar
demikian juga mursyidnya sangat terkenal, apalagi kalo mursyid tersebut
berkhadam jin, harus dihindari itu sebab sereligius apa pun seseorang jika
berkhadam jin walaupun jin muslim pasti di hatinya masih ada
kesombongan, nafsu dan egoisme yang malah menjadi hijab antara dirinya dengan
Allah. Sedangkan tujuannya secara keseluruhan baik dalam dimensi lahir maupun
batin, syariat maupun hakikatnya ya hanya untuk Allah, lillahi ta’ala. Lha kalo
ada mursyid yang membolehkan muridnya mengamalkan diluar yang diijazahkan
termasuk ilmu hikmah, ya itu terserah mursyid yang bersangkutan. Sing tak
omongno kan dawuhnya Yai Mursyid kita yang aku sangat yakin akan kemuliaan dan
keutamaan Beliau di hadapan Allah sebagai sebenar-benarnya pewaris para Nabi,
yang tentunya apa yang didawuhkan dan diperintahkan kepada murid-murid Beliau
aku sangat yakin bukanlah keluar dari hawa nafsu Beliau melainkan
pengejawantahan dari kehendak Allah.”
“Lho Cak, dzikir yang diajarkan di padepokan kan juga sama tidak lepas dari
kalimat LAA ILAHA ILALLAH, amaliyah ilmu hikmah pun kan tidak lepas dari
ayat-ayat Qur’an, asmaul husna, tidak lepas juga dari shalat taubat, shalat
tasbih dan dzikir lathoif malahan. Bahkan di setiap pengaturan napas pun tidak
lepas dari dzikir, apalagi jurusnya kan bersumber dari huruf hijaiyah yang
tentunya khadamnya malaikat kan ? Apalagi di padepokan juga diajarkan
komunikasi dengan para ruh auliya, dan diajarkan membedakan nuansa ruh para
auliya, malaikat atau pun jin to Cak?” “Nah itulah Di yang sering menjadi tipu
daya. Pertama, hanya amalan dari seorang guru mursyid kamil mukammil yang tidak
akan memberati ruhani murid-muridnya, karena beliau pasti tahu masa depan
kapasitas atau volume ruhani murid-muridnya sehingga amalan yang diberikan
pasti pas ibarat seorang dokter yang tahu resep untuk para pasiennya. Sedangkan
amalan yang diterima dari selain itu apalagi
kalo hanya dari membaca buku tidak ada jaminan barokah dan keselamatannya,
coba saja Di, kamu perhatikan sedulur-sedulur padepokan bagaimana kehidupannya
kemudian, pada saat ngelakoni tirakatnya pasti kuat tapi pasti ada efeknya di
masa datang. Aku enggak usah ngomonglah, lihat saja sendiri atau mungkin kamu
sendiri sudah mulai merasakan ? Kedua, dari segi tujuan bisakah niatmu
benar-benar lillahi ta’ala, ambil contoh sederhana saja, waktu kamu dzikir
rutin atau dzikir lathoif, bisa... ? lillahi ta’ala ?” “Yo bisa Cak !” “Ah
engga percaya aku. Kalo memang bisa ya sudah kamu pake dzikir tarekat aja, yang
itu enggak usah dipake kan katamu tujuannya sama saja ?” “Ya engga begitu Cak
?” “Takut energi bathinmu engga maksimal ya ? Trus waktu olah napas dalam
gerakan jurus hijaiyah kan ada dzikir rahasianya itu, apa bisa hatimu fokus
pada yang engkau dzikirkan atau malahan dirimu fokus pada energi yang kau serap
hingga dzikirmu lalai –
lewat begitu saja ? Bagaimana bisa Di untuk Allah kalo sejak semula diajarkan
memperkuat batin itu ritual shalatnya ini-ini dzikirnya ini, untuk ajian ini
tata cara ritualnya seperti ini cara menggunakannya seperti ini dan seterusnya.”
“Coba sekarang misalnya kamu punya pasien katakanlah sakit atau ada hajat hidup
yang dikeluhkannya padamu, trus awakmu mbantu dia dan berhasil bagaimana
perasaanmu ?” “Yo seneng Cak, tibak’e aku isok.” “Nah itu dia, egomu semakin
menguat, engkau merasa bangga bahkan mungkin sombong, apalagi kalo jadinya dia
bergantung padamu, iyo gak ?” “Yo iyo sih Cak” “Mangkane, bagaimana bisa lebur
pada Allah kalo ego kita semakin kuat, padahal bisamu itu nek jare aku hanyalah
fatamorgana alias semu.” “Kok bisa ? Buktine opo Cak ?” “Coba kamu ingat-ingat
apakah setiap permasalahan bisa kau selesaikan dengan ilmumu, dengan
amaliyahmu, dengan kehendakmu ?” “Ya ada yang ndak berhasil Cak, wong namanya
manusia.” “Lha nek berhasil, awakmu gak eling nek menungso ? Itu lho buktinya
bahwa kalo ada yang berhasil ada yang tidak, berarti ada mekanisme takdir Allah
yang selalu bekerja dalam kehidupan kita. Kalo engkau berhasil sebenarnya
kebetulan saja memang takdirnya seperti itu, sehingga mengusahakan
keberhasilan tersebut dengan memperbesar ego tanpa hati yang bersandar penuh
pada Allah adalah sebuah kesia-siaan. Nek berhasil bilangnya : aku kok !!! tapi
kalo enggak berhasil bilangnya : lha namanya aja manusia.” “Bener juga yo Cak”
“Yo mugo-mugo gusti Allah mbenerno aku Di, soale kalo aku senang engkau
membenarkan perkataanku, menurut guru ngajiku itu tandanya kalo nafsuku yang
bicara.”
“Mbalik maneh terusanne mau Di, yang ketiga Di, hanya orang-orang yang ikhlas
saja yang hati, ruh dan sirrnya sudah full Allah saja yang bisa membedakan
khadam malaikat atau khadam jin. Tidak mungkinlah malaikat bisa kita
suruh-suruh sesuai kehendak nafsu kita. Bahkan walaupun diajarkan metode
membedakan khadam jin, ruh atau malaikat, tapi tetap saja metode ilmu hikmah
kan ? Lalu bisakah dijamin kebenarannya ? Apalagi kalo khadam jinnya memang
level tinggi ya tentu tidak bisa ditembus hanya dengan ilmu terawangan biasa
bahkan oleh ilmu terawang pemilik puncak keilmuan itu sendiri.”
“Tapi bukankah semua dzikir dan amaliyah padepokan asalnya juga dari para ulama
sufi Cak ?” “Kalo itu memang tidak salah Di, asalnya memang dari para ulama
sufi yang dikasyafkan oleh Allah tapi tidak lepas dari koridor tarekat dalam
bimbingan mursyid, nuansanya tidak lepas dari penyaksian terhadap sifat, asma’
dan af’al Allah, tetap terjaga dan tidak ada bersitan untuk menggunakannya
sesuai kepentingan nafsu. Yang hadir adalah benar-benar nur Allah. Tapi saat
ini hal itu bagai kata pepatah : jauh panggang dari api, artinya tarekatnya
ditinggal hanya ilmu hikmahnya yang diamalkan. Sehingga ibadahnya bukan demi
Allah, tetapi demi nafsu memperoleh kekuatan lebih dari balik ayat-ayat suci
atau wirid khusus bagi para pengamalnya. Lha kalo nuansa nafsu sudah muncul,
kata guru ngajiku, yang semula nur akan berubah menjadi nar – unsur api yang
tanpa disadari peran serta energi jin pasti hadir dibalik kedigdayaan atau
kesaktian yang diperoleh.”
Syaikh Ibnu ‘Athâillâh As-Sakandarî mengingatkan dalam kitab Al Hikam-nya :
“tasyauwufuka ila maa bathana fiika minal ‘uyuubi khoirum min tasyauwufika ila
maa hujiba ‘anka minal ghuyuub” – usahamu mengetahui cacat-cacat yang
tersembunyi dalam dirimu lebih baik dari pada usahamu menyingkap perkara ghoib
yang tersembunyi darimu.
“Trus aku kudu yok opo Cak ?” ”Ya terserah kamu Di, selama ini aku lihat kamu
masih mempeng ngelmu padahal Yai Mursyid memerintahkan untuk meninggalkan. Tapi
terus terang aku kuatir sama kamu Di, aku takut kalo nanti ada efeknya ke kamu.
Makanya kalo memang kamu masih eman meninggalkan semua ilmumu, ya lebih baik
kembalikan saja tarekatmu pada Yai Mursid, mumpung awakmu belum menikah, belum
punya anak. Kalo pengen dua-duanya jalan, ya cari aja mursyid yang lain, tapi
tata kramanya tetap kamu harus mengembalikan tarekatmu pada Yai Mursyid. Tapi
ya eman Di kalo kamu sampai harus seperti itu, yang sejatinya agung kau tukar
dengan sebuah fatamorgana.” “Yo wis tak pikire maneh Cak.”
Akhirnya memang Cak ZhudhrunH hanya bisa mendo’akan saudaranya itu biar diberi
Allah tetapnya iman, terangnya hati, keselamatan dunia akhirat, ampunan dan
ridhoNya sebagaimana yang selalu diajarkan Yai Mursyid. Wallahu ‘alam.

Al Fatiha

 Print Halaman Ini