"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Kamis, 07 Mei 2009

Wacana : Konsep Manusia Sempurna

Source :http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id
http://alangalangkumitir.wordpress.com
http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id

KONSEP MANUSIA SEMPURNA
Oleh : Siti Saudah dan Nusyirwan

Abstract: Human being is the highest creature among all creatures.
Even, he is higher than the world and it is very important for it.The
perfection of the world depends on him, Human being in relation to
the universe is like spirit for body.
The world without human being is like a unclear mirror which
can not refract a picture. The picture of God can not be seen in the
mirror clearly so God command that the clear mirror of the world can
refract His picture clearly. The human being is the clearness of mirror
and the shape of the picture.
The most perfect mirror for God is the perfect human being,
because he refracts all the names and the behaviour of God. However,
other refract only a few parts of the names and the behaviour of God.
The perfect human being, faces all existances of individualism.
Spiritually he faces higher individualism; the body he faces lower
individualism. His heart faces to (al-Arsh), His soul faces to apen (al-
Qalam) and his spirit faces to (lauh -Mahfudz).

Kata kunci: Cermin, budi, manusia sempurna

Dengan berkat rahmat dan inayah-Nya semata, manusia telah diciptakan
dengan segala kesempurnaan bahkan dinyatakan secara isyarat di dalam firman-
Nya: bahwa "manusia adalah makhluk sempurna dan termulia dari seluruh
makhluk ciptaan" (QS. 95:4). Demikian itulah keagungan sifat Allah Kepada
manusia, Manusia yang sebenarnya dicipta dari bahan yang sangat hina ternyata
dengan segala kemurahan kasih-Nya dibimbing dan didekatkan kepada-Nya
selaku makhluk termulia atau tertinggi di antara makhluk ciptaan (QS. 17:70).
Sehingga manusia yang berkeadaan mulia dan tinggi diantara makhluk ciptaan
dapat dijadikan wadah kecintaan Allah, karena haqiqi manusia diciptakan tidak
lain untuk dijadikan wadah kecintaan Allah (Mounadi; 1987:2).
Menurut al-Jilli, nama esensial dan sifat-sifat ilahi pada dasarnya menjadi
milik manusia sempurna oleh adanya hak fundamental, yakni sebagai
keniscayaan yang inheren dalam esense dirinya. Demikianlah, dengan ungkapan
yang sering kita dengar bahwa Tuhan berfungsi sebagai kaca bagi manusia, juga
demikian halnya manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat dirinya. Sebagai
kaca yang dipakai seseorang melihat bentuk dirinya dan tidak bisa melihat
dirinya itu tanpa adanya kaca tersebut, maka sedemikianlah hubungan yang
berlangsung antara Tuhan dan manusia sempurna.
Tuhan itu "menyatakan diri" dalam dua cara yakni, dengan berbagai tamsil
objektif, ayat-ayat kauniyah, epifani dan secara pribadi bagi pribadi-pribadi
pilihan yang paska muthmainnah yakni, Teofani. Nabi-nabi, Rasul-rasul Allah
adalah contoh pribadi pilihan yang layar kesadarannya mendekati layar kesadaran sejernih-jernihnya di sisi-Nya, yakni papan yang sangat mulia Lauh al Mahfudz.
Manusia tidak hanya terdiri dari unsur jasadiyah, tetapi hal yang lebih
penting lagi dari jasadiyah adalah keberadaan unsur daya potensi ketenagaan di
dalam diri yang menggerakkan dan mengaktifkan jasadiyah, Ketenangan inilah
yang harusnya menjadi pusat perhatian manusia, karena tidak ada artinya bila
hanya sepihak jasadiyah yang diperhatikan, sementara beberapa unsur di dalam
diri yang sifatnya katenangan diabaikan saling berbenturan (Moenadi, 1987:4)
Unsur-unsur itu merupakan penentu setimbang tidaknya pertumbuhan unsur
daya-potensi ketenagaan di dalam diri manusia. Sedangkan yang dimaksud
unsur-unsur ketenagaan di dalam diri itu adalah: unsur ruh, unsur rasa unsur hati ,
unsur akal dan yang terakhir unsur nafsu (Moenadi, 1987: 16). Konsep manusia
sempurna seperti yang ditulis Soejono Redjo dalam 'Dongeng Kaca Benggala
Ageng' menunjukkan pada penjelasan tentang manusia sempurna yaitu manusia
yang lupa akan diri (ora korup marang wujude kang mukmin) (Soejono, 1922:15)
tidak lain hanya mengakui pribadi yang satu tanpa warna dan rupa, namun semua
warna dan rupa itu merupakan sifat/watak, yaitu bukan arah atau tempat, namun
berdiri ditengah-tengah arah di sepanjang tempat.
Adanya kaca benggala itu ibarat sifat / watak manusia yang sudah
sempurna, yaitu manusia yang sudah tidak sombong (korup) pada diri sendiri
artinya, tidak sekalipun mempunyai niat memamerkan diri, membandingkan diri,
Ujub, riya, takabur, bidngah dsb. Yang seperti itu karena bening budinya, serta
tidak bernafsu, dengan demikian hidupnya hanya mencari keselamatan sesama,
serta membuat kesenangan hati semua.
Seperti dijelaskan dalam martabat tujuh dengan kata mudah yang berasal
dari istilah muhdats. Mudah terdiri dari: nur, rahsa, ruh, nafsu dan budi. Mudah
yang empat kemudian diterangkan sebagai berikut: (1) budi : keadaan pranama,
menarik kejelasan kehendak menjadi pangkal pembicara, (2) nafsu : keadaan
hawa, menarik kejelasan suara, menjadi pangkal pendengaran, (3) suksma (roh) :
keadaan nyawa, menarik kejelasan cipta, menjadi pangkal perasaan, (4) Rahsa :
keadaan atma, menarik kejelasan kuasa, menjadi pangkal perasaan (Simuh,
1988:313)
Dalam buku Kaca Wirangi yang diberi judul tulisan 'Kaca Benggala
Ageng' ini mengumpamakan sesuatu yang mengandung cahaya dan warna itu
adalah manusia karena, manusia mempunyai cahaya dan warna (budi dan
rahsa).Untuk lebih detailnya yang ingin disampaikan dalam tulisan ini adalah
bagaimanakah konsep manusia sempurna itu?

ASPEK RAHSA DAN BUDI
Manusia yang sempurna tidak memperlihatkan keadaan dirinya,
membandingkan dengan yang lainnya. Keadaan semua orang dirasakan sifatnya
pribadi, karena baik dan buruk dirinya tersembunyi, jadi cermin memperlihatkan
keadaan orang lain, seperti sama pada dirinya. Cara memandang keadaan satu
sama lain itu benar serta tidak melibatkan rahsa. Benar artinya, sesuai dengan
kenyataannya. Tidak melibatkan rahsa artinya, tidak senang atau benci dengan
yang baik dan buruk atau benar dan salah.
Rahsa
Rahsa itu mungkin sulit untuk dilihat dengan mata, namun manusia
biasanya merasakan antara lain: panas, dingin, sakit, enak, perih, capek, bosan,
risih, pekewuh, melas, lega, kaku, kaget dsb, itu semua adalah kekuatan dari
rahsa.
Hati lebih halus dari pada badan, dan keduanya ini sebenarnya beda alam
dan jamannya. Seperti, dingin, sakit, enak, perih, capek, bosan dsb, ada yang
dirasakan hati tetapi ada juga yang dirasakan oleh badan. Contohnya kalau
panasnya badan bisa disiram dengan air, tetapi kalau panasnya hati tidak.
Ada juga apa yang dirasakan hati tidak sama dengan apa yang dirasakan
badan seperti: suka, susah, gembira, benci, kagum, menyesal, malu, gugup,
takut, khawatir, sedih, iri hati, marah, kasihan, terenyuh dsb, yang demikian itu
hanya ada di dalam hati.
Rahsa adalah wujud getar (obah-obahan) terkadang juga bisa diam/berhenti
(ngumpul-mligi). Rasa adalah tempatnya rahsa yang mencakup semua rahsa. Jadi
rasa diumpamakan badannya, rahsa diumpamakan tangannya, atau bisa juga rasa
diumpamakan pohon dan rahsa diumpamakan cabangnya (Soejono, 1922: 24).

Budi
Budi itu adalah cahaya yang menyinari hati/rohnya manusia, yang berwujud
terangnya pikiran (angan-angan). Terangnya pikir diumpamakan rembulan, dan
terangnya budi diumpamakan matahari (cahaya rembulan itu sebenarnya adalah
cahaya matahari) (Soejono, 1922:25).
Manusia tidak dapat mengetahui bentuk dari budi, namun manusia
merasakan kekuatannya, yaitu: sinarnya. Orang yang waspada bisa mengetahui
sinarnya budi yang ada pada orang lain. Orang yang bersih/bening budinya,
tenang (lerem rahsane) diumpamakan seperti berlian. Orang yang terang budinya
namun masih tebal rahsanya, diumpamakan mirah (mirah delima). Orang yang
gelap budinya dan tebal nafsunya, cahayanya suram, hanya terlihat warnanya
saja, itu diumpamakan sayapnya kupu-kupu.
Jadi bedanya rahsa dan budi adalah: rahsa untuk merasakan enak dan tidak
enak, merasakan nikmat (nandhang lan ngasakake nikmat), namun budi itu
hanya mengingat, pintar (waskitha), ahli (pranawa), mengerti. Budi tidak dapat
merasakan suka, duka ,senang, benci, dsb, hanya menunjukkan pada sesuatu yang
benar.
Untuk membedakan budi dengan rahsa itu sama dengan orang membedakan
cahaya dengan warna. Cahya itu adalah sesuatu yang bisa membuat terang, kalau
warna adalah sesuatu yang diterangi oleh cahaya. Warna merah, hijau, kuning itu
ada jika diterangi oleh cahaya, begitu juga cahaya tidak bisa jadi merah, kuning,
hijau dsb jika tidak mengandung warna. Jadi warna dan cahaya itu sudah menjadi
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, namun masih jelas bedanya kalau
warna itu bukan cahaya dan sebaliknya cahaya itu bukan warna.
Budi itu adalah sesuatu yang menunjukkan pada benar dan salah, tanpa
warna hanya terang benderang, kalau rahsa adalah sesuatu yang merasakan enak dan tidak . Manusia bisa merasakan suka, duka dsb karena adanya budi. Dan
yang dirasaka suka, duka benci, senang dsb, itu adalah kekuatan rahsa. Jadi budi
dan rahsa itu sudah menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meskipun
jelas perbedaannya.
Untuk lebih jelasnya misalnya, Ada seseorang sedang duduk, kemudian
ingat sesuatu karena ingat sesuatu tadi, hatinya menjadi senang atau sedih,
dengan begitu sesuatu yang digunakan untuk mengingat dan sesuatu yang dipakai
untuk susah atau senang itu tidak sama. Jadi yang dipakai mengingat itu namanya
budi, yang dipakai susah dan senang itu yang dinamakan rahsa. Budi dan rahsa
mempunyai alam dan jaman yang berbeda.
Manusia merupakan kesatuan tujuh unsur; jasad, budi, nafsu, ruh, sir
(rahsa), nur dan hayyu (hidup). Ketujuhnya saling berhubungan merupakan
kesatuan. Gerakan badan dipengaruhi oleh budi, budi dipengaruhi oleh nafsu.
Nafsu dipengaruhi oleh ruh atau suksma. Suksma mendapat pengaruh dari rahsa,
dan rahsa menerima pengaruh dari nur. Nur menerima pengaruh dari hayyu, dan
hayyu pelaksana dari af'al Dzat dan merupakan tajlli Dzat. (Simuh, 1988:314)
Manusia yang dapat mengembangkan kehidupan rohaninya, akandapat
memperlihatkan ketujuh martabat di bawah ini, dan akan menjadi insan kamil
(manusia yang sempurna), di mana kehidupan dan tindak-tanduknya merupakan
pencerminan kehidupan dan af'al (perbuatan) Tuhan di bumi. Dalam keadaan
manunggal dengan Tuhan, maka manusia adalah rahsa Tuhan, dan Tuhan adalah
rahsa manusia. Karena kalbu mukmin adalah baitullah (Rumah Tuhan) (Simuh,
1988:320)
1. Martabat Ahadiyat, yaitu martabat la ta'yun dan ithlag. Artinya masih
dalam wujud mutlak, tidak bisa dikenal hakikatnya. Karena sunyi dari
segala sifat, sandaran dan hubungan dengan yang lain.
2. Martabat Wahdat, yaitu ibarat ilmu Tuhan terhadap Dzat dan sifatnya,
serta terhadap segala perwujudan secara ijmal (keseluruhan) belum ada
pemisahan antara satu dengan lainnya.
3. Mertabat Wahidiyat, yaitu kesatuan yang mengandung kejamakan, tiap-
tiap bagian telah jelas batas-batasnya. Sebagai hakekat manusia. Ibarat
ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu secara terperinci, sebagian terpisah
dengan yang lain.
4. Martabat alam arwah. Merupakan aspek lahir yang dalam bentuk mujarad
dan murni.
5. Martabat alam mitsal. Ibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-
bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak bisa dipisah-pisahkan.
6. Martabat alam ajsam (tubuh) Yakni ibarat sesuatu dalam keadaan
tersusun secara materiil telah menerima pemisahan dan dapat dibagi-bagi.
Yaitu telah terukur tebal-tipisnya.
7. Martabat insan. Mencakup segala martabat di atasnya, sehingga dalam
manusia terkumpul enam martabat yang bersifat batin dan bersifat lahir.

MENJADI MANUSIA TERANG CAHAYA
Harus hati-hati, tidak terlalu berlebihan dengan adanya rahsa. Misalnya, kalau sedang senang jangan terlalu senang, begitu juga kalau desang susah, cinta,
benci, semua itu jangan berlebihan. Cukup sekedarnya (sawetara).
1. Selalu meminta petunjuk dari yang Kuasa. Jangan menyimpang dari
petunjuk budi (berbuat tidak baik). Agar rahsa banyak tenangnya, angan-
angan banyak diamnya, dan budi banyak jernihnya (bening)
3. Mengakui adanya yang Maha Kuasa, Ada persyaratannya (abon-abone)
bertapa untuk setiap hari, tidak bisa dipikir sendiri, harus dicarikan
pendapat orang pintar. Bertapa yang terus menerus (rutin) itu menjadi
pemantapan jiwa.
2. Bertapa (semadi), untuk menahan angan-angan (pikir), rahsa dan nafsu
berada pada budi dan rasa. Keadaan manusia yang dianggap cermin yang
jernih, kepunyaannya kahanan jati. Yang bercermin: kahanan jati. Yang
dipakai bercermin: manusia sejati. Bayangan semua itu tergambar di
alam.
Seperti ungkapan terkenal dari Ibn al-Arabi tentang bagaimana proses yang
dilalui oleh seseorang agar ia menjadi manusia sempurna yaitu, "al-takhalluq bi
akhlaq Allah " (berakhlak dengan akhlak Allah), atau "al-takhalluq bi asma
Allah" (berakhlak dengan nama-nama Allah) (Noer, 1995:139)
Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat kita sendiri dan menegaskan sifat-
sifat Allah, yang telah ada pada kita meskipun dalam bentuk potansial Sesuai
dengan doktrin wahdat al-wujud, takhalluq berarti pula menafikan wujud kita dan
menegaskan wujud Allah karena kita dan segala sesuatu selain Allah tidak
mempunyai wujud kecuali dalam arti kias (majaz); satu-satunya wujud, atau
tepatnya wujud hakiki, adalah Allah. Ketika manusia menafikan wujudnya, ia
kembali kepada sifat aslinya, yaitu "ketiadaan" (adam), tetapi pada saat yang
sama ia berada dalam keadaan yang disebut "ketenteraman abadi" (rahad al-
abad).

PERBEDAAN BERLIAN DAN KACA BENGGALA
Watak manusia yang diumpamakan berlian yaitu yang bening (wening)
serta bisa mempengaruhi pancaindra, karena bisa mempengaruhi pancaindranya
maka berlian bisa kelihatan merah (ngabang), hijau (ngijo), kuning (nguning)
dsb. Dan berlian bisa menghilangkan warnanya, tinggal beningnya tanpa warna.
Bedanya kalau berlian itu masih sombong (korup) pada dirinya, dan kaca
benggala itu sudah lupa akan dirinya. (Soejono, 1922:33)
Sombong (korup) pada diri itu artinya, masih mempunyai rasa yang
mengakui pada bayangan (kamumkin). Lebih jelasnya merasa kalau dirinya itu
bentuk yang jirim, yang punya perkiraan (timbangan), yang mempunyai
kebagusaan atau kejelekan.(Soejono, 1922:33)
Kata mumkin, artinya: keberadaannya hanya tiruan/palsu (wenang), dan
adanya karena musim, jadi yang seperti itu bukan keadaan yang murni kahanan
jati. Sebenarnya mungkin itu hanya bayang-bayang, yang kelihatan pada
penglihatan dzat yang mesti adanya.
Kaca benggala itu yang sudah mempunyai rasa : yang sudah tidak
mengakui pada bentuk mumkin. Atau diakui yang tanpa warna, tanpa rupa, yang meliputi bentuk yang jirim (Jirim berasal dari bahasa Arab yang artinya, sesuatu
yang bisa diukur dengan ukuran m ), yang tidak baik dan tidak buruk, yang langgeng keberadaannya, yang tidak mengenal musim, bukan awal dan bukan
akhir, yaitu keadaan asli (kahanan jati), yaitu yang ada sebenar-benarnya.
Wujud yang tampak (gumelar) sebenarnya hanya berupa gambar
(wayangan) yang kelihatan pada cermin gaib, semua itu adanya hanya
tiruan/palsu (wenang), bisa ada-bisa tidak, serta adanya hanya sewaktu ketika
saja, dan kemudian bisa hilang.
Yang dimaksud berlian itu rasa yang bisa menyerap berbagai perwatakan,
tetapi belum memuat wujud mumkin yang tetimbangan, jadi masih mempunyai
rasa belum mantap (tetimbangan), merasa diperhitungkan, merasa mempunyai
peranan, apalagi merasa jadi isinya alam. Yang dimaksud bisa memuat/mencakup
perwatakan itu adalah: berlian bisa berwarna abang (ngabang), biru (mbiru) dsb,
seperti warnanya mirah (merah delima) yang berbeda-beda, karena masih
mempunyai rasa ragu-ragu (timbangan), seperti berlian membedakan wujudnya
dengan wujud mirah, kupu, arang dan batu (Soejono, 1922:34)
Dalam hal ini sangat sesuai dengan Ibn al-Arabi yang mengatakan bahwa,
alam adalah cermin bagi Tuhan. Alam mempunyai banyak bentuk yang
jumlahnya tidak terbatas. Karena itu, dapat dikatakan bagi Tuhan terdapat banyak
cermin yang jumlahnya tidak terbatas. Ibarat seseorang yang berdiri banyak
cermin yang ada disekelilingnya, Tuhan adalah esa tetapi bentuk atau gambar-
Nya banyak sebanyak cermin yang memantulkan bentuk atau gambar itu.
Kejelasan gambar pada suatu cermin tergantung kepada kualitas kebeningan
cermin itu. Semakin bening atau bersih suatu cermin, semakin jelas dan sempurna
gambar yang dipantulkan. Cermin paling sempurna bagi Tuhan adalah Manusia
Sempurna, karena ia memantulkan semua nama dan sifat Tuhan.
Setiap makhluk adalah lokus penampakan diri (majla, mazhar) Tuhan dan
Manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna.
Ini berarti gambar Tuhan terlihat secara sempurna pada Mamusia Sempurna
karena ia menyerap semua nama dan sifat Tuhan secara sempurna dan seimbang
(Noer, 1995:143).

KESIMPULAN
Wujud dari kaca benggala gedhe menjadi ibarat sifat dari dat yang tanpa
timbangan. Kaca benggala tidak mempunyai bandingan, artinya tidak pernah
dikalahkan dengan bentuk lain, sebab kaca benggala tidak mempunyai rupa, tidak
mempunyai warna, tidak bagus melebihi berlian atau mirah, serta tidak hitam
melebihi arang, tidak buram melebihi batu, tidak bersinar seperti mirah, dan
berkerlip seperti berlian, jadi kosong tidak ada apa-apanya, tidak kelihatan, tidak
berwujud, tidak berwarna dan tidak bercahaya, dan tidak baik.
Jadi keadaan manusia yang dianggap cermin yang jernih, kepunyaan dat
yang kahanan jati. Yang bercermin kahanan jati. Yang dipakai untuk bercermin
manusia sejati. Dan bayangannya adalah tampak (gumelar) di alam.
Manusia agar bisa dianggap cermin yang jernih seperti di atas maka setiap
hari rasa harus tenang, angan-angan/pikirnya tenang, dan mengakui serta mencintai yang Maha Kuasa secara lahir dan batin.
Seperti sistem Ibn al-Arabi berpusat pada Tuhan, pada tauhid dalam bentuk
wahdat al-wujud, paham bahwa tiada wujud selain Tuhan.; hanya ada satu Wujud
Hakiki yaitu, Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya sendiri;
ia hanya ada sejumlah penampakan Wujud Tuhan. Alam adalah lokus
penampakan diri Tuhan. Manusia Sempurna adalah lokus penampakan diri Tuhan
yang paling sempurna. Manusia Sempurna menyerap semua nama dan sifat
Tuhan secara sempurna dan seimbang.
Kesempurnaan dapat dicapai manusia karena ia diciptakan Tuhan menurut
gambar-Nya yang ada dalam potensialis. Kesempurnaan akan terwujud dalam
diri manusia pada tingkat individual atau historis, apabila ia mampu mengubah
gambar Tuhan dalam potensialitas yang telah ada dalam dirinya menjadi gambar
Tuhan dalam aktualitas. Meskipun mencapai kesempurnaan, Manusia Sempurna
tetap milik Tuhan dan akan Kembali kepada Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ahnad Rifa'i ,1985, Insan Kamil Konsepsi Manusia Menurut Islam,
Grafiti Pers, Jakarta.
M.S. Moenadi Ki. 1987. Pengembangan Daya Bakat Kemampuan Manusia.
Mizan. Bandung.
Noer, Kautsar Azhari, 1998. Tuhan yang diciptakan dan Tuhan yang sebenarnya,
Jurnal Paramadina Vol 1 No. 1 Hal. 129-147. Paramadina. Jakarta
Noer, Kautsar Azhari, 1995, Ibn.al-Arabi Wahdiat al-Wujud dalam Perdebatan,
Paramadina, Jakarta.
Redjo, Soejono, 1922, Kaca Wirangi. Tan Khon Swie.
Simuh, 1988, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggowarsito, UI Press,
Jakarta.
Supadjar, Damardjati, 2000, Filsafat Ketuhanan, Fajar Pustaka Buku.
Yogyakarta.
Supadjar, Damardjati, 2002, Nawang Sari, Fajar Pustaka Buku, Yogyakarta

REFLEKSI METAFISIK ATAS TEKS SERAT KACA
WIRANGI

Sudaryanto

Abstract: Serat Kacawirangi is a symbolic tale, its content of the
grace and perfection of human life. This doctrine has the Javanese
religio-magic concept and Islamic background. It has a monistic-
spiritualistic metaphysical view. The ultimate reality did not find in
the temporal and variable experiences. The experience is an image of
the ultimate reality, so it is the pseudo reality. The ultimate reality
likes a mirror. it is dominated by the light, without color and
properties; but it capable of being of all property and color. Human
perfection be able to find if life more spiritualistic, likes the mirror that
is dominated by the light (reason), without color (escaped from the
passion); so they are able to recieve the pluralistic of human
experiences that colored by good and bad characteristic.
Kata kunci: Monistik, cermin, cahaya, warna

Serat Kacawirangi terdiri dari sebelas bagian kisah binatang yang
sebenarnya merupakan cerita yang menyimbolkan kehiduan manusia. Dikatakan
demikian karena di dalamnya berisi ajaran tentang kesempurnaan dan keutamaan
hidup manusia. Kesempurnaan manusia tercapai jika hidup semakin merohani
ibarat cermin yang didominasi oleh akal budi.

Bagian pertama
Serat Kacawirangi pada bagian ini menceritakan percakapan kupu-kupu
yang berada di sebuah taman istana yang indah. Kupu-kupu yang berada di
taman itu ada yang berwarna putih, merah, kuning, ungu, hijau, biru dan hitam.
Setiap kupu-kupu mengunggulkan warna yang dimilikinya. Kupu-kupu putih
mengunggulkan warna putih sebagai warna yang melambangkan kesucian dan
kejujuran. Kupu-kupu merah mencela warna putih sambil mengunggulkan warna
merah sebagai warna yang tidak pucat, warna merah adalah warna yang indah
mencolok dan merangsang penglihatan, anak kecil pun suka warna merah, maka
kupu-kupu warna merah adalah kupu-kupu yang terbagus. Mendengar
percakapan kupu-kupu putih dan merah, kupu-kupu kuning berkata bahwa,
memang jika warna putih dibandingkan dengan warna merah lebih gagah warna
merah. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan warna kuning, warna merah dan
putih kalah indah, buktinya emas lebih indah dibandingkan dengan tembaga
maupun perak. Warna putih itu pucat, warna merah memang gagah akan tetapi
membosankan, sedangkan warna kuning itu tidak membosankan dan bergengsi.
Kupu-kupu ungu menyambung pembicaraan, ia menyatakan bahwa warna
kuning itu juga masih membosankan. Warna merah dan kuning itu sifatnya ladak
(mencolok) berbeda dengan warna ungu jinem nganggi guwaya (anggun
merona), sederhana dan anggun.
Kupu-kupu hijau menyela, kalau warna yang baik itu warna putih, merah,
kuning dan ungu, kenapa semua tumbuh-tumbuhan dan dedaunan ditakdirkan
hijau. Warna hijau di kebun, di sawah demikian juga taman-taman yang hijau
tidak pernah membosankan jika dipandang. Oleh karena itu, warna hijau adalah
warna paling unggul.
Kupu-kupu biru membenarkan pernyataan kupu-kupu hijau, akan tetapi
Tuhan menciptakan warna biru lebih unggul. Buktinya udara, langit, air lautan
dan gunung-gunung berwarna bitu. Warna bitu itu terdapat secara dominan di
daratan, di lautan dan di angkasa; maka warna biru lebih unggul dari warna hijau
yang hanya ada di daratan saja.
Kupu-kupu hitam berkata, bahwa warna hitam itu mengungguli semua
warna, tidak ada satu warna pun dapat mengalahkan warna hitam. Pada malam
hari semua yang ada di darat, laut maupun angkasa menjadi hitam. Tulisan dan
gambar yang bersahaja juga berwarna hitam.
Burung perkutut menyimpulkan isi cerita itu, yang disebut buruk dan baik
itu sebenarnya tergantung pada anggapan perasaan. Apa yang sedang disukai itu
yang kelihatan baik. Buruknya tertutupi. Apa yang sedang tidak disukai,
kebaikannya tertutupi. Orang yang berwatak korup, semua yang sedang disukai
dianggap baik.
Ada peribahasa, orang suka tidak kurang-kurang menyanjungnya, orang
benci tidak kurang-kurang mencelanya. Karena sudah menjadi kodrat Tuhan,
manusia menyukai dirinya sendiri, maka tidak ada manusia yang bosan
menyanjung diri sendiri.

Bagian Kedua
Burung perkutut melanjutkan cerita, ia bercerita tentang permata putih yang
bercahaya. Permata itu berbicara kepada semua kupu-kupu, bahwa semua wa rna
yang dimilikinya itu bagus, hanya sayang tidak bercahaya. Tidak hanya permata,
manusia sekali pun kalau tanpa cahaya tidak ada kharismanya, tidak berwibawa
dan disegani. Manusia seperti itu adalah manusia yang mengejar kebaikan rupa,
kesenangan dan prestise; tidak mengejar pramana (cermin yang dapat
menangkap bayang-bayang hakikat), keluhuran budi dan kejujuran. Manusia
dihormati dan disegani, karena menampakkan cahaya kebeningan budi warna
putih, merah, kuning, ungu dan sebagainya itu ibarat karakter manusia,
sedangkan cahaya adalah ibarat dari cemerlangnya budi.
Jika dibandingkan dengan permata yang warna-warni tentu saja warna
kupu-kupu akan kalah cemerlang, karena kupu-kupu hanya mempunyai warna
sadangkan permata mempunyai cahaya.

Bagian Ketiga
Pada bagian ini diceritakan tentang dialog antara berlian dengan para
permata yang berwarna-warni. Berlian menyatakan kita sudah mengetahui bahwa
keunggulan warna karena cahaya, tanpa cahaya warna tidak ada artinya. Berlian memberikan alternatif pilihan kepada para permata. Mereka diminta untuk
memilih antara memiliki warna dengan cahaya yang sedang-sedang saja dengan
tidak memiliki warna tetapi memiliki cahaya yang mengungguli semua yang
memiliki warna. Keunggulan berlian yang tidak memiliki warna, terletak pada
kemungkinan untuk menampung segala warna. Tidak semua yang tidak memiliki
warna dapat menampung segala warna jika tidak memiliki keunggulan cahaya.

Arti dari cerita itu adalah :
Manusia itu dapat memiliki daya tampung (terima), tidak cukup hanya
karena kecerdasan ingatan. Namun harus tidak mempunyai watak, artinya tidak
bersikukuh dengan watak hati, seperti suka dengan itu, benci dengan ini, suka
dengan yang menyenangkan, mengeluh di kala susah, suka yang baik dan benci
yang buruk. Singkatnya punya kesenangan dan kebencian dalam hati yang tidak
dapat diubah.
Cahaya itu ibarat dari budi, warna itu ibarat dari rasa dan berlian itu ibarat
dari orang yang cemerlang budinya tetapi tidak arogan dan dapat menundukkan
keinginan pribadi. Manusia seperti itu dapat dipilih menjadi orang yang dituakan,
dapat menerima atau menampung orang yang memiliki watak berbeda-beda,
karena tidak memiliki watak sendiri.

Bagian Keempat
Burung perkutut melanjutkan ceritanya. Semua permata merasa rendah diri
dibandingkan dengan berlian, apa lagi kupu - kupu. Akhirnya mereka sepakat
mengangkat berlian menjadi raja mereka. Akan tetapi, berlian berkata bahwa
masih ada wujud yang mengungguli kesempurnaannya. cahayanya lipat seribu
dibanding dirinya. Karena dia tidak punya warna sama sekali, maka ia mampu
memuat warna pun lipat seribu, bahkan sekaligus mampu memuat semua bentuk.
Ia adalah cermin besar atau kaca benggala ageng. Cemin itu dapat dikatakan
seperti batu, kupu-kupu , berlian dan sebagainya. Akan tetapi kalau batu itu
buruk, tidak bening, dan tiga dimensi maka cermin tidak demikian. Cermin itu
bening mengandung berbagai wujud, sebab cahayanya menyatu dengan rasa
(rasa itu dalam bahasa Jawa dapat mengandung arti lapisan dasar cermin
sehingga dapat memantulkan cahaya sekaligus dapat menangkap bayangan
bentuk dan warna di depannya). Ia tanpa warna tetapi tidak kosong dan tanpa
rupa (wujud).
Cerita itu mengandung arti, bahwa cermin itu ibarat/nisbatnya orang yang
sempurna. Ia lupa akan dirinya yaitu tidak pernah menonjolkan dirinya dan
keunggulan dirinya. Ia rela dikatakan rendah dan tidak menolak dikatakan unggul
dan keikhalasannya tidak ditonjolkan. Ia tidak menyukai kebaikan dengan
membenci kejahatan dan kesalahan atau sebaliknya menyukai kejahatan dan
benci kebaikan.

Bagian Kelima
Burung perkutut melanjutkan ceitanya tentang lempengan besi yang hendak
menyempurnakan diri. Lempengan besi itu menduga bahwa kesempurnaan itu lengkap ada baik dan buruk, Ia ingin sebagian digosok dengan arang biar buruk,
sebagian digosok dengan batu biar keruh dan sebagian digosok agar mengkilap.
Berlian mengingatkan walaupun kesempurnaan itu mengandung baik dan buruk
akan tetapi jalan menuju kesempurnaan itu hanya dengan kebaikan saja dan tidak boleh dicampuri keburukan. Ia menyarankan agar lempengan besi itu rajin menggosok diri agar semakin mengkilap. Maksud dari cerita itu adalah bahwa yang dapat menampung kebaikan dan
keburukan itu hanya orang yang sempurna, yang terang dan terhindar dari
keburukan. Walaupun baik dan buruk itu milik Tuhan, namun untuk menuju
kesempurnaan harus menghindari atau menghilangkan keburukan. Bagian Keenam
Burung derkuku menanyakan, jika keindahan itu ditentukan oleh cahaya
dan warna, mengapa berlian yang tanpa warna lebih unggul dibandingkan dengan
permata yang berwarna ? Perkutut menjawab, bahwa cahaya yang tanpa warna
lebih unggul daripada cahaya yang berwarna, karena dapat menerima warna
kehadiran yang berbeda-beda. Yang dapat menerima atau menampung berbagai
warna itu hanya cahaya yang tanpa warna. Berlian itu ibarat manusia yang
hatinya kosong dari nafsu, artinya suci, rela dan lapang dada sehingga mengikuti
kehendak budi dan dapat menundukkan panca indera dan nafsunya.

Bagian Ketujuh
1. Bab Rasa
Rasa itu dapat bersifat jasmaniah maupun rohaniah atau di dalam hati.
Rasa itu dari bahasa Arab Rasul, itu tanpa warna yang menjadikan warna-warni
itu adalah rahsa yang berbeda-beda. Jika diumapamakan rasa itu badan
sedangkan rahsa itu tangan (bagian dari badan). Rasa dapat diumpamakan batang
dan rahsa itu ranting. Pernyataan seperti : gelap budinya, buruk hatinya itu salah,
yang benar kegelapan itu pada angan-angan. Budi dan hati tidak pernah gelap dan
buruk. Melalui samadi orang dapat menghilangkan asap (nafsu yang warna-
warni), sehingga dapat melihat rasa diri. Jika nafsunya padam sama sekali dan
angan-angannya telah berhenti, maka dapat melihat warna hatinya (batin) karena
terangnya hanya dari budi.

2. Bab Budi
Budi itu cahaya yang menerangi kesadaran manusia yang akhirnya
menerangi pikiran (angan-angan). Orang yang bening budinya dan diam rahsa-
nya ibarat berlian, sedangkan orang yang terang budi namun masih tebal rahsa-
nya ibaratnya mirah. Budi tidak senang-sedih, suka-benci, hanya menunjukkan
pada kebenaran.

Bagian Kedelapan
Membedakan budi dengan rahsa itu ibarat membedakan cahaya dengan
warna. Cahaya itu penerang, sedangkan warna bukan penerang. Warna
membutuhkan cahaya agar nampak merah, hijau, kuning dan sebagainya. Tanpa cahaya warna tidak tampak. Warna dan cahaya itu menjadi satu (tidak
terpisahkan), namun dapat dibedakan. Demikian pula rahsa dengan budi tidak
dapat dipisahkan, tetapi dapat dibedakan. Budi itu cahaya hidup dan rahsa itu
warna kehidupan. Rahsa itu merasakan enak tidak enak atau suka-duka. Manusia
dapat mengetahui rahsa itu memerlukan budi, tetapi budi tanpa rahsa tidak dapat
merasakan enak-tidak enak, suka-duka dan sebagainya. Jika orang mengingat
sesuatu kemudian sedih, maka yang dipakai untuk mengingat itu budi sedang
yang merasakan itu rahsa.

Bagian Kesembilan
Agar manusia terang budinya, maka pertama mengusahakan agar rahsa
ditekan sekecil mungkin. Kedua mencari ugering dumadi (hakikat kejadian)
setelah mengetahui kemudian diikuti. Segala perbuatan jangan sampai
menyimpang dari kebenaran yang ditunjukkan budi. Ketiga, mendekatkan diri
kepada pencipta hidup, dengan bimbingan guru yang mengetahui cara
pembersihan diri. Keempat, samadi yaitu menghentikan angan-angan (pikir), rasa
dan nafsu.

Bagian Kesepuluh
Keinginan baik dituntun nafsu mutmainah, namun semua nafsu itu tidak
mengerti kebenaran, karena kebenaran itu merupakan bagian dari budi. Angen-
angen (pikiran) harus awas terhadap petunjuk budi. Keinginan yang benar
berdasar norma yang benar belum tentu membawa keselamatan atau perlu
diupayakan, karena harus mencermati petunjuk; karena rasa menuntun pada
keselamatan.

Bagian Kesebelas
Segenap hal yang tergelar pada dasarnya hanya gambaran (bayang-bayang)
yang kelihatan dalam cermin gaib, keberadaannya hanya wenang (hak), dapat
"ada" atau "tidak ada". Keberadaannya hanya sementara waktu, dapat kembali
dalam ketiadaan. Semua jizim (kejasmanian, kebendaan, memakan tempat) atau
satu-persatu (yaitu yang baik atau buruk) bukan kahanan jati (tidak sungguh-
sungguh ada).
Cermin besar itu sebagai simbol dari sifat "dzat sing tanpa timbangan".
Cermin besar tidak dapat dibandingkan dengan barang lain, karena suwung
wangwung (tidak ada apa-apanya), tidak berbentuk, tidak berwarna, tidak
bercahaya dan tidak ada bangunnya. Tetapi bukan berarti segala sesuatu berasal
dari kekosongan (suwung), melainkan berasal dari yang Maha Pencipta.

KEJAWEN SEBAGAI LATAR BUDAYA TEKS
Kejawen sendiri merupakan istilah yang diberi makna beraneka ragam oleh
orang Jawa sendiri, para pengamat maupun para penulis. Terdapat orang yang
mengartikan kejawen dengan "Ilmu kebatinan Jawa" atau "mistik Jawa". Niels
Mulder mengartikannya sebagai suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh
cara berpikir Jawanisme. Koentjaraningrat mengartikannya sebagai religi Jawa.
Terdapat pula yang mengartikan kejawen identik dengan kebudayaan Jawa itu
sendiri (Sujamto, 1992 : 43).
Pemikiran orang Jawa yang dominan mewarnai kebudayaan Jawa pada
khususnya dan juga pada kebudayaan timur pada umumnya bersifat monistik.
Seperti diungkapkan Soerjanto Poespowardojo (1985 : 199), sebagai berikut :
Melalui rasa kesadaran kosmisnya manusia mengalami kenyataan sebagai
totalitas yang bermakna dan mencakup segala sesuatu, yang pada hakikatnya
lebih daripada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya, melainkan suatu totalitas
yang kuasa dan kudus, suatu organisme, suatu makrokosmos yang di dalamnya
terkandung diri manusia sebagai suatu mikrokosmos. Segala sesuatu mempunyai
kedudukannya dan setiap gejala menunjukkan kaitan dan hubungan dengan gejala
yang lainnya. Pandangan ini merupakan suatu monisme yang secara konsekuen
tidak akan dapat menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu lainnya yang
berdiri sendiri secara substansial.
Pandangan ini dalam kebudayaan Jawa digambarkan sebagai
"manunggaling kawulo gusti" dalam konteks mistik atau religio - magis.
Manunggaling kawulo gusti itu dalam kebudayaan jawa bukan sekedar konsep
filosofis, namun dapat dihayati dalam pengalaman mistik atau samadi. Niels
Mulder (1996 : 35) menyatakan bahwa orang Jawa tidak membedakan dengan
jelas antara alam dunia kodrati dan alam adikodrati.
Bagi orang Jawa setiap kejadian merupakan gejala yang saling
berhubungan dengan seluruh peristiwa kosmis. Sebaliknya peristiwa kosmis
tertentu dihayati sebagai tanda atau perlambang dari situasi yang akan dialami
manusia. Gempa bumi tidak sekedar peristiwa kosmis biasa melainkan sebagai
tanda atau perlambang akan terjadinya kekacauan, bencana, wabah penyakit dan
peristiwa tragis yang lain. Kepercayaan adanya kausalitas tertutup dari segala
peristiwa sehingga tidak mungkin manusia mengubahnya, sehingga segala
peristiwa merupakan takdir yang harus dijalani. Koentjaraningrat (1985: 136)
menyatakan bahwa dalam kebudayaan Jawa terdapat sikap pasif terhadap hidup,
karena mentalitas itu berdasar pada konsep bahwa hidup di dunia itu pada
hakikatnya telah ditentukan sebagai takdir yang tidak mungkin diubah oleh
manusia. Pandangan fatalistik orang jawa itu melahirkan etika pasrah, yaitu etika
menerima nasib. Hal ini juga berkaitan dengan konsep hidup cakra
manggilingan, kepercayaan akan silih bergantinya nasib baik dan buruk. Dalam
kerangka yang lebih luas tercermin dalam siklus zaman kerta yang diliputi
kesejahteraan dan kemakmuran akan datang setelah zaman kaliyuga sewaktu
dunia ditimpa bencana dan malapetaka (Kartodirdjo, 1990 : 160).
Pandangan monistik dan deterministik ini menguasai berbagai aspek
kehidupan, sehingga dapat diaplikasikan dalam analisis sosial, politik, ekonomi,
moral dan sebagainya. Kebudayaan Jawa oleh para pengamat sering disebut
bersifat sinkretis yaitu tebentuk dari proses pertemuan dan perpaduan dua atau
lebih faham atau aliran. Eka Darmaputera (1991 : 41-42) telah memberikan
gambaran bahwa kebudayaan Jawa terbentuk atas pertemuan dari kebudayaan
asli yang bersifat animisme, kebudayaan India setelah agama Hindu dan Budha
masuk ke Jawa dan kebudayaan Islam.
TUHAN DAN SIFAT-SIFAT KETUHANAN
Wujud kaca benggala gedhe (cermin besar) telah disebutkan sebagai ibarat
dari sifat dzat yang tidak dapat dibandingkan dengan barang lain. Secara implisit
disebutkan dalam teks bahwa yang dimaksud adalah dzat sebagai sandaran atau
bergantungnya segala kejadian. Dalam pandangan Kejawen murni Tuhan itu tidak
dapat digambarkan sebagaimana wujud dan keadaannya atau tan kena
kinayangapa. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa cemin besar itu memiliki
karakteristik mampu menampung segenap keberadaan singular seperti warna,
bentuk, jernih-keruh, matra, baik-buruk dan sebagainya. Ia menampung
keberadaan yang tidak terhingga banyaknya akan tetapi tidak sama dengan
segalanya. Tuhan yang tergambar dalam ungkapan tan kena kinayangapa
mengandung makna bahwa setiap usaha untuk menjelaskan Tuhan, pasti tidak
dapat menggambarkan Tuhan sebenarnya dan seutuhnya (Suyanto, 1992 : 49).
Walaupun Tuhan itu tan kena kinayangapa bukan berarti tidak dapat
digambarkan sama sekali. Thomas Aquinas berpendapat bahwa pengetahuan
yang diperoleh manusia mengenai Tuhan hanya bersifat analog. Misalnya
manusia dapat mengatakan Tuhan itu baik dan benar itu tidak univok seolah-olah
sama maknanya jika kata itu diterapkan pada manusia, tetapi juga tidak ekuivok
atau sama sekali berbeda. Terdapat analogi, kemiripan walaupun berbeda
(Peursen, 1978 : 91).
Analogi cermin besar bagi Tuhan yang digambarkan dalam teks mampu
menampung segala keberadaan singular tetapi berbeda dengan segalanya dapat
pula dinalogikan dalam bahasa matematika ketidakberhinggaan. Ketidak
berhinggaan dalam matematika dapat menunjuk pada himpunan dari segenap
bilangan menunjuk pada jumlah dari segenap bilangan atau merupakan awal dan
akhir bilangan. Sebelum George Cantor, ketidakberhinggaan merupakan "angka"
yang tidak dapat disebut kuantitasnya. Cantor membuktikan bahwa terdapat
tingkatan ketidakberhinggaan. B erdasar prinsip korespondensi maka himpunan
angka genap menempati posisi korespodensi 1 : 1 dengan himpunan angka ganjil,
bahkan dengan himpunan angka ganjil dan genap. Namun demikian himpunan
angka genap dan ganjil masih lebih kecil dibandingkan dengan himpunan
bilangan real yang mencakup bilangan "irrasional" (bilangan yang tidak dapat
dihitung secara tepat karena tidak habis dibagi secara desimal). Salah satu
intepretasi dari teori Cantor ini adalah, walaupun Realitas Ultim yang transenden
telah memunculkan pancaran emanatifnya ke wilayah material dan non material,
tetap saja tidak terjembatani antara yang satu dan yang banyak. Realitas Ultim
secara Ontologis adalah Godhead, Esensi, Tao, Brahman, Energi, Kesadaran atau
sebutan lain yang sejenis (termasuk tan kena kinayangapa). Realitas ultim itu
memiliki sifat sekaligus tidak bersifat. Jika dipandang dari sifat-sifat-Nya, maka
ia adalah wujud personal, material dan benar-benar ada di dalam ruang dan
waktu. Namun, Ia menampakkan karakter yang impersonal, non-material dan di
luar jangkauan ruang dan waktu (Leibelman, 1996 : 86, 94-95).
Berkaitan dengan konsep tan kena kinayangapa, maka seolah-olah Tuhan
tidak tergambarkan, juga analogi ketidakberhinggan yang tidak dapat
terbayangkan. Namun demikian, Tuhan yang tidak terhingga seperti ketidak
terhinggan juga dapat tergambarkan kuantitasnya. Pernyataan tan kena
kinayangapa tidak dapat diartikan sebagai kekosongan (suwung) walaupun tidak
dapat ditentukan, seperti halnya ketidakberhinggaan juga bukan merupakan
kekosongan. Ketidakberhinggaan sebagai "angka" memiliki bentuk simbolik
yang berbeda dengan angka yang lain. Ia bukan kelanjutan deretan angka tetapi
tidak terpisahkan dengan keberadaan angka-angka. Seperti tidak dapat
dipisahkannya warna dengan cahaya, keduanya dapat dipilah-pilahkan atau
dibedakan satu dengan yang lain. Tuhan yang digambarkan sebagai cermin besar,
mampu menampung keanekaragaman yang tidak tebatas. Namun demikian,
gambaran itu belum setara dengan tidak terbatasnya himpunan dari segala
himpunan. Himpunan angka genap dan himpunan angka ganjil lebih kecil
dibandingkan dengan himpunan bilangan real. Namun semua itu masih lebih
kecil dibandingkan dengan himpunan dari segala himpunan. Dengan demikian
gambaran Tuhan sebagai cermin besar masih dapat dikatakan "kinayangapa" ,
sedangkan dalam arti sesungguhnya Tuhan tetap "tan kena kinayangapa".

REALITAS
Di dalam teks disebutkan bahwa semua hal yang bersifat material yang
memiliki timbangan (bobot) baik-buruk bukan merupakan keberadaan sejati
(kahanan jati). Segala sesuatu yang tergelar hanyalah bayangan dari kahanan jati
yang menampak pada cermin gaib. Keberadaan sejati nampak bayangannya
karena cermin yang berujud pramana yang dipijamkan pada manusia. Pramana
adalah alat untuk mendapatkan pengetahuan (Hadiwijono, 1979 : 69). Catatan
kaki yang terdapat dalam teks menyebutkan bahwa pramana itu ibaratnya
cermin, miratul khajai atau kacawirangi.
Teks itu dapat dijelaskan melalui ajaran Sankara dalam filsafat India.
Brahman dikenal sebagai neti, neti (bukan ini, bukan ini). Brahman memiliki dua
rupa, dua bentuk atau dua wujud, yaitu: rupa yang lebih tinggi (para - rupa) dan
rupa yang lebih rendah (apara - rupa). Dalam perwujudan lebih tinggi Brahman
tanpa sifat (nirguna), tanpa bentuk (nirakara), tanpa pembedaan (nirwisesa) dan
tanpa pembatasan (nirupadi). Dalam perwujudannya yang demikian disebut
Para Brahman atau Nirguna Brahman. Brahman dalam perwujudannya yang
lebih rendah disebut Apara Brahman atau Saguna Brahman yaitu dianggap
mempunyai sifat-sifat dan dikenai pembatasan; demi pemujaan manusia sebagai
Tuhan (Iswara), sebagai sebab dunia, dan sebagainya. Hal itu sebenarnya
merupakan khayalan. Brahman yang menampakkan diri sebagai pencipta ini
disebut Maya. Maya artinya semu atau daya gaib (Sakti) atau asas bendawi
(Prakrti). Disebut sebagai maya karena ibarat seutas tali yang nampak seperti
seekor ular, kemudian diyakini dan menimbulkan rasa takut yang sungguh-
sungguh. Ular yang nampak itu hanyalah gejala psikhis yang keberadaannya
hanyalah khayalan. Demikian juga adanya alam semesta hanyalah maya. Barang-
barang duniawi hanyalah "penampakan", yang adanya tergantung pada realitas
yang lebih tinggi. Seperti penampakan ular tergantung adanya tali, demikian juga
beradanya dunia menunjuk kepada kenyataan yang lebih tinggi atau Brahman.
Jiwa bukan penampakan khayali melainkan Brahman seutuhnya, yang berada
secara nyata (sat) atau yang benar-benar ada adalah "keberadaan" yang kekal
(Hadiwijono : 85 - 88).
Plato melawankan Ada dengan menjadi. Konsep tentang menjadi berlaku
bagi semua dunia yang terlibati oleh perubahan yang terus-menerus atau
senantiasa dalam proses menjadi. Pengetahuan yang sejati, tidak berubah harus
berobjek pada sesuatu yang tidak berubah. Plato yakin bahwa pengetahuan sejati
harus mengarah pada yang Ada yaitu ide yang pada hakikatnya abadi dan tidak
berubah (Sontag, 2002 : 57). Di dalam teks diperlihatkan hal yang sama, yaitu
bahwa segala yang ada di dalam penampakan (materi atau duniawi) adalah
keberadaan semu atau bukan keberadaan sejati karena temporal dan berubah.
Kenyataan sejati sekedar tercermin dalam keberadaan yang tergelar dalam alam
semesta. Jika Plato menganggap apa yang senantiasa berubah sebagai menjadi
dan bukan sebagai yang Ada, maka konsep itu mirip dengan apa yang
dikemukakan dalam teks "Serat Kacawirangi ".
Oleh karena yang "ada" dalam kesejatian mendasari semua penampakan
keberadaan relatif, terbatas berubah, temporal atau yang mungkin dan beragam,
maka dari sudut pandang ini dapat dikatakan sebagai pandangan monistik. Seperti
diungkapkan pula oleh Magnis-Suseno (1987:33) bahwa dalam pandangan Jawa
di belakang alam yang kelihatan (lahir) tedapat alam gaib. Realitas sebenarnya
bukan teletak pada alam lahiriah inderawi melainkan alam batiniah yang tidak
kelihatan atau alam gaib. Alam semesta dengan kekuatan dan kedasyatannya
merupakan ungkapan alam gaib.

YANG SATU DAN YANG BANYAK
Arang nampak hitam, kupu-kupu berwana-warni, mirah atau permata
berwarna-warni, berlian dan cermin tanpa warna. Warna hanya bisa nampak jika
ada cahaya tetapi keberadaan sendiri seperti halnya berlian dan cermin tidak
harus berwarna. Warna dan cahaya merupakan kesatuan akan tetapi dapat
dibedakan. Cahaya adalah ibarat dari budi sebagai ibarat dari sifat Ketuhanan
atau sangkan paraning dumadi.
Frithjof Schuon (1996 : 181 - 182) mengemukakan empat kemungkinan
penafsiran atas realitas tunggal dan jamak atau kesatuan dan kepelbagaian.
Pertama, pembedaan yang Absolut dengan yang relatif yang tak berhingga dan
berhingga, antara Atma dan Maya. Kedua, pembedaan "kualitatif" dan "atas-
bawah" adalah antara prinsip dan manifestasi antara Tuhan dan alam, dunia
"alamiah" murni dan dunia samsara. Ketiga antara "langit" dan "bumi", sorga
dan dunia yaitu "Absolut-Murni" dan Absolut yang diwarnai relativitas. Prinsip
yang termanifestasi dalam kosmos adalah Logos. Tatanan duniawi dunia kita dan
dunia lain sebagai "alamiah" murni tetap tidak diketahui. Keempat, yaitu
menempatkan Logos pada posisi tengah terletak di bawah yang "Absolut Murni"
dan di atas dunia "alamiah". Logos adalah "firman yang tidak terciptakan" yang
termuat dalam kenyataan relatif, sehingga merupakan Prinsip sekaligus
manifestasi.
ETIKA
Etika yang ditawarkan dalam teks hampir sama dengan etika Yunani yaitu
bukan etika kewajiban atau keharusan dalam arti yang keras. Keduanya
memberikan nasihat dan petunjuk mencapai kebijaksanaan, mengarahkan
manusia kepada hidup yang lebih bermutu (Magnis-Suseno, 1997, 18). Seperti
halnya alam semesta yang dipandang beresensi dalam alam gaib atau alam
kerokhanian, manusia memiliki segi lahir dan segi batin; namun sumber
identitasnya bersifat batin. Identitas keakuan manusia secara hakiki bersifat
rohani walaupun terungkap dan terkonkretkan melalui jasmani. Nilai manusia
tidak terletak pada ungkapan jasmaniah, melainkan batiniah (Magnis -Suseno,
1987: 32). Etika yang ditawarkan adalah etika peningkatan rohani. Karena yang
rohani bukan saja bersumber dari Illahi melainkan manifestasi dari yang illahi,
maka manusia harus berusaha mencapai taraf keillahian pula. Manusia harus
semakin merohani. Sifat-sifat yang cenderung mengarah keduniaan harus
ditinggalkan. Menuju manusia sempurna adalah menuju pada sifat cemin yang
lebih didominasi cahaya dan tanpa warna. Manusia harus berusaha untuk selalu
berusaha membuat budinya lebih cemerlang. Melalui samadi mengendapkan
semua perasaan (suka-benci, gembira-sedih, dan perasaan lain) yang didorong
oleh nafsu dan kecenderungan indrawi. Semua itu mengotori batin manusia dan
menghalangi sinar budi. Dengan samadi manusia melatih kehalusan rasa dan
kecemerlangan budi, sehingga secara bertahap dapat mencapai kesempurnaan;
seperti telah secara cukup dijelaskan pada bagian deskripsi.

KESIMPULAN
1. Sifat Tuhan yang digambarkan sebagai cermin besar dalam teks adalah sifat
Tuhan sebagai Absolut-relatif yang dapat disimbulkan melalui pengalaman
manusia atas dunia, namun Tuhan sebagai Absolut-murni atau Godhead tetap
tidak terfahami.
2. Teks secara keseluruhan menceminkan ajaran etika sinkretis mistik Jawa
yang dipengaruhi pemikiran India dan Islam.
3. Metafisika yang terkandung di dalamnya bersifat monistik, memandang
segala sesuatu berasal dari satu prinsip/asas yaitu kerokhanian atau alam gaib.
4. Pluralitas dunia indrawi merupakan menifestasi dari asas yang sama dan satu
yaitu Dzat yang tidak terbatas atau Illahi yang tan kenakinayangapa.
5. Etika yang ditawarkan bukan etika kewajiban atau keharusan, melainkan
petunjuk menuju kebijaksanaan dan kesempurnaan hidup.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1922, Serat Kaca Wirangi, ditranskrip dari tulisan Jawa, keluaran Toko
Buku Tan Khoen Swie.
Darmaputera, Eka, 1991, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjauan Etis dan
Budaya, Gunung Mulia, Jakarta.
Hadiwijono, Harun, 1979, Sari Filsafat India, Gunung Mulia, Jakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1990, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif
Sejarah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1985, Persepsi tentang Kebudayaan Nasional, dalam Alfian,
ed., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan, Gramadia, Jakarta.
Leibelman, Alan M., 1996, Realitas dan Makna Ultim Menurut Fialsafat
Perennial : Pembuktian dari Ilmu Matematik dan Ilmu-ilmu Fisik, dalam
Ahmad Norma Permata, ed., Perennialisme : Melacak Jejak Filsafat Abadi,
Tiara Wacana, Yogyakarta.
Magnis-Suseno, Franz, 1987, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta.
Magnis-Suseno, Franz, 1997, 13 Tokoh Etika : Sejak Zaman Yunani Sampai
Abad ke-19, Kanisius. Yogyakarta.
Mulder, Niels, 1996, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional , Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Peursen, C.A. Van, 1980, Orientasi Di Alam Filsafat, di Indonesiakan oleh Dick
Hartoko, Gramedia, Jakarta.
Poespowardojo, Soerjanto, 1985, Alam Pikiran dan Kebudayaan, dalam Alfian,
ed., Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan,Gramedia, Jakarta.
Schuon, Frithjof, 1996, Ringkasan Metafisika Yang Integral, dalam Ahmad
Norma Permata, Perennialisme : Melacak jejak Filsafat Abadi, Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Sontag, Frederick, 2002, Pengantar Metafisika, penerjemah Cuk Ananta Wijaya,
Pustaka pelajar, Yogyakarta.
Sujamto, 1992, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Jawa, Dahara
Prize, Semarang.

Al Fatiha

 Print Halaman Ini