Mengurai Makna Pulung dan Daya Magisnya
BINTANG
cemerlang di langit yang jatuh ke bumi diyakini punya kekuatan magis
sebagai daya seseorang untuk menduduki kursi kepemimpinan atau jabatan.
Inilah dalam paham kekuasaan Jawa dikenal apa yang disebut pulung.
Intinya tidak jauh dari pemahaman mistis tentang bintang jatuh. Barang
siapa yang kejatuhan bintang keberuntungan, ia disebut telah memiliki
pulung. Artinya, yang bersangkutan akan memperoleh kekuasaan dalam
hidupnya.
Kisah
Ken Arok disebut-sebut tidak jauh-jauh dari pemahaman seperti itu. Ia
orang biasa, tapi memiliki ambisi besar untuk berkuasa sehingga rajin
mencari ilmu. Termasuk mengasah potensi batinnya. Akhirnya ia tahu dan
percaya bahwa Tunggul Ametung yang sedang berkuasa, secara mistis tidak
memiliki kekuatan apa-apa. Yang memiliki pulung adalah
istrinya, Ken Dedes. Akhirnya Ken Arok sampai pada kesimpulan, kalau
ingin memiliki kekuasaan tidak ada jalan lain kecuali dengan menikahi
Ken Dedes. Maka dengan segala cara (dan muslihat) akhirnya ia menemukan
cara untuk membunuh Tunggul Ametung dan menikahi bekas permaisurinya.
Sejarah mencatat, Ken Arok kemudian memang dicatat sebagai salah
seorang raja Jawa, meski riwayat hidup serta keturunannya pun
berdarah-darah.
Sebagian masyarakat masih
beranggapan bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan rahmat dan pencerahan
Tuhan kepada seseorang. Sehingga orang yang mendapat wahyu atau kewahyon,
dapat dikatakan hidupnya berhasil secara lahir dan batin. Dengan
demikian wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang mengarah
kepada kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang berguna bagi
kesejahteraan banyak orang. Perubahan tersebut tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi merupakan hasil dari sebuah keprihatinan yang
dibarengi laku batin. Pada umumnya laku batin adalah bertapa, berpuasa,
berpantang, mengurangi tidur, pergi ke suatu tempat yang dianggap
sakral dan laku yang lain. Itu semua merupakan wujud kesungguhan dari
usaha manusia dalam mendapatkan apa yang diinginkan dan dicita-citakan.
Namun tidak semua orang yang menjalani laku
batin tersebut kejatuhan wahyu. Mengingat bahwa wahyu adalah anugerah
dari Tuhan kepada manusia, maka tentu saja wahyu tidak dapat dikejar,
apalagi dipaksa untuk jatuh dan tinggal pada orang tertentu. Karena
jika yang terjadi demikian akan bertentangan dengan karakteristik
wahyu, yaitu sebuah tanda perubahan yang mengarah pada hal-hal
kebaikan.
Menurut kitab Widya Kirana,
secara fisik wahyu berwujud cahaya yang turun dari langit, besarnya
hampir sama dengan bulan. Cahaya wahyu terjadi dari campuran sinar
manik-manik emas dan salaka (logam putih), sehingga menimbulkan cahaya
putih kehijau-hijauan. Bagi masyarakat, terutama yang masih berpegang
pada tradisi turun-temurun, jatuhnya sebuah wahyu yang sesungguhnya
pada suatu tempat, merupakan tanda bahwa dari tempat tersebut nantinya
akan muncul seorang yang sukses besar, baik dalam bidang derajat
kepangkatan maupun kelimpahan harta benda, yang dapat dirasakan
masyarakat luas. Biasanya Wahyu turun pada jam-jam keramat, yaitu
berkisar pada pukul 03.00 dini hari.
Tiga Cahaya Magis
Selain Wahyu, ada empat macam cahaya yang jatuh dari langit,
masing-masing mempunyai nama dan karakteristik berbeda, yaitu:
Andaru;
berwujud sinar berwarna kuning kemilau yang pinggirnya kemerah-merahan,
terjadi dari campuran sinar manik-manik emas, tembaga, dan timah.
Seseorang yang kejatuhan Andaru, akan menjadi kaya, dengan
mendapatkan kelimpahan harta benda, yang dapat menyenangkan banyak
orang. Dengan demikian orang yang mendapatkan Andaru akan disujudi orang banyak. Andaru
berkarakter kebendaan, sehingga ia akan memilih seseorang yang
menjalani laku batin karena keprihatinannya akan kemiskinan hidupnya.
Pulung:
yaitu cahaya yang jatuh dari langit dengan warna biru kehijau-hijauan.
Cahaya tersebut terjadi dari sinar manik-manik emas dan tembaga.
Seseorang yang kejatuhan pulung hidupnya akan dipenuhi oleh belas kasihan kepada sesama, sehingga ia akan disegani dan dihormati banyak orang. Pulung
berkarakter cinta kasih, sehingga jatuhnya pulung akan memilih orang
yang menjalani upaya lahir batin atas keprihatinannya mengamalkan cinta
kasih kepada sesama, dalam mewujudkan keindahan, ketenteraman, dan
kedamaian dunia, Amemayu Hayuning Bawana.
Guntur:
cahaya berwarna ungu, pinggirnya berwarna merah muda, yang terjadi dari
campuran tiga sinar, yaitu tembaga, garam, dan belerang. Bagi orang
yang kejatuhan guntur, hidupnya akan menjadi besar karena kebengisan dan ketamakannya. Sepak terjangnya membuat banyak orang takut dan tercekam. Guntur
berkarakter angkaramurka, dan cocok bagi orang yang sedang menjalani
laku dengan tujuan menjadi orang besar dan mampu memerintah dan
menguasai orang banyak.
Teluhbraja:
wujudnya sinar yang jatuh dari langit dengan warna merah, pinggirnya
berwarna biru. Terjadi dari campuran tiga sinar, yaitu timah, tembaga,
dan belerang. Seseorang yang berwatak iri hati, licik, dan senang
mencelakai orang lain, jika mempunyai keingingan menjadi besar dengan
dibarengi laku batin, maka yang akan jatuh dan memberi tambahan daya
kekuatan dalam hidupnya adalah teluhbraja. Karena karakter teluhbraja
cocok dengan karakter orang tersebut, yaitu menimbulkan banyak orang
celaka dan susah. Dipercaya, jika di suatu tempat jatuh sebuah sinar
yang berwarna merah kebiru-biruan, itu namanya teluhbraja, dan akibatnya di daerah tersebut akan timbul bencana yang menyengsarakan orang banyak.
Dari
pemaparan tersebut, dapat dimaknai bahwa keprihatinan, usaha, dan
gerakan lahir batin seseorang, atau putaran jagad cilik (micro cosmos), berpengaruh langsung dengan kehidupan alam semesta dan manusia dil uar dirinya (macro cosmos).
Ketika
batin seseorang bergerak dengan dibarengi laku, maka akan menimbulkan
energi berkekuatan magnet yang dapat menarik energi alam semesta.
Semakin berat laku batin seseorang, semakin cepat putaran yang
digerakkan dan akan semakin kuat daya magnetisnya dalam menyedot energi
alam semesta.
Jika yang digerakkan
mengandung energi kebaikan dan keluhuran, maka yang masuk dinamakan
wahyu. Jika yang digerakkan berupa energi cinta dan belas kasihan, maka
energi yang masuk dinamakan pulung. Demikian pula jika yang digerakkan adalah energi derajat dan pangkat, maka yang singgah dan masuk di dalamnya dinamakan andaru. Sedangkan teluhbraja dan guntur akan memberi energi kepada orang yang menggerakkan energi angkaramurka dan ketamakan.
Saat
bersatunya energi seseorang dengan energi alam semesta itulah yang
ditandai dengan jatuhnya sebuah sinar. Dengan mengenali ciri-cirinya
dari masing-masing sinar yang jatuh di suatu tempat pada dini hari,
apakah itu sinar wahyu, andaru, pulung, teluhbraja, atau guntur,
paling tidak orang akan mampu menangkap pertanda alam untuk memprediksi
apa yang akan terjadi. Dan itu merupakan awal dari sebuah peringatan
bagi orang yang berada di sekitarnya, agar siap dan waspada menghadapi
perubahan seseorang entah baik atau buruk, yang akan berdampak langsung
secara luas.
es danar pangeran/ bs
Wahyu Cakraningrat
SAPA sing cidra wahyune bakal sirna
(siapa yang curang wahyunya akan hilang). Demikianlah kata pepatah tua
Jawa. Dalam pemahaman Jawa pula, wahyu jika dikejar akan lari
menghindar. Jika dihindari, malah mengejar. Artinya, wahyu itu hanya
mau manjing (masuk dan menyatu) pada wadah (orang) yang benar-benar semestinya (kewahyon).
Dalam
lakon pewayangan, terdapat kisah yang paling gamblang untuk memahami
seluk-beluk tentang wahyu. Yakni lakon “Wahyu Cakraningrat”. Di dalam
lakon tersebut dikisahkan, para ksatria yang berupaya mendapatkan Wahyu
Cakraningrat. Sebuah wahyu yang merupakan penjelmaan Sang Hyang Bathara
Cakraningrat, salah satu dewa di Kahyangan Suralaya.
Barang
siapa mendapatkan wahyu tersebut, semua keturunannya akan menjadi raja
di Tanah Jawa Dwipa. Artinya, Wahyu Cakraningrat sama halnya dengan wahyu wijining ratu (wahyu bagi keturunan raja). Dengan demikian, tak heran jika banyak orang yang menginginkannya.
Tersebutlah,
ada tiga ksatria yang berkehendak mendapatkan Wahyu Cakraningrat.
Pertama, Raden Abimanyu alias Angkawijaya (Ksatria Plangkawati), anak
Raden Arjuna-Dewi Wara Sumbadra. Kedua, Raden Samba Wisnubratha
(Ksatria Parang Garuda), anak Prabu Kresna-Dewi Jembawati. Ketiga,
Raden Lesmana Mandrakumara (Ksatria Sarojabinangun), anak Prabu
Duryudana-Dewi Banowati.
Ketiganya pun setelah
mohon doa restu kepada orang tua masing-masing, secara terpisah
berangkat ke Alas Krendhawahana, untuk bertapa di sana. Sebuah hutan
yang menurut wangsit dari para dewa menjadi lokasi turunnya Wahyu
Cakraningrat. Padahal, Alas Krendhawahana merupakan “rumah” bagi para
jin, setan brekasakan, peri perayangan—yang merupakan anak buah Bathari Durga, sang dewi kegelapan/kejahatan.
Abimanyu berangkat ke lokasi dikawal oleh panakawan:
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Samba Wisnubratha dikawal oleh
pamannya, Arya Setyaki dan Patih Udawa. Lesmana Mandrakumara dikawal
oleh sepasukan prajurit Kerajaan Astina, lengkap dengan perbekalan dan
persenjataan. Bahkan, pangeran pati (putra mahkota) Astina ini juga
dibekingi oleh Bathari Durga.
Ujian pertama pun
harus dihadapi. Tiba-tiba muncul banyak perwujudan menyeramkan. Memang,
Bathari Durga memerintahkan para jin dan setan untuk mengganggu
orang-orang yang bertapa. Dari ketiga pertapa, hanya Abimanyu yang
tampaknya tidak terpengaruh, dan tetap tekun bertapa.
Ujian
kedua datang. Muncul sepasang raksasa sebesar bukit yang mengamuk di
tengah hutan. Dia mengaku bernama Maling Raga dan Maling Sukma. Ulahnya
membikin Samba Wisnubratha dan Lesmana Mandrakumara ketakutan. Kedua
raksasa itu pun berperang tanding melawan Abimanyu. Keduanya tewas
terkena panah sakti ksatria bagus tersebut. Tiba-tiba, jasad Maling
Raga berubah menjadi Bathara Indra, dan jasad Maling Sukma berubah
menjadi Bathara Kamajaya. Kedua dewa itu pun memberikan banyak petuah,
bagaimana agar Abimanyu berhasil mendapatkan Wahyu Cakraningrat.
Pada
suatu tengah malam, terlihat seberkas sinar yang sangat terang
berkeliling di atas Alas Krendhawahana. Sinar itu tak lain adalah Wahyu
Cakraningrat yang tengah mencari wadah. Pertama-tama, Wahyu
Cakraningrat “masuk” ke dalam diri Lesmana Mandrakumara. Merasa
kemasukan wahyu, ia pun menyudahi tapanya. Berjingkrak-jingkrak
kegirangan. Dia pun berpesta pora merayakannya bersama para prajurit
Astina. Seperti “balas dendam”, untuk makan dan minum yang enak-enak,
sepuas-puasnya.
Wahyu
Cakraningrat yang berada dalam tubuh Lesmana Mandrakumara pun tak kuat
berlama-lama. Dia tak tahan dengan hawa panas Lesmana Mandrakumara yang
penuh hawa nafsu. Wahyu Cakraningrat segera keluar, dan berkeliling
mencari pertapa yang lain. Kali ini, dia mencoba “masuk” ke dalam jasad
Samba Wisnubratha. Merasa kemasukan wahyu, dia pun menyudahi tapanya.
Anak Prabu Kresna ini sangat bersyukur bisa mendapatkan apa yang
diinginkannya.
Melihat Samba Wisnubratha
mendapatkan Wahyu Cakraningrat, Bathari Durga tidak berkenan. Dia pun
ingin wahyu itu keluar dari dalam tubuh anak Prabu Kresna tersebut.
Bathari Durga pun bersalin wujud menjadi wanita yang sangat cantik dan
molek. Mengalahkan kecantikan para bidadari. Dia pun menggoda Samba
Wisnubratha. Minta untuk dikawin. Kalaupun tidak dikawini, minta
diobati rasa kesepiannya.
Mendapat tawaran
menggiurkan tersebut, Samba Wisnubratha terpengaruh dan tergoda. Dia
pun mencumbu dan memperlakukan si wanita itu layaknya istri sendiri.
Akibatnya sangat fatal, Wahyu Cakraningrat yang berada dalam tubuhnya
seketika keluar dan melesat, mencari pertapa lain.
Kali
ini, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam tubuh Abimanyu. Merasa
kemasukan wahyu, ksatria anak Raden Arjuna ini pun merasa sangat
bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa. Mengetahui momongannya kemasukan
wahyu, Semar pun mewanti-wanti agar Abimanyu semakin berhati-hati,
dalam tutur kata, sikap, dan perilaku. Sekaligus selalu waspada
terhadap segala cobaan dan ujian yang bisa datang sewaktu-waktu.
Melihat
Abimanyu mendapatkan Wahyu Cakraningrat, Bathari Durga pun ingin
menggagalkannya. Sebagaimana dilakukan kepada Samba Wisnubratha,
Bathari Durga pun bersalin wujud seorang wanita yang sangat cantik dan
aduhai. Ia mulai menggoda Abimanyu. Bukan hanya minta dikawini atau
diobati rasa kesepiannya. Kali ini, wanita cantik tersebut begitu ngebet (bernafsu) terhadap Abimanyu.
Ingat
wejangan para dewa dan Ki Semar, Abimanyu pun selalu menghindar meski
si wanita terus-menerus mengejarnya. Melihat momongannya dalam
kesulitan, Semar segera membantu. Dia menghajar wanita cantik itu
habis-habisan. Tiba-tiba, si wanita cantik itu berubah wujud aslinya
sebagai Bathari Durga. Sang dewi kegelapan itu pun mohon maaf, dan
kembali ke alamnya.
Dari kisah ini, dapat dipahami
bahwa Abimanyu sukses mendapatkan Wahyu Cakraningrat, karena tahan
ujian, rintangan, hambatan, dan cobaan. Dia tetap zikir (ingat) kepada
Tuhan. Meski digoda oleh perwujudan setan, ancaman bahaya, dan wanita
cantik. Ini karena ketulusan dan kesucian (kemurnian) niat Abimanyu
untuk mengemban amanat sebagai penurun wijining ratu
(keturunan raja). Yang tujuan utamanya, hanya untuk kemaslahatan umat
dan kemakmuran rakyat secara lahir-batin. Berbeda dengan Lesmana
Mandrakumara dan Samba Wisnubratha yang belum bisa mengendalikan hawa
nafsu mereka. moko
Sumber : posmo