Dikisahkan negeri Blambangan (sejaman dengan Majapahit) ketika itu diserang wabah besar. Banyak orang yang sakit, pagi sakit sore meninggal, dan sore sakit pagi meninggal. Wabah penyakit tersebut juga menyerbu masuk kedalam istana. Putri raja Blambangan (Dewi Kayiyan) juga terserang wabah dan sakitnya sangat parah. Sang Raja telah mendatangkan sejumlah dukun dan tabib, serta berbagai obat dan jamu telah diberikan, namun sang putrid bemu juga sembuh.
Sang Raja kemudian memerintahkan patih Bajulsengara untuk mencari obat kemanapun, keseluruh negeri bahkan ke luar negeri. Setelah sang patih mencari obat dari desa kedesa, naik turun gunung, keluar masuk hutan, akhirnya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seprang petapa yang bernama Kyai Kandabaya.
Sang Patih lalu menghadap sang Petapa dan menyampaikan maksudnya mencari obat bagi kesembuhan putrid Raja Blambangan yang sampai saat ini belum ada yang mampu untuk menyembuhkannya. Rupanya sang Petapa sudah mengerti maksud kedatangan patih Bajulsengara tersebut, dan mengatakan sebaiknya sang patih segera pulang saja, karena sesungguhnya yang dapat menyembuhkan ada dilingkungan keraton Belambangan, yaitu Seh Maulana Iskak (Seh Wali Lanang) yang sedang bertapa didalam gua dibawah gapura keraton.
Setelah mendengar laporan sang Patih, maka Raja langsung memerintahkan membongkar dan menggali gapura keraton, dan ternyata di dalamnya ada seorang petapa Arab yang masih muda.
Patih lalu menceritakan kepada petapa muda tersebut mengenai sakitnya putri Blambangan dan permintaan raja agar dapat menyembuhkannya. Ternyata Seh Maulana Iskak dapat menyembuhkan sang putrid, dan kemudian ia dikawinkan dengan sang putrid oleh raja Blambangan. Setelah mendapat anak Seh Maulana Iskak minta ijin isterinya untuk menggenbara menuntut ilmu. Tidak lama kemudian isterinya meninggal, namun anaknya tidak dirawat oleh kakeknya, raja Blambangan, bahkan dibuangnya kelaut karena dipandang "berhawa panas". Anak yang malang itu ditemukan oleh seorang saudagar yang sedang berlayar ke Gresik.
Di Gresik anak tersebut dirawat oleh Nyai Tandes dan kemudian di sekolahkan ke pesantren Ampel. Setelah besar anak tersebut bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri yang terkenal itu. Sunan Giri ini membangun padepokan atau kerajaan Sunan Giri yang meliputi hampir seluruh wilayah Kabupaten Gresik.
Majapahit yang mendengar adanya padepokan Sunan Giri di wilayah kekuasaannya merasa terancam, dan kemudian mempersiapkan penumpasan. Untuk itu Majapahit mengirim penyelidik ("telik sandi") Ki Lembusura dan Ke Keboarya, namun usahanya gagal karena kedua "telik sandi" tersebut tertangkap, dan oleh Sunan Giri di kirim kembali ke Majapahit. Kejadian ini menyebabkan penumpasan terhadap padepokan Sunan Giri tertunda. Pada waktu Sunan Giri (yang juga disebut Sunan Giri Sepuh) wafat, beliau digantikan oleh Sunan Giri Dalem, setelah memerintah beberapa lama Sunan Giri Dalem meninggal karena sakit, dan digantikan oleh Sunan Giri Perapen.
Setelah tertunda puluhan tahun, pada masa Sunan Giri Perapen yang lemah itulah Majapahit kembali meneyerang. Sunan Giri Perapen kalah, dan dengan segenap pengikutnya mundur bergabung dengan Kerajaan Demak (R.Patah).
Pasukan Majapahit yang merajalela di Giri telah memerintahkan membongkar makam Sunan Girigajah, Pada waktu makam dibongkar dan peti jenasah dibuka, maka keluarlah ribuan lebah menyerang pasukan Majapahit sehingga terpaksa mengundurkan diri. Setelah daerah Giri aman kembali, maka Sunan Giri Perapen kembali ke padepokannya.
Menurut serat Centini, serbuan lebah yang memporak porandakan pasukan Majapahit tersebut adalah karena kutukan dari dua orang lumpuh yang menjaga makam Sunan Girisepuh.
Dalam serat Centini dijelaskan pula bahwa sebagai reaksi atas serangan Majapahit tersebut, maka para Wali (9 wali) berkumpul di Demak dan memutuskan untuk menyerang Majapahit yang memeluk agama Hindu-Jawa. Setelah Majapahit runtuh Sunan Prapen menobatkan Raden Patah sebagai raja di Demak
Setelah beberapa waktu kerajaan Demak surut dan pengaruhnya digantikan oleh kerajaan Pajang, dan kemudian oleh kerajaan Mataram. Dalam suatu peperangan pasukan Mataram telah mengalahkan pasukan Sunan Giri Perapen.
Dalam peperangan tersebut tiga anak Sunan Giri hilang yaitu: Jayengresmi, Jayengrasa dan Rancangkapti. Larinya tiga anak Sunan Giri inilah yang menjadi pokok cerita Serat Centini. Dari sinilah timbul ajaran-ajaran Kebatinan Jawa yang bernafaskan Islam.
Jayengresmi lari ke barat, sedangkan Jayengrasa dan Rangcangkapti ke timur. Pada cerita itu Jayengresmi berguru pada Kiyai Ageng Karang dan berganti nama menjadi Seh Amongraga i tokoh utama dalam Serat Centini. Seh Amongraga ini mengembara mencari adik-adiknya. Dalam perjalanan mengembara dia berguru pada pada Kyai Bayi Panurta di Wanamarta dekat Majaagung yang kemudian menjadi mertuanya.
Ilmu kebatinan yang terkandung dalam serat Centini terpusat pada pembicaraan antara seh Amongraga dengan mentuanya, isterinya, dan para iparnya di Wanamarta. Inti dari ajaran kebatinan dalam serat Centini adalah:
Ajaran eksoteris (ajaran untuk orang diluar dirinya), dan
Ajaran esoteris (ajaran untuk orang dalam dirinya). Jika diperhatikan tertlihat bahwa ajaran tersebut bernafaskan Kebatinan Islam atau bernafaskan Islam Sufi.
Ajaran Seh Amongraga dalam serat Centini tersebut pada garis besarnya dapat diutarakan sbb:
1. Tentang awal terjadinya dunia, menurut ajarannya adalah Datulah, berada dikepala Adam, dan disebut Baitulmukadah, ditelinga kanan disebut hayat, ditelinga kiri disebut wilayat nur sejati, Dimata kanan disebut rasa sejati, ditelinga kiri disebut sari rasa, dileher bagian kiri disebut wahid, dan dihati disebut sirullah, dipusat disebut jamilah, dilautan disebut abah, ditengah kalam disebut nukhat dan diujung kalam disebut naptu ghoib, lalu jatuh kedalam wadah. Ketika ditanya dimana kedudukan Allah , dimasa sepi awing uwung (suwung), yang ada bumi dan langit, jawabannya hanya KUN yang ada. Kedudukannya disebut "nukat" wilayah ghoib, tiga Ghoibul Ghuyub, yaitu ghoib ULUWIYAH, BUDI dan AKAL manusia ada pada ALLAH ada namun tak terlihat ("Tan Kena Kinaya Ngapa").
2. Manunggaling kawulo lan gusti, dikatakan seperti "Kodok kinemulan ing leng?" (Katak terkurung dalam liangnya). Allah sebagai pencipta lam semesta dan segala isinya, zat rohnya memasuki manusia, dimana manusia diciptakan Allah melalui perhubungan antara Adam dan Hawa beserta keturunannya, merupakan perpaduan iradatnya antara umat dan Khaliknya. Manusia menjadi telinga, mata, rasa, cipta dan kalbunya zat Illahi. Dalam bahasa Centini disebut "Curiga Manjing Warangka, Warangka Manjing Curiga" yaitu sukma masuk kedalam jasad, jasad masuk kedalam sukma, serta cahaya Nabi, malaikat dan semua Wali. Menurut Seh Amongraga banyak sekali penghalangnya untuk menyatukan diri dengan Allah. Itulah sebabnya kita ini bertekat sepenuh hati untuk tidak melihat ujud Allah, tauhid saja, dan percaya adanya Allah karena melihat ciptaannya - Jagad Raya dengan segala isinya - . Lambang sukma masuk jasad, jasad masuk sukma sebagai pintu gerbang hati-sanubari, dan dibuka melalui IRHAM. Sedangkan tumpang tindih antara ilmu dan roh Illahi dibuka dengan jalan sholat terus-menerus sehingga terwujud JASAD SUKMA. Seh Amongraga sholat kemudian tafakur mengheningkan cipta. Mata hati tertuju kepada ghoibnya Allah, meningkat ketingkat tarekat dengan pandangan lepas ketingkat Mikrat , seketika terasa hampa, menarik tujuh jaman atau alam, yakni ALAM KAMIL, ALAM MISAL, ALAM AJSAM, ALAM ARWAH, dan ke ketiga alam ghoib, yaitu; WAKIDIYAT, WAHDAT, DAN AKADIYAT.
3. Manusia yang hidup di dunia selalu dimasuki nafsu-nafsu, yaitu nafsu jahat (negatip) dan nafsu baik atau luhur (positip). Nafsu positip yaitu nafsu " mutmainah ", dan nafsu negatip yaitu; nafsu "aluamah", "hamarah" dan "sufiah" Seh Amongraga mengajarkan agar kita selalu mempergunakan nafsu positip dengan selalu menuntut ilmu, rajin bekerja, sholat, puasa dan lain-lain seperti apa yang diperintahkan Allah dalam Al'Quran. Buanglah jauh-jauh nafsu negatip dengan menghindari larangan Allah. Menurut Seh Amongraga kesabaran adalah senjata yang paling ampuh untuk menghalau nafsu-nafsu jahat tersebut. Dengan menjalankan syariat Islam yang benar kita dapat menjadi manusia yang sempurna, yaitu secara bertahap mulai dari taraf tarekat, terus meningkat ke taraf hakikat dan makripat. Tingkat makripat adalah yang tertinggi untuk bersatu dengan kehendak Allah.
Inilah secara singkat ajaran Seh Amongraga dalam serat Centini. Disitu terlihat dengan jelas bahwa ajaran dalam serat Centini adalah kebatinan Jawa yang bernafaskan Islam.
sumber : http://www.ajangkita.com/forum/viewtopic.php?printertopic=1&t=848&start=0&postdays=0&postorder=asc&vote=viewresult