Wahai Muslim, wahai orang-orang yang beriman, hari-hari berlalu, minggu dan pekan pun berlalu, bulan-bulan berlalu, tahun-tahun pun berlalu, dan setiap orang suatu hari nanti akan meninggalkan segala sesuatunya di belakangnya dan pergi… Tak seorang pun yang akan tertinggal di belakang. Apa pun yang berusaha kita lakukan, kita akan pergi dan meninggalkannya. Allah SWT-lah yang memiliki diri kita. Kita tidak memiliki diri kita sendiri. Allah SWT telah menciptakan kita dan Allah mencintai ciptaan-Nya.
Seseorang yang menulis suatu kaligrafi yang indah, tulisan atau seni yang indah, ia pun begitu bangga dengan apa yang telah ia hasilkan. Ia menginginkan orang untuk menyukainya pula, Ia ingin orang untuk menghargai dan mengapresiasinya pula, yaitu terhadap karya seninya. Dan kita sebagai Muslim, percaya bahwa Allah SWT telah menciptakan diri kita. Dan tentu saja, Allah SWT mencintai kita, dan tentu saja Allah SWT ingin kita untuk menghargai Diri-Nya yang telah menciptakan kita, dan Ia membawa kita ke kehidupan ini untuk mengenal-Nya, mengetahui Diri-Nya.
Allah SWT berfirman (dalam hadits Qudsi), “Kuntu kanzan makhfiyya, fa aradtu an u’raf fa khalaqtu al-khalq” “Aku adalah Harta yang tersembunyi, Aku ingin untuk diketahui maka Kuciptakan makhluq”. Allah menciptakan kita untuk mengenal-Nya. Maka, penghargaan itu, bahwa Allah SWT telah menciptakan kita ditunjukkan dengan jalan ibadah. Bagaimanakah kita akan menghargai seseorang? Seorang anak menghargai perbuatan baik ayah atau ibunya padanya, dengan menunjukkan cintanya pada mereka. Sang anak menunjukkan rasa hormatnya dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tuanya, khususnya bagi anak yang berbakti pada orang tuanya. Jadi, sebagai Muslim, kita pun berbakti kepada Allah SWT. Dan jalan terbaik untuk menunjukkan pada-Nya penghargaan kita tersebut, adalah dengan ibadah.
Dan Allah SWT berfirman, “Wa maa khalaqtu al-jinna wa l-insa illa liya’buduuni” “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [QS 51:56]. Dan ibadah bisa dalam berbagai bentuk, di samping lima bentuk kewajiban yang harus kalian lakukan (dalam rukun Islam). Ibadah bisa ditunjukkan dengan berbagai cara yang berbeda: dengan mengunjungi orang yang sakit, dengan menolong orang lain, dengan melakukan sesuatu buat orang lain, membantu mereka dalam hidup mereka, membantu tunawisma, memberikan zakat, dan lain-lain. Inilah jenis-jenis penghargaan kita terhadap apa yang Allah SWT telah berikan pada kita.
Dan yang paling penting, hari ini, Allah SWT ingin kita untuk memberikan penghargaan dan apresiasi kita pada apa yang telah Ia ciptakan bagi kita. Dan Ia telah memilihnya untuk menjadi Yang Terbaik, untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Saya akan menunjukkan penghargaan bagi Nabi kita tercinta, Sayyidina Muhammad ‘alaihi afdalus salaatu wassalaam. Allah ingin kita menunjukkan penghargaan pada Nabi ‘alaihi afdalus salaatu wassalaam, karena “Man athaa’ar Rasuul faqad athaa’allah” “Barang siapa taat pada Rasul sungguh dia telah taat pada Allah” [1]. Allah telah menjadikan Nabi-Nya sebagai pintu gerbang, sebagai jembatan atau sebagai jalan raya bebas hambatan untuk mencapai Hadirat Allah. Jika kalian akan menyangkal jalan itu, yaitu “ittiba’ khuthar Rasuul” “mengikuti jejak langkah Nabi, maka itu berarti kalian tidak menghargai apa yang telah diberikan Allah SWT pada kita.
Dengan alasan itulah, Allah SWT berfirman dalam Quran Suci, “Innallaha wa malaa-ikatahu yushalluuna ‘alan Nabiy. Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu shallu ‘alaihi wasallimuu tasliiman.” “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS 33:56]. Dia berfirman “Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu” “Wahai Orang Beriman” Dia mengkhususkan pada orang beriman (mu’min). Tidak setiap muslim adalah mu’min, tapi setiap mu’min adalah muslim. Muslim bisa menjadi seorang muslim, tapi mungkin ia tidak salat, ia mengatakan “Laa ilaaha illa-Allah Muhammadun Rasulullah”. Dia seorang Muslim. Kalian tidak bisa mengatakan padanya, “Kau bukan seorang Muslim”. Ia mungkin berbuat dosa dan dosa, dia meninggalkan salat, dan meninggalkan salat, tapi kalian tidak bisa mengatakan padanya, “Hei kamu bukan Muslim.” Tapi seorang Mu’min sejati adalah seorang Muslim sejati. Karenanya, Allah SWT berfirman, “Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu” “Kalian, kalian yang Mu’min, kalian tahu, dan kalian dapat menghargai apa yang telah Ku-berikan padamu, kalian tidak lagi berada di Taman Kanak-Kanak.” Seperti kita, Muslim, kita masih berada di Taman Kanak-Kanak, kita masih berusaha untuk belajar. Tapi, ketika kita telah mencapai tingkatan Iman, itu selesai. Kita tahu kini kewajiban kita, kita tahu tugas kita. “Maka, wahai Mu’min! Shalluu ‘alan Nabiy, Yaa Ayyuhal ladziina Aamanuu shalluu ‘alaihi” “Bersalawatlah bagi Nabi!” Ini suatu perintah! Karena dalam salawat atas Nabi ada barakah bagi kita.
Lihatlah apa yang Nabi sall-Allahu ‘alaihi wasallam katakan. “Fa ’anil Bara’ ibn ‘Azm r.a., annan Nabiyya sall-Allahu ‘alaihi wasallam qoola, ‘Man salla ‘alayya marratan’ “Barangsiapa yang mendoakan (bersalawat) untukku satu kali” dan ini adalah untuk Mu’min. Bagi mu’min ini adalah suatu tugas, suatu kewajiban. Untuk Muslim, kita masih berjuang sebagai Muslim, kita belum mencapai derajat Mu’min. Mu’min berarti ia yang telah mencapai derajat tertinggi dari Iman, kita tidak lagi berbohong, kita tak lagi menipu, tak lagi berkhianat. Muslim sedang berjuang untuk mencapai kesempurnaan dalam tingkatan iman. Beliau bersabda, “Man salla ‘alayya marratan” “Barangsiapa bersalawat atasku satu kali” “kataballahu ta’ala lahu ‘asyru hasanaat” “Allah akan menuliskan baginya sepuluh kebaikan” “Wa mahha ‘anhu ‘asyru sayyiaat” ”Dan Allah menghapuskan darinya sepuluh keburukan” “wa rafa’ahullah ‘asyru darajaat” “Dan Allah meninggikannya” Ke mana Allah SWT meninggikannya? Beliau mengatakan “meninggikannya” Ke mana? Ini berarti ada derajat-derajat yang Allah sediakan untuk meninggikan Mu’min, atau Muslim, saat mereka mengucapkan salawat atas Nabi, saat mereka mendoakan Nabi. Allah SWT meninggikannya “sepuluh derajat”. “wa kunna lahu adlu ‘asyru riqaab” “dan akan ada sepuluh derajat ini ketika ia melakukan salawat itu seakan-akan ia membebaskan sepuluh orang dari perbudakan”. Berapa banyak di zaman Nabi SAW terdapat perbudakan, saat mana Nabi SAW biasa membebaskan mereka dari perbudakan, dari siksaan tuan mereka? Berapa banyak orang menderita akibat perbudakan? “Seakan-akan ia telah membebaskan sepuluh budak.” Tidak hanya dari perbudakan, tapi juga dari api neraka. Itu hanya untuk satu kali salawat atas Nabi SAW.
“An ‘Aa-isyata radhiyallahu ‘anha” suatu hadist lain. Sayyidah ‘Aisyah ra berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Maa min ‘abdin salla ‘alayya salaatan” “Tidaklah seorang hamba bersalawat atasku satu kali” “illa kharaja bihaa malikun” ”melainkan seorang Malaikat akan keluar darinya” “yajii-u biha wajhur Rahman” “dan membawa salawat itu ke Hadirat Allah” “fa yaquulu Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala” “maka Tuhanku Tabaraka wa Ta’ala akan berfirman pada malaikat yang membawa salawat atas Nabi itu” “idz-habu bihaa ilaa qabri ‘abdii” “bawalah salawat itu dan pergilah ke kubur hamba-Ku itu di masa depan di saat dia akan masuk ke kubur itu” "tastaghfiru li shaahibihaa wa tuqirru bihaa ‘aynuhu” Jika orang itu di dunia bersalawat satu kali atas Nabi SAW sebagaimana dikatakan ‘Aisyah ra, maka malaikat yang membawa salawat itu pergi ke hadirat Allah SWT, dan Allah akan mengatakan pada malaikat itu, “Jika hamba-Ku mati, bawalah salawaat itu dan pergi ke kuburnya. Salawat itu akan memintakan ampunan bagi hamba-Ku yang ada di kubur itu hingga ia akan berbahagia.” "Tuqirru bihaa ‘aynuhu” berarti matanya akan amat berbahagia atas apa yang akan ia terima sebagai balasan atas salawat yang telah ia lakukan.
Wahai Muslim, inilah cara menunjukkan penghargaan pada Allah SWT, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Quran Suci kepada Nabi SAW, “qul la as-alukum ‘alayhi ajran illa l-mawaddata fi l-qurba” [QS 42:23]. Allah berfirman pada Nabi untuk mengatakan pada kita, “Katakanlah: ’Wahai Muslim aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali agar kalian menjaga keluargaku, agar kalian menjaga sukuku, agar kalian menjagaku’". Dan bagaimanakah kita menunjukkan penghargaan kita dan menjaga Nabi? Kita tidak bisa menjaga beliau, beliaulah yang harus menjaga kita, tapi kita menunjukkan cinta kita pada beliau dengan salawat. Dan karena itulah, salawat itu akan menjadi penyelamat diri kita di Hari Penghakiman. “Man salla ‘alayya, wa jawad lahu syafaa’atii” “Barangsiapa bersalawat atasku Allah SWT akan memberiku kekuatan padaku untuk bersyafa’at baginya di hari Pembalasan”.
Ibn Dawud meriwayatkan dari Abu Bakr as-Shiddiq berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW dalam Haji Wada’ bersabda, ’Innallaha ‘azza wa Jalla qad wahaba lakum dzunuubakum ‘indal istighfar’” “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla, qad wahaba lakum dzunuubakum” bermakna “Ia memberikan dosamu kembali kepadamu, berkata, ‘wahai hamba-Ku dosa ini kini ada ditanganmu sekarang. Beristighfarlah pada-Ku, dan Ku-ampuni dirimu. Kuberikan semua dosa ini padamu seakan-akan dosa itu tak pernah terjadi. Kau bisa menghapusnya dengan tanganmu’”. Dan itulah maknanya “qad wahaba lakum dzunuubakum ‘indal istighfar” Artinya secepat kalian beristighfar, Allah SWT akan menghapuskan seluruh dosa kalian. “fa man istaghfara bi niyyatin saadiqaa” “Dan barangsiapa memohon ampun bertaubat kepada Allah SWT dengan niyyat yang sungguh-sungguh” “ghufiro lahu” “Allah SWT akan mengampuninya”. “Wa man qoola Laa ilaaha ill-Allahu” “Dan barangsiapa pernah mengucapkan dalam hidupnya Laa ilaaha illallah” “rozaha l-miizaan” “timbangan kebaikannya di Hari Kiamat akan menjadi berat”. Artinya jika dosa kalian berat, saat kalian mengucap Laa ilaaha illallah di dunia, kebaikan kalian akan menjadi lebih berat. Selalu kebaikan kalian akan lebih berat dari dosa kalian. Lalu apakah cara yang mudah untuk mengucap Laa ilaha illallah? Mengapa orang-orang merasa sulit untuk mengucapkan Laa ilaha ill-Allah saat mereka mengendarai mobil mereka, setiap hari, saat menuju tempat kerja mereka? Apa sulitnya mengucapkan Laa ilaha ill-Allah? Buatlah lidah kalian selalu bergerak dengan dzikrullah! Dan beliau bersabda di akhir hadits, “Wa man salla ‘alayya” “Dan barangsiapa bersalawat atasku”, Sayyidina Muhammad alaihi afdalus salaati wassalam bersabda, “kuntu syafii’uhu yaumal Qiyamah” “aku akan menjadi perantaranya, aku akan minta pada Allah SWT untuk menyelamatkan orang itu di Hari Kiamat jika ia mendoakan dan memujiku”. “Wa man salla ‘alayya kuntu syafii’uhu yaumal Qiyamah” ”Siapa yaang memujiku dan mendoakan diriku, Allah SWT akan memberiku kekuatan untuk memohon-Nya untuk menyelamatkan orang itu dan mengirimkannya ke surga.”
Wahai Muslim, penghargaan, apresiasi, adalah indah, sebagaimana telah kami katakan di awal Jum’ah. Penghargaan atas apa yang telah diberikan Allah SWT kepada kita adalah indah dan baik. Dan karena itu Ia SWT berkata, “Untuk menghargai Diri-Ku yang telah menciptakanmu, hargailah utusan-Ku,” Sayyidina Muhammad ‘alaihi afdalus salaati wassalaam, “Melalui dia, dirimu dapat masuk surga. Tanpa dia, bagaimana dirimu dapat masuk ke dalam surga? Dia adalah Kekasih-Ku”. “Man athaa’ar Rasuul faqad athaa’allah” “Barang siapa taat pada Rasul sungguh dia telah taat pada Allah SWT.”
Dan akan saya akhiri, diriwayatkan oleh Tirmidzi (dalam sahihnya), “An Anas r.a. annan Nabiyya SallaAW qoola, ‘aulan naasi wubiya yaumal qiyaamati aktsaruhum ‘alayya sholaatan.’” “Orang pertama yang akan mendapat syafa’at dariku adalah ia yang bersalawat atasku paling banyak.” Beliau bersabda, “Aktsaruhum ‘alayya salaatan” “siapa yang PALING BANYAK bersalawat atasku selama hidup mereka”. Artinya siapa yang paling banyak melakukan salawat, akan menjadi yang pertama memperoleh syafa’at beliau. Yang paling banyak kedua melakukan salawat, akan menjadi yang kedua pula menerima syafa’at dari beliau SAW. Jadi, kalau ada yang mengatakan bahwa “bersalawat atas Nabi banyak-banyak” tidak pernah disebutkan, atau tidak diperbolehkan, tidak! Hal ini disebutkan dalam Sahih at-Tirmidzi. Beliau bersabda, “Mereka yang paling banyak bersalawat atasku, berlebihan dalam bersalawat atasku mereka akan menjadi yang pertama memperoleh syafa’atku”.
Wahai Muslim, itulah yang telah Allah SWT karuniakan pada kita dengan seorang Nabi yang beliau senang dan merasa paling terhormat untuk mengatakan, “Innii ‘Abdullah” “Aku adalah hamba Allah” ketika Allah SWT menceritakan tentang beliau, “Subhanalladzii asraa bi ‘abdihi” “Maha Suci Dia yang memperjalankan hamba-Nya” [QS 17:1]. Tak pernah Nabi SAW melampaui batas kehambaan ini. Beliau tahu batasan beliau. Dan seluruh Muslim di seluruh dunia, TAK PERNAH seorang Muslim pun, dengan salawatnya yang berlebihan dan banyak atas Nabi SAW, berpikir sekali pun, bahwa Nabi SAW lebih dari seorang hamba, seorang hamba yang sempurna bagi Tuhannya.
Wahai Muslim, berdoalah bagi Nabimu. “Sallu ‘alan Nabiy!”, bersalawatlah atas Nabimu. Dengan salawat atasnya, adalah seperti semerbak parfum yang wangi yang dengannya Allah SWT akan memakaikan padamu, pakaian kesempurnaan, pakaian parfum yang wangi, yang akan melepaskan diri kalian dari segala macam kesulitan.
Dan Insya Allah, di waktu lain, kita akan melanjutkan untuk menjelaskan betapa pentingnya pujian dan salawat atas Nabi, yang akan menyelamatkan diri kita dari segala kesulitan dan membuat Allah SWT mendukung diri kita, memberi kita berbagai macam rizki yang kita butuhkan dalam hidup kita.
Catatan kaki:
[1] Dalam Al Quran surat AN NISAA' (4:80)
Man yuti’i r-rasuula faqad ataa’a Allah
“Barangsiapa yang menta'ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta'ati Allah.”
* Syekh Muhammad Hisyâm Kabbânî ialah penulis dan ulama yang terkemuka di dunia. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk mengampanyekan prinsip-prinsip Islam seperti perdamaian, toleransi, dan penentangan ektremisme dalam segala bentuknya. Sang syekh dibesarkan dalam keluarga ulama yang terhormat. Di antara mereka ada yang pernah menjadi Ketua Persatuan Ulama Lebanon dan kini menjabat sebagai Mufti Agung Lebanon—yakni pemangku otoritas agama tertinggi negara itu.
Di Amerika, Syekh Kabbânî menjabat sebagai Ketua Dewan Tinggi Islam Amerika; pendiri Tarekat Naqsyabandi Amerika; Ketua Yayasan Al-Sunnah Amerika; Ketua Organisasi Wanita Islam Kamilat; dan pendiri serta Ketua The Muslim Magazine.
Syekh Kabbânî sangat piawai baik sebagai saintis Barat maupun pakar Islam klasik. Ia memperoleh gelar sarjana muda pada bidang kimia (American University in Beirut), dan mempelajari ilmu kedokteran (Catholic University of Leuven, Belgia). Di samping itu, ia juga menyandang gelar sarjana pada bidang hukum Islam (Universitas Al-Azhar cabang Damaskus, Syria), dan, atas izin dari Syekh ‘Abd Allâh Daghestani, mengajar, mengarahkan, dan membimbing para murid yang belajar spiritualitas Islam dari Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî, pemimpin besar tarekat Naqsyabandî-Haqqânî.
Buku-buku yang pernah beliau tulis adalah: Remembrance of God Liturgy of the Sufi Naqshbandi Masters (1994); The Naqshbandi Sufi Way (1995); Angels Unveiled (1996); Encyclopedia of Islamic Doctrine (7 jilid, 1998); Encyclopedia of Muhammad’s Women Companions and the Traditions They Related (1998, bersama Dr. Laleh Bakhtiar); dan Classical Islam and the Naqshbandi Sufi Order (akan diterbitkan bulan November 2003).
Dalam usaha jangka panjangnya untuk memperkenalkan pemahaman yang lebih baik tentang Islam klasik, Syekh Kabbânî telah menyelenggarakan dua konferensi internasional di Amerika, dengan menghadirkan para pakar dari berbagai dunia muslim. Sebagai pembawa suara Islam tradisional, komentarnya dikutip oleh para wartawan, akademisi, maupun pejabat pemerintahan
Sumber :
Khutbah al-Jumu’ah
Maulana Syaikh Hisyam Muhammad Kabbani
15 Januari 2010