"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Jumat, 24 Juli 2009

Centhini, Kekasih yang Tersembunyi

Centhini, Kekasih yang Tersembunyi


Posted by PuJa on April 23, 2009



Seno Joko Suyono, Lucia Idayanie


http://majalah.tempointeraktif.com/



”…Kehidupan saya dan kehidupan penyair Jawa sejak berabad-abad, semua menyatu. Segala yang pernah saya alami di Jawa dan di tempat lain di Bumi ada dalam karya yang janggal, ajaib, dan raksasa itu, yang kelihatannya begitu cerai-berai, namun intinya begitu sempurna. Saya seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan tembang-tembang dan lenyap dalam gelombang cahaya para penyair yang telah wafat, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia….”





Pengakuan Elizabeth D. Inandiak, warga Prancis, pengakuan orang yang terpesona pada Serat Centhini. Ia menyadurnya ke dalam bahasa Prancis. Setelah terbit edisi Prancisnya, kini tafsirnya itu muncul dalam edisi bahasa Indonesia. Iqra kali ini membahas seluk-beluk bagaimana Elizabeth menenggelamkan diri ke dalam Centhini, sebuah karya sastra Jawa di era lampau yang sarat perbincangan religius dan erotisme, sesuatu yang dianggap suci sekaligus kotor itu.


”Ketahuilah dengan baik, Dinda, arti salat. Salat adalah berbicara dengan zat Allah. Salat adalah memuaskan pikiran pada zat dan bukan lainnya. Dan zat adalah welas kasih?.”


”Cebolang pintar menebak hasrat wanita, ia bisa semaunya memperpendek atau memperpanjang zakarnya sesuai ukuran farji yang tersaji, ia mengenali setiap ceruk dan lekuk daging, sumber kenikmatan?.”


Yang satu tawakal, yang lain binal. Mungkin tak ada kitab yang di dalamnya terkandung paradoks seperti di atas. Satu bagian ber-kisah tentang pengelanaan seorang santri bernama Amongraga memburu ”sarang angin”, siang-malam mengolah gerak hatinya agar tertuju pada yang Ilahi. Dan bagian lain bercerita ten-tang seorang santri bernama Cebolang yang siang-malam gemar sanggama. Daras zikir dan pesing nafsu melebur dalam sebuah suluk raksasa yang bila diketik mencapai 4.200 halaman folio.


Centhini, kitab itu, sudah ada semenjak 1850-an. Terdiri atas 12 jilid, aslinya ditulis mengguna-kan aksara Jawa dengan tinta prada (kuning emas). Bila ditembangkan, syahdan diletakkan khidmat di atas meja, dan dieja dengan sada (lidi) aren. Usia-nya lebih dari seratus tahun, tapi sampai sekarang belum ada terjemahan bahasa Indonesia secara lengkap. Padahal ia disebut sebagai ensiklopedi Jawa lantaran segala macam pengetahuan lahir-batin Jawa?termasuk yang kontroversial?disajikan. Ben Anderson suatu kali mengungkap Centhini sebagai satu-satunya kitab kuno di Nusantara yang gamblang mengungkap sodomi.


Almarhum Karkono Kamajaya dengan bantuan dana dari mantan presiden Soeharto pernah melatinkan seutuhnya 12 jilid. Penerbit Balai Pustaka per-nah mempublikasi ringkasan Centhini. Para pakar kebudayaan Jawa dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada?Prof Baroroh Baried, Prof Sulastin Sutrisno, Prof Dr Darusuprapta?memiliki proyek untuk menerjemahkan semua jilid Centhini ke dalam bahasa Indonesia. Namun, Baroroh dan Sulastin meninggal ketika terjemahan baru sam-pai jilid 3. Sedangkan Daru wafat tatkala pro-yek itu baru pada pertengahan jilid 4. Kini Prof Marsono, kolega mereka, mengambil alih proyek, tapi masih jauh dari rampung.



Tiba-tiba, ia hadir di tengah kelangkaan terjemahan bahasa Indonesia. Seorang Prancis, seorang man-tan wartawati, tahun 2004 menerima penghargaan dari Association Des Ecrivains De Langue Francoise atas bukunya setebal 500 halaman yang berbicara tentang Centhini: Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini. Centhini gaya baru itu dianugerahi gelar buku Asia terbaik yang ditulis dalam bahasa Prancis sepanjang tahun 2003. Elizabeth Inandiak, 45 tahun, namanya. Ia tidak menyebut dirinya seorang scholar atau ilmuwan pakar bahasa Jawa, tapi seorang petualang yang terpana pada dunia kebatinan Jawa.


Tahun 1988 ia tiba di Indonesia sebagai wartawan. Pertemuannya dengan Centhini yang kebetulan membuat jalan hidupnya berbelok (lihat Dari Merapi sampai Himalaya). Ia merasa mendapat panggilan. ”Semua sisi kehidupan, termasuk yang saya alami, sepertinya dituturkan di sana,” tutur perempuan kelahiran Lyon itu. Centhini baginya adalah sebuah karya ajaib yang isinya mampu meng-ingatkan sambur-limbur gelora perasaan ro-mantis, kekudusan, sekaligus kemesuman para sas-trawan tersohor Prancis: Rabelais, Baudelaire, Victor Hugo, Jean Genet, dan Diderot.


Vegetarian yang kini tinggal menetap di perkampungan dalang Desa Pajangan, Tridadi, Sleman, Yogya ini selanjutnya bukan menerjemahkan mentah-mentah Centhini. Ia berusaha mencari esensi. Ia tak bisa berbahasa Jawa, tapi dengan bantuan beberapa kenalan ia menyadur, lalu menguntai sesuai dengan ekspresinya sendiri. Ia melakukan kreasi yang tak menyimpang dari naskah asli. Ia mengingatkan kita akan R.K. Narayan, penulis India yang menyarikan ribuan halaman Mahabharata dalam sebuah novel tipis.


Sekitar 150 tahun lalu, Centhini lahir atas obsesi seorang pangeran dari keraton Solo, Pangeran Adipati Anom yang tak lain putra Pakubuwono IV dan kemudian bertakhta sebagai Pakubuwono V. Ia menunjuk tiga pujangga istana?Raden Ngabei Ranggasutrasna, Yasadipura II, Raden Ngabei Sas-tradipura?dan memimpin langsung penulisan. Pe-nulisan memakan waktu dari 1802 sampai 1810, saat Ronggowarsito masih berumur delapan tahun.


Ia mengutus tiga pujangga itu melakukan perja-lanan ke seluruh Jawa, menjaring informasi, mengumpulkan serat-serat di banyak daerah untuk acuan. Misalnya kitab Jalalen (Jangan Lupa), yang pada abad ke-14 sampai ke-15 sangat tersohor di Ja-wa Timur. ”Itu ajaran periode Singasari dan Maja-pahit di mana orang-orang Jawa memiliki religi ter-sendiri yang tidak takluk pada Islam, dan ini diolah dijadikan sumber kekuatan potensial untuk menggarap Centhini,” tutur KRT Suryanto Sastroatmojo, ahli kebudayaan Jawa.


Seluruh adegan seks ditangani sendiri oleh Pangeran Adipati Anom. Semula soal asmaragama diserahkan kepada tiga pujangga di atas, tapi Adipati Anom kecewa karena masalah sanggama kurang detail ungkapannya. Adipati Anom sendiri meninggal karena sifilis dan hanya sempat bertakhta selama tiga tahun. Pada tahun 1850, adiknya, Paku-buwono VII, sebagai penghormatan mempersembahkan kitab Centhini asli milik keraton jilid 5-9, yang dianggap penuh adegan paling cabul, kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.


Sebagai produk keraton, sesungguhnya Centhini adalah ”kitab aneh”. Tidak berisi cerita tentang kejayaan keraton, tapi justru pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh sultan. Dengan setting zaman Sultan Agung di abad ke-17, Centhini adalah kisah pelarian anak-anak Sultan Giri Pra-pen: Jayengresmi, Jayengsari, Niken Rancangkap-ti. Ketika Giri diserbu Sultan Agung, mereka tercerai-berai, berjalan kaki, berpencar ke seluruh pulau Jawa, menghindari pengejaran agen-agen rahasia Sultan Agung.


Jayengresmi bersama abdi yang setia, Gathak dan Gathuk, dari Gresik lari ke Mojokerto, Blitar, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, Gunung Merapi, Gunung Muria, sampai tanah Pasundan. Di tiap daerah, mereka diterima hangat oleh para kiai, pertapa-pertapa. Jayengresmi menimba ilmu makrifat dan, setelah maqam agamanya tinggi, ia mengubah nama menjadi Seh Amongraga. Sementara itu, ”punakawannya” menjadi Jamal dan Jamil. Dalam pengelanaannya, sampailah mereka di Desa Wanamarta, Majalengka, tempat pertapaan alim ulama, Ki Bayi Panurta. Amongraga lalu kawin dengan putri Ki Bayi bernama Tembang Raras.


Akan halnya sang adik, Jayengsari dan Niken Ranca-ngkapti, ditemani abdi bernama Buras. Mereka lari ke Pasuruan, dataran tinggi Tengger, Gunung Argapura, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, dan dataran tinggi Dieng. Di Dieng, mereka ke daerah bernama Sokayasa, tempat padepokan Syekh Akhadiyat yang bersedih karena anaknya, Cebolang, minggat dari pesantren.



Separuh Centhini kemudian berisi petualang-an Cebolang yang penuh erotisisme. Centhini juga menceritakan pengembaraan Jayengraga, adik Tembang Raras, mencari Amongraga. Sebab, setelah kawin, Amongraga kemudian meninggalkan istri. Jayengraga bersama kawan-kawannya menelusuri jejak kakak iparnya. Perjalanan rombongan ini adalah juga perjalanan saru.


Dengan materi seperti itu, Elizabeth bisa menduga bagaimana reaksi para ahli Jawa ketika ia meminta nasihat. Sebagian berpendapat Centhini terlalu suci untuk diterjemahkan. Sebagian lagi me-ngatakan Centhini terlalu kotor untuk dialihbahasakan. Ketakpahaman Elizabeth akan bahasa Jawa semakin membuat mereka pesimistis. Banyak yang khawatir, bila tak hati-hati, Elizabeth malah bisa terperosok: memelencengkan atau menodai kan-dungan ajaran Centhini. Tapi Elizabeth tak putus asa karena ia melihat di dalam Centhini ada sesuatu yang universal.

* * *


Keyakinan saya kemudian dikuatkan oleh Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid almarhum Romo Zoetmulder (ahli Jawa kuno?Red).” Sore itu Elizabeth bercerita kepada Tempo. Sunaryati menerjemahkan dari yang telah dilatinkan oleh Karkono Kamajaya. ”Ya, saya me-nerjemahkan berdasar pesanan Elizabeth. Bagian-bagiannya Elizabeth yang menentukan,” tutur Sunaryati Sutanto, 70 tahun. Untuk itu, dosen sastra Universitas Sebelas Maret, Solo, ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun.


Berdasar itu, Elizabeth bergerak. Untuk memperkaya imajinasinya, selama empat tahun ia mengelilingi sumber-sumber lisan di beberapa kota di Jawa. Dia menemui para dalang, juru kunci, seniman, dan petani. Ia, misalnya, datang ke juru kunci makam raja-raja Giri, mengorek sejarah Sunan Giri. Ia berteman akrab dengan sesepuh juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Untuk urusan akurasi, ia tampak hati-hati.


Ia juga merujuk disertasi Mohammed Rasjidi, bekas Menteri Agama di zaman Soekarno. Dalam tesis doktornya di Universitas Sorbonne 1956, Considerations Critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan Kritis tentang Serat Centhini), Rasjidi mengkritik banyak kalimat bahasa Arab dan ajar-an Islam dalam Centhini ngawur. Tesis itu masih tercantum dalam katalog, namun raib dari rak. Ia akhirnya menemukan di sebuah perpustakaan Jawatan Ketimuran. Bukunya tak pernah dibaca. Kertasnya masih lengket, belum dipotong. Ia mendiskusikan bagian-bagian yang dikritik Rasjidi dengan banyak kiai, termasuk Mustofa Bisri dan Abdurrahman Wahid.


Dalam Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, terjemahan Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini, yang diterbitkan Galang Pers, Elizabeth memusatkan perhatian pada malam pengantin Amongraga. Amongraga dilukiskan mengajak Tembang Raras ke peraduan, tapi tak langsung bersetubuh. Selama 40 hari di kamar pengantin mereka telanjang bulat, namun tak bersentuhan. Untuk mencapai puncak sanggama, selama 40 malam Amongraga mengajarkan kepada istri-nya hakikat cinta. Dalam aslinya, ajaran itu datar, tapi Elizabeth membuatnya bergaya 1001 malam. Setiap halaman menampilkan setiap ajaran.


Terjemahan edisi Indonesia direncanakan terdiri atas empat buku. Buku kedua, Minggatnya Cebolang, bakal diluncurkan 21 April 2005 di Solo, ber-sama dalang Slamet Gundono. Kutipan di atas adalah salah satu bagian deskripsinya. Bagian ketiga, Ia yang Memikul Raganya, bercerita tentang hu-kuman mati Amongraga oleh Sultan Agung yang oleh Elizabeth dibuat seperti persidangan Al Hallaj dalam buku Louis Massignon, Le Passion de Hallaj. Buku keempat, Nafsu Terakhir, berkisah tentang Amongraga yang menitis.

* * *



Elizabeth mengakui, bagian yang paling sulit di-sadur adalah pengembaraan seksual Cebolang dan Jayengraga. ”Sebab, tantangannya adalah bagaimana membuat adegan cabul bisa ditulis indah tanpa mengubah arti,” katanya.


Cebolang berkali-kali kena sifilis, tapi tak kaok. Ia tampan. Parasnya dilukiskan seperti Raden Samba dalam pewayangan. Ia pintar menari dan menembang lagu Gambir Sawit dan Ginonjing. Suaranya getas, renyah. Bersama empat temannya, Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti, ia digilai para perempuan.


Ia pernah menyamar menjadi wanita, masuk ke rumah lalu menindih seorang janda. Ia pernah melayani hasrat sodomi para warok Ponorogo dan seorang adipati. Para selir dibuat puyeng karena ia suka mandi di kolam terbuka. Tapi kemudian dia tobat dan akhirnya kawin dengan Niken Rancang Kapti. Tak kurang dari Sunaryati Sutanto merasa terkesan. ”Cebolang ini sangat nakal. Bikin saya gemes. Kok ada orang seperti itu,” katanya.


Juga kesablengan Jayengraga bersama pamannya, Kulawirya, dan sahabatnya, Nuripin. Ia pernah mengajari bermain seks tiga perawan tua sekaligus. Bahkan seorang genduk anak kecil ingusan pernah diminta memijat kelaminnya. Pada petualangan Cebolang maupun Jayengraga, Centhini banyak memunculkan perempuan-perempuan penggoda yang memiliki hasrat seks aneh-aneh: mulai Retno Ginubah, putri seorang kiai yang suka mengintip adegan sanggama, sampai Ni Jahe Manis yang berani telanjang bulat di depan umum.


”Deskripsinya terasa jorok sekali. Tetapi asyik kadang lucu, membuat kami jadi tersenyum-senyum sendiri. Sebab, sulit mencari padanan kata-nya dalam bahasa Prancis,” kata Elizabeth. Untuk menggambarkan gerakan zakar di saat persetubuhan, ia misalnya harus membandingkan dengan bandul sumur, sesuatu yang tak dikenalnya sela-ma ini. ”Saya harus tanya sana-sini. Yang saya tanya pasti tertawa sebelum menjawab pertanyaan saya,” katanya.


Sering Elizabeth memakai kiasan-kiasan untuk menjinakkan adegan vulgar. Apalagi ketika ia berkreasi mempertemukan Cebolang dengan Gatoloco dalam bukunya Minggatnya Cebolang. Gatoloco adalah tokoh dari Serat Gatoloco, sebuah serat yang bersama Darmoghandul dalam literatur Jawa termasuk khazanah ”serat porno”. Centhini jilid V-IX sering erotis, tapi juga bisa lucu. Elizabeth, misalnya, menggambarkan Jayengraga yang nafsunya melonjak namun istrinya sedang datang bulan. Jayengraga digambarkan dengan kelamin berdiri lari ke serambi menuju ketiga selirnya. Tapi ternyata mereka juga sedang menstruasi. Mereka cekikikan.


Mulai jilid V, para penerjemah Centhini memang se-makin hati-hati. Prof Dr Marsono, ketua tim penerjemah UGM yang melanjutkan proyek rekan-rekannya yang telah meninggal, merasa macet di situ. ”Jilid V memang paling susah. Rasanya tidak sampai hati menuliskan uraian seksualnya itu secara detail,” ujarnya. Tapi mereka tak berhenti, dan pada Januari 2005 akhirnya jilid V terbit. ”Khusus jilid V ini sangat saya kontrol,” kata Prof Dr Marsono tegas. Ia, misalnya, terpaksa menyensor ade-gan sodomi sehingga muncullah gambaran yang lebih ”jinak”. Mereka menyebut kata penis, tapi juga memakai istilah ”senjata” ketika melukiskan sodomi Cebolang dengan Kiai Adipati?kejadian ”berdarah” yang akhirnya membuat Cebolang menyesal.


Meski tak ingin mengungkap secara rinci, para penerjemah tak sanggup menghilangkan detail. Karena memang di situlah, baik menurut Elizabeth maupun Sumarsono, keistimewaan Centhini. ”Centhini versi Prancis lebih terbuka, karena di sa-na hal itu sudah biasa. Kalau saya menerjemahkan persis seperti yang versi Prancis, masyarakat bisa syok,” kata Laddy Lesmana, dosen Sastra Prancis UGM, yang membantu Elizabeth menerjemahkan Centhini dari Prancis ke Indonesia. Tapi Centhini juga menyodorkan satu hal: transformasi dari cinta yang fisikal menjadi cinta sejati. ”Saya kira wajar Cebolang demikian. Untuk mencari jatidiri, dia harus membongkar sesuatu yang dibenci masyarakat. Saya dulu juga liar sekali ketika saya remaja. Karena itu, saya bisa mengerti…,” kata Elizabeth.


* * *


Yang ”hilang” dari Centhini kreasi baru Elizabeth adalah rasa ensiklopedi Jawa, sesuatu yang dalam terjemahan Balai Pustaka ?yang belum lengkap itu?bisa membuat kita membayangkan betapa dulunya hutan Jawa begitu masih rimbun. Parak paginya penuh ber-bagai burung, capung, yang kini hilang. Petilasan, reruntuhan candi, dan mata airnya masih menggetarkan untuk berwudu dan sembahyang. Dan senja yang mempesona.


Menurut Soerjanto Sastro Atmojo, sesungguhnya Centhini banyak mendeskripsi-kan keindahan berbagai wilayah pesisiran yang tak tunduk pada ekspansi Mataram: daerah-daerah Bonang, Ngampel Darto, Kudus, Mojokerto. ”Sunan Nyamplungan, Sunan Badahgas, Sunan Katong tidak hanya mengajarkan agama yang formal, tapi juga mengajarkan bagaimana cara memupuk tanah, menanam palawija, untuk bertahan dari tekanan Sultan Agung,” tuturnya.


Itulah sebabnya dalam Centhini banyak bertebaran deskripsi lingkungan dengan aneka hasil alam yang dapat menerbitkan air liur kita. Soal betapa banyak adegan sanggama dan informasi yang de-ngan detail memaparkan hari-hari baik melakukan sanggama, serta tipe-tipe perempuan dengan segala titik-titik seksualnya, menurut Soerjanto tetap harus dibaca dalam konteks itu. ”Kiai-kiai tersebut mengajarkan agar hubungan seks jangan dilakukan dengan perempuan sembarangan, tapi perempuan yang bisa menjadi ajang penerus generasi,” Soerjanto menambahkan.


Elizabeth mengakui terjemahan asli sangat pen-ting untuk melengkapi bukunya. Sebab, buku-buku itu memang dibuat untuk lebih bisa dibaca umum. Dan tekad UGM untuk menuntaskan terjemahan semua jilid Centhini itu juga menggembirakannya. ”Rencananya, kami menerbitkan total 12 jilid. Jilid I sampai 3 yang diterbitkan Balai Pustaka dahulu akan kami revisi sekalian,” tutur Prof Dr Marsono. Marsono sendiri mengaku senang membaca karya Elizabeth. ”Ya, memang, Bu Elizabeth memiliki cara tersendiri untuk menerjemahkan Centhini, silakan,” katanya.


Tentunya, suatu ketika, bila dua terjemahan itu sudah tersaji lengkap, Centhini akan menjadi sti-mulus para sastrawan untuk makin menggali karya klasik itu. Dan mereka melakukan reecriture, penulisan kembali. Dan seperti juga di Barat, ke-tika mitologi Yunani dibaca kembali oleh para sastrawan dengan tafsir-tafsir yang tak sama dengan asli, demikianlah Andre Gide menulis Theseus, Albert Camus menulis Sisyphus, Jean Giradoux menulis Perang Troya. Tokoh-tokoh dalam Centhini menyediakan diri untuk tafsir demikian, karena mereka tak kalah problematik.


Amongraga sendiri termasuk salah satu yang paling problematik. Pada akhir cerita, Amongraga dan istrinya Tambang Raras berubah wujud menjadi gendon (ulat). Oleh Sultan Agung, mereka dibawa dalam bumbung bambu. Ulat itu dipanggang, diletakkan dalam kelopak bunga wijayakusuma. Ulat jantan (Amongraga) dimakan Sultan Agung, ulat betina (Tembang Raras) dimakan Sultan Pekik.


Dalam sejarah, kita tahu Sultan Agung kemudian menurunkan anak, Amangkurat I, yang membunuh banyak ulama. Yang menarik, Centhini menggambarkan roh Amongraga menjelma ke dalam jiwa Amangkurat I. Yang menitis bukan semangat kesalehannya, melainkan unsur dendam dalam dirinya. Biji kebencian yang selalu bersemi dalam hati Amongraga terhadap Sultan Agung yang membunuh ayahnya itulah yang membuat Amangkurat I berwatak pembantai.


Mengapa para pengarang Centhini tega menempatkan Among-ra-ga demikian, padahal selama hidupnya ia berusaha menyucikan jiwanya? Lalu, apa artinya perjalanan spiritual Amongraga se-banyak 4.000 halaman? Itulah ke-unikan Jawa. ”Amongraga sulit mencapai puncak kehidupan rohani karena masih ada setitik keinginan berkuasa yang tak bisa dibersihkan dalam dirinya,” kata Elizabeth. Satu lagi keanehan ma-nuskrip itu dari awal hingga akhir adalah tokoh Centhini sendiri. Centhini jarang muncul. Ia nama pembantu Tembang Raras.



Sesungguhnya nama resmi suluk ini adalah Suluk Tembang Raras. Tapi kenapa Centhini, meski hanya sesekali lebih populer dari nama majikannya? Mengapa kitab yang menampilkan wejangan keabadian dan erotisisme ini seolah seluruh intinya ada pada seorang pembantu? ”Saya tak tahu, tak tahu,” jawab Elizabeth sendiri. Ia mengaku itu terus membuatnya berpikir. Centhini dalam serat ini muncul terutama dalam adegan malam pengantin Amongraga dan Tembang Raras. Tatkala majikannya berasyik masyuk di balik kelambu, ia setia, menjaga di luar, bersimpuh di lantai, terjaga sampai fajar. Tatkala Amongraga membeberkan hubungan tentang roh dan tubuh, ia turut menyerap saksama.


Dan itulah sebabnya mengapa Elizabeth memilih judul Centhini Kekasih Tersembunyi. Ia menduga: bagi orang Jawa, mereka yang dalam keadaan rendah hati, tanpa berpretensi mengetahui rahasia Allah, adalah orang-orang yang paling siap menyelami sangkan paraning dumadi, asal dan usul tujuan kehidupan manusia.


Ketika Seh Amongraga menutup kelambu. Menatap istrinya. Dan malam undur, lalu abdi itu menggumam: Manusia tidur. Ketika mati mereka bangun.





Sumber : http://www.sastra-indonesia.com

RESENSI BUKU: CENTHINI - IA YANG MEMIKUL RAGANYA




Kerinduan Hamba Kepada Ilahi

Judul : Centhini - Ia Yang Memikul Raganya
Penerbit : Galang Press
Penulis : Elizabeth D Inandiak
Penerjemah : Laddy Lesmana dan Elizabeth D Inandiak
Judul Asli : Les Chants de l’ile a dormir debout - Le Livre de Centhini
Cetakan I : September 2005
Halaman : 214 Halaman


  • Tetapi, apakah kematian Syekh Siti Jenar dengan sendirinya mematikan pemikirannya. Ternyata tidak. Perdebatan pemikiran seperti itu masih mencuat hingga munculnya beberapa kesultanan di Jawa. Konflik tersebut menjadi tema yang akrab di Jawa pada saat itu. Bahkan, boleh jadi masih ada sampai sekarang.


  • PERDEBATAN Islam syariat dan Islam hakekat mewarnai kisah-kisah perkembangan Islam di Jawa, setelah berdirinya Kerajaan Islam Demak pada abad ke-16. Bahkan, perdebatan-perdebatan seperti itu akhirnya memunculkan berbagai ketegangan yang berkepanjangan.

  • Puncaknya terjadi ketika dewan Wali Sanga menjatuhkan hukuman mati kepada Syekh Siti Jenar yang dianggap telah menyebarkan aliran sesat.

  • Dosa yang ditudingkan kepada Syekh Siti Jenar karena menyebarkan ilmu hakekat kepada orang awam. Hal ini dianggap berbahaya, sebab dikhawatirkan orang awam yang menggeluti ilmu ini dapat meninggalkan syariat.

  • Syekh Siti Jenar pun akhirnya dipenggal lehernya oleh Sunan Kalijaga atas keputusan para wali. Kisah-kisah kesaktian Syekh Siti Jenar pun menyertai dalam cerita tokoh ini.
    Tetapi, apakah kematian Syekh Siti Jenar dengan sendirinya mematikan pemikirannya. Ternyata tidak. Perdebatan pemikiran seperti itu masih mencuat hingga munculnya beberapa kesultanan di Jawa.








  • Konflik tersebut menjadi tema yang akrab di Jawa pada saat itu. Bahkan, boleh jadi masih ada sampai sekarang. Selain Syekh Siti Jenar pada jaman Sunan Giri, ada pula kisah Sunan Panggung pada jaman Kerajaan Demak dan Ki Bebeluk pada jaman Kerajaan Pajang.


  • Perdebatan-perdebatan itu, salah satunya, terungkap dalam Serat Cabolek, karya Raden Ngabehi Yasadipura I, seorang pujangga besar Keraton Surakarta pada abad ke-18. Kitab ini mengisahkan perilaku aneh Kiai Mutamakin dari Tuban. Namun, kesalahannya akhirnya diampuni raja.

  • Nasib seperti Syekh Siti Jenar juga dialami Syekh Among Raga pada jaman Sultan Agung berkuasa di Kerajaan Mataram. Kisah ini diangkat dalam Serat Centhini, karya sejumlah pujangga di Keraton Surakarta.

  • Terlepas dari kontroversi yang ada, Serat Centhini dipandang kalangan satrawan sebagai karya besar. Karya sastra ini tidak hanya besar dalam kandungannya, tetapi sekaligus besar dalam hal ketebalannya. Serat Centhini ditulis dengan huruf Jawa kuno dalam bentuk tembang.

  • Isinya mencakup berbagai hal tentang Jawa, mulai dari sejarah hingga horoskop Jawa. Beberapa bagian melukiskan dengan penuh syahwat dan nafsu sehingga menuai banyak kritikan. Begitu luasnya khasanah Jawa yang termuat, Serat Centhini mencapai ribuan lembar.

  • Kisah Syekh Amongraga hanyalah sebagian diantara isi Serat Centhini. Kisah ini pula yang diadaptasi Elizabeth D Inandiak dalam karyanya Ia yang Memikul Raganya. Judul aslinya, Les Chants de l’ile a dormir debout - le Livre de Centhini.

  • Ia yang Memikul Raganya adalah sebuah fragmen dari Serat Centhini. Buku ini merupakan jilid ketiga dari serangkaian jilid yang direncanakan. Jilid pertama berjudul Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan. Sedang jilid kedua berjudul Minggatnya Cebolang.


  • Jilid ketiga ini mengisahkan pengembaraan Amongraga setelah id meninggalkan isterinya, dengan dalih mencari dua adiknya yang hilang, menyusul penyerbuan Adipati Pekik di Surabaya terhadap Keraton Giri di kawasan Gresik sekarang.

  • Penyerbuan itu atas perintah Sultan Agung di Mataram. Hal itu dilakukan karen Keraton Giri hendak membangkang dari kekuasan Sultan Agung.

  • Dalam pengembaraannya, Amongraga berkeinginan menyatu dengan Allah, sehingga ia mabuk dalam asyik-masyuk. Siapa sebenarnya tokoh Amongraga ini. Ia tidak lain adalah seorang pangeran keturunan Sunan Giri, salah Satu Wali Sanga yang mendirikan keraton di sebuah bukit yang kini berada tidak jauh dari Makam Sunan Giri. Nama aslinya Jayengresmi.

  • Saat Sultan Agung berkuasa, Keraton Giri tidak mau bersujud kepadanya. Karena itu, Sultan Agung memerintahkan Adipati Pekik di Surabaya untuk menghancurkan Keraton Giri.

  • Dari pihak Giri, perang dipimpin oleh Endrasena, seorang pemuda Cina yang masuk Islam dan menjadi anak angkat Sunan Giri. Sedang putra Sunan Giri yang paling sulung Jayengresmi (Amongraga) menentang perang.

  • Dalam pertempuran itu Endrasena tewas tertembak. Keraton Giri akhirnya dibakar lawannya. Kekalahan Keraton Giri atas Sultan Agung itu menandai awal pengembaraan Amongraga. Awalnya, pengembaraan itu untuk mencari adiknya, Jayengsari dan Rangkacapti yang keduanya telah mengungsi ke tempat lain.


  • Dalam fragmen ini dikisahkan, Amongraga mengembara ke sejumlah tempat di bekas wilayah Kerajaan Majapahit. Dijumpainya candi-candi bekas peninggalan kerajaan itu. Ditemuinya para juru kunci. Bertemu pula dengan orang yang mengaku masih keturunan Raja Brawijaya.

  • Lalu meneruskan pengembaraannya di timur, di kawasan Gunung Bromo. Di sana bertemu dengan seorang yang masih menganut agama Budha. Amongraga kemudian mengembara ke barat. Di wilayah barat Jawa itu, Amongraga berguru kepada Ki Karang. Setelah itu diperintahkan menemui Ki Panurta di Wanamarta untuk berguru di sana. Sebelum ke Wanamarta, Amongraga mengunjungi Candi Sukuh di lereng barat Gunung Lamu.

  • Amongraga akhirnya menemui Ki Panurta. Namun, sebelum masuk ke padepokan Ki Panurta, Amongraga sempat berdialog dengan dua anaknya, tentang ilmu hakekat. Mengetahui ketinggian ilmu Amongraga, ia kemudian diijinkan bertemu dengan Ki Panurta.

  • Di situlah, Amongraga mengaku bahwa dirinya sebenarnya putera Sunan Giri. Amongraga akhirnya menikah dengan Tembangraras, anak Ki Panurto. Tembangraras memiliki abdi bernama Centhini.

  • Permintaan Ki Panurto kepada Amongraga agar puterinya diajari ilmu hakekat. Hal itu dipenuhi, namun Amongraga juga meminta permintaan. Ia bersedia menikahi dan mengajarkan ilmu kepada Tembangraras, namun tidak lama setelah menikah dirinya akan melanjutkan pengembaraan.

  • Selama empat puluh malam, Amongraga mengajari ilmu itu kepada Tembangraras. Dan, baru malam keempat puluh itu, keduanya berkumpul sebagai suami isteri. Namun, kecintaan Amongraga kepada Ilahi jauh lebih besar dibanding kepada isterinya. Malam itu, setelah isterinya tertidur, Amongraga meninggalkannya untuk melanjutkan pengembaraan.


  • Ia menyusuri kawasan pantai selatan Mataram. Amongraga juga mengajarkan ilmu di ke daerah Gunung Kidul. Pengembaraan Amongraga semakin mendekati Keraton Sultan Agung.

  • Ia membuka hutan Kanigoro (sekarang di wilayah Bantul, Red.) dan mendirikan mesjid di sana. Orang-orang Gunungkidul berdatangan untuk berguru. Di tempat itu, santrinya mencapai empat ribu.

  • Namun, santrinya tak benar-benar taat kepada guru. Mereka seolah tak mempunyai otak, seperti terkena guna-guna, karena terbawa permainan sihir oleh dua murid Amongraga, Jamal dan Jamil.

  • Akhirnya, mereka bukan hanya karena mabuk dalam asyik-masyuk dengan Ilahi, tetapi juga karena keliaran laku oleh dua muridnya itu. Pria dan wanita tak mengenal tatakrama perkawinan, mereka bagaikan binatang.

  • Amongraga berada di sisi mereka dalam doa. Ia mengurangi makan dan minum. Ia telah habiskan seluruh nafsunya, kecuali satu: membalas dendam rasa malu yang dulunya diderita ayahhandanya, saat Keraton Giri diluluhlantakkan pasukan Pekik atas perintah Sultan Agung.

  • Dalam pertapaannya, Amongraga mengepung semua tempat kekuatan Raja Mataram, Gua Langse di tepi laut selatan, Samudera Padma Merah dan Gunung Merapi. Sementara, para pengikut Amongraga di Gunung Kidul terus berperilaku aneh. Mereka terbius oleh sihir-sihir dua murid Amongraga, melakukan ritual dengan telanjang dan lain sebagainya. Mereka juga tak mau lagi membayar pajak panen.


  • Hal itu akhirnya didengar Sultan Agung. Sultan memerintahkan Patih Wiraguna dan dibantu 12 ulama untuk menyadarkan Amongraga. Amongraga akhirnya dijatuhi hukuman, dimasukkan ke dalam bronjong dan digembok. Kerangkeng itu kemudian dibuang ke Samudera Padma Merah.

  • Kerangkeng itu akhirnya ditelan ombak laut selatan yang ganas. Namun, ada satu keanehan. Kerangkeng kembali terdampar ke pantai dengan keadaan kosong dan tergembok. Kerangkeng itu kemudian disampaikan Patih Wiraguna ke Sultan Agung sebagai bukti keajaiban.

  • Dikisahkan, di dalam penjara Mataram, Sunan Giri mengenali bahwa Amongraga yang dihukum ditenggelamkan ke laut adalah putera sulungnya yang dulu diusir karena menolak perang



Sumber :http://my.opera.com/akbar_taksisman/


07 Agustus 2008






41. ASAMARADANA






  1. Raden kawruhana malih, prakara kang langit sapta, ana ing sira dununge, poma-poma dipunpirsa, langit kang ana sira, mara ngong jarwani kulup, den becik pidhangetira.

  2. Dhingin langit roh-jasmani, dene langit ping kalihnya, langit roh-nabadi ranne, roh-napsani kaping tiga, dene langit kaping pat, roh-rokani wastanipun, dene langit kaping lima.

  3. Ingaran roh-nurani, langit kaping nemme ika, roh-rabani ing wastane, langit kaping pitu ika, roh-kapi wastanira, anenggih ing tegesipun, langit roh satunggal-tunggal.

  4. Tegese langit jasmani, tinitahaken ing Allah, amepeki ing uripe, ana ing jasa sadaya, langit roh-nabati ka, amepeki uripipun, salire badan sadaya.

  5. Ingkang langit roh-napsani, amepeki ingkang karsa, karepe badanne kabeh, langit rho-rokani uga, mepeki ngelunira, sakehe badan sadarum, langit roh-nurani ika.

  6. Amepeki cahyaneki, sakehe badan sadaya, langit roh rabani raden, amepeki adhipira, ingkang badan sadaya, lang langir roh-kapi iku, pan pepak pasrahing badan.






06 Agustus 2008





40. PANGKUR







  1. Dhingin kang ingaran tapa, anarima shing Hyang Suksma jati, apa karsane Hyang Agung, apan anut kewala, anglir sarah aneng satengahing laut, apa karsaning parentah, kawula teka nglakoni.

  2. Ping pindho ingaran tapa, geniara iku dipun lakoni, anadene artinipun, malebu ing dahana, yen kabrangas ing ujar iku den teguh, yen denucap ing tetangga, mapan tan nedya gumingsir.

  3. Kaping tiga banyuara, tegesipun punika tapa ngeli, mapan anut ing pitutur, rembuge pawon sanak, lan nasabi ing wong kawiranganipun, iku laku kang utama, wong awas ing Suksma jati.

  4. Kalawan kaping patira, tapa ngluwat amendhem jroning siti, iya iku tegesipun, aja ngatokken uga, ing becike awake dhewe puniku, miwah lawan lakunira, pendhemen dipun aremi.

  5. Kalamun ta malihira, dipun andhapasor sareh ing budi, den kalah*) ing parapadu, utamakna ing lampah, iya iku wong bekti marang Hyang Agung, iku aranne wong lanang, iya wong menang prang sabil.

  6. Iku ganjarane benjang, cinacadhang manggon ing sawarga-di, ingkang dahat adiluhung, kang aran Darussalam, sarwa muwah adi-adi sakalangkung, pan sampun karsaning Allah, kang duwe wong aprang sabil.

  7. Wong aprang sabil punika nora lawan si kopar lan si kapir, sajroning jajamu iku ana prang Bratayuda, luwih rame ayuda pupuh pinupuh, iya lawan dhewekira iku jatine prang sabil.

  8. Sampune amenang aprang, nuji ngancik ing nagri Maespati, amboyong Kencanawungu, nuli jumeneng nata aparentah**) sakathahe para ratu, datan ana kang amalang supami jumeneng aji.

  9. Iku poma ala poma, aywa mamang manahira sayeksti, poma setyana iku, ujar kang dhingin uga, den prawira anganggit sajroning kalbu, iku laku kang utama, tan ana ingkang nyameni.

  10. Lawan malih atakona, sampurnane ing niyat lawan takbir, miwah sahadat punika, kalawan yen sakarat, poma raden punika tan dipun antuk, lawan sampurnaning pejah, takokna dipun patitis.

  11. Pan lilima kathahira, gurokena iku dipun mangerti, iku sampurnaning kawruh, poma ta dipun angsal, iya iku sira gurokena kulup, yen tan amuruk mangkana, dudu gurumu sayekti.

  12. Yen sira ayun unginga, bumi pitu lah reden sun jarwani, kang dhingi bumi rannipun, ingaran bumi retna, kaping pindho ingarang bumi kalmu, bumi jantung kaping tiga, pan kaping pat bumi budi.

  13. Lawan kaping limanira, ingaran bumi jinem sayekti, lawan kaping nenemipun, ingaran bumi suksma, ping pitune bumi rahsa arannipun, iku wajig kawruhana, tegese sawiji-wiji.

  14. Ingkang aran bumi retna, tegesipun dhadhanira pribadi, bumining manungsa luhung, iku gedhong kang mulaya, ingaran astaning Islam iku, lawan kaping kalihira, bumi kalbu denwastani.

  15. Bumi kabu tegesira, astane ing iman kang sajati, kaping telu bumi jantung, iku ta ingaranan, astane anenggih sakehing kawruh, lan malih kaping patira, ingaran bumi budi.

  16. Bumi budi tegese, astanane ing puji lawan dhikir, lawan kaping pimanipun, bumi jinem tegesnya, ingaran astanane sih satuhu,lawan kaping nemme ika, bumi suksma den arani.

  17. Utawi kang bumi suksma, iya iku astanane ing ngelmi, nenggih kaping pitunipun, ingaran bumi rahsa, bum rahsa apan iya tegesipun, astaning***) ing paningal, asmaradana gumanti.


*) Prayoginipun den ngalah
**) Prayoginipun amarentah
***) Prayoginipun astanane





05 Agustus 2008





39. DURMA







  1. Lawan malih raden sira kawruhana, pan ana kawruh malih, crita Wringin-sungsang, wajibe kawruhana, anggiten dipun sayekti, sajroning mana, lan angger ngong jarwani.

  2. Wringin-sungsang wayahira tumaruna, luhur tan ngawruhi, panjere satunggal, tambenipun sekawan, pupusipun mung sawiji, pange sakawan, wohe retno-di luwih

  3. Kulitira kang wringin kancana mulya, daging kumala adi, otote sosotya, babalunge kalpika, sungsume motyara luwih, uwiting wreksa, iman wujud kang pasthi.

  4. Lan malihe kaki tengah kawruhana, lalima kathahneki, ingkang aneng tengah, aran peksi-dewata, anadene kang angapit, peksi sakawan, iku wajib ngawruhi.

  5. Poma-poma angger sira kawruhana, apa asalmu dhingin, iku kawruhana, asal sangking punapa, miwah benjing lamun mati, endi (ng)gonnira, lawan marganing pati.

  6. Lamun malihe raden sira kawruhana, wastane kang waringin, lan pancere pisan, lawan tambining ngepang, pupuse lang wohe ugi, apa arannya, wajib sira kawruhi.

  7. Lamun mati kang nyawa ngendi marganya, apa ta metu kuping, apan suker ika, apa ta metu netra, iku pasthi moler kaki, yen metu sirah, pasthi pecah kang reksi.

  8. Lamun metu ing embun-embunan radyan, kang pasthi bolong kaki, lamun metu grana, yektine jember uga, lamun metu cangkem najis, lan ngendi baya, margane lamun mati.

  9. Lamun metu ing jubur langkung najis ya, yen metu puser ugi, pasti bojot ika, lah ngendi ingkang marga, lamun ing wulu kang margi, lah iku mokal, marga kalangkung rungsit.

  10. Lah ta raden angger sira tetakona, liyane marang mami, kabeh takokena, purwa madya wasana, takokna dipun patitis, asraha badan, ngaturna pati urip.

  11. Lamun mati apa ta ana ngakerat, prenahe kerat ngendi, takokna den angsal, aja angayawara, dipun weruh ing sajati, basa ngakerat, enggon wong agung sisip.

  12. Anadene enggone wong kang sampurna, tan doyan tan ing ngakir, aneng Darussalam, enggon wong agung mulya, iku gurokna sayekti, ing Darussalam, iku suwargi ening.

  13. Tegesipun kang Darussalam punika, wujud mukal kang pasthi, iku gurekena kang aran wujud mukal, yen tan weruha sayekti, angur si kopar, karuwan mati garing.

  14. Lat ta iku raden sira gurokena, lah poma dipun olih, kalamun oleha, ing guru kang wawarah, silema ironing jaladri, upama nira, ywa toleh anak rabi.

  15. Yen pepeka ing wejang guru kang pasal, temahan mati kapir nuli labuhana, sejange gurunira, labuhan kawan prakawis, aywa kawuntar, tapa kawan prakawis.







04 Agustus 2008





38. ASMARADANA (2)






  1. Pangeran Palembang angling, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, tegese Allah punika, Allah ingkang amurba, angurip Mahaluhur, amisesa purba dhawak.

  2. Prabu Satmata mangkya ngling, ambabar kang pangawikan, sami lan Allah purbane, kang ngawruhi iya Allah, kaping kalih nur badan, kaping tiga rasul iku, kaping pat Datollah ika.

  3. Seh Siti Jenar mangkya ngling, ababar kang pangawikan, asembah ing Allah ingong, sujud rukuk padha Allah, sembah sinembah Allah, ingsun kang amurba iku, kang misesa ingsun uga.

  4. Wali sadaya mangkya ngling, Siti Jenar Kadariyah, katerasan iku linge, Siti Jenar sigra ngucap, adoha yen benera, ingkang perak iku embuh, iku Allah supayaa.

  5. Prabu Satmata mangkya ngling, iku jisin Siti Jenar, Seh Lemah Bang mangkya linge, raga jiwa den micara, padesane dentilar, Allah kang anglela iku, sakarsanipun wisesa.

  6. Wali sadaya samya ngling, salah sira Siti Jenar, dene angaku badanne Allah badan Siti Jenar, tan langgeng aneng dunya, Siti Jenar iku luput, tembe mangke ngaku Suksma.

  7. Pan wonten lakone nguni, sami ambabar sosotya, sampun aling-aling kang wong, sami amiyak warana, aja na salah cipta, kene yen warahen dudu, anging panggah Siti Jenar.

  8. Prabu Satmata mangkya ngling, Seh Lemah Bang kamanungsan, sanak pakenira kabeh, tan beda lan pakenira, nanging sampun anglela, manawi dudi klurung, akeh wong kang anggegampang.

  9. Kathah wong kang tanpa yekti, tanpa yun angguguruwa, akeh kang (ng)gegampang kang wong, dene warta atimbalan, sajatinipun wikan, dadi tan arsa (ng)guguru, awirang yen ta takona.

  10. Seh Molana samya prapti, sakathahe Aji Cempa, pinereg ing masjid gedhe, mapan kantun wali sapta, samya (m)babar sosotya, tan prabeda kang rumuhun, Siti Jenar ingandikan.

  11. Seh Molana mangkya angling, Siti Jenar nama tuwan, Siti Jenar mangkya turre, ingih Allah jenengamba, nora na Allah ika, anging siti Jenar iku, sirna Jenar Allah ana.

  12. Molana Ngaribbi*) angling, kapkir dadi Siti Jenar, Aji Cempa angling alon, kapir dana Siti Jenar, Islamipun indalah, kapir danas wong puniku, punika kapir sampurna.

  13. Molana Mahribi angling, suhunan (n)daweg winejang, masjid dalem suwung kabeh, ana bekti ana ora, temah ngrusak agama, aggegampang temahipun, kang salah (n)daweg pinedhang.

  14. Seh Siti Jenar mangkya ngling, (n)daweg sampun kalayatan, lawan swarga menga kabeh, Siti Jenar sinerampat, dening kaum sakawan, Seh Lemah Bang sampun khukhum**), pinedhang tatas kang jangga.

  15. Titiga sabate sami, apan sedya pinejahan, samya prawira Khukhum**)e, titiga samya anedya, anebut Subkhanallah, wonten rare angon wedhus, sigra amiyarsa warta.

  16. Siti Jenar wani mati, kasusra angaku Allah, punang rare angon age, lumayu asumbar-sumbar, amareg mring ngayunan wonten Allah kari iku, katungkul ya angon menda.

  17. Prabu Satmata mangkya ngling, rare iku kudu pejah, khukhum**)ena aja suwe, sandhingena Siti Jenar, angling Ki Siti Jenar, sandhingena lawan ingsun, aywa adoh ingsun gawa.

  18. Ponan rare angling aris, sampun (n)dika kalayatan, rare cilik sru tangise, age tumuta pralaya, wus menga lawang swarga, pinedhang janggane sampun, mesem rare angen menda.

  19. Jeng Suhunan Ratu Giri, nora kira Siti Jenar, maksih wutuh reragane, tigang dina gilang-gilang, tumulya uluk salam, kantuna andika ratu, Siti Jenar nulya ilang.

  20. Tan kari sabatireki, sadaya wus samya ilang, miwah rare angon mangke, datan kantun melu ilang, sadaya sampun sirna, gawok sakeh kang andulu, dhumateng Seh Siti Jenar.

  21. Tuturku kang wus kawijil, Seh Lemah Bang wus anyata, katon kandel kumandele, nanging pilih kang abisa, kadi Seh Siti Jenar, akeh mandheg aneng catur, pinentog mundur plarasan.

*) Prayoginipun Mahribi
**) Prayoginipun khukum=kaukum





03 Agustus 2008





38. ASMARADANA (1)







  1. Rahadyan sanget gung kingkin, miyarsa andikanira, wasi kawiswara kaot, wus lami neng Panegaran, ngentek piwulangira, dhasar lantip sang abagus, sakep atampi piwulang

  2. Saya tebih dhabar guling, Gathak Gathuk eca ing tyas, Kawiswara ngandika lon, kulup ywa dadya tyasira, ingsun tan pisan-pisan, risi kanggenan sireku, amung supaya wuwuha.

  3. Kawruh utamining urip, tumekane ing delahan, angidulla bener angger, marang ing Salamet arga, kono ana satriya, atmaja sri Majalangu, nama Seh Sekardelima.

  4. Dhepok ing Salamet wukir, wus manjing agama Islam, Sunan Tembayat gurune, sinepuhan Jeng Suhunan, Adi ing Kalijaga, aran wong bisa ketemu, yen datan lawan nugraha.

  5. Mangkata sedheng kang wanci, rahadyan angaras pada, saha aturira alon, muhung pangestu paduka, kawula darma lumampah sangking pituduh, tuhu tan darbe kuwasa.

  6. Wau mesem sang maharsi, kulup ing pangestuningwang, Gathak Gathuk awotsinom, kawula anyuwun barkah, pinaringana kuwat, (n)dherekken wayah pukulun, angsala idin pandonga.

  7. Iya kenang sun ideni, muga kinuwatna ing Hyang, rahadyan sampun lumengser, linggar sangking Panegaran, lajeng ing lapahira, Gathak Gahtuk tanseng pungkur, wus ngancik sukuning arga.

  8. Sumawuring sari-sari, ganda arum amrik ngambar, gantya ingkang winiraos, ing dhepok Salamet arga, masjid munggul katingal, asri busananing gunung, taru-tarunya tinata.

  9. Sasekaran angubengi, toya wening tinalangan, pating sareweh iline, mangungkan talaga dibya, ngunguwung lirab-lirab, wau panembahan gunung, lenggah tepining talaga.

  10. Ingadhep abdi kakalih, Ki Maklum lawan Ki Sabar, eh Sekar ngandika alon, Sabar Maklum den agepah, ing langgar resikana, bakal ana tamu, utama calon olia.

  11. Sabar Maklum mundur aglis, ing langgar wus ginelaran, Seh Sekar gya kondur alon, ngalela lenggah ing langgar, rahadyan wus katingal, ingawe sang wiku gupuh, radyan anungkemi pada.

  12. Pinangkul keinempit-kempit, arum wijiling kang sabda, slamet satekamu raden, mrelokken mring dhepokingwang, banget sukaning driya, radyan nembah saha matur, pangestu dalem kang mulya.

  13. Seh Sekar ngandika malih, kulup kywa sadaya-daya, ing pangarah dipun sareh, mung ywa pegat ing paminta, lumintu ingkang lampah, yen pinareng wektunipun, bokmanawa katarima.

  14. uhunan ing Bayat nguni, sung carita marang ingwang, eyangmu buyut kalane, kumpulan lan wali sanga, samya (m)babar sesotya, trusing ngaji pan akumpul. aywa ana parebutan.

  15. Kinarya gita ing kawi, ing Giri Gajah enggone, tatkala aguguneman, para wali sasanga, ing Argapura (ng)gennipun kadhaton ratu agama.

  16. Wali sadaya tinari, dennira Prabu Sarmata*), Suhunan Benang tinaros, myang Suhunan Kalijaga, Suhunan Ngampeldenta, Suhunan Kudus tinantun, kalawan Seh Siti Jenar.

  17. Seh Benthong rumut tinari, sarta pangeran Palembang, Panembahan Madurane, aseba mring Giri Liman, angling Prabu Satmata, sukur pepeg anakingsun, sami limuta kaliman.

  18. Sadaya tunggala kapti, sampun wonten kang sulaya, arempega kang wiraos, sami ababar sosotya, sami miyak warana, sampun wongen masang semu, den anglela den tetela.

  19. Jeng Suhunan Benang angling, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, dat sipat apngaling Allah, nyata ing kalbu amba, Datollah kang amurbeku, mesesa ing dhewekira.

  20. Jeng Suhunan adiluwih, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, iya sadar jenengamba, iya jenging purab, iya Alah Sukma Subur, jeneng urip lawan jagad.

  21. Jeng suhunan Giri-westhi, ambabar kang pangawikan, tegese sariraningong, imam urip lan nugraha, budi uriping Suksma, urip sara Allah iku, mangkana ing kawruhamba.

  22. Jeng Suhunan Kudus angling, ambabar kang pangawikan, Roh wajib ing imaningong, cahya mancur kadi surya, mijil sangking prabawa, amartani lapahipun, anguripi ing sajagad.

  23. Penembahan Madura ngling, ambabar kang pangawikan, aran kanugrahane, kundhi Allah ta punika, tegese kundhi ika, nabi Allah jatinipun, jinaten ing nama Allah

*) Ugi kasebut Prabu Setmata





02 Agustus 2008





37. KINANTHI (2)







  1. Kertya pakarti katutur, titir pamantara titi, tatas pandining walgita, tan pegat amagut kapti, kaptine ingkang kampita, pitaya den pitayani

  2. Yen ing tyas pan aywa tambuh, bubuhanne wong ngaurip, angarep-areppa karya, karyane sawiji-wiji, wijining puruitaa, ya asthaguna kinawi.

  3. Kawining Hyang Endra laku, ngudannaken wangi-wangi, angresepi sabuwana, kawaratan ing mamanis, menuhi manah madada, moneng manengku ngenani.

  4. Kawining Hyang Yama laku, madhendhakrama tan yukti, ya maluma lwir ya pejah, durjana gelahing bumi, nadyan braya wani ngambah, binubuh pinrih ing pati.

  5. Kawining Hyang Surya laku, ngingsep toya tan katawis, rereh ririh tan rekasa, rasanne tan ngeressi, resik lumintu atata, santyasa ngatiyati.

  6. Kawining Hyang Candra laku, ngasuk ngasepi sang bumi, komala mredu katingal, guya-gutunya mamanis, lir tetessing martotama, resep marang para resi.

  7. Kawining Hyang Bayu laku, anginte sagun pakarti, cuddining rat kinawruhan, sawicara denkawruhi,ya dibya guna kagunan, dinunni saari-ari

  8. Kawining Kuwera laku, anginte sagung pakarti, buddining rat kinawruhan, sawicara denkawruhi, ya dibya guna kagunan, ginunni saari-ari.

  9. Kawining Baruna laku, ngagem sanjata ngapussi, sagung kang olah durjana, jinajahan sinalisik, sinalasah cinepengan, amempeng dennya ninitik.

  10. Kawining Hyang Brama laku, anggesengi ripu tapis, galak ring ripu lwir singa, kang kinangsah sirna gusis, murub warata kataman, tamannira aneng geni.

  11. Nahan ta guna ginunggung, suraku rumekseng bumi, bumi ginora warana, lana gineneng pinusthi, sesthaning butaning ngolah, ulah sesran musran muni

  12. Aywa neher ing paniru, angalappa saraganing, Sruti titikanning kangap, kadhapping kilap ngulati, Islam mapan janma tama, kang kapir prandening sesthi.

  13. Asthabrata kang linaku, kelakon pangolahneki, pundi antuk kalah, lan lakune Buddha nguni, beda budining manungsa, akawih ingkang linewih.

  14. Maluya laya anuntur, linanturaken pakarte, Jayengrana pinandhita, ing palagyan palunggyaning, byuha tarien wekasningka, tapa kaluhuran dadi.

  15. Legaweng pati ring ripu, pratapanning kang prajurit, sor tapaning kang pandhita, tapa tapaking jayanti, antyastya pramukyeng tapa, tapa (ng)graning gunung wesi.

  16. Sinembah ing ngalapa gung, singgih yen sirarsa jurit, den prastawa ing sopana, ing bubuka purba titi, titika denkatalika, tutula tinali-tali.

  17. Agama pan sedya ayu, pagahen padhanging pati, aywa ta kaselan meda, dumadya amangguh westhi, nadyan ana hru sayuta, sedya yu pan denpayungi.

  18. Ing agama payungipun, rineksa tebih ing westhi, dyajan ta anut ancala, bubuka ywa ngaruhunii, ruhanana ywang wus pingsal, asapenet gan yen uwis.

  19. Ana (ng)gyanya tindak-tanduk, ing swara asywa dumeling, aywa liyan kang karengya, munga sang nata pribadi, dennira angadu laga, mawastreng papan makangsi.

  20. Bubuhan kang aneng ngayun, tempuking ayuda pan wis, panarcayan mring sang nata, mangsa kaguha ing jurit, sang nata nata ring wuntat, tan patya keh kang umiring.

  21. Mung kanan kering myang pungkur, sawega prayitneng westhi, manawa na katelayah, raganing turangga mregil, tutulunga teka wangwang, ginantya bala toh pati.

  22. Yeka palayarannipun, ring atapa gunungwesi, tan kacaryan tan kawuryan, ring dadi dadining bumi, sastakasa myang riringa, pan purbawisesa jati.

  23. Tan ana lara myang lampus, urippe sangking Hyang Jati, Karana tan takut ing prang, nistha madya utamaning, mantri lingling kina-kina, kinenan malah ing mangkin.

  24. Nisthaning mantri winuwus, yen kawawas lena dhingin, lena kari wadyanira, madyaning mantri yen mati, bareng lawan wadyanira, utamanireng kang mantri.

  25. Yen ing bala ngarsa gempur, tulung ngadegken jemparing, mangsa mangke dadya warta, yen amungun jareng jurit, nistha madya utamanta, mantri ngmasi rumiyin.

  26. Ing lelakonne keh kantun, kaputungan tyas kang nulis, sepi supene kang bawat, tumanduk lamun udani, telasana sanggamu, ywa, dening tanduk tan nindaki.

  27. Lwir tarbuka rupanipun, cundhining rat anjajagi, tan mangra mantreng sarira, purwaning amenggel kawi, kinayah kayuh bawamba, abuning rat ing saricik.

  28. Ing angga akarem liwung, ing pangiwa angenani, tulaten namung pinampar, tan wrin cacden ing sami, sanepaning pasang sewa, sinawwa tan suwawi.

  29. Wiyangga wuyungan kalbu, buhana tandha saben ri, rumaras ywan tan mangguha, uguhing kidung tinampi, nampingana mangka dadya, dadya dawaning murwani.

  30. Nimpeni dadi sinamun, namun dana tanpa mijil, pinunjal tinujel suka, suka ringa manggel kawi, kawisesa budyadarma malangun dadine bumi






01 Agustus 2008





37. KINANTHI (1)







  1. Minangka murda satuhu, tanpa angenaki ati, tama liriing panataran, rantara sesalwirning, sarehning ingkang dumadya, wlasa singa nuwa-nuwi

  2. Sreda purai ngasamun, samanning sila nagari, aminta sihing ngamarar, awlas asih ring pagimi, unggyannira ngamatirta, cipta mantep marang Widdhi.

  3. Durung dadi lamun durung, darana ring daruning, sakarsa karseng pamasa, satibane kang tinuding, beda pandumming budaya, dayaning (n)donning dumadi

  4. Kahenengena manengkung, amaladdi samadinning, anegessa karsanging Sang, Amurweng Paningal jati, tingalena maklamullah, malah maluya ywa lali.

  5. Lelakone kang kaluhun, alin-alin denkalilin, lelenga aywa kaalan, ywa lalu atmah lali, kalunta-lunta kalintang, tan wiyang mayanga westhi.

  6. Isthaning anga kagugu, gupita jeg agagappi, aywa gugup ing nalika, nalarrira den alirih, rereh ing pangarah-arah, arahen aywa ngurangi.

  7. Nguranggana ing pangrungu, ing reh aywa nguring-uring, yen miro tmah memirang, amerang amurang niti, titika denkatalika, ywa nunulak tutulan-cik.

  8. Becik rengkuhen pamengku, kumawa ing agal alit, den amulat ing leleta, ywan ingandel dendumeling, (n)dulu ulah karawitan, wittipun tan ana malih.

  9. Sangking kakawin myang kidung, kadi kadang anjarwani, ing sarekaning kalangyan, langening kang milangonni, nglonggana haywan tantara, tariken yen ana luwih.

  10. Miwah ungguhing raras-rum, rumarah murang ing kawi, sesandinig sang kendriya, rekaning kawi kawiddhi, kawiddhi ing widhayaka, ya karana sang siniwi.

  11. Wah tahet babah binarung, ring kasidaning dumadi, dana kariyin denarah, kasantikan wus kawuri, kasudarman tyas mardawa, den manuh manah mamanis.

  12. Manah prenessan ywa kunus, dennira amasang mesi, masalahing sumpet karsa, karsa sineser tan osik, mustika tinon aywa sak, sasat simpen karsa suji.

  13. Ring sojar aja anjujur, kolina kilat ngalingi, tan wring naya ringa mawas, wakitha awangsulanning, yen tan angling den amemma, den amemes ing pangungkih.

  14. Ywa taha berguguk lugu, kaya gopala kapilis, kapelang kapelak-pelak, palenggahe agaligir, wigar agalagar, nganggur tan egaring galih.

  15. Palaning wong ambasengut, ulatte anginggit-inggit, wacana butheking netya, netya ala tan kailir, kelu kalessan ng muka, mengku ala nir pokalih.

  16. Ing wacana yen anuju, pasamuwan srawunganning, dipun sambada ing tembang, manawa katambang balik, denkacakup ing pangucap, titika dipun katitik.

  17. Patitike ywan wus putus, pan wus cinariteng Sruti, sru trep tita ing purwaka, mangka kenging anganggepi, ing cipta ya dyan patutta, ing tembang sambang manawi.

  18. Ana wadi kang sinamun, sinuksa sari-sarining, buhana sabawaning tyas, lair ing tyas kang nampani, nyataning tyas aneng naya, naya netya kang nampani.

  19. Sawadining wardayeku, ing netya pahemanneki, ing wacana (ng)gonning wedhar, sidayaka dayeng wadi, widigda ing ciptamaya, mayana mayaning kapti.

  20. Ati akapti kumudu, asihana ing sesami, witting raga kanasiyan, pan sangking raga pribadi, pribadi asiyeng raga, kadulu dalan dinalit.

  21. Paesan ing sarireku, amberat ingkang kaeksi, nir tasitaning akathah, pangehna ing sarireki, sarira paran bedanya, ambawa ambawani.

  22. Ingkang kadi mangkoneku, endi ulun amurwani, ing paniwi wamangkana, ana pae nupa bumi, dera ngimpun prih sadaya, pan wus jenengin narpati.

  23. Kinasihan ing reh aru, saharja mangakumeki, amiluta ambek ing ngrat, rat karaktettan padha sih, linulut ing lokajana, jeneng kasarjana sami.

  24. Sarat rinaharjeng kayun, mawarah-warah reh aris, tanpa karsa pagehana, kengang murwa angarjani, klitir marang apapa, papa telutuh siningkir.

  25. Mikara kang sikara dur, nimitnya-mitya sajati, juti sajatining mita, siyasat lir sagaragni, genengan kathah isininya, sarira tanpa welang ngling.

  26. Sesumbanging ngrat kasumbung, sesining tapa ing bumi, bumi saja saha jarwa, sojar tekanang binukti, bremara ngusweng kusuma, sumarmaning ganda sari.

  27. Salwir bawaning kang sinung, ing wadi widagdeng kuwi, among jagad jaga-jaga, arjuning ngrat tan kaesthi, saesthining asthagina, ginulang-gulang ing pangling.

  28. Liniling-liling kalangkung, sinelan planu pinalin, sarasa-rasa rinangsang, kang saru-saru siningkir, sikara tan karawatan, kuwat awetta rangkawit.

  29. Wiwitting watara wolu, waluyane wali-wali, wulang lila lan wilalat, ywan linelet temah lali, lalu amilih turida, ruda ruah angrudatin.

  30. Rudating angayun-ayun, wahyu-wahyaning sakalir, kaliliran kalairran, lairing wahyu-winaris, waras ngeniraken maras, marassaken jiwaragi.

  31. Noraga tegeng anurut, anurut rat pinirit, mirit angipat kiparat, puret pepet tan pinipil, papalla sangking sikara, sukura suker singkinkir.






25 Juli 2008





36. PANGKUR







  1. Punika yen karya griya, ukuripun pecakira pribadi, pinecakan panjangipun, gansal petanganira, esri adi naga emas perak lamun, griya kadhawahna emas, pandhapa perak prayogi.

  2. Bilih pawon dhawah naga, payon lesung prayogi dhawah adi, manawi iyasa lumbung, dhawah esri pecaknya, sampun jangkep menggah saka kang denukur, kajawi tangkping ngandhap, lan kajawi purusneki.

  3. Ngukur wiyare kang saka,lajeng kangge ngukur panjangireki, ugi gansal petanipun, bumi banyu prawata myang sangkala geni jangkep gasalipun, dhawah bumi kang prayoga, teteg watekipun bumi.

  4. Dhawah banyu watekira, apan srepan punika (ng)gih prayogi manawi dhumawah gunung, watek kerep aliyan, lamun dhwah sengkala awon kalangkung, kang darbe wisma geringan, dhawah geni tan prayogi.

  5. Kabasmaran watakira, mangkya usuk denetang cajah iji, inggih gansal petangipun, esri kakitri gana, kliyu pokan bilih wisma etang usuk, prayoga esri dhawahnya, pandhapi dhawaha kitri.

  6. Kalih punika prayoga, bilih masjid gana ingkang prayogi, sanese masjid puniku, manawi dhawah gana, tamu angker utawi singit kalangkung, kaliyu datan prayoga, geringan kang gadhah panti.

  7. Yen denetang dhawah pokah, tan prayoga kerep nandhang prihatin, kapejaan jumarunuh, sampun jangkep etangnya, dene pager punika ukuranipun, dedege kang darbe wisma, tuwin dhepane pribadi.

  8. Menggah wiyaring pemahan, sakukanya pan boten denwanceni, gangsal wewilanganipun, bebuka esri etang, tapa lungguh sedana pugeranipun, dhawah sri watak serepan, tapa luwe watekneki.

  9. Lungguh teteg watekira, pan sedana sugiyan watekneki, depugeran watekipun, pitados saha kekah, sampun jangkep ing pundi kaparengipun, tebihing (dn)dhapi lan griya, ugi wonten ukurneki.

  10. Pecaking kang gadhah griya, pan sakawan etanganipun nenggih, awit bale etangipun, omah latar pawuhan, dhawah bale punika ingkang pakantuk, dene yen yasa gedhogan, tuwin kandhang kebo sapi.

  11. Palangipun pinecakan, kajawine pepurus ingkan manjing, kiwa miwah tengenipun, sakawan etangannya, candhi karta rogoh sampoyong puniku, ingkang sae dhawah karta, kalayan dhumawah candhi.

  12. Saka kandhang myang gedhogan, kajawine purus myang pendhemneki, ingukur lan palang wau, dhawah candhi prayoga, ing tebihe saking treping pantinipun, ingukur kalawan pecak, gansal petananireki.

  13. Awit etanipun karta, baya tura samaya angemasi, utami ingkang dhumawuh, ing wewilangan karta, nengna wau titi etangnya ki Buyut, wus anggagat bangun enjang, suwawi waktu Subekti*)

  14. Utami kang radi awal, samya wulu paragating Subekti*), pepujinira nutug, bakdaning pepujian, Gathuk matur alim dalem Kyai Byur, kawula nyuwun wasiat, basanipun tiyang abti**).

  15. Nunutut sadhengah kewan, bokmanawi ing tembe ngingah kambing, amrih cumbu dhaten ulun, ki Buyut angandika, iya kacung pancen ana emelipun, datanpa laku tur cendhak, mangkene basanireki.

  16. Seka leka seka leka, singa buntuk idhepa idhep ing idhepku tut sing saujarku, mung iku ora liya, lamun sira kapareng angelus-elus, marang sadhengahin kewan, kang dadi parenging ati.

  17. Kalawan manthening sedya, uga cendhak mangkene basaneki, singa wulu singa buntut, ingusapan pandhawa, lelima tut saujarku mung punika, lamun pinareng ing mangsa, bokmnawan tutut yekti.

  18. Gahuk nuwun-nuwun nembah, sakalangkung kapundhi sih sing yogi, Ki Buyut nyawan sang bagus, sumunaring kang cahya, ngandikeng tyas cecalone janma luhung, manther cahyaning oliya, wasana matur sang adi.

  19. Ing mangke paran ing karsa, seu sokur yen jenak aneng ngriki, rahadyan alon umatur, kang agun apuranta, mangkya ulun ayun (m)dumegekken kayun, ing saparan tanpa sedya, ngulati ingkan lunga nis.

  20. Amung pangestu paduka, rahayune ing lampah bokmanawi, tembe ulun saged wangsul, kantuna karaharjan, wus salaman ki Buyut ngandika arum, mas putu nestapaningwang, sami apuji-pinuji.

  21. Wus tumurun sangkin Murya, ngidul ngilen wus ngambah ing pasisir, tan winarna lampahipun, prapta ing palabuhan Pakalongan kendel ing tepining laut, anom udhuning juragan, kang sangking liyan nagari.

  22. Menawi ari kalihnya, binekta ing nangkoda, sangking Gresik nunut utawi pinupu, mring pawong-sanakira, dupi mudhun juragan kang sangking laut, tinon kang rayi tan ana, sangsaya angles ing galih.

  23. Aduh yayi kadangingwang, Jayengsari myang Niken Rancangkapti, baya mring endi jantungku, amung ta karuhana, ing dunungmu awet mangkene kabanjur, kadya kinjeng tanpa soca, wau Radyan Jayengresmi.

  24. (n)Dedonga marang Pangeran, rahayune kadangira kekalih, tembe sageda pinangguh, atuse manthenging tyas, gya lumampah tambuh kang sindyeng kalbu, kendelnya dalu kewala, bada Subuh gya lumaris.

  25. Prapti ardi Panegaran, kacarita sang yogi kang palinggih, aneng Panegaran gunung, wasi kawisuwara, wakitheng tyas uning satriya anglangut, kendel ing ngandhaping arga, sang wasi utusan aglis.

  26. Sabatnya aran Waskitha, kinen mudhun marang ngandhapping wukir, ki Waskitha wus tumurun, pinanggih lan rahdyan, mangenjali matur kawula ingutus, mahawiku Panegaran, Kawiswara sang ayogi.

  27. (n)Jeng paduka ingaturan, minggah maring ing dhepok ulunirit, rahadyan ngandika arum, inggih paman prayoga, sampun kerit Gathak Gathuk tansen pungkur, sang wiku mapag wiwara, wus tundhuk rinangkul aglis.

  28. Kulup ingkang nembe prapta, sajarwaa kekasihira kaki, lawan ngendi pinangkamu, sayogene lereppa, aneng kene kurang nadhah kurang turu, darapon bisaa klakyan, kang dadi karsanta kaki.

  29. Rahadyan dahat lenggana, wus alami pruita ing sang yogi, tatakrabatanya lumintu, sang yogi Kawiswara, lon ngandika ana jiliddan linuhung, sayogya sira anggoa, kanthining janma utami.

*)Prayoginipun Subekti = Subuh
**) Prayoginipun apti = arep, karep






24 Juli 2008





35. DHANDHANGGULA (3)







  1. Malem slasa ing waktu Mahribi, lintang Mirah seren wektu Ngisa, trengganan Samsu tampine, sirep janma kang lungguh, lintang Juhrah tengahing ratri, Ngatarit ingkang lenggah, lingsir wenginipun, tinampen ing lintang Kamar, bangun enjing lingant Juhkal kang nampeni, Subuh lintang Mustarnya.

  2. Slasa enjang Mirah ingkang tampi, rame pasar Samsu ingkang lenggah, bar psar Juhrah tampine, bedhug tinampen gupuh ing Ngatarit Luhur tinampi, Kamar kang tarangganan, Ngasri Juhkal lungguh, sontene tinampenan, taranggono Mustari pot wektu Mahrib, jangkep kasapta lintang.

  3. Malem Rebo ing waktu Mahribi, lintang Ngatarit pot wektu Ngisa, tinampen Kamar lintange, wanci sirep jalmeku, lintang Juhkal ingkang nampeni, tengah ratri tranggana, Mustari kang lungguh, lingsir dalu tinampenan, lintang Mirah bangun sampun kang nampeni, ing wektu Subuh Juhrah

  4. Rebo enjing Ngatarit kang tampi, rame pasar tinampen ing Kamar, bar pasar Juhkal tampine, bedhug nulya sinambut, ing Mustari Luhur tinampi, lintang Mirah punika, wektu Ngasaripun, trenggana Samsu lenggah, wanci sonten ing Juhrah kang nampeni, jangkep lintang kasapta.

  5. Malem Kemis ing wektu Mahribi, taranggana Mustari praptanya, Ngisa tinampenan Mireh, sirep ing janma Samsu, tengah ratri ingkang nampeni, kanang tranggana Juhrah, seren lingsir dalu, tinampen Ngatarit lintang, bangun enjing lintang Kamar ingkang tampi, ing wektu Subuh Juhkal.

  6. Kemis enjing Mustari kang tampi, rame pasar lintang Mirah lenggah, bar pasar Samsu tampine, Ngatarit inggkan lenggah, seren Ngasri wektu, tinampenan lintang Kamar, wanci sonten lintang Juhkal ingkang tampi, jangkep kasapta lintang.

  7. Malem Jumngah ing wektu Mahribi, lintang Juhrah ingkang apilenggah, ing waktu Ngisa epote, tinampen Nataritu, sirep janma Kamar nampeni, tengah ratrinya Juhkal, lingsir ratrinipun, lintang Mustari punika, bangun enjing lintang Mirah kang nampeni, Subuh Samsu tranggana.

  8. Jumngah enjing Juhrah tampi, rame pasar Ngatarit kang lenggah, lebar pasar Kamar Manggen, bedhug ginantyan gupuh, lingan Juhkal ingkang nyiteni, Luhur gya tinampenan Mustari sitengsu, wektu Ngasri tinamenan, lintang Mirah sontene Samsu kang tampi, jangkep lintang kasapta.

  9. Malem Saptu Mahribi Ngatarit, wektu Ngisa tinampen ing Kamar, sirep janma gya tinampen, lintang Juhkal potipun, tengah ratri ingkang nampeni, Mustari taranggana, epot lingsir dalu, tinampen Mirah Tranggana, bangun enjing lintang Samsu kan nampeni, Subuh pan lintan Juhrah.

  10. Saptu enjing lintang Juhkal tampi, rame pasar Mustari kang lenggah, lebar pasar lintan Mirah, bedhug tinampen Samsu, wektu luhur Juhrah nampeni, pot Ngasri tinampenan, Ngatarit sitengsu, sontene tinampen Kamar, titi sampung lampahing lintang saptari, dalu praptaning siyang.

  11. Kang minangka naasing lintang dwi, (ng)gih punika Mirah lawan Juhkal, ngagesang winenangake, setiyar mrih rahayu, yen wus atut eanganeki, gya sumendhe ing Susksma, widadaning kayun, amung, amung aywa kinekahan, pepetangan tan saged ngewahken takdir, siningkura kainan.

  12. Kaol saking pawon mitra mami, brahmanandi ing Ngata-maruta, tiyang badhe gadhah rate, utawi jama ayun, prapteng janji ing wancineki, laire kanang jabang, pecate nyaweku, wawaton ari sapta, siayan dalu punika sami binagi, kalih welas gathita.

  13. Wiwit purnamaning Sanghyang Rawi, gathita nem sapta astha nawa, sadasa sawlas tengange, kalihwlas inggih bedhug, gya gathita satunggil kalih, tiga sakawan gangsal, wangsul nenem surup, lajeng etang kadi siyang, dados namung wonten kalih welas wanci, kalamun ari Akad.

  14. Gathita nem sapta sawlas tuwin, tabul satunggal kalawan gangsal, Senen astha sadasane, satunggal tripanceku, Slasa sapta sadasa tuwin, tenggane kalihwelas, kalih gangsalipun, Rebo sapta nawa sawlas, kalih catur Kemis astha sawlas tuwin satunggal tri sakawan.

  15. Jumhan astha sadasa tanapi, kalih welas tiga myang sakawan. Saptu sapta myang nawane, dwidwlas kalih catur, bilih wonten tiyang nyakiti, utawi tyang sakarat, ri Akad tartamtu, lair utawi papatya, gathita nem sapta sawelas satunggil, gangsal salah satunggal.

  16. Raden Jeyengresmi matur aris, kathah temen ing parincenira, mrih widada rahajane, utami dipun enut, tan kainan basanireki, wonten kaol mupakat, punapa saestu, yen badhe karya pemahan, tuwin griya saka usuk denukuri, penet awoning petang.

  17. Leres wonten manawi akardi, ing pamahan dipun estokena, yen (ng)garap pater sitine, cengkali dhepanipun, inggih ingkang adarbe panti, kalamun awiwita, ler kilen mangidul, winicala saking dhepa, wilangannya bumi karta kala kali, kaarah dhawah karta.

  18. Yen mangetan kadhawahna bumi, bilih damel ingkang bubutulan, ambeneraken kalane, myang wiyar ciyutipun, ing pamahan sukaning galih, dene jroning plataran, yen mangaleripun, anotog pager ukurnya, samurdane kang darbe wisma pribadi, tingkahe wismanira.

  19. Den agathuk pager aja lali, yen kekelir sakilening wisma, kang tengen iku lakune, teka ing wismanipun, gathukena ing pager (n)jawi, kang wetan bau kiwa, saking wismanipun, den-gathuk lan wismanira, lolongkange pandhapa, tepusen aglis, lawan pacakanira.

  20. Gedhuging wisma lawan pandhapa, mandhapa iku kalawan lodra, tepusing talapakane, kalih mandhapanipun, lawan lodra yen karya kori, pager tarab cengkalnya, mara-sanganipun, poma sampun asembrana, ing pitedah prayogi aywa kawuri, yen pareng begjanira.






23 Juli 2008





35. DHANDHANGGULA (2)







  1. Raden Jayengresmi tanya malih, kadiparan sangat palintangan, punapi wonten sanese, ki Buyut manthuk-manthuk, manut dinten lampahireki, pipitu kehing lintang, sadinten sadalu, paedahe pyambak-pyambak, awon penet myang laire jabang bayi, tinitik saking lintang.

  2. Lintang Samsu sabarang prayogi, lawan marek ing sri naranata, myang wong agung sasamine, ningkah langkun panuju, ingkang awon tuwin myang sakit, nunugel kesah perang, jejampi nyanyambut, tuwin ngenggali pangganggya, undang-undang prasanakan atanapi, kumpulan tan prayoga

  3. Lare lair rainten marengi, jales estri umuripun panjang, sinung padhang ing driyane, kedhik rijekinipun, prihatinan ing tyasireki, jalu estri yen medal, dalu watekipun, pan ugi petengan manah, lawan sinung gelap tyase anawengi, gantya kang winursita.

  4. Lintang Juhrah angka dwi nameki, samukawis punika prayoga, dinen ngelmi utamane, rabi tumekeng sarju, anjampeni rare utami, anggalih samubarang, pandamelan atutde, kang awon andum karya, akengkenan dhumateng mengsahing jurit, myang kengkenan sadhengah.

  5. Lare lair jalu lawan estri, ing raina jembar kang polatan, jalu estri yen laire, anuju wanci dalu, langkung kumet wicaraneki, tur pengkok nora (ng)gragap, kaping tri winuwus, lintang Ngatarit pinajar, samubarang prayoga ingkang upami, mumuruk amamarah.

  6. Marek nata myang pados usadi, apan sami prayoga sadaya, dene ingkang boten sae, paes pasah cucukur, lair rinten bilih pawestri, sae keh daulatnya, nging wicara kaduk, ragi panasten ing manah, namun saged ing damel tan nguciwani, yen jaler lair siyang.

  7. Apan awon ing tyas gung prihatin, bilih estri dalu lairira, cupet kang budi wateke, yen jalu lari dalu, watekipun jembar kang budi, sabar lila ing donya, tur sudih begja gung, welasan marang sasama, mangkya catur lintang Kamar kang winarni, samukawis prayoga.

  8. Tuwin marek ing sri narapati, angandikan kang mawa paedah, sisimpen tulus arjane, adagang antuk untung, akengkenan sarju katampi, mamaris tulus trimah, kang awon winuwus, pradata padu myang nglamar, atanapi (n)dhaupaken laki-rabi, punika tan prayoga.

  9. Lare estri lair amarengi, nuju siyang boros watekira, yen jalu siyang laire, cuparira kalangkung, lamun estri lairnya ratri, sae saged ing karya, bekti marang kakung, nastiti mring samubarang, lamun jaler lairipun wektu ratri, barancah mring wanodya.

  10. Panca lintang Juhkal kang winarni, ingkang sae wiwit gentur tapa, pandamel mring Pangerane, awit ngantos pakantuk, lyan punika boten prayoga, yen rare lair siyang, atanapi dalu, jalu estri ugi samya, tansah kambah sakit encok tan kalirih, nanging keh rejekinya.

  11. Tur asabar lila ing donyaki, wadanane mung radi engetan, gumantya angka neneme, lintang Mustrai iku, ratuning kang lintang sapteki, langkung sae sabarang, satingkah rahayu, ingkang awong mung sajuga, amanggalih ngadoni lapahing jurit, yen rare lair siyang.

  12. Jalu estri pan sami prayoga, watekipun saestu sukuran, yen estri lair dalune, ajrih mring piyanipun, pandamelan agal myang remit, widada awidagda, lamun rare jalu, lair dalu langkung pradhah, tan kaconggah nedha ing kebon ananging, remen nyilib tyasira.

  13. Mangkya gantya kasapta mungkasi, lintang Mirah ingkan aprayoga, namping imba paras paes, sunat ugi pakantuk, atanapi ngadoni jurit, lawan iyasa gaman, kajawi puniku, pakaryan awon sadaya, lamun nuju rinten rare lair estri, watak jail kang manah.

  14. Bilih jalu rinten lairneki, tan saranta barang watekira, yen lair nuju ratrine, estri tanapi jalu, tan salamet manahnya gingsir, keket kapara ngarsa, jail amathangkul, sampun jangkep lintang sapta, awon penet ing mangke wiwit winilis, lampahing pilantangan.

  15. Malem akad ing wanci Mahribi, ingkang tampi Samsu taranggana, Ngisal Juhrah tampine, wanci sirep janmeku, lintang Tarit ingkang atampi, tengahe ratri Kamar, lingsir wenginipun, tinampenan lintang Juhkal, bangun enjing lintang Mustari kang tampi, Subuh Mirah gumantya.

  16. Akad enjing Samsu kang nampeni, rame pasar tinampen ing Juhrah, lebar pasar Tangarite, bedhug Kamar kang lungguh, luhur Juhkal ingkang nampeni, Ngasare tinampenan Mustari punika, sontene ingkang atampa, lintang Mirah jangkep saratri saari,lampahing lintang sapta.

  17. Malem Isnen ing waktu Mahribi, ingkang tampi taranggana Kamar, Ngisa-bah Juhkal tampine, ing wanci sirep manus, ingkang tampi lintang Mustari, tengah ratri Mirahnya, lingsir wenginipun, lintang Samsu kang alenggah, bangun enjing lintang Juhrah katan atampi, Subuh Natarit lintang.

  18. Isnen enjing lintan Kamar tampi, rame pasar tinampen ing Juhkal, lebar pasare tinampen, Mustari trengganaku, wanci bedhug Mirah kang tampi, wektu Luhur Samsunya prapteng Ngasar puput, tinampenan lintang Juhrah, wanci sonten Ngatarit ingkang atampi, jangkep lintang kasapta.






22 Juli 2008





35. DHANDHANGGULA (1)







  1. Lon umatur Raden Jayengresmi, kadiparan dinten kang prayoga, punapi wonten sanese, utawi wancinipun, mawi milih mawi nyingkir, ki Buyut angandika, punika masputu, etang minangka satiyar, angluluri nasehat ing nguni-uni, wiji saking ing Arab.

  2. Pan punika masalah ngawruhi, ingkang pangandika, Nabiyullah, salahu wasalame, sakehe umatingsun, padha ngawruhana ing nginggil, patingkah alulungan, milya kang sarju aja lungan tanggal pisan, ta na laba lungana, tanggal ping kalih, pan iya oleh laba.

  3. Tanggal kaping tiga datan becik, tan na laba tanggal kaping papan, rekasa angen margane, tanggal ping lima iku, manggih laba kaping nemneki, tan manggih laba ilang, karyane wong iku, tanggal ping pitu prayoga, manggih rahmating Pangeran tanggal kaping, wolu agring ingi paran.

  4. Tanggal kaping sanga manggih pati, lan pakewuh tur padha sumadhang, tanggal kaping sadasane, manggih laba rahayu, ping sawelas apenget ugi, tanggal ping kalihwelas, tan ana labeku, tanggal kaping tigawelas, oleh utang tanggal pat belas becik, neng parang manggih laba.

  5. Tanggal ping limalas ayu olih, emas perak tanggal ping nembelas, tan antuk laba tanggale, ping pitulas rahayu, p8ing wolulas pan laba manggih, tanggal kaping sangalas, penet pan rahayu, tanggal kaping kalihdasa, gering marga, tanggal ping salikur ugi, (ng)garesah aneng paran.

  6. Tanggal ping rorikur ayu becik, tanggal telulikur laba karya, tanggal kaping patlikure, penet ping limalikur, mapan ala tanggale kaping, nemlikur gesang pejah, punika pinangguh, tanggal pitulikur ala, bakal tukar iya ananireng margi, tanggal wolulikurnya.

  7. Oleh laba sangalikurneki, manggih rahmat saking ing Pangeran, tanggal ping tigadasane, manggih utang neng purug, tititelas masalah iki, ing wong kang alulungan, pangandika Rosul-lolah, salahiwasalam, dipun sami nastiti kadi punika, inggih waluhualam.

  8. Lampaira Kangjeng para Nai, lamun badhe mangkat saking wisma, isarat ingkang kaangge, Jumungah akakemu, lan asusur lampahing Nabi, Muhammad Rosullolah, lamun dina Sabtu, punika angandhut lemah, dinekekken ing puser lapahing Nabi, Adam ingkang minulya.

  9. Dinten Ahan angangge susumping lapahipun Jeng Yusup Bagendha, Isnen natab lalandhepe, Bagendha Umar laku, Slasa manggan asta ing geni, Bagendha Abubakar, ingkan darbe laku, Rebo akukudhung sinjang, lampahipun Nabi Ayub singgih, Kemis tumengeng tawang.

  10. Myang tumungkul ing bantala nenggih, lapahipun Sang Ali Bagendha, winewahan sangatane, kalamun arsa nglurug, angkatira pan sampun uning, langkahe ingkan pecak, sangat lamun sampun, pecak sadasa umangkal, pangwasane sang Gadudha kawon dening, sadhengahing taksaka.

  11. Isnen wusing pecak nem lumaris, pangawasane singa krura kalah, dene*) manjangan yektine. Salasa lamun sampun, pecak kalih angkatireki, pangawasanipun singa, ingkang sru manempuh, kayon dening kang dirada, Rebo wusing pesak pipitu lumaris, menggah pangasanira.

  12. Diwangkara kawong dening sasi, Kemis wusing pesak dwilyas **) Jumungahapan sampuning, pecak triwelas mangkat, de pangawasipun, sona dening kancil kalah, Saptu wusing pecak dwiwelas lumaris, denen pangawasanira.

  13. Sawer kawon dengin kodhok bungkik, tamat sangat Sang Ali Bagendha, wonten santat ingkang kangge, aningkahaken sunu, myang ngadegken sadhengah panti, punika manut tanggal, sapisan witipun, kaping kalih kaping tiga, ping sakawan pang gangsal gya wangsul malih, nem kadi ping sapisan.

  14. Tanggal kaping sapisan pan sami, kaping nenem sawelas nembelas, salikur myang nemlkure, wit surya wedalipun, tekeng pecak slikur potneki. Ahmad pitutur nyata, wit pecak salikur epote pecak sawelas, Jabarail kalangan tangkepanneki, awit pecak sawelas.

  15. Epot bedhuk Brahmin pecak-wesi, awit bedhug ing potipun Asar, Yusup slamet rangeppane, Asar sawengi muput, epot enjing Hyang Surya mijil, Ngijrail rejekinnya, ping kalih winuwus, sami lawan kaping sapta, kalihwelas pitulas rorikur nengggih, myang pitulikur samya.

  16. Purnamaning Hyang Pradangapati, epot pesak salikur punika, Jabarail rejekine, wiwit pecak salikur, epot pecak sawlas Ibrahim, pitulikur rangkepannya, sawlas epot bedhug, Yusup kalangan tangkepnya, bedhuk potnya Irjail apacak-wesi, asar sadalu pisan

  17. Pole tekeng purnamaning rawi, Ahmad slamet tanggal kaping tiga, ping wolu ping triwelas, wolulas tigalikur, wolulikur punika sami, wit purnamaning surya, pot pecak salikur, Ibrahim slamet rangkepan, pecak slikur pot pecak sawilas marengi, Yusup rijekinira.

  18. Pecak sawlas epot bedhug wanci, Ngijrail pitutur rangkepan, bedhug tekeng Asar pote, Ahmad kalanganipun, awit pasar potira prapti, purnamaning Hyang Surya, Jabarail iku, pacak wesi tangepannya, gantya tanggal ping sakawan samineki, ping sangan ping patbelas.

  19. Ping sangalas patlikur myang kaping, sangalikur punika ingetang, wit Hyang Surya purnamane, epot pecak salikur, Yusup pacakwesi marengi, awit salikur pecak, sawelas potipun, Ngijrail salamet pecak, sawlas epot bedhug Ahmade rejeki, wit bedhug epot Asar.

  20. jabarail pitutur ngrangkepi, Asar prapta purnamaning surya, Ibrahim kalangan mangke, ping gangsal sadaseku, gangsal welas myang kalihdesi, salawe tigang dasa, pan sami puniku, awit purnamaning surya, tekeng pecak salikur epotireki, Ngijrail akalangan.

  21. Pecak slikur sawelas potneki, Ahmad pacakwesi rangkepannya, pecak sawelas awite, epote tekeng bedhug, jabarail slamet ngrangkepi, bedhug epotnya Asar, Brahim rijekiku, Asar sadalau epotnya, purnamane Sanghyang Surya amungkasi, Yusup pitutur Ahmad.

*) Prayoginipun dening
**) Prayoginipun dwiwias





21 Juli 2008





34. MASKUMAMBANG







  1. Sampun paman sakeca wonten ing ngriki, ndheku Kyai Darma, ngandika marang ing siwi, ganten eses ladekena.

  2. Wedang dharan lan-olahan saananing, rara Menok tanggap, angladosi aneng ngarsi, sarbet sinampirken pundhak.

  3. Wus tinata Ki Darma angacarani, sumangga kadhahar, pun Menok mangunahneki, sisinaon olah-olah.

  4. Raden mesem pangandikanira aris, klebet wajibing dyah, saged lah-olah sakalir, tegen rigen minta-minta.

  5. Wasis salir pakaryanipun pawestri, raratus myang wedhak, parem tapel pupur wilis, konyoh jajampi racikan.

  6. Nyumerepi samuwaning anggi-anggi, pon-empon babakan eron ingkang maedahi, ngyektosi kanggening karya.

  7. Nganti nenun nyulam nyongket adondomi, angraronce sekar, (m)batik nyoga (b)babar adi, mamantes isinin wisma.

  8. Ngati-yati nastiti gemi ing wadi, tan kirang tuladha, utaminipun pawestri, nulad panengen pangiwa.

  9. Ingkang lebda dudugi lawan prayogi, watara riringa, sirang dalu kang kaesthi, anut tuduhing sudarma.

  10. Bilih saged kadya ingkang ulun angling, winiwitan mangkay, sinau wisma pribadi, piniha ngladosi priya.

  11. Bokmanawi wilujeng ing donya ngakir, punika paitan, tembe angladosi laki, kantun pados kalangkungan.

  12. Manthuk-manthuk Ki Darma kalawan Nyai, Menok rasakena ngandika raden iki, tanjebena ing wardaya.

  13. Iya rama antuka pangestu yekti, sabdanin utama, nyawabana lair-batin, bisane tampa nugraha.

  14. Kasususa saratri tan ana guling, eca lelengahan, sasamben dhahar nyanyamik, wus wanji pajar gidiban.

  15. Radyan matur mring ki wisma Darmajati, paman (m)bujeng enjang, mangkya kula nyuwun pamit, ayun (n)dumugekken lampah.

  16. Paman bibi sami kantuna basuki, ing sapengkeringwang, kang sinung ngling matur aris, kula (n)dherekken raharja.

  17. Gra salaman Ki Darma ngatag ing siwi, Menok ngabektia, sang dyah gupuh angabekti, radyan arum angandika.

  18. Rara sira sun dongakaken ing Widdhi, tumulia krama, oleh jodho kang premati, kang tulus trahing ngawirya.

  19. Kang dalajat respati sudibyeng ngelmi, bisa momong ing dyah, nyenengken tyasing sudarmi, sira kantuna raharja.

  20. Rara Menok matur nuwun sru kapundhi, pangestu paduka, Gathak Gathuk samya pamit, linggar saking palenggahan.

  21. Kyai nyai andherekken prapteng jawi, wus wangsul mring wisma, rara Menok agnukudi, nahan lampahira radyan.

  22. Kampir beji wekdan sembahyang Subekti*), bakda pupujiyan rahadyan lajeng lumaris, ngaler ngilen anir pringga.

  23. Kedyating tyas kapencut arsa udani, ing masigit Demak, iya saning para wali, tan cinatur laminira

  24. Wus umangsuk prapteng palataran masjid, tan ana kang nyana, yen punika putra Giri, kinira santri balaka.

  25. Minggah srami, wowolu sakanireki, ingukir pinatra, betan saking Majapait, sangkalanira pinirsa.

  26. Kari roro gawening wong **) ungelneki, wiwara kang marang, mesjit ingukir taya sri, gambar gelap pinarada.

  27. Tumapk kori sinerat sangkalan muni papatra kinarya rupa gelap ***) tungal nenggih, radyan manjing sigra-sigra.

  28. Dupi prapta aneng sajroning masigit, kalangkung anikmat, mupangat raosing dhiri, enget mantheng nungkul ing Hyang.

  29. Saka guru sakawan agengnya sami, inggile sembada, gilig memet ragi methit, agenngnya kalih rangkulan.

  30. Ingkang eler wetan sanes lan kang katri, nenggih wujut tatal, kinempel dados satunggil, gilig aluse warata.

  31. Yasanira Kangjeng Susuhunan Kalijaga kang minulya, maweh tilasan nagari, karamating waliyolah.

  32. Saya gambuh rahadyan dupi udani, sinungan umiyat, kaelokaning Hyang Widdhi, sangandhaping panti kutbah.

  33. Rompyok-rompyok kathukulan glagah-wangi, lintange rahadyan, tan ana janma udani, pratandha calon nugraha.

  34. Sampun medal saking campurining masjid, lajeng lampahira, tan cinatur lamineki ngancik laladan Japara.

  35. Prapteng suku wukir Murya ngankong tasik, ing Sagara Jawa wus manjat arsa udani, puncaking kang ardi Murya.

  36. Margi (n)deder rumpil kapit jurang terbis, rekaseng lumampah, Gathak Gathuk kempis-kempis, sakedhap-kedhap araryan.

  37. Dalu aso enjinge umangkat malih, tri ari tumeka, aneng sapucaking wukir, bawera anon samodra.

  38. Ing lampahe baita layar gagrami, ana labuh jangkar, ambedhol jangkar lumaris, langkung asri tiningalan.

  39. Ing karajan padesan ngandhaping wukir, tinon karya rena, rahadyan kagyat ningali, astana teja sumunar.

  40. Pinarpekan uluk salam densauri, tahlil sanalika, radyan myang santri kakalih, bakda tahlil ana prapta

  41. Kaki-kaki marpeki dyan Jayengresmi, alon angandika, kyai kula nilakrami, paduka napa kang tennga.

  42. Lawan sinten ingkan sumare ing ngriki, alon sauriria, inggih kula ingkang jagi, nami Buyut Sidasedya.

  43. Kang sumare Jeng Sunan Murya wawangi, karaning astana ing Muryapada puniki, namaning ardi ing Murya.

  44. Lah punapa paduka karsa nenepi, dhuh ki Buyut baya, ing sedya amung yun uning, pucaking kang ardi Murya.

  45. Reh wus uning mangkya ulun nyuwun pamit, mandhap saking arga, Buyut Sidasedya angling, piniki tanggel ing lampah.

  46. Babo lamun kapareng karsa kang pekik, kampir dhepok ingwang, prayogi ing benjing-benjing, dinten sangete prayoga.

  47. Watekipun kalayan sasedyaneki, tur manggih raharja, rahadyan dupi miyarsa, dumadya dhanganin nala.

  48. Sampun kerit dupi wus prapta ing panti, ki Buyut parentah, marang Gathak Gathuk santri, kacung aja taha-taha.

  49. Angambila pribadi sugata mami, otek cangthel boga, jepen tales wi gembili, gembolo pohun katela.

  50. Gathak Gathuk tan lenggana gya lumaris, maring pategalan, suka dennya ngengunduhi, rampung gya tumameng wisma.

  51. Ambakari jagung pohun uwi legi, wedang ronning kahwa, rinakit lumadyeng ngarsi, ki Byut suka tumingal.

  52. Swawi bagus krana-lah sami nyenamik, kedahe nyunggata, sawontene tiyang wukir, ijen wus tridasa warsa.

  53. Jayengresmi mesem wus adhahar uwi, mesem atatanya, wusing angundhuh sakalir, punika kagem punapa.

  54. Kula angge sedhekah mring pekir-miskin, awise kant tedha, smai dhumaten mariki, sasukane dennya mbekta.

  55. Kula amung angengehken kangge wiji, makaten lampahnya, tan saged sidhekah picis, mamanise mung kwowodan.

*)Prayoginipun Subeki = Subuh
**)Taun Jawi: 1429
***)Taun Jawi: 1441






18 Juli 2008





33. MIJIL







  1. Lah punika wujuding kang puri, ing Demak sang katong, dados kalih jeng sultan kithane, bilih rendheng linggar dhateng ngriki, wit Demak nagari, kalebeng we jawuh.

  2. Yen katiga wangsul mring nagari, nunten kang ngadhaton, Susuhaning Prawata namine, akatelah tumekeng samangkling, karane kang ardi, Prawata puniku.

  3. Ascaryambeg rahaden ningali, ingkang tembing elor, rawa wiyar ngandhaping pareden, lir samodra sinaba ing peksi, pel-opel lan mliwis, blekok cangak kuntul.

  4. Bangothonthong pecuk cabak trinil, ruang-urangan abyor, andon mangan mangsan mina myang urange, panjrah kadi sekar tinon asri, wus slesih ningali, rahadyan tumurun.

  5. Amangilen mring pinggiring rawi, anon sumber ayom, binalumbang binatur pinggiri, sela pethak kukubuk pasagi, sajroning botrawi, ingkang pojok catur.

  6. Pinansangan sela-gilang langking, winangun ambanon, boten kaclop we tebah kaote, jroning blumbang bulus ageng alit, samya belang putih, ngambang ttata turut.

  7. Isthanira nambrameng kang prapti, Gathak Gathuk gawok, kathik bulus samono akehe, gedhe cilik padha belang putih, iku kang nglurahi, endhase sak genuk.

  8. Darmajati aturira aris, punika sang anom, wasta Grudha tilas siramame, sultan adi ing Demak nagari, sela-gilang langking palenggahanipun.

  9. Miwah saben wedal aneng ngriki, nadyan salat Lohor, datan beneter kayoman errnne, gayam nyamplung karebet waringin, saben (ng)Garakasih, Jumngah malemipun.

  10. Kathah ingkang tirakat mariki, dupa sekar konyong, neng ngandape kakajengan (ng)genne) mangga radyan mariksa ing beji, wastanipun Jibing, pasiramanipun.

  11. Para arum kang samya umiring, ing jeng sang akatong, wus dumugi ing Jibing tepine, gasik resik ayom silir-silir, ri-wusnya udani, Darmajati matur.

  12. Sampun tapis ingkang dentingali, sumangga sang anom aso dhateng pun paman wismane, antentremken rapuhing kang dhiri, radyan mituruti, kerit lampahipun.

  13. Ing pandhapa sampun dengelari, pandamira abyor, ngandhap talang lenggahe rahaden, Gathak Gathuk neng emper pandhapi, Ki Darma mring panti, sanjang rabinipun.

  14. Sira dhewe ngadenana nyai, lan anakmu dhenok, ganten eses wedhang dhahrane, mengko bada Ngisa wissa ngrakit, dhahar kang prayogi, dhayohmu linuhung.

  15. Darmawati sandika turneki, sadaya wus mrantos, Darmajati mijil ngarsa raden, datan dangu sugata lumadi, nyai aneng ngarsi, rara Menok pungkur.

  16. Gupuh matur sarwi ngacarani, punika ingkang bok, nyai amba Darmawate ranne, ingkang wingking anak amba estri pambajeng (ng)gih ragil, tan na kadangipun.

  17. Pun Surendra naminipun yekti, nanging karan Menok, kidhung wagu tur awon warnine, labet kogung wah tebih nagari, bodhone nglangkungi, amung lothung-lothung.

  18. Nyai sira ngaturna pambagi, marang ing sang anom, ingkang embok atur basukine, rawuhipun angger wonten ngriki, pangestune bibi, pan inggih rahayu.

  19. Nyai Darma anolih mring wuri, babo sira Menok, ngabektia ing suku nah angger, anyuwuna pangestu glis laki, (n)tuk jodho permati, slamet panjeng umur.

  20. Rara Menok tan wawang ngabekti, ing pada sang anom, tatag teteg tan sedheng driyane, ngandikeng tyas Raden Jayengresmi, edi bocah iki, ayu trus rahayu.

  21. Nora nana cacade samenir, pantes abeg tanggon, kembar warna amung polatane, ruruh iki lan si Rancangkapti, wusing angabegti, rara Menok mundur.

  22. Darmajati aturira aris, sumangga sang anom, kaparenga ngunjuk sawontene, myang nyanyamik wedalaning ardi (n)dheku Jayengresmi, wedang wus ingunjuk.

  23. Sarwi dhahar cariping kaspei, telas tigang kethok, Gathak Gathuk tan beda suguhe, kacung ngriku nedha den rahabi, bikt rarywa kalih, ngombe srupat-sruput.

  24. Angethamil nyamikan pat piring, gasik lir sinapon, manjing Mahrib alinggar rahaden, maring langgar ki wisma umiring, dumuginya masjit, Kyai Darma wangsul.

  25. Tata dhahar neng bangku sinamir, tinutup ing lawon, dilah thonthot brenggala liline, rara Menok ingkang ngrakit-ngrakit, rampunging pangrakit, (ng)ganten celak bangku.

  26. Darmajati tatanya mring siwi, uwis rampung Menok, rama uwis mung kari liwete, lan ngngeti ingkang gajih-gajih, mengko lamun uwis, lenggah (ng)gonku ngedhuk.

  27. Kawrnaa kan ana ing masjid, Gathuk adan gupoh, bakda sunan kimatan age, nulya parlu usali Mahribi, bakda apupuji, tekeng Ngisa-nipun.

  28. Bahda Ngisa radyan ngandika ris, Gathuk bocah wadong, kang den ujungaken mau kae, ayu endi lan kang marang beji, Gathuk matur sami, tan geseh sarambut.

  29. Eram kula leganing sudarmi, datan walangatos, lan bocahe teka tatag teteg, iya Gathuk ing panyawangmami, kana kene sami, ngena-ngene suwung.

  30. Raden Jayengresmi ngandika ris, iku nora linyok, wus mangkono wong ngaurip, kiye, kacihnaning tandhane sawiji, ngaurip puniki, tan na bedanipun.

  31. Kyai Darma mring langgar ngaturi, ing sang prawira nom, bilih sampun paragat perlune, bok-paduka (ng)gennira sasaji, dhaharnya sang pekik, mangkya sampun rampung.

  32. Jeng paduka ngatuan mring panti, radyan tindak alon, lajeng lenggah caket lan mejane, liwet anget lan uma kang (ng)gajih, wus lumadyen ngarsi, sadaya kumebul.

  33. Niken Darmawati matur aris, angger ingkang embok, tur sugata sakawontenane, radyan (n)dheku angandika aris, mangga paman bibi, prayogine kembul.

  34. Katri sareng dennira abukti, bikut rara Menok, angimbeti ngladosken janganne, sambel ulan tan kendhat linarih, Raden Jayengresmi, kang dhinahar agung*).

  35. Sekule liwet sakluwak tan luwih, gesek tlas sajempol, lalap sunthi rong iris tan luweh, wus sumugi dennira abukti, atob wanti-wanti, Ki Darma angungun.

  36. Wus cinarik wowohan mangarsi, radyan mendhet gupoh, dhuwet pehak akakalih cacahe, gung ginlintir dhinahar sawiji, Gathak Gathuk bukti, angendhoni sabuk.

  37. Dhadhaharan sawusi dumugi, mingser lenggah ngulon, Kyai Darma matur mring rahaden, bilih pareng aso dhateng panti, rehning lir mas kentir, rahadyan umatur.

prayoginipun amung





17 Juli 2008





32. KINANTHI







  1. Kalangkung gungin panuwun, paduka sung tedah jati, penet awoning pakaryan wenang, mokaling sanggami, kang sayogya linampahan, patut linaluri-luri.

  2. Ing mangkya kawula nyuwun, lilahipun sang linuwih, pamit (n)dumugekken lampah, kyai kantuna basuki, muhung pangestu paduka, rahayune lampah mami.

  3. Dhatuk Bahni ngandika rum, dhuh mas-putu wing asigit, ampun kirang pangaksama, ulun puja basuki, ing lampah ywa kasangsaya, miwah ingkang den padosi.

  4. Sami manggiha rahayu, ramanta kang neng Mantawis, antuka nugraheng nata, wangsul (m)bawani ing Giri, sinuhung ing kulawarga, tetep kadi nguni-nguni.

  5. Radyan (n)dheku matur nuwun, ru wusira manganjali, atur sinungan salam sang tapa, Gathuk Gathak angabekti, sausing sinungan salam, katri mundur sangking ngarsi.

  6. Kyai Dhatuk ingkang kantun, kumembeng waspanya mijil, kaya-kaya nututana, labet sru trestaning galih, tan cinatur kang kabyatan, asruning sih mring tatami.

  7. Radyan lampahira laju, ngaler ngetan sawatawis, Hyang Surya wus nunggang arga, mungup arsa amadhangi, ing saisining kanan rat, maweh enggaring panggalih.

  8. Ing papagan wus kapungkur, tumameng ing wana werit, keh rawa kang kaliwatan, ngancik sukune kang wukir, talatah krajan Undhakan, dhukuh Prawata kaeksi.

  9. Raden ngandika mring Gathuk, payo pada den parane, padesan kang katon ika, lajeng lampahira katri, prapteng sajawining dhadhah, kendel satepining beji.

  10. Kayoman ing nagasantun, pinageran ing wratsari, winengku ing sela kresna, radyan ngambil toyastuti, wektu Ngasar wus paragat, salaku sepining beji.

  11. Gathak Gathuk manthuk-manthuk, meteki sampeyan kalih, rengeng-rengeng sasingiran, tan ana tinaheng galih, tentrem raosing sarira, wauta ingkang winarni.

  12. Lurah ing Prawata dhusun, kakasih Ki Darmajati, Darmawati nyainira, atmaje estri satugngil, paparap Wara Surendra, ing warna tuhu linuwih.

  13. Wingit ing pasemonipun, kuning wenes amrakati, enteng ruruh tur jatmika, lantip ing weweka titi, susila tyase ngumala, ujwala manther nelahi.

  14. Ngrerompyoh sesinomipun, rema ngendrawila wilis, jangga lumun asembada, welar pranajanireki, maya-maya sinatmata, lir pendah cengkir pinginit.

  15. Awijang bebaunipun, asta anggandhewa gadhing, wiraga nenangi brangta, yen lumampah ngati-yati, ririh alon membat madya, lambung memes kadyangganig.

  16. Tujung lumembang ini ranu, kasilir ing angin-angin, wasis saliring pakaryan, kang winajibken pawestri, sang dyah tumutur ing rama, mring tegal arasa ngundhuhi.

  17. Lombok terong pare timun, kacang ceme myang kacipir, lumampah aneng ing ngarsa, kasorot ing Sang Hyang Rawi, mangu-mangu Sang Hyang Surya, denyarsa tumameng wukir.

  18. Kasengsem miyat sang ayu, dumadya mandheg timolih, sang dyah rara kampir sendang, tekeng satepining warih, cangkelak wangsul trataban, enar-enar senig-senig.

  19. Kapanggih ing ramanipun, sarya awacana manis, rama aku tur uninga, ing kono tepining beji, ana wong anyar kawuryan, linggih slonjor dipeteki.

  20. Baneke kang metek ngidung, Kinanthi siji ngenngaki, Ki Darmajati tatanya, dhenok jalu apa estri, embuh rama ora tamat, ki lurah (ng)guguk lingnya ris.

  21. Heh bokne Nok den agupuh, maranga tegal pribadi, kalawan atmajanira, sawuse sirau ngundhuhi, apa saisining tegal, banjur olahen kang becik.

  22. Menuok angundhuha jambu, dersane kalawan manggil, kepel kokosan rambutan, dhuwet pulih aja kari, lan dalima ingkang tuwa, jeruk keprok salak medhi.

  23. Pelem santok sengir madu, pilihana kang mateng wit, alaha jangan beningan, sambel jagung jangan menir, pecel ayang kang kumanggang, lalaban cambah kemangi.

  24. Berutu ayam ywa kantun, lan gorengan ayam estri, gesek-kutug gegpukan, sambel brambang lalab sledi, kekecutan sungthi bawang, lawan ketimun sumerit.

  25. Wedang kahwa gula tebu, saringan tepas kang resik, nyanyamikan puthu-tegal, carabikang mendut koci, semar mendem buntel dadar, kinoplok ing santen kanil.

  26. Sambel goreng kring ywa kantun, urang campuraen lan ati, rambat kulita kang ayam, petis kang wus kok bumboni, sega lemes sega akas, jiwet pitik jago biri.

  27. Wedan ronning blimbing wuluh, sing anyep rendhemen warih, reremikan dhaharan, criping kaspe criping linjik, pisang goreng nganggo gula, creiping tela karag gurih.

  28. Wis mangsa bodho sireku, pikiren lan bokmu nyai, aywa na ingkang kuciwa, Ki Darma lajeng mring beji, wau rahadyan kang lagya, pinetekan abdi kalih.

  29. ngandika mring Gathak Gathuk, mira mau muni tobil, banjur mlongo kadhep tesmak, Gathuk mator wonten janmi wanodya warna yu endah, arsa tumameng ing beji.

  30. Tan dangu cangkeluk wangsul, kilap wau purugneki, amung tilase lumampah (ng)gantheng kadya lintang ngalih, kinten kula waranggana, apesipun putraning jim.

  31. Kendel dennira umatur, praptane Ki Darmajati, nyaketi lenggahnya radyan, saha aturura aris,dhus risang nembe kawuryan, kula anggger nilakrami.

  32. Pundi pinangka sang bagus, sinten sinambating wangi, rahadyan arum ngandika, kula aran Jayengresmi, satri nagri surapringga, saking umiyat Marapi.

  33. paman punapi pilingguh, lan sintan ingkang wawangi, Darmajati nama kula, lurahing Prawata ngriki, bilih kaparenging karsa, kawula aturi kampir.

  34. Dhumateng ing sudhung ulun, paman kalangkung prayogi, menggah dhepokipun paman, gapura ingkang keaksi, o raden dede punika, tilas karaton Jeng Gusti.

  35. Sultan ing Demak karuhun, paman ulun ayun uning, patilasani ngawirya, wawi kula kang umiring, linggar saking in patirtan, Ki Darma lumakyeng ngarsi.

  36. Minggah prapteng alun-alun, lir ara-ara waradin, kantun wringih kalih jajar, nulya minggah mring sitinggil, mangidul anon gapura, angongkang tepining wukir.

  37. Munggul sela gamping bagus, ingukir pinatrap remit, margi minggah dhauk-undhakan, gela gamping kang kinardi, prapteng lebeting gapura, Ki Darma atunya mijil.






16 Juli 2008





31. ASMARADANA







  1. Lan wonten kaol mengeti, lamun arsa sacumbana, lan garwa miwah salire, anyingkirana ing dina, Sabtu Legi ya aja, akaresmen dina iku, awon adate yen dadya.

  2. Larene agadhah sakit, edan kang wus kalampahan, ana dene panyirike, namun sadalu sasiyang, lan maningge ya aja, acumbana wengenipun, ingkan garebeg titiga.

  3. Punika pan boten becik, lamun dadi larenira, sok gadhah ayan sakite, lan malih lamun cumgana, lan wanodya kel aja, lamun dados putranipun, sok (ng)gadahi sakit barah.

  4. Poma den sirika ugi, yen wong wadon lagi tarab, aja sok gramah-gurameh, yen durung adus-kel aja, den ajaka cumbana lamun sanget karsanipun, pan angur goleka liya.

  5. Dene ta ing Tumpak Manis, lan bengi garebeg tiga, singgahana aywa supe, kalamun sangeting karsa, teka den betahena , kadar pira mung sadalu, yen wis bakda cumbanaa.

  6. Kadi ta ing Tumpak Manis, sadalu lawan sasiyang, betahena aywa supe, kadar pira mung sadina, sawengi ngarah apa, ujubena tapa iku, acacegah lan wanodya.

  7. Poma den enget hya lali, hywa na ingkang sembrana, ing wong tuwa wawalere, lan wajib ingestokena, mangsa silih doraa, lan wonten utaminipun, lamun arsa acumbana.

  8. Mapan ta kedah amilih, nujua dina Jumungah, kan tan sangar taliwangke, miwah naas singgahana, kresmena bakda Luka, yen wus kremen banjur adus. lajeng metoni Jumungah.

  9. Punika kalamun dadi, tuture wong tuwa-tuwa, kathak kang dadi masaleh, miwah ta dadi ngulama, tanapi keh kabegjan, titi tamat serat pemut, prayoga den estokena.

  10. Gathak Gathuk angaligik, ngacemut ririh rarasan, Gathuk Ki Dhatuk ature, mring bendara bab ngononan, gek basa banjur ora, Gathuk ririh sauripun, ah wong tuwa iku lumrah.

  11. Cobak dak matur kiyai, kajaba kang wus kawedhar, apa iya ana maneh, sirikan anon-anonan, Gathak majeng manembah, rereh ririh dennya matur, dhuh jeng kyai apuranta.

  12. Kamipurune pun patik, anyuwun ing sarerepan, kajawi kang wus kawiyos, sirikanipun sanggama, Ki Dhatuk mesem nabda, kacung sireku amencul, ana maning linarangan.

  13. Wong tuwa kang duwe peling, pan kinon anyinggahana, sacumbana lawan lonthe, miwah lan taledhek apa, den ajak sacumbana, apan awon tilasipun, akathak kang sakit bengan.

  14. Lan kaping kaliye malih, asring sakit rajasinga, tin cramumuh tin panyenyh, yen munjuk dhateng ing grana, sak piseg aditira, yen mring netra dennya munjuk, akathak kang sakit wuta.

  15. Ana malih den singgahi, sacumbana lan wanodya, ingkang awon pratingkahe, sanadyan silih ayune, tan pantes kinedanan, yen wus lara keh kung nutuh, nora nana wong ngalema.

  16. Nadyan awona sathithik, kalamun antuk parawan, mundhak ngencengake otot, pae lan randha walunjar, tan mundhakake kuwat, namun mirit sampun gambuh, nora susah ajar-ajar.

  17. Ewa mangkono tan keni, sasenenganing manungsa, pan septane dhewe-dhewe, ana kang septa mring randha, saweneh septa wlanjar, saweneh ana wong iku, aremah rabi planyahan.

  18. Ciptane sajroning ati, rina wengi digarapa, pradene yen ngadeg puleh, nyambuta-gawe sadina, sak jampel mangsantuka, naledhek bae sabedhug, oleh kaya telu tengah.

  19. Miwah lamun sanja bengi, tan susah nganggo pawitan, mung kembang pupur lan borehe, tapi kemben sok gantraa, prandene keh kang tumbas, pan ora nganti sabedhug, oleh opah limang uwang.

  20. Mulani ana nglakoni, ambuwang isin lan wirang, arabi tledhek myang lonthe, pan ora kena den wora, karepaning manungsa, apan ta sampun asnapun, warna-warna beda-beda.

  21. Warna-warna rupuaneki, beda-beda karepira, nora kena den worake, seje badan seje nyawa, yen kena den wor-wora, kang tunggal badan nyaeku, prandene tan rujuk karsa.

  22. Kaya mata lawan peli, miwah weteng lawan badan, duse karep dhewe-dhewe, matane arsa anendra, wetenge arep mangan, badane banget alesu, peline angajak sahwat.

  23. Lawan ana peling maning, yen marengi acumbana, mring garwa miwah selire, aja ngakehken gendhingan, tan becik lamun dadya, anggalidig larernipun, adate kang wus kalakyan.

  24. Lan kaping pindhone maning, kalamuning jroning cumbana, aja sinambi calathon, guguyun kang tan prayoga, tan becik lamun dadya, larene juweh punika, wartane wong tuwa-tuwa.

  25. Mulane lamun katermin, aja ngakehken guguyan, balik den resik badane, miwah to ingkang sandhanan, wewangi angganggoa, lamun dadi larenipun, resikan penet kang warna.

  26. Lan maneh jroning sahwati, kalamun kapentut ala, yen dadi nyengit anake, mulane kalamun sahwat yen ngentut den pocota, lamun entut uwis metu, nggal nuli balekena.

  27. Mula aja akaresmin, yen durung resik kang badan, tangi turu banjur nyemplo, nora nganti mring pakiwan, yen dadi tan prayoga, larene warnine kethuh, caroba ala kang warna.

  28. Lawan ana peling maning, kalamun mentas amangan, aja sok banjur karesmen, yen durung medhun kang sega, ala maring sarisa, anduweni lara watuk, punika kang wus kalakyan.

  29. Dene ta gampanganeki, kalamun mentas mamangan, maksih karasa warege, aja wani-wani sahwat, yen weteng durung lega kalamun dreng karepipun, teka betahna sadhela.

  30. Gathak Gathuk duk miyarsi, gumuyu alatah-latah, kapingkel atos wetenge, tahadyan mesem kewala, Dhatuk Bahni lingira, kacung niku pancen saru, apan (ng)gunem calemetdan.

  31. Rahadyan ngandika aris, punika langkung prayoga, wantah datan mawi tedheng, dados gampil linampahan, suwasi linajengna, rehning ing ngagesang tamtu, Ki Dhatuk (n)dheku turira.

  32. Utami bilih nyingkiri, naas Nabi wulan Wura, tanggal kapng triwelase, punika nalikanira, Nabi Brahin binakar, kaping tiga wulan Mulud, tinurunken Nabi Adam.

  33. Nembelas Rabingulakir, Nabi Yusup nalikanya, linebetaken sumure, Jmadilawal ping gangsal, Nabi Nuh nalikanya, kinelm ing jagadipun, ping salikur wulan Siyam.

  34. Kalamolah Musa Nabi, kala kalebeng samodra, Sela kaping pitulikure, Nabi Yunus nalikanya, inguntal ulam lodam, Besar ping salawe nuju, Jeng Nabi kakashing Hyang.

  35. Muhkamad ingkan sinelir, kunrutug sela wong kopar, rentah kakalih wajane, dene kang kikrik ing petang, saben wulan kewala, asal tanggalnya panuju, kaping tiga kaping gansal.

  36. Triwelas nembelas tuwin, salikur patlikur lawan, tanggalipun ping salawe, sami cinegah sadaya, kalawan sangar wulang, sataun pinara catur, Pasa Sawal Dulkaidah.

  37. Jumungah sangaraneki, Besar Sura lawan Sapar, Saput Akad sangarane, Mulud Rabinulakir myang, wulan Jumadilawal Senen Slasa sangaripun, Madilakir Rejeb Ruwah.

  38. Sangaripun Rebu kemis, Rahadyan aris ngandika, kathah temen petange yen makaten kedah tamban, datan kenging dinadak, o bagus (ng)gih-enggihipun, kendel dennira raosan.

  39. (n)Dungkap wanci pajar gibid, samya ngambil toya kadas, nulya prelu wektu Suboh, paragat dennira wekdal, rahadyan ngaraspada, dhuh Ki Dhatuk Bahni tuhu, asung kakanthining gesang.






15 Juli 2008





30. SINOM







  1. Mangkana tyasira radyan, dupi myarsa andikaning, Kyai Ageng Pariwara, dadya supe dhahar guling, ing nala kang kalingling, amung shira Hyang Agung, rum manis aturira, kiyageng lamun mareng, dasihipun arsa dumugekken lampah.

  2. Paduka kantuna arja, kawula anyuwun pamit, iya kulup kywa pepeka, ingsun nyangoni basuki, sausnya mangenjali, sasalaman nulya mundur, Gathuk Gathak pamitan, wus linilan kalihneki, ruruntungan tan pisah lan bendaranya.

  3. Nagel ngilen lampahira, wanci ngajengaken Mahrib, prapteng Gubug padhekahan, anon urube kang api, neng satengahin sabin, kinubeng ing mandera gung, ana panti kang celak, dhapur masjit caket api, Dhatuk Bahni ing Marapi kang atengga.

  4. Wikan lamun kadhatengan, gya mijil sangking ing panti, wus pinanggih lan rahadyan, samya sasalaman katri, Ki Dhatuk ngandika ris katabetan ingkang rawuh, sru begja kemayangan, de ana kan sudi kampir, mring asonya mas putu pundi pinangka.

  5. Lawan sinten kang sinambat, paran kang sinedyeng kapti, rahadyan matur prasaja, kula nama Jayengresmi, de rencang kula kalih, pun Gathak lawan pun Gathuk, ing Giri kalairan, tan ana sinedya ngati, ambalayang ngupadosi dwi kakadang.

  6. Mankya pados pasipengan, pramila bilih marengi, nyukeri jogan paduka, ki Dhatuk latah dennya ngling, dhuh babo wong asigit, sampun kang sipen sadalu, sanadyan salaminya, kepareng dhdhekan ngriki, iba-iba pun kaki bingah ing nala.

  7. Wawi ngambil toya kadas, sedheng wancinira Mahrib, wusing kadas Gathak adan, paragat wektu Mahribi, pujiyanira ngenting, sampet wektu Ngisanipun, wusing bakda salaman, lajeng lalenggan sami, wus ambanjeng sugatanira ki wisma.

  8. Liwet ketan panggang ayam, cinocoh ing santen kanil, winadhahan panjang ilang, sambel windu saking miri, linemeng bumbung peting, gula siwalan neng ngempluk, wedang sekar sridenta, Ki Dhatuk wacana manis, wawi bagus pun kaki atur sugata.

  9. Supala amung kinarya, lumayan aywa kalantih, pikantuk denira dhahar, linorotken marang abdi, rahadyan matur aris, ing waku kula andalu, siti resik arata, gumrebeg umedal agni, urubing ingkang acelak bantala.

  10. Warni ijen biru jenar, kadya sekaran tinepi, inggiling urub saasta, wiyarira sawatawis, caket lawan Marapi, wonten sela alus bagus, kadnya umpaking wisma, Ki Dhatuk ngandika manis, ing marapi kang murub mangalat-alat.

  11. Wawi bagus pinurugan, wus medal sangking ing masjit, kerit ki Dhatuk lampahnya, prapta celaking Marapi, Ki Dhatuk malbeng geni, inguseg suku wus lampus, peteng dhedhet limentan, tan dangu gya murub malih, Dhatuk Bahni wacana lah Gathuk Gathak.

  12. Usegken suku lir ingwang, lamun mengko uwus mati, suleten sadhengah-dhengah,pasthi banjur murub maning, Gathak Gathuk turneki, dede pabenan (m)bah Dhatuk, latu kangge mainan, jabakneya yen kiyai, bilih kula yekti kobar dadi wangwa.

  13. E ta mara lakonana, Gathuk jinorogken aglis, mring Gathak dhawah kalumah, cakekalan dennya tangi, tan ana raosneki, wus inguseg suku lampus, sinulet nulya gesang, nahan toyanira sabin, gya ngelebi sadhengkul lebeting toya.

  14. Latu maksih kantar-kantar, aneng sanginggiling warih, rahadyan asru kagagas, kaelokaning Hyang Widhi, kadiparan kiyai, mila bukani rumuhun, ki Dhatuk Bahni lingnya, wikana ulun tan ungin, watu umpak punika duk jaman Demak.

  15. Adegen mesjid ing Demak, para wali kang ngadani, Jeng Susunan Kalijaga, kabageyan umpak siji, pambekta prapteng ngriki, sampun wanci bagda Subuh, ing kangka datan kena kebyaran adeging mesjid, gya tinilar mangkya dadya panengeran.

  16. Sinten wonge kang kuwawa, anjunjung sabari linggih, kalakyan sasedyanira, suwasi yen badhe nyobi, rayadyan turireki, amung ngalap berkahipun, linuhung waliyolah, kaecan dennya ningali, ing Marapi dadya tan wangsul mring wisma.

  17. Rahadyan matur tatanya, kula mireng caritaning, ing nagari Ngeksiganda, telenging karaton Jawi, yen arsa mangun kardi, amikramaken sunu, deging tarub ingetan, myang wulannya kedah milih, ing karesmen pados dinten kang prayoga.

  18. Inggih bagus dhasar nyata sanadyan ing dhusun ngriki, saben ayun darbe karya, sami tatanya mring mami, wulan ingkang prayoga, kangge andhaupken sunu, priridan sangking Arab, miwah etangipung Jawi, pan kinumpul supadi manggih widada.

  19. Adeging tarub punika, pepitu etanganeki, awite tanggal sapisan, tarub-tarub den wastani, tanggal kapindho nenggih, selumang-lanang, rannipun, ping tiga saluman-dyah, ping pat rahayu basuki, kaping lima rahayu salamet tama.

  20. Kaping nemme pati-lanang, kaping pitu pati-estri, ping wolu sami sapisan, tekeng sapiturutneki, mangkya ingetan sami, kaping sapisan ping wolu, limalas rolikur lan, sangalikuripun nenggih, pan ingaran tarube sri naranata.

  21. Pindho sanga ping nembelas, telulikur tridaseki, salumah-lanang ingaran, ping tiga sadasa tuwin, seluman-wadon puniku, kaping pat ping sawelas, wolulas salawe nenggih, apan sami rahayu kawilujengan.

  22. Kaping lima kaping rolas, sangalas nemlikur sami, rahayu tur karaharjan, ping nem ping telulas, tuwin, dwidasa saptakuring, ngaran pati-lanang iku, ping pitu ping patbelas, slikur wolulikur sami, ingaran pati wadon tan prayoga.

  23. Samonoku nyingkirana, sangar naas gung myang tali, wangke sampar-wangke miwah, dhendhan-kukudan lan mawi, sangat adegireki, ingkang saka awitipun, sarat nganggeya saka, dhadhap srep teka satunggil, kang prayoga prayogine den anggeya.

  24. Satunggal tarubing-nata, ageme jeng sri bupati, kalihe seluman-lanang, tri seluman wadon nenggih, sami datan prayoga, kaping sakawan rahayu, kaping gangsal raharja, punika sami prayogi, kaping nenem pati-jaler tan prayoga.

  25. kaping sapta patining-dyah, ugi tan sai pinanggih, petang sapta yen sri nata, kang kagem petang stunggil, snese narapati, petang sakawan puniku, kalawan etang gangsal, punika salah satunggil, kang kinarsa dene wulane kawinan.

  26. Wonten sabdaning Utusan, adhawuh ing para mukmin, den padha angawruhana, ing wong salaka-rabi, amanggih papa nengggih, lamun awon wulanipun, raharja manggih suka, lamun sasinipun becik, prayogine den sami nyumerepana.

  27. Lamun Mukaran dohane, tyang akawin laki-rabi, utangan nglamatira, wulan Sapar tan prayogi, wikana kang pinanggih, Rabingulawal kang tensu, pejah salah satunggal, yen wulan Rubingulakir, manggung runtik tansah arebat suwala.

  28. Ing wulan Jumadilawal, antuk druhakeng Hyang Widdhi, tur akerep kapandungan, jinahan pakartineki, yen kawentara yekti, anandhang wiwirang gung, jumadilakir wulan, sugih emas lawan picis, wulan Rejeb kadaden anak lan dunya.

  29. Ing wulan Sakban raharja, sakgawene nemu becik, wulan Ramelan duraka, kathah pandameling eblis, wulan Sawal tan becik, geringan pakantuking, ing wulang Dulkangidah, asring susah ngliliwati, wulan Besar raharja sasolahira.

  30. Ing karesmen winarna, kang pangandika Jeng Nabi, salalah ngalehi salam, rikala amituturi, dhateng kang putra estri, Siti Patimah kang luhung. lawan dhadhawuh marang, putra mantu Sayit Ngali, rayiyalahu ngnhu babing masalah.

  31. Ing wong karesmen lang garwa, eh Ngali pitururmami, aja sira asanggama, tanggal pisan lawan malih, ing wekasaning sasi, nora becik karonipun, iku kalamun dadya, anake metoni cilik, lawan aja asanggama tanpa damar.

  32. Lamun dadi sutanira, balilu kurang kang budi, lawan aja asanggama, dina Akat lang wengining, iku kalamun dadi, pan durjana larenipun, lawan aja sanggama, ing dina Rebo tan becik, lan wengine yen dadi bocah cilaka.

  33. Lawan aja asanggama, wektu pajar nora becik, lamun dadi larenira, tuna-liwat lareneki, lan aja karon resmi, nalika tangangeiku, kalamun dadi bocah, dadi juru teluh ugi, lawan aja sanggama malem riyaya.

  34. Wit ri lamun dadi bocah, duraka mring bapa bibi, lawan aja asanggama, maleme riyaya iki, Besar kalamun dadi, bocah siwil adatipun, lan aja asanggama, ingkang katlorong Hyang Rawi, lamun dadi bocah adoh begjanira.

  35. Lan malih ada sanggama, sambi ngadeg datan becik, mangka lamun dadi anak, duwe lara beser benjing, lan aja karon resmi nalikane dina saptu, miwah ing wengenira, iku lamun dadi bayi, balaine adate kalebeng toya.

  36. Lan aja sanggama sira, sambi ngusapi pareji, miwah dakar iku aja, ngusapan lawan jejarik, mangka kalamun dadi, bocah kurang budinipun, lan aja asanggama, sambil rarasan tan becik, mapan bisa adate yen dadi bocah.

  37. lawan aja asanggama, kalawan nginali parji, lamun dade larenira, wuta adate punika, lawan aja karesmin ning ngisor wit-witan iku, kang piangan wohira, yaiku kalamun dadi, larenira panggaweyani niaya.

  38. Lawan aja asanggama, malem Barahat tan becik, lamun dadi larenira, anandhang lara tan mari, iya kalawan malih, aja sira karon lulut, ana ing panginepan, puniku kalamun dadi, larenira abanget cilakanira.

  39. Lan aja sanggama sira, anuju kelling pawestri, lamun dadi larenira, budhug adate kang sakit, poma Ngali den eling, imanena tuduhingsun, eh Ngali sanggamaa, malem Senen iku becik, myang rinane apan iya becik uga.

  40. Lamun dadi larenira, wateke saregep ngaji, lawan sira sanggama, ing malem Salasa becik, lawan raina becik, lamun dadi bocah iku, akeh wong ingkang tresna, lawan sanggama Ngali, malem kemis miwah arainanira.

  41. Lamun dadi sutanira, pan akeh begjanireki, lawan sira sanggama, ing malam jumungah becik, nadyan raina becik, lamun dadi sutanipun, apan sugih kabisan, lan sanggamaa sireki, sadurunge lingsire dina Jumungah.

  42. Utawa ing Kemis dina, karone iku ta becik, yen dadi atmajanira, dadi pangulu lan malih, sinunataken ugi, ing wong asanggama iku, yen amaca bismilah, hirahman ya nirakimin, lan amaca tangawut pan sunat uga.

  43. Yen tan amaca bismilah, nalika arep sahwati, lamun dadi sutanira, balilu tuna kang budi, mila yen arsahwati, derenge (ng)genne tangawut, menek ana panjanmaning, satru kang den kawruhi, dipun sami ngestokken Kadis asmara.






14 Juli 2008





29. DHANDHANGGULA







  1. Lah ta kulup sira ywa kuwatir, sayektine ingsun nora samar, marang lalakonmu angger, reh ginadhan sireki, cacalone janma luwih, kang jenjem manahira, aneng wismaningsun, upama sira babakal, karya wisma ingsun amunjurung tali, rahadyan duk miyarsa.

  2. Asrep ing tyas aturira aris, dhuh pukulung ragengsun sumangga datan lenggana dasihe, mangkana sang abagus, ngantya lami neng Sela kampir, anujwari sajuga, sabakdaning Subuh Kyai Ageng Pariwara, lenggah srambi rahadyan tan kenging tebih, jeng kyai angandika.

  3. Eh ta kulup den kaparang ngarsi, kawruhanmu nora endah-endah, ngelmu kan sun imanake, amung piwulangipun, eyang Kyageng Sela linuwih, nyatane wus anyata, cihnane linuhung, kang mengkoni tanah Jawa, datan liya tedhake Jeng Sela Kyai, lan iki piyarsakna.

  4. Papali ki ajinem (m)berkahi, tur salamet seger kawarasan, pepali iki mangkene, aja agawe angkuh, aja ladak aja ajail, aja manah surakah, lan aja calimut, lan aja guru-aleman, aja jail wong jail pan gelis mati, aja amanah ngiwa.

  5. aja saen den wedi ing ngisin, ya wong urip hya ngegungken awak, wong urip pinet baguse, aja lali abaguse, bagus iku dudu mas picis, pan dudu sesandhangan, dudu rupa iku, wong bagus pan ewuh pisan, sapapadha wong urip pan padha asih, perak ati warnanya.

  6. Aja mangeran ing emas picis, aja mangeran ing busanaendah, ja mangera kabisane, aja mangeran ngelmu, aja mangerah teguhreki, aja mangeran japa, aja (ng)gunggun laku, kabeh iku siya-siya, aja sira (ng)gugoni kawruhireki, lah iku mundhak apa.

  7. Angkuh kang jujur arahen kaki, aja sira angarah keringan, saidhep-idhepe dhewe, ewuha wong tumuwuh, dipun bisa ngenaki ati, atine sapepadha, nepsumu ja turut, iya nepsuning manungsa, kudu kedhep iya sapadhaning janmi, iku sira sirika.

  8. Aja sira padhakaken jalmi, aparentah marang sato kewan, kebo sali lan ayame, aja sira prih weruh, kaya uwong pan nora bangkit, aja kaya Samerta, kebone pinupuh, kinen sinau memaca, wus pasthine kebo sapi nora bangkit, mulane awuwuda.

  9. Ayam giusah munggah ing panti, atanapi yen amangan beras, kebat ingadhangan bae, iku wong ngolah semu, yen tetangga sarate kaki, yen layak ingaruhan aruhana iku, yen tak layak enengena, apan iku mangan segane pribadi, pan dudu rayatira.

  10. Yen mungguha rayate pribadi, kapenakna ya rayate ingkang, nglarakena ing atine, aja sira mumuruk, tuduhena yen dereng sisip, yen usiw katiwasan, aja sira tutuh, kelangan wuwuh duraka, aja sira ngumpah-umpah iku kaki, lah iku mundhak apa.

  11. Den aolah mungguh ing ngaurip, aja nganggo ing sadaya-daya, wong urip pan akeh lire, dipun ngidhep pakewuh, weuh iku tgang prakawis, pakewuh ing pangucap, ewuh ing pandulu, ana ewuh jroning nala, yan katara alane sajroning ati, pan dadi pangraita.

  12. Dipun wuruk lan idhep ing ngisin, isin iku pan kalih prakara, dhingin isin Pangerane, dene ping kalihipun, dipunisin padhaning janmi, en kalakona wirang, isin temahipun, dipun atu akakadang, pawong sanak aja pegat ngati-ati, yen cala dadi ala.

  13. Aja sira wani-wani, maring sanak pawong kandangira, aja sira watak dahwen, aja watak akmingsun, aja watak ngaruh-aruhi, aja awatak ngiwa, ala kang tinemu, sing sapa atine ala, nora wande ing benjing ing nemahi, wong ala nemu ala.

  14. Sing sapa andhasaraken becik, nora wurung benjing manggih arja, miwah saturun-turune, yen turune dadya gung, amarentah wong cilik, aja sadaya-daya, dadi nora tulus, saenggone dadi cacat, aja nacah parentah marang wong cilik, aja sawiyah-wiyah.

  15. Aja sira watak wani-wani, aja sira watak ngajak tukar, aja ngandelken ngelmune, aja sira anguthuh, aja ladak aja ajali, aja doyan sembranan, dadi wong katutuh, niniwasi dadenira, lamun ana wong patrap dipun awedi, malati iku uga.

  16. Balik iku lah tirunen kaki, janma patrap sira kasihana, sira arahe sawabe, amberkati wong iku, nora kena yen dipun aji, tirunen lagi wenang, pambekane alus, yang angucap ngarah-arah, yen alungguh nora pegat ngati-ati, nora sawiyah-wiyah.

  17. Aja sira watak suka singgih, aja sira kapengin kedhotan, kukuwasan*) apadene, aja sira madhukun, aja (n)dhalang aja agrami, aja budi sudagar, aja budi kaum, janjine jakat lan pitrah, dipun suda padune cukeng abengis, iku kaum kang nyata

  18. Kumbah surahkah cukil adulit, iya jajal melanten amerna, iku nora dadi gedhe, siriken ujar iku, iku wong urip dipun taberi, mapan katemu basa, pan katemu semu, mapan katemning ulat, atining wong kang ala lawan kang becik, kang jujur anteng cahya.

  19. Kawruhana janma kang kakiki, iya iku guruning pandhita, nora katara lakune, tan cegah tan asaum, nora tapa nora amutih, sangkig prayitnanira, ing ngawake iku, prayitna ing ngawakira, mung sanake punika kan denwedeni, sanake iku jagat.

  20. Banyu bumi agin lawan langit, srengengene kalawan rembulan, punika sanake kabeh, janma kang salah iku, iya iku strune nenggih, mulane ana lara, walat kang tinemu, janma kang jujur punika, lanang wadon punika sanake nggih, mulane ana sawab.

  21. Kang satengah kang durung sayekti, dennya amrih budi kapandhitan, pijer wayang-wuyung bae, tansah ngalor angidul, mendhak-mendhak saba wong sugih, ngelmu ginawa kasab, angucap (ng)gadebus, angincih darbeking liyan, nora weruh awake kalebon eblis, dadi wong ngayawara.

  22. Apan cegah jenengi ing ngelmi, kang asaba omahe nangkoda, miwah matri apadene, lumuh kena ing siku, dennya amrih budi lestari, budi marang kararjan, ing beka tan keguh, bekane ing wong ngulama, pan kapencut marang ingkang melik-melik, dadine ngandhap-andhap.

  23. Yen ngantiya kasor ingkang ngelmi, pan duraka jenenenge ngulama, wus awak buta ragane, wus linglung kadalurung, nora weruh kena pirangi, tansah karya paekan, dennya anjejaluk, datan etang jewa raga, (m)bagentusi dennera amrih, pakolih sumrenuh lakonira.

  24. Anglakoni karyane kang den prih, iku sing wong tan welas ing badan, tan asih maring jisine, dadi banjur kalurung, nora antuk wahyuning ngelmi, lakune lalawora, tansah wayang-wuyung, mung melik ingkang denancab, durung weruh ing laku sikuning ngemi, polah sadaya-daya.

  25. Pangrasane wus bener kang ngelmu, tan angrasa lamun ingeseman, marang sujanma kang luweh, iku wong kumprung pengung, nora wikan kena piranti, sabab wus ati setan, lakune wus liwung, pangrahe tan riringa, wus kalulun atine kalebun eblis, wus tan wruh isin wirang.

  26. Apan katah pan bekaning urip, dennya amrih pakolihing badan, amrih kuncara,ngelmune, meleke saben dalu, tansah agung acegah bukti, andhap-asor kalintang, eseme lir dhuyung, ulat manis ati sabar, dadi gendam eseme guna piranti, enenge salah cipta.

  27. Tan mangkana ingkang sampun yekti, badan iku ingkang kadi sarah, aneng lautan pamane, apa umbaking banyu, sarah anut umbaking warih, iku jeneng kawula, tan darbe kersaku, angin purbaning Pangeran, tanpa karsa kalimput marang sawiji, wus kerem ing sagara.

  28. Nora nana denparani ati, pan wus liwung tan darbe Pangeran, pan suwung jati kawruhe,d atan dulu-dinulu, tan tumekeng suwung, sasolahe pan asamar, nora nana kang kaduga anampani, liwung kadya wong edan.

  29. Wusing tamat radyan anungkemi, paadanira Kyageng Pariwara, waspa dres alon ature, dhuh babo sang awiku, karsa paring pituduh jati, asru panuwun amba, kapundhi ing ngembun, amung pangestu paduka, kasawaban ing sabda ri sang linuwih, tumancepe ing nala.

  30. Kyai agen angandika malih, patilasani dibyane Jeng Sela, teka ing samengku iseh, deongenge dung ing dangu, panamare laku tatanin, sasawah nanem gaga, ing sawiji wektu sabadane salah ngasar, marang sawah papculira cinangkung, praptaning pasabinan.

  31. Gya tumandang wus adatireki, lajeng mendhung riwis-riwis jawah, kagyat gebyaring caleret, kiyageng maos gupuh, subganalah nulya kaeksi, kaki-kaki lumarap, jeng kyai tan keguh, tan samar marang kang prapta, pinurugan pandhapan dennya lumaris, si kaki wus cinandhak.

  32. Wus kaasta jumegur swareki, ingkang pindha kaki-kaki ika, apan gelap satuhune, ingerut gandri gupuh, kyai sangsul anambut kardi, si gelap gedabigan, datan bisa ucul, sabanjure katur sultan, ing Bintara bajur kinunjara wesi, tan lami ana prapta.

  33. Nini nyangking beruk isi warih, amurugi maring pakunjaran, toya gya siniratake, wus sirna kalihipun, tinggal swara anggegetari, kuncara wesi rusak, mawut anggalepung, dadya kondang sanagara, Kyageng Sela sanyata lamun linuwih, bisa anyekel gelap.

  34. Uwit gandri kang kaanggo (ng)godhi, suwisa gelap katur nata, dadya murub menter-menter, kiyaging adhadhawuh, marang putra wayah myang abdi, padha sira (n)jupa, geni gelap iku, anggonen dadamar omah, insa Allah kinajrihan gelap yekti, marma ywa pejah-pejah.

  35. Ing saiki geni gelap maksih, ingkan durung katular-tumular, aneng pasareyan (ng)gone, apan ta saben taun, manira tur tularan api, kuncuk jeng sri pamasa, maring ing Mantarum, sawah kang ginarap swarga, mung sabau catur kedhok den arani, si Mendhun mula aran.

  36. Awit saben (ng)garap kangjeng kyai, banjur mendhung orng kedhokan aran, Subganalah katelune, Pandhapan arannipun, pate kedhok ing Gelap nami, katelah tekeng mangkya, gandri kant katanu, sirna namun lemahira, ngilak-ilak tan thukul katang myang teki, iku caritanira.

  37. Anjabane ngolah tegal sabin, marang kulawangsa amumulang, agawe bleng myang uyahe, gawe nila nanandru, kembang pulu kalawan maning, anandur kang jujutan, marna benang alus, sutra kang bakal kinarya, cindhe gedhog ngadani yasa dhapuring, omah joglo limasan.

  38. Nganggit-angit coreke kang lurik, tuwuhsela telu lema lawan, badra sapanunggalane, abah-abah pinatut, winuwuhan wangunaneki, anguripken petungan, sing pasiten iku, nguni kang miwiti etang, sri Manuhun nanging tan ana pradali, dadi wite kalakyan.

  39. Eyang Sela tumeka saiki, lemah dadi sanggane wong juga, ingaran sabau kae, gawene wong ro iku, diarani cacah cakikil, gawene uwong patap, ngaran cacah sak-jung, piridan petungan jagal, sampil siji sabau swi sampil kikil, sampil pat sak-jung rannya.

  40. Dhasar sugih kawigyanyan myang lantip, ya Ki ngadurakhman Kyageng Sela, prayoga predinen jebeng, grendanen tyasireku, sukur bage bisa nyeplesi, orane mung mirida, lalabuhanipun, kajabeku patilasan, angratani dadi wasiyat narpati, sri nata Ngeksiganda.



*)Kukuwasan, bokmanawi sami kaliyan kumawasa





11 Juli 2008





28. ASMARADANA







  1. Kang keling-keling kaeksi, gih punika netranira, lebu lir awu warnane, tilas Linglung duk samana, pinantek tukukira, badan polah siti (m)bledug, nanging boten saget kesah.

  2. Krikil warangan punika, kinarya nyemeng gegaman, toyane jram pecel winor, paedah ambuhe mindhak, rahadyan sampun linggar, tan pati doh nulya (n)dulu, sumber alit isi toya.

  3. Nyemek-nyemek raos asin, kidul teleng kawistara, wonten gumuk mujur ngilen, kilen gumuk datan tebah, rawa lit kebak toya, ugi asin raosipun, ler kilen teleng Kasanga.

  4. Ara-ara tinon asri, sitinipun bulak pethak, barenjul samya inggili, turut pinggir pupundhungan, dumugi ing ler wetan, mathuthuk lir wisma pinggul, benggan ajeg lir tinata.

  5. Wetan teleng tinon asri, waradin penuh thukulan, rumput merakan myang mendhong, tekeng kidul totok arga, tinon asri kawuryan, nglilipur ing tyas margiyuh, Ki Jati malih turira.

  6. Ingriki bilih marengi, mangsa katiga akathah sima sawer samnya manggon, asring-asring ing Kasanga, sawiyaring telengnya, (m)bledhos swara kadya gludhug, inggilnya ngungkuli arga.

  7. Tinon yektos (ng)gigirisi, gih punika kruranira, Tunggulwulung ingkang manggen, ing sangadhaping Kasanga, ri wusnya mangun krura, kula gya mariksa gupuh, punapa kawontanannya.

  8. Yen katinggl sanepaning, maryem badhe wonten perang, yen katingal kados layon, badhe kathah tiyang pejah, sampuning amariksa, nunten lapur lurah ulun, dhateng Methakan ing Sela.

  9. Kang nglajengken mring Mantawis, dene lepen cacah gangsal, kalamun rendheng mangsane, punika dados satunggal, tinon wus kadya rawa, ila-ilane rumuhun, para priyantun ing praja.

  10. Saestu yen boten kenging, anon telenge Kasanga, kilap panika wadose, yen tinrajang kadrawasan, linungsur kang darajat, apes nandhang ing papa gung, kinebat kang sandhan pangan.

  11. Wus tapis dennya ningali, Ki Jatipitutur lingnya, suwasi angaler ngilen, punika tilas kadhatyan, nagri Mendhangkamulan ing Kasanga wus kapungkur, praja tilasing kadhatyan.

  12. Wujud kantun siti mengir*), wus dumadya wanawasa, linajengken ing lampahe, prapta ing sendhang Ramesan, wawengkoning Kradenan, caket satepining ranu, tan patya lebet kang toya.

  13. Kalangkung gowaking galih, de toya sadendhang wrata, kadidene wedang umob, lir umbul modal ing toya, gumledheg kang suwara, mancawarni toyyanipun, pindha kukuwung wang kawa.

  14. Ijen jene wungu abrit, dadu jambon cemeng pethak, inginum anta raouse, semune kaworan lirang, bentere sawatara, tan nailen-ilenipun, pindhane kadnya balumbang.

  15. Ki Jati turira aris, punika sendhang Ramesan, lajeng tindak mring Carewek, aningali gumuk karang, sanginggil gumung ingkan, eler miwah kilenipun, wonten sumberipun samya.

  16. Asin raosing kang warih, punika kenging kinarya, sarem alembut warnine, semu abrit asing kirang, wus terang pinariksan, lajeng mangaler sang luhung, ing Mendhikil kang sinedya.

  17. Prapteng gumuk datan inggil, nulya samya inginggahan, sampun rawuh ing tepine, lir sumur bunder apapak, nanging tan isi toya, endhut cuwer ngantya penuh, papak lambe ambaludag.

  18. Lir pendhah umob swareki, benter namun sawatara, wonten ilen-ilenane, mili we asin raosnya, gya anon sumur tiga, lir wedang panas wenipun, kang kadya sumur lit kathah.

  19. Toyanipun ugi asin, sadaya kenging kinarya, sarem kadi ing Carewek, kawratan wus pinariksan, ing Bledhug tinindkan, saking mandrawa kadulu, anon ara-ara wiyar.

  20. Ki Jati turira aris, punika kang katingalan, ing Bledhug Kuwu wastane, kalangkung ageng tinimbang, lawan kang kathah-kathah, mawi suwara jumegur, tan kendhat dalu raina.

  21. Kiraka suwawi kampir, nedha andika aterna, Ki Jati sandika ture, saking Mandhikil wus linggar, tan dangu lampahira, prapteng talatahing Kuwu, katon trang umbuling lahar.

  22. Ra-ara wangun pasagi. kandeg ing tep rahadyan, milih siti ingkang atos, kang empuk tan kenging kambah. rahadyan kagawokan, miyat ing tengahin Bledhug, malembung kadi plembungan.

  23. Palendhungnya langkung inggil, dupi wus katon gya pecah, jumegur asru swarane, kadya maryem kapiyarsa, medal kumukus pethak, wusing (m)bledos ngandhap mlendung, kadya ing suwaunira.

  24. Lumintu datan sarentil, swaranira nora kendhat, ki Jati umatur alon, malendhung tuwin nyuwara, tan lereh dalu rina, katiga rendheng keh jawuh, tansah makaten kewala.

  25. Punika kang alit-alit, ungelipun datan sora, ugi makaten patrape, upami wonten kang ngambah, lajeng ambles kewala, sangking lebete kalangkung, sampun estu lajeng sirna.

  26. Ki Jati ngupados deling, tinalorongken manengah, deling ambles datan katon, lah punika deling ical, tri ari yen kleresan, deling mumbul katut lumpur, malesat dhawahnya tebah.

  27. Kadhang kalajeng tan mijil, sadaya kang kauningan, punika patilasani, Tunggulwulung Linglung Jaka, pramila ingaranan, Kuwu nalika menthungul, wonten ngriki kantos**) lama.

  28. Siniweng naga sabumi, kacariyos ngantos krama, ugi angsal putri Blorong, rahadyan kasengsem miyat, kaelokaning Sukma, sru nalangsa mring Hyang Agung, dene sipate kang ula.

  29. Maweh tilasing nagari, kalimput ngulati kadang, dadya gandrung ing Hyang Manon, katongton murah asihnya, aris wijiling sabda, kiraka Jatipitutur, punapa sun walesane.

  30. Tanduk tanggaping kang esih, dhumateng badan kawula, datan mantra lagya nembe, de arsa asung carita, nedahken kanyataan, patilasaning ngalung, lalakyan jaman kadewan.

  31. Mila sru panuwun mami, winantu ing suka rena, myang den agung aksamane, ing mangkya ulun paliman, andumugekken lampah, kantun manggiya rahayu, jinurunga ing sakarsa.

  32. Tur wangsulan sami-sami, kula sakalangkung bingah, de paduka karsa nyruwe, mugi raharja ing lampah, anulya sasalaman, Ki Jatipitutur mantuk, radyan lajeng lapahira.

  33. Kadalon anulya mampir, dhumateng ing dhusun sela, (n)ujug ing pajurukuncen, ki jurukunci atanggap, manggih kang dhatengan, alon wijiling kang wuwus, rehning wus ciklu manira.

  34. Aywa dadi tyasireki, manira datan akrama, marang sariranta angger, mangkya ingsun nilakrama, ing endi kang pinangka, lawan sapa kakasihmu, mring ngendi kang sira sedya.

  35. Rahadyan umatur aris, jeng kyai dhawuh paduka, saestu sampun lenggahe, ngasepuh maring ngamudha, ngoko tan mawi krama, de lamun adangu ulun, pun santri mg dhukuh wetan.

  36. Kula mangkya nyuwung uning, ingriki namaning dhekah, jeng kyai lon andikane, eh kulup kawruhanira, ing kene krajan Sela, kabawah marang Mantarum, ya ingsun ingkang rumeksa.

  37. Luluhurira narpati, paparab Kiageng Sela, ingkang sumare ing kene, aranku Ki Pariwara, kaprenah buyut lawan, Kyageng Getaspandhaweku, mamanising tanah Jawa.


*)Mengir, saking menger = katingal ageng inggil kados redi.
Kadadosaken mengirsupada wanda pungkasanipun i kangge netepi guru lagunipun tembang Asmaradana.
**)Prayoginipun ngantos






10 Juli 2008





27. GAMBUH







  1. Sng sapa unggul pupuh, amateni mring si baya-pingul, gentenana sadhela jumeng aji, luwarana punagiku, sarpogung turira alon.

  2. Tan lengganeng ragengsun, anglampahi pasang giri prabu, nanging lampah amba punika tinuding, wusing nyirnakaken satru, ngulati pacangan katong.

  3. Rehning dereng kapangguh, Prabu Rara angandika arum, pacangane ramanta pan ingsun iku, sira munjuka sang prabu, ngulati pacanganingong.

  4. Yawa krama liyaningsun, nanging andadekna kawruhamu, ramanira tan widada madeg aji, namung tigang warsa puput, ginantyang kang darbe kraton.

  5. Ing ari Budha besuk,lek purnama Galungan kang wuku, dak aturi tedhak mring kadhatuon mami, sira sun rabekken kulup, oleh Balorong yu anom.

  6. Dhaubnya tan cinatur, langkung rame ing wahawipun, ing dharatan pageblug ageng (n)dhatengi, wusing dhaub madeg ratu, sapta ri gya pamit gupoh.

  7. Linilan pamitipun, myang winisik kang badhe tinemu, ing sarira miwah jangkaning nagari, purwa madya wusaneku, welingira wantos-wantos.

  8. Sri putri malih muwuh, Linglung Tunggulwulung jujulukmu, tembe sira karsaning Hyang angratoni, lelembut ing gunung-gunung, mring sira angangep katong.

  9. Kala patembenipun, sira dadya ngalamat satuhu, dauruning jaman myang kertaning nagri, wis mangkala sira kulup, garwamu rara Balorong.

  10. Menek ngrebeti laku, lah tinggalen neng kene rumuhun, sira aja metu marganira lami, teleng saodra kapungkur, ambles ing pratala gupoh.

  11. Neng Pasundhan anjebus, ambles malih (n)jebus wonten Kuwu, ing Carewek Mandhikil jebusnya malih, sampun celak nagrinipun mlampah dharatan nalosor.

  12. Dumugi praja (n)ujug, kapatiyan wus kerit lumebu, dupi prapta ngarsa nata mangenjali, kyana patih makidhupun Tunggulwulung analosor.

  13. Lampahiro ingutus, sampun katur purwa wasaneku, Prabu Jaka langkung trusthanireng galih, wus inganggep putra prabu, ginanjar makutha kaot.

  14. Agemira sang prabu, buntut untu atanapi siyung, binrongsong mas tinaretes sosotyadi, sisik linapis mas murub, kalung sosotya mancorong.

  15. Myang pinaringan cupu, asthagina isi lisah kayun, kuwasanya yen wonten sarpa ngemasi, tinetesan lisah cupu, gisan malih lenggak-lenggok.

  16. Sinimpen wonten buntut, myang musthika naga kwasanipun, sinuyutan sakehe sarpa sabumi, dumunung ing cehtak murub, dhawuh dalem sang akatong.

  17. Eh sakeh wadyaningsun, piyarsakna samengku si Linglung, ingsun junjung pangkat pangran adipati, manggon ana Tunggulwulung, wus kulup mundura gupoh.

  18. Aywa kusiweng laku, lah araken lakumu si Linglung, lan reksanen sacara-caraning janmi, pangran dipati wus mundur, ing marga tan winiraos.

  19. Mandhireng Tunggulwulung, dupi antuk sawarsa sang Linglung, anelasken iwen wus katur sang aji, gya ingelih dalemipun, myang winulang rama katong.

  20. Ing ngelmi agal-lembut, wus kacekap tan ana kalimput, Tunggulwulung tapa mangap neng wanadri, awit sangking laminipun, badan kathukulan bondhot.

  21. Nglenggirik kadya gumuk, ical sipatira taksaka gung, tutuk kadya wiwaraning guwa wingit, wus mateng int tapanipun, manungsa tan ana weroh.

  22. Karsane jawata gung, nuju deres jawah gumarubuh, wonten rare angon sasanga kehneki, kajawahan samnya ngaub, neng tutuk sang naga kinaout.

  23. Kang wolu wus umangsuk, kang satunggal sinikang tan antuk, gya minggah ring kleres gigir ngangking kudhi. memrang siti marengkul, guwa mingkem kadya angob.

  24. Rare wolu kang ngaub, sareng samya pejah tanpa muwus, kang satunggal wonten jawi merang gigir, ingal lumajeng umantuk, mring sudarma awawartos.

  25. Tandya kunjuk sang prabu, sri narendra sakalangkung bendu, gya adhawuh kinen mantek wesi gilig, angkemira Jaka Linglung, supadi pejag ing ngenggon.

  26. Wus pinantek kang tutuk, Jaka Linglung tumeka ing lampus, lah punika cariyosipun muni, atatanya Gathak Gathuk, athik ula kaya uwong.

  27. Le nyembah niku prehpun*), Rara Blorong kacariyos ayu, pinaesan saya wimbuh amrakati, Jaka Linglung sigit bagus sinewahan mawi topong.

  28. Wong gepeng sirahipun, kados pundi kekahe punika, ah wong criyos wikana nyatane nguni, tamating cariyos bangun, Gathak Gathuk adan Suboh.

  29. Wus samya wektu Subuh, sabakdanya Subuh ngandika rum, lah kiraka wawi ulun ayun uning, patilasan Tunggulwulung, inggih sumangga sang anom.

  30. Kula gadhah panyuwun, mrih lestantun tan sansayeng laku, kaparenga miturut sacaraneki, kiraka hywa walang kalbu, datan nhyuwalani ingong.

  31. Wus kerit lampahipun, praptaing Kasanga tepinipun, sisi lebu kadi awu warnaneki, tan wonten taru kang thukul, ngilak-ilak lir sinapon.

  32. Ambanon ingkang wangun, nangin mawi malengkong mangidul, kathal bolong kadya lenge yuyu nenggih, katutub ing lebu lembut, tiniyub maruta katon.

  33. Sadaya sami ngempus, lir tutuban dene telengipun, wonten eleng sadandang wirarireki, akumrangsang ungelipun, tinindakan alon-alon.

  34. Wus celak mendhak sampun, lambah bocong ngambah krikil alus, warna abrit pethak jene anelasih, kendel sila dennya lungguh, rahadyan anulya jongkok.

  35. Mariksa lebetipun, kileng-kileng kinclong warnanipun, kadya lingsah ingkang sakalangkung wening, swara kumrangsang saya sru, wusing anom ngandika lon.

  36. Punapi marmanipun, lampah bocong Ki Jatipitutur, matur kurmat reh wus celak dunungneki, Prabu Anom Tunggulwulung, kadinanan ngelmi kaot.

*)Prayoginipun pripun





09 Juli 2008





26. MEGATRUH







  1. Tranging jawah lagya mangkya sang aprabu, angraos sanget kalantih, thedak mring karandhan ngaub, tuwin karsa anuweni, duk nguni sri nata anom

  2. Anakipun nyi randha Kasiyan dhukuh, ing Sangkeh tuhu linuwih, rarasati maksih timur, reh sampun antawis lami, kakinten wus jonggrong jongrong

  3. Prapteng dhukuh nganti neng dhadhah sang ulun, wedaling dray Rarasati, nyai randha lagya nuju, nenggani (ng)gentang pra estri, gagendhingan dhumprong-dhumprong.

  4. Rarasati mijil sangking wismanipun, asinjang pathola abrit, konyoh jenar slendhang kawung, tinepi parada kuning, wimbuh ayu melok-melok.

  5. Tangseng pungkur kalangenanya sang ayu, juga babon kate adi, pethak mulus cnggeripun, sanggardalima respati, sapraptanira sang sinom.

  6. Panggentangan nulya tumut (ng)gentang pantun, sukunira kang sasisih, angidak sirahing pantun, angikis sinjangireki, kakempol katon mancorong.

  7. Gebyar-gebyar anglir pendah thathit barung, dupi miyat sri bupati, gandrung-gandrung amangun kung, ngandika jroning panggalih, pantes dadya garwaningong.

  8. Sigra tedhak nyaketi kang samya nutu, matek asmaragama di, para dyah kang samya nutu, tan ana ingang praduli, katungkul dennira gerong.

  9. Sruning cipta korut nutpahira prabu, datan prabeda sang dewi, ugi korut nutpahipun, samya tumetes ing siti, tandya kate pethak gupoh.

  10. Anucuki nutpah kalih-kalihpun, wus nunggil dadya satunggil, Prabu Jaka dahat ngungun, sanget lingseming panggalih, nulya kondur angadhaton.

  11. Gathak Gathuk samya gumujeng anguguk, radyan mesem ngandika ris, kiraka jatipitutur, nedha kalajengna maning, cariyosipun kang babon.

  12. Kyai Jatipitutur nglajengken atur, dupi wus antara ari, amanigan kate pingul, nyi randha dupi udani, antigan pinendhet gupoh.

  13. Gya dinekek aneng padaringanipun, tinunggilken tigan katri, winor uwos kang lumintu, saben ari denedangi, nanging boten katon kalong.

  14. Malah wuwuh nyi randha graiteng kalbu, baya iki kang marahi, atigan geng pedahipun, beras dakdang saben ari, nora kalong malah wuwoh.

  15. Gya pinendhet ingelih maring ing lumbung, dupi uwosira enting, nyai randha mendhet pantun, mring lumbung ambuka kori, mendhet sabelah ginendhong.

  16. Tigan ingkang dipun dekekakan lumbung, sampun netes nanging warni, taksaka ageng kalangkung, ngaleker pinuju guling, kagyat nulya tatanya lon.

  17. Paran karsa nini sira marang lumbung, nyai randha nulya nolih, anon sarpa nulya gugup, gya dhawah bali anjelih, lumajeng aketol-ketol.

  18. Arsa lapur dhumateng sing sang nindya nung, taksaka suka ningali, wus medal saking ing lumbung, mring grannya dyah Rarasati, sarwi ngling dhuh ibuningong.

  19. Dewi Rarasati gumuling akantu, wungu nututi bok nyai, sakaliyan prapta sampun, ngarsanira kyana patih, naga wus neng wuri (n)jongok.

  20. Nyai randha myang Rarasati duk (n)dulu), samya gumuling ing siti, kya patih arsa lumayu, naga gumujeng sarya ngling, kaki aja jrih maring ngong.

  21. Kene payo padha lungguh kang pakantuk, kyai patih ngoplok lingnya ris, lah ula apa sireku, tanpa sangkan (ng)gonmu prapta, sang naga sauriro lon.

  22. Kaki ingsun unjukna mring rama prabu, kyana patih anauri mung manthuk lumaris gupuh, risang naga aneng wingking dupi prapta ngarsa katong.

  23. Kyana patih dereng munjuk sang aprabu, naga wus neng wurineki, Prabu Jaka gya angangu, eh ula apa sireki, de bisa clathu lir uwong.

  24. Naga matur ngaken putranya sang prabu kalangkung dennira runtik, eh ula kawruhanamu, ingsun iki durung rabi sira teka anyalemong.

  25. Lah lungaa yen kasuwen tekan lampus, naga karuna lurnya ris, (ng)gelarken nalikanipun, sri papara ing wanadri tumekeng kundur ngadhaton.

  26. Lan umatur sakawiting babon pingul, nigan tekeng netesneki, sang prabu miyarsa atur, dahat ing linseming galih, nulya jengkar angadhaton.

  27. Kyana patih tinimbalan mring kadhatun, dhawuh timbalan narpati, ponang sawer kinen nantun, madosi pacangan aji, lan mejahi satru katong.

  28. Baya putih telening sagara kidul, punika yen antuk kardi, ingaken putra satuhu, patih wus (n)dhawuken maring, sarpa matur arawat loh.

  29. Sru praseca*) yen tan kalakyan satuhu, karsane sri narpati, suka tumekeng ing lampus, kya patih welas ningali, punang sarpa mesat gupoh.

  30. Ngidul terus singa kang katrajang gempur, amrih aglisira prapti, ambles bantala jumedhul, telenging kanang jaladri, susumbar anguwuh mungsoh.

  31. Angungasken armaja Sri Jaka Prabu ing Mendhangkamulan adi, Sang Dewatacengkar Prabu, kang awarna baya putih miyos sangkinging kadhaton.

  32. Mpag yuda remaning prang tan cinatur, ngantya pirang pirang ari. sri dyah lami laut kidurl, nama Prabu Anginangin, sukaning tyas dennira nom.

  33. amiminta sirnani sang baya pingul, jaladri akocak-kacik, toya benter kalangkung, mina kathah angemasi, baya pethak yudanya sor.

  34. Kabuncang mring dharatan tepining laut, sirnaning angga pan dadi, Argalima wastanipun, sarpa sukane angenting, wus pasthi inganggep katong.

  35. Kacariyos Prabu anginangin wau, suka amarwata siwi, satru nira baya pinggul, mangkya wus tumekeng lalis, naga tinimbalan gupoh.

  36. Malbeng pura prapta ngarsane sang prabu, natadesi ngandika ris, eh sarpa kang jayeng pupuh, ingsun nguni pasanggiri, sapa kang agambuh pupoh.

*)Prayoginipun prasetya






Kapundhut saking : http://serat-centhini.blogspot.com/

Al Fatiha

 Print Halaman Ini