Pengakuan Elizabeth D. Inandiak, warga Prancis, pengakuan orang yang terpesona pada Serat Centhini. Ia menyadurnya ke dalam bahasa Prancis. Setelah terbit edisi Prancisnya, kini tafsirnya itu muncul dalam edisi bahasa Indonesia. Iqra kali ini membahas seluk-beluk bagaimana Elizabeth menenggelamkan diri ke dalam Centhini, sebuah karya sastra Jawa di era lampau yang sarat perbincangan religius dan erotisme, sesuatu yang dianggap suci sekaligus kotor itu.
”Ketahuilah dengan baik, Dinda, arti salat. Salat adalah berbicara dengan zat Allah. Salat adalah memuaskan pikiran pada zat dan bukan lainnya. Dan zat adalah welas kasih?.”
”Cebolang pintar menebak hasrat wanita, ia bisa semaunya memperpendek atau memperpanjang zakarnya sesuai ukuran farji yang tersaji, ia mengenali setiap ceruk dan lekuk daging, sumber kenikmatan?.”
Yang satu tawakal, yang lain binal. Mungkin tak ada kitab yang di dalamnya terkandung paradoks seperti di atas. Satu bagian ber-kisah tentang pengelanaan seorang santri bernama Amongraga memburu ”sarang angin”, siang-malam mengolah gerak hatinya agar tertuju pada yang Ilahi. Dan bagian lain bercerita ten-tang seorang santri bernama Cebolang yang siang-malam gemar sanggama. Daras zikir dan pesing nafsu melebur dalam sebuah suluk raksasa yang bila diketik mencapai 4.200 halaman folio.
Centhini, kitab itu, sudah ada semenjak 1850-an. Terdiri atas 12 jilid, aslinya ditulis mengguna-kan aksara Jawa dengan tinta prada (kuning emas). Bila ditembangkan, syahdan diletakkan khidmat di atas meja, dan dieja dengan sada (lidi) aren. Usia-nya lebih dari seratus tahun, tapi sampai sekarang belum ada terjemahan bahasa Indonesia secara lengkap. Padahal ia disebut sebagai ensiklopedi Jawa lantaran segala macam pengetahuan lahir-batin Jawa?termasuk yang kontroversial?disajikan. Ben Anderson suatu kali mengungkap Centhini sebagai satu-satunya kitab kuno di Nusantara yang gamblang mengungkap sodomi.
Almarhum Karkono Kamajaya dengan bantuan dana dari mantan presiden Soeharto pernah melatinkan seutuhnya 12 jilid. Penerbit Balai Pustaka per-nah mempublikasi ringkasan Centhini. Para pakar kebudayaan Jawa dari Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada?Prof Baroroh Baried, Prof Sulastin Sutrisno, Prof Dr Darusuprapta?memiliki proyek untuk menerjemahkan semua jilid Centhini ke dalam bahasa Indonesia. Namun, Baroroh dan Sulastin meninggal ketika terjemahan baru sam-pai jilid 3. Sedangkan Daru wafat tatkala pro-yek itu baru pada pertengahan jilid 4. Kini Prof Marsono, kolega mereka, mengambil alih proyek, tapi masih jauh dari rampung.
Tiba-tiba, ia hadir di tengah kelangkaan terjemahan bahasa Indonesia. Seorang Prancis, seorang man-tan wartawati, tahun 2004 menerima penghargaan dari Association Des Ecrivains De Langue Francoise atas bukunya setebal 500 halaman yang berbicara tentang Centhini: Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini. Centhini gaya baru itu dianugerahi gelar buku Asia terbaik yang ditulis dalam bahasa Prancis sepanjang tahun 2003. Elizabeth Inandiak, 45 tahun, namanya. Ia tidak menyebut dirinya seorang scholar atau ilmuwan pakar bahasa Jawa, tapi seorang petualang yang terpana pada dunia kebatinan Jawa.
Tahun 1988 ia tiba di Indonesia sebagai wartawan. Pertemuannya dengan Centhini yang kebetulan membuat jalan hidupnya berbelok (lihat Dari Merapi sampai Himalaya). Ia merasa mendapat panggilan. ”Semua sisi kehidupan, termasuk yang saya alami, sepertinya dituturkan di sana,” tutur perempuan kelahiran Lyon itu. Centhini baginya adalah sebuah karya ajaib yang isinya mampu meng-ingatkan sambur-limbur gelora perasaan ro-mantis, kekudusan, sekaligus kemesuman para sas-trawan tersohor Prancis: Rabelais, Baudelaire, Victor Hugo, Jean Genet, dan Diderot.
Vegetarian yang kini tinggal menetap di perkampungan dalang Desa Pajangan, Tridadi, Sleman, Yogya ini selanjutnya bukan menerjemahkan mentah-mentah Centhini. Ia berusaha mencari esensi. Ia tak bisa berbahasa Jawa, tapi dengan bantuan beberapa kenalan ia menyadur, lalu menguntai sesuai dengan ekspresinya sendiri. Ia melakukan kreasi yang tak menyimpang dari naskah asli. Ia mengingatkan kita akan R.K. Narayan, penulis India yang menyarikan ribuan halaman Mahabharata dalam sebuah novel tipis.
Sekitar 150 tahun lalu, Centhini lahir atas obsesi seorang pangeran dari keraton Solo, Pangeran Adipati Anom yang tak lain putra Pakubuwono IV dan kemudian bertakhta sebagai Pakubuwono V. Ia menunjuk tiga pujangga istana?Raden Ngabei Ranggasutrasna, Yasadipura II, Raden Ngabei Sas-tradipura?dan memimpin langsung penulisan. Pe-nulisan memakan waktu dari 1802 sampai 1810, saat Ronggowarsito masih berumur delapan tahun.
Ia mengutus tiga pujangga itu melakukan perja-lanan ke seluruh Jawa, menjaring informasi, mengumpulkan serat-serat di banyak daerah untuk acuan. Misalnya kitab Jalalen (Jangan Lupa), yang pada abad ke-14 sampai ke-15 sangat tersohor di Ja-wa Timur. ”Itu ajaran periode Singasari dan Maja-pahit di mana orang-orang Jawa memiliki religi ter-sendiri yang tidak takluk pada Islam, dan ini diolah dijadikan sumber kekuatan potensial untuk menggarap Centhini,” tutur KRT Suryanto Sastroatmojo, ahli kebudayaan Jawa.
Seluruh adegan seks ditangani sendiri oleh Pangeran Adipati Anom. Semula soal asmaragama diserahkan kepada tiga pujangga di atas, tapi Adipati Anom kecewa karena masalah sanggama kurang detail ungkapannya. Adipati Anom sendiri meninggal karena sifilis dan hanya sempat bertakhta selama tiga tahun. Pada tahun 1850, adiknya, Paku-buwono VII, sebagai penghormatan mempersembahkan kitab Centhini asli milik keraton jilid 5-9, yang dianggap penuh adegan paling cabul, kepada Ratu Wilhelmina di Belanda.
Sebagai produk keraton, sesungguhnya Centhini adalah ”kitab aneh”. Tidak berisi cerita tentang kejayaan keraton, tapi justru pengembaraan kaum pembangkang musuh-musuh sultan. Dengan setting zaman Sultan Agung di abad ke-17, Centhini adalah kisah pelarian anak-anak Sultan Giri Pra-pen: Jayengresmi, Jayengsari, Niken Rancangkap-ti. Ketika Giri diserbu Sultan Agung, mereka tercerai-berai, berjalan kaki, berpencar ke seluruh pulau Jawa, menghindari pengejaran agen-agen rahasia Sultan Agung.
Jayengresmi bersama abdi yang setia, Gathak dan Gathuk, dari Gresik lari ke Mojokerto, Blitar, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, Gunung Merapi, Gunung Muria, sampai tanah Pasundan. Di tiap daerah, mereka diterima hangat oleh para kiai, pertapa-pertapa. Jayengresmi menimba ilmu makrifat dan, setelah maqam agamanya tinggi, ia mengubah nama menjadi Seh Amongraga. Sementara itu, ”punakawannya” menjadi Jamal dan Jamil. Dalam pengelanaannya, sampailah mereka di Desa Wanamarta, Majalengka, tempat pertapaan alim ulama, Ki Bayi Panurta. Amongraga lalu kawin dengan putri Ki Bayi bernama Tembang Raras.
Akan halnya sang adik, Jayengsari dan Niken Ranca-ngkapti, ditemani abdi bernama Buras. Mereka lari ke Pasuruan, dataran tinggi Tengger, Gunung Argapura, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, dan dataran tinggi Dieng. Di Dieng, mereka ke daerah bernama Sokayasa, tempat padepokan Syekh Akhadiyat yang bersedih karena anaknya, Cebolang, minggat dari pesantren.
Separuh Centhini kemudian berisi petualang-an Cebolang yang penuh erotisisme. Centhini juga menceritakan pengembaraan Jayengraga, adik Tembang Raras, mencari Amongraga. Sebab, setelah kawin, Amongraga kemudian meninggalkan istri. Jayengraga bersama kawan-kawannya menelusuri jejak kakak iparnya. Perjalanan rombongan ini adalah juga perjalanan saru.
Dengan materi seperti itu, Elizabeth bisa menduga bagaimana reaksi para ahli Jawa ketika ia meminta nasihat. Sebagian berpendapat Centhini terlalu suci untuk diterjemahkan. Sebagian lagi me-ngatakan Centhini terlalu kotor untuk dialihbahasakan. Ketakpahaman Elizabeth akan bahasa Jawa semakin membuat mereka pesimistis. Banyak yang khawatir, bila tak hati-hati, Elizabeth malah bisa terperosok: memelencengkan atau menodai kan-dungan ajaran Centhini. Tapi Elizabeth tak putus asa karena ia melihat di dalam Centhini ada sesuatu yang universal.
* * *
Keyakinan saya kemudian dikuatkan oleh Ibu Sunaryati Sutanto, bekas murid almarhum Romo Zoetmulder (ahli Jawa kuno?Red).” Sore itu Elizabeth bercerita kepada Tempo. Sunaryati menerjemahkan dari yang telah dilatinkan oleh Karkono Kamajaya. ”Ya, saya me-nerjemahkan berdasar pesanan Elizabeth. Bagian-bagiannya Elizabeth yang menentukan,” tutur Sunaryati Sutanto, 70 tahun. Untuk itu, dosen sastra Universitas Sebelas Maret, Solo, ini membutuhkan waktu sekitar dua tahun.
Berdasar itu, Elizabeth bergerak. Untuk memperkaya imajinasinya, selama empat tahun ia mengelilingi sumber-sumber lisan di beberapa kota di Jawa. Dia menemui para dalang, juru kunci, seniman, dan petani. Ia, misalnya, datang ke juru kunci makam raja-raja Giri, mengorek sejarah Sunan Giri. Ia berteman akrab dengan sesepuh juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan. Untuk urusan akurasi, ia tampak hati-hati.
Ia juga merujuk disertasi Mohammed Rasjidi, bekas Menteri Agama di zaman Soekarno. Dalam tesis doktornya di Universitas Sorbonne 1956, Considerations Critiques du Livre de Centhini (Pertimbangan Kritis tentang Serat Centhini), Rasjidi mengkritik banyak kalimat bahasa Arab dan ajar-an Islam dalam Centhini ngawur. Tesis itu masih tercantum dalam katalog, namun raib dari rak. Ia akhirnya menemukan di sebuah perpustakaan Jawatan Ketimuran. Bukunya tak pernah dibaca. Kertasnya masih lengket, belum dipotong. Ia mendiskusikan bagian-bagian yang dikritik Rasjidi dengan banyak kiai, termasuk Mustofa Bisri dan Abdurrahman Wahid.
Dalam Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, terjemahan Les Chants de Lile a` Dormir Debout, Le Livre de Centhini, yang diterbitkan Galang Pers, Elizabeth memusatkan perhatian pada malam pengantin Amongraga. Amongraga dilukiskan mengajak Tembang Raras ke peraduan, tapi tak langsung bersetubuh. Selama 40 hari di kamar pengantin mereka telanjang bulat, namun tak bersentuhan. Untuk mencapai puncak sanggama, selama 40 malam Amongraga mengajarkan kepada istri-nya hakikat cinta. Dalam aslinya, ajaran itu datar, tapi Elizabeth membuatnya bergaya 1001 malam. Setiap halaman menampilkan setiap ajaran.
Terjemahan edisi Indonesia direncanakan terdiri atas empat buku. Buku kedua, Minggatnya Cebolang, bakal diluncurkan 21 April 2005 di Solo, ber-sama dalang Slamet Gundono. Kutipan di atas adalah salah satu bagian deskripsinya. Bagian ketiga, Ia yang Memikul Raganya, bercerita tentang hu-kuman mati Amongraga oleh Sultan Agung yang oleh Elizabeth dibuat seperti persidangan Al Hallaj dalam buku Louis Massignon, Le Passion de Hallaj. Buku keempat, Nafsu Terakhir, berkisah tentang Amongraga yang menitis.
* * *
Elizabeth mengakui, bagian yang paling sulit di-sadur adalah pengembaraan seksual Cebolang dan Jayengraga. ”Sebab, tantangannya adalah bagaimana membuat adegan cabul bisa ditulis indah tanpa mengubah arti,” katanya.
Cebolang berkali-kali kena sifilis, tapi tak kaok. Ia tampan. Parasnya dilukiskan seperti Raden Samba dalam pewayangan. Ia pintar menari dan menembang lagu Gambir Sawit dan Ginonjing. Suaranya getas, renyah. Bersama empat temannya, Nurwitri, Saloka, Kartipala, dan Palakarti, ia digilai para perempuan.
Ia pernah menyamar menjadi wanita, masuk ke rumah lalu menindih seorang janda. Ia pernah melayani hasrat sodomi para warok Ponorogo dan seorang adipati. Para selir dibuat puyeng karena ia suka mandi di kolam terbuka. Tapi kemudian dia tobat dan akhirnya kawin dengan Niken Rancang Kapti. Tak kurang dari Sunaryati Sutanto merasa terkesan. ”Cebolang ini sangat nakal. Bikin saya gemes. Kok ada orang seperti itu,” katanya.
Juga kesablengan Jayengraga bersama pamannya, Kulawirya, dan sahabatnya, Nuripin. Ia pernah mengajari bermain seks tiga perawan tua sekaligus. Bahkan seorang genduk anak kecil ingusan pernah diminta memijat kelaminnya. Pada petualangan Cebolang maupun Jayengraga, Centhini banyak memunculkan perempuan-perempuan penggoda yang memiliki hasrat seks aneh-aneh: mulai Retno Ginubah, putri seorang kiai yang suka mengintip adegan sanggama, sampai Ni Jahe Manis yang berani telanjang bulat di depan umum.
”Deskripsinya terasa jorok sekali. Tetapi asyik kadang lucu, membuat kami jadi tersenyum-senyum sendiri. Sebab, sulit mencari padanan kata-nya dalam bahasa Prancis,” kata Elizabeth. Untuk menggambarkan gerakan zakar di saat persetubuhan, ia misalnya harus membandingkan dengan bandul sumur, sesuatu yang tak dikenalnya sela-ma ini. ”Saya harus tanya sana-sini. Yang saya tanya pasti tertawa sebelum menjawab pertanyaan saya,” katanya.
Sering Elizabeth memakai kiasan-kiasan untuk menjinakkan adegan vulgar. Apalagi ketika ia berkreasi mempertemukan Cebolang dengan Gatoloco dalam bukunya Minggatnya Cebolang. Gatoloco adalah tokoh dari Serat Gatoloco, sebuah serat yang bersama Darmoghandul dalam literatur Jawa termasuk khazanah ”serat porno”. Centhini jilid V-IX sering erotis, tapi juga bisa lucu. Elizabeth, misalnya, menggambarkan Jayengraga yang nafsunya melonjak namun istrinya sedang datang bulan. Jayengraga digambarkan dengan kelamin berdiri lari ke serambi menuju ketiga selirnya. Tapi ternyata mereka juga sedang menstruasi. Mereka cekikikan.
Mulai jilid V, para penerjemah Centhini memang se-makin hati-hati. Prof Dr Marsono, ketua tim penerjemah UGM yang melanjutkan proyek rekan-rekannya yang telah meninggal, merasa macet di situ. ”Jilid V memang paling susah. Rasanya tidak sampai hati menuliskan uraian seksualnya itu secara detail,” ujarnya. Tapi mereka tak berhenti, dan pada Januari 2005 akhirnya jilid V terbit. ”Khusus jilid V ini sangat saya kontrol,” kata Prof Dr Marsono tegas. Ia, misalnya, terpaksa menyensor ade-gan sodomi sehingga muncullah gambaran yang lebih ”jinak”. Mereka menyebut kata penis, tapi juga memakai istilah ”senjata” ketika melukiskan sodomi Cebolang dengan Kiai Adipati?kejadian ”berdarah” yang akhirnya membuat Cebolang menyesal.
Meski tak ingin mengungkap secara rinci, para penerjemah tak sanggup menghilangkan detail. Karena memang di situlah, baik menurut Elizabeth maupun Sumarsono, keistimewaan Centhini. ”Centhini versi Prancis lebih terbuka, karena di sa-na hal itu sudah biasa. Kalau saya menerjemahkan persis seperti yang versi Prancis, masyarakat bisa syok,” kata Laddy Lesmana, dosen Sastra Prancis UGM, yang membantu Elizabeth menerjemahkan Centhini dari Prancis ke Indonesia. Tapi Centhini juga menyodorkan satu hal: transformasi dari cinta yang fisikal menjadi cinta sejati. ”Saya kira wajar Cebolang demikian. Untuk mencari jatidiri, dia harus membongkar sesuatu yang dibenci masyarakat. Saya dulu juga liar sekali ketika saya remaja. Karena itu, saya bisa mengerti…,” kata Elizabeth.
* * *
Yang ”hilang” dari Centhini kreasi baru Elizabeth adalah rasa ensiklopedi Jawa, sesuatu yang dalam terjemahan Balai Pustaka ?yang belum lengkap itu?bisa membuat kita membayangkan betapa dulunya hutan Jawa begitu masih rimbun. Parak paginya penuh ber-bagai burung, capung, yang kini hilang. Petilasan, reruntuhan candi, dan mata airnya masih menggetarkan untuk berwudu dan sembahyang. Dan senja yang mempesona.
Menurut Soerjanto Sastro Atmojo, sesungguhnya Centhini banyak mendeskripsi-kan keindahan berbagai wilayah pesisiran yang tak tunduk pada ekspansi Mataram: daerah-daerah Bonang, Ngampel Darto, Kudus, Mojokerto. ”Sunan Nyamplungan, Sunan Badahgas, Sunan Katong tidak hanya mengajarkan agama yang formal, tapi juga mengajarkan bagaimana cara memupuk tanah, menanam palawija, untuk bertahan dari tekanan Sultan Agung,” tuturnya.
Itulah sebabnya dalam Centhini banyak bertebaran deskripsi lingkungan dengan aneka hasil alam yang dapat menerbitkan air liur kita. Soal betapa banyak adegan sanggama dan informasi yang de-ngan detail memaparkan hari-hari baik melakukan sanggama, serta tipe-tipe perempuan dengan segala titik-titik seksualnya, menurut Soerjanto tetap harus dibaca dalam konteks itu. ”Kiai-kiai tersebut mengajarkan agar hubungan seks jangan dilakukan dengan perempuan sembarangan, tapi perempuan yang bisa menjadi ajang penerus generasi,” Soerjanto menambahkan.
Elizabeth mengakui terjemahan asli sangat pen-ting untuk melengkapi bukunya. Sebab, buku-buku itu memang dibuat untuk lebih bisa dibaca umum. Dan tekad UGM untuk menuntaskan terjemahan semua jilid Centhini itu juga menggembirakannya. ”Rencananya, kami menerbitkan total 12 jilid. Jilid I sampai 3 yang diterbitkan Balai Pustaka dahulu akan kami revisi sekalian,” tutur Prof Dr Marsono. Marsono sendiri mengaku senang membaca karya Elizabeth. ”Ya, memang, Bu Elizabeth memiliki cara tersendiri untuk menerjemahkan Centhini, silakan,” katanya.
Tentunya, suatu ketika, bila dua terjemahan itu sudah tersaji lengkap, Centhini akan menjadi sti-mulus para sastrawan untuk makin menggali karya klasik itu. Dan mereka melakukan reecriture, penulisan kembali. Dan seperti juga di Barat, ke-tika mitologi Yunani dibaca kembali oleh para sastrawan dengan tafsir-tafsir yang tak sama dengan asli, demikianlah Andre Gide menulis Theseus, Albert Camus menulis Sisyphus, Jean Giradoux menulis Perang Troya. Tokoh-tokoh dalam Centhini menyediakan diri untuk tafsir demikian, karena mereka tak kalah problematik.
Amongraga sendiri termasuk salah satu yang paling problematik. Pada akhir cerita, Amongraga dan istrinya Tambang Raras berubah wujud menjadi gendon (ulat). Oleh Sultan Agung, mereka dibawa dalam bumbung bambu. Ulat itu dipanggang, diletakkan dalam kelopak bunga wijayakusuma. Ulat jantan (Amongraga) dimakan Sultan Agung, ulat betina (Tembang Raras) dimakan Sultan Pekik.
Dalam sejarah, kita tahu Sultan Agung kemudian menurunkan anak, Amangkurat I, yang membunuh banyak ulama. Yang menarik, Centhini menggambarkan roh Amongraga menjelma ke dalam jiwa Amangkurat I. Yang menitis bukan semangat kesalehannya, melainkan unsur dendam dalam dirinya. Biji kebencian yang selalu bersemi dalam hati Amongraga terhadap Sultan Agung yang membunuh ayahnya itulah yang membuat Amangkurat I berwatak pembantai.
Mengapa para pengarang Centhini tega menempatkan Among-ra-ga demikian, padahal selama hidupnya ia berusaha menyucikan jiwanya? Lalu, apa artinya perjalanan spiritual Amongraga se-banyak 4.000 halaman? Itulah ke-unikan Jawa. ”Amongraga sulit mencapai puncak kehidupan rohani karena masih ada setitik keinginan berkuasa yang tak bisa dibersihkan dalam dirinya,” kata Elizabeth. Satu lagi keanehan ma-nuskrip itu dari awal hingga akhir adalah tokoh Centhini sendiri. Centhini jarang muncul. Ia nama pembantu Tembang Raras.
Sesungguhnya nama resmi suluk ini adalah Suluk Tembang Raras. Tapi kenapa Centhini, meski hanya sesekali lebih populer dari nama majikannya? Mengapa kitab yang menampilkan wejangan keabadian dan erotisisme ini seolah seluruh intinya ada pada seorang pembantu? ”Saya tak tahu, tak tahu,” jawab Elizabeth sendiri. Ia mengaku itu terus membuatnya berpikir. Centhini dalam serat ini muncul terutama dalam adegan malam pengantin Amongraga dan Tembang Raras. Tatkala majikannya berasyik masyuk di balik kelambu, ia setia, menjaga di luar, bersimpuh di lantai, terjaga sampai fajar. Tatkala Amongraga membeberkan hubungan tentang roh dan tubuh, ia turut menyerap saksama.
Dan itulah sebabnya mengapa Elizabeth memilih judul Centhini Kekasih Tersembunyi. Ia menduga: bagi orang Jawa, mereka yang dalam keadaan rendah hati, tanpa berpretensi mengetahui rahasia Allah, adalah orang-orang yang paling siap menyelami sangkan paraning dumadi, asal dan usul tujuan kehidupan manusia.
Ketika Seh Amongraga menutup kelambu. Menatap istrinya. Dan malam undur, lalu abdi itu menggumam: Manusia tidur. Ketika mati mereka bangun.
Filed under: Canting
Tuesday, 31. March 2009, 07:19:19