"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Senin, 31 Desember 2007

Aji

Oleh : Ahmad Tohari
Belum lama ini saya naik mobil disopiri Fadli, teman yang sarjana
pertanian. Ketika lewat bulak panjang kami melihat banyak sekali petani
sedang tandur atau menanam padi di hamparan sawah yang amat luas. Bahkan
sebagian besar sawah sudah menghijau oleh padi yang belum lama ditanam.
Saya sedang menikmati mozaik yang menutupi sawah luas itu ketika Fadli
tiba-tiba bertanya. "Apakah para petani itu mengerti dan menyadari
bahwa yang sedang mereka lakukan adalah upaya menangkap enerji matahari?

Wah, ini pertanyaan seorang sarjana pertanian. Ya, bertanam padi adalah
upaya menangkap dan menyimpan energi matahari melalui proses fotosintesis.
Proses ini terjadi dalam butir-butir hijau daun. Gampangnya, dalam butir
hijau daun bertemu dua unsur penting yaitu air dan sinar matahari dan zat-zat
hara. Maka terbentuklah tepung atau karbohidrat yang menjadi sumber energi
dalam tubuh manusia.

Pertanyaan Fadli belum saya jawab. Saya malah jadi ingat tetangga penjual
es dawet yang setiap pagi memecah biji kelapa untuk diambil santannya.
Apakah dia menyadari ketika kelapa terpecah telah terjadi pembebasan energi,
yaitu kekuatan yang tadinya mengikat biji itu berbentuk bulat dan utuh?

Saya tersenyum karena jawaban untuk Fadli sudah saya temukan dengan
pasti. Tidak. Namun jawaban ini masih saya simpan di hati karena
pikiran saya terus melayang. Saya teringat data terakhir menyebutkan penduduk
Indonesia hanya 17% yang tamat SLTA. Jadi khusus masyarakat Jawa juga demikian.
Dari jumlah itu pasti tidak semuanya mampu memahami proses fotosintesis
terjadi dalam butir hijau daun. Juga tidak semuanya fasih bicara seputar
energi (kalau enerjoss, tak tahulah).

Atau lihatlah ke belakang. Pada 1830-an sesudah Perang Dipanegara, ada
penelitian yang menyebutkan tingkat pengetahuan sains orang Jawa dewasa
setara dengan anak-anak usia 12 tahun di Belanda. Padahal tentang apa,
mengapa dan bagaimana energi itu hanya bisa diungkap melalui ilmu pengetahuan
sains dan teknologi.

Tapi jangan kira orang Jawa tidak punya pengertian tentang daya yang
gampangnya bisa dikatakan sama dengan energi. Ketika mengatakan Rosa
untuk mengiklankan sebuah minuman suplemen, Mbah Marijan jelas sedang menyebut
besaran energi. Lebih-lebih dalam cerita wayang. Dalam lakon Rama Nitis
(Prabu Rama tokoh utama cerita Ramayana yang Buddha menitis kepada
Raja Puntadewa, tokoh cerita Mahabarata yang Hindu, dan ini terjadi
khas di Jawa) ada pertempuran antara Bima dan Hanoman.

Dalam pertempuran itu Bima matak-aji Lembu Sakethi dan Hanoman
menggunakan aji Bala Sewu. Dengan aji Lembu-Sakethi Bima
jadi punya kekuatan setara dengan energi yang dimiliki oleh sepuluh ribu
sapi. Aji Bala Sewu menyebabkan Hanoman kuat seperti seribu raksasa.
Lembu Sakethi dan Bala Sewu adalah besaran energi. Sama juga dengan kekuatan
senjata Kunta Wijayadanu yang dipakai oleh Karna untuk merontokkan Gatotkaca.
Senjata itu dipercaya oleh orang Jawa punya kekuatan dahsyat dan mampu
mengejar dan menemukan sasarannya sendiri. Jadi senjata ini harus punya
energi yang dahsyat pula.

Jadi sesungguhnya sejak dulu orang Jawa sudah tahu ada sesuatau yang
namanya daya, kekuatan, atau energi. Namun pengetahuan itu tumbuh dan terbungkus
dalam pola pikir mitologis, tidak dalam pola pikir empirik. Andaikata orang
Jawa sejak dulu meletakan perihal energi itu dalam pola pikir empiris,
mungkin aji Lembu Sekethi dan sebagainya akan diaplikasikan kedalam
kehidupan nyata sebagai kincir air, kincir angin, mesin letup, atau mesin
uap. Senjata Kunta Wijayadanu akan diolah melalui rekayasa teknologi menjadi
smart bomb atau peluru kendali yang bisa mencapai sasaran di mana
pun targetnya berada.

Sayang, karena dipandang secara mitos maka simbol-simbol energi yang
berupa aji-aji itu yang tinggal jadi aji yang hanya hidup
di alam dongeng dan tidak memberi manfaat nyata. Lain halnya di dunia Barat.
Ketika abad silam Yules Verne memnulis cerita mitos tentang penerbangan
antarbintang dengan wahana yang disebutnya sebagai rocketship, orang
di Barat berusaha mewujudkannya melalui kajian empirik dan berhasil. Kalau
orang di Barat seabad lalu memasang mesin di kereta-kereta kuda, orang
Jawa hingga saat ini malah hanya memandikan misalnya kereta Kiai Garuda
Yaksa yang buatan Inggris itu dalam suatu ritual yang tidak masuk akal.
Bagaimana tidak aneh kalau air cucian kereta tua itu dipercaya bisa menjadi
berkah.

Tapi nanti dulu. Mari bicara soal ilmu teluh atau santet yang masih
hidup dan dipercaya eksistensinya di kalangan masyarakat Jawa.

Dalam perteluhan, orang bisa memasukkan piring, bahkan paku ke dalam
orang tertentu yang dijadikan korban. Dalam hal ini dunia perteluhan hanya
mengatakan bahwa dengan mantra tertentu, laku tertentu maka orang bisa
memasukkan benda apa saja ke dalam tubuh manusia tanpa mebuat jejak apa
pun. Dan apa kata mereka yang berada di dunia empirisme?

Mereka tidak bisa bilang apa-apa kecuali menyusun hipotetis yang spekulatif.
Bahwa benda-benda itu telah diubah oleh para dukun teluh menjadi eter,
bentuk keempat benda setelah kondisi padat, cair dan gas. Eter ini adalah
energi. Sebab konon benda atau materi sesungguhnya tidak lain dan tidak
bukan adalah energi yang terperangkap dalam kondisi tertentu.

Sepanjang spekulasi tadi, setelah berubah menjadi eter benda itu dikirim
ke korban dengan mudah karena sifatnya yang mampu menembus segala benda.
Dan sampai di tujuan eter itu dikembalikan ke status semula sebagai benda
padat, menjadi, piring, rambut dan sebagainya. Konon.

Namun konon atau tidak, teluh atau santet masuk wilayah hukum resmi
sehingga kategori pidana santet. Jadi permainan energi, walaum hanya berkembang
di alam klenik dan mitologi, orang Jawa tidak ketinggalan. Masalahnya,
jangan coba-coba tanya kepada orang Jawa yang jadi tukang santet berapa
banyak energi yang diperlukan untuk mengirim paku dan sebagainya. Ke dalam
perut manusia? Yakin, dia tidak akan bisa menjawab.

sumber : http://kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id=275

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Energi Kasat Mripat

kitab dan cerita Jawa memang kental dengan aroma pendayagunaan
energi supranatural. Kisah-kisah yang menarasikan tentang kesaktian para
tokoh adalah bukti betapa elaborasi energi jenis ini cukup mendapat tempat
dalam alam pikir manusia Jawa tradisional. Toh bagi yang mempelajari kosmologi
kuno, bumi dan angkasa memang kerap kali dianggap memiliki pelbagai daya
prana atau energi gaib.

Meski begitu, jangan lekas-lekas mengatakan, Jawa tak pernah mewariskan
apa pun soal bagaimana energi yang bisa dibuktikan secara empirik dan menjelma
sebagai ilmu pengetahuan. Tidaklah perlu terburu-buru untuk memvonis bahwa
Jawa tak pernah memberikan modal pengetahuan untuk pengembangan hal yang
satu ini.

Memang sebagaimana pengetahuan lainnya yang lebih banyak sinengker,
pelajaran tentang pemanfaatan energi juga masih banyak yang tersembunyi,
sinamun ing samudana, sehingga dibutuhkan kecermatan untuk mendudahnya
dari teks lama.

Mula-mula, kisah-kisah lama secara hermeneutik semestinya tidak hanya
ditempatkan sebagai omong kosong belaka. Lebih dari itu, cerita seperti
ini sepatutnya bisa menjadi bahan untuk melakukan transformasi ke tataran
yang lebih praksis.

Kisah tentang Mpu Supa, sang pembuat keris mahasakti yang hidup pada
masa menjelang keruntuhan Majapahit, tentu bukan sebuah kebetulan jika
ditautkan dengan Merapen, tempat yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten
Grobogan. Sebagaimana bisa kita saksikan, di Merapenlah bisa dijumpai sebuah
sumber energi yang hingga kini tak mati-mati: api abadi.

Karena itu, tak berlebihan kiranya untuk menduga bahwa sang penggubah
cerita telah memberikan model tentang sebuah pemanfaatan energi. Energi
yang tidak hanya bisa diindra oleh mereka yang tergolong jalma kinacek,
tetapi siapa pun yang genap pancaindranya. Sebab, energi yang didayagunakan
ini tergolong yang kasat mripat.

Pelajaran Borobudur

Memang bisa saja, terlepas dari kebenaran faktual yang dijinjingnya,
dengan mempertautkannya dengan potensi geologis yang dimiliki oleh Merapen
"simbiosis muatilisme" antara sang tokoh dan tempat sedang dibangun
dalam konteks legitimasi. Sang tokoh akan kian tampak kekuatannya lantaran
mempu mengisap energi yang tak habis-habis sampai kini, sementara bagi
Merapen, kehadiran sang tokoh legendaris itu merupakan tengara betapa tempat
itu memang tidak baen-baen.

Memang tak bisa dimungkiri, sepanjang yang bisa diamati sampai sekarang
atau setidaknya yang telah menggumpal jadi memori dari puluhan tahun silam,
tak ada yang bisa dibilang "berarti" benar untuk pengembangan
energi masa kini.

Dari masa Mataram Kuno, lebih dari sepuluh abad yang silam, kita telah
mendapatkan pelajaran tentang bagaimana nenek moyang kita menangguk energi
di samodera. Bagaimana gelombang yang bergulung dan angin yang bertiup
adalah energi untuk menggerakkan perahu cadik hingga mampu mengarungi lautan
luas untuk perjalanan antarbenua.

Dari enam relief di lorong pertama sisi utara Candi Borobudur kita
bisa mendapati hal itu. Simpulan mutakhir menyebutkan, perahu pada relief
itu adalah kapal perang. Itu dilihat dari cadik ganda pada sisi kapal.

Namun tentu tidak dalam konteks itu, diskursus ini dikembangkan. Justru
di luar yang disebutkan tadi, kita hanya menemukan belantara kosong -setidaknya
sepi- untuk bisa menemukan gugusan pemikiran akan pengembangan energi.
Sekali lagi, energi yang manifestasinya kasat mata, yang bisa dipergunakan
dan dinikmati siapa saja.

Justru kini kita hanya bisa mendapati api abadi Merapen sekadar secara
simbolik sebagai bagian dari upacara ketika akan ada perhelatan olahraga
level nasional ataupun upacara keagamaan. Boleh dibilang tak ada pengembangan
energi apa pun yang terpantik dari sana , kecuali berbagai cerita rakyat
yang melingkupinya dan itu pun kian hari kian terasa memudar pesonanya.

Justru pedati-pedati kita yang ditarik oleh sapi dan kereta-kereta yang
ditarik oleh kuda adalah bukti teralienasinya model pemenfaatan energi
domestik dari pola pemanfaatan energi dari "sono". Tradisi membuat
minyak klentik juga kian tersisih dan Cuma menyisakan ketertinggalannya
atu laju jaman yang kian akseleratif.

Mungkin hanya tradisi pembuatan minyak jarak yang dalam beberapa tahun
terakhir ini mendapatkan kesempatan untuk pengembangannya. Terbukti, pemerintah
tampak gencar untuk menggalakkan penanaman pohon jarak demi kepentingan
yang satu ini.

Lantas? Memang agaknya perlu diakui bahwa letak kekuatan Timur, Jawa
khususnya, dalam hal kekuatan justru pada persoalan yang ìnonteknologisî.
Justru pada kearifan lokal yang bersemayam pada upaya untuk ìmelanggengkanî
energi yang ada yang perlu mendapatkan perhatian.

Pernah mengamati pohon tua memiliki aura? Mengapa orang bersemadi di
bawah pohon besar yang kelihatan angker? Mengapa pada masa lalu orang harus
menghitung hari dan berpuasa dulu kalau ingin menebang pohon?

Mengapa pula dalam ajaran Buddha, begitu penting untuk menjadi seorang
vegetarian? Umat Buddha meyakini, energi yang dimiliki tanaman atau tumbuhan
adalah energi yang selalu positif. Toh umat Islam, sekalipun diperbolehkan
mengonsumsi daging, tetap saja meski umumnya sebatas hewan pemakan tumbuhan.

Dari situ sebenarnya tidak sulit untuk dipastikan bahwa dari pepohonan
bersemayam energi yang tidak hanya patut didayagunakan, tetapi juga dilestarikan.
Kenyataan bahwa hutan lebat akan melindungi wilayahnya dengan energi murninya,
yang bila dikembangkan secara optimal akan menjadikan tidak hanya energi
spiritual dan emosional yang meningkat, tetapi juga yang material.

Kiranya diperlukan kajian yang lebih intens perihal energi murni yang
bersemayam di dalam hutan agar permasalahan kehilangan hutan tidak sebatas
kerusakan lingkungan beserta ekosistemnya, namun sesungguhnya juga kehilangan
sumber energi yang tiada terkira.

Masih banyak hal yang perlu disingkap dari belantara pikiran masa silam
Jawa yang kadang-kadang berhenti pada ungkapan ora ilok ataupun jare-jare.
Masih banyak yang perlu diakselerasi dari sekadar melakukan revitalisasi
semu masa lalu atas nama kelestarian energi.

Sebab, bukan tidak mungkin, dari yang dikatakan sing mbaureksa di gunung-gunung
itu, selain sebagai simbol dari energi murni dan energi spiritual, sebenarnya
juga bersemayam pengetahuan tentang energi kasat mripat yang perlu diungkap
secara lebih tandas dan denotatif.

(Sucipto Hadi Purnomo/35)

sumber : http://kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id=276


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Mencari Pepadang Jroning Pepeteng

Apakah namanya kalau bukan pepeteng bila
" darajading praja kawuryan wus sunya ruri ? "
Apa pula sebutan yang lebih
pas dari era gelap gulita jika " rurah pangrehe ukara karana tanpa
palupi " itu dari hari ke hari kian menjadi-jadi? Namun sebagaimana
mimpi bakal hadirnya ratu adil yang tak kunjung berakhir dari imaji Jawa,
hadirnya pepadhang jroning pepeteng
senantiasa menjadi pengarep-arep yang tak pernah padam.

banyak cara ungkap untuk menunjukkan kerisauan akan hadirnya
masa yang gelap gulita. Dari teks-teks lama yang telah menjadi klasik saja,
kita bisa mendapatkan tak sedikit ungkapan kegalauan itu.

Untuk menggambarkan suasana chaostic yang terjadi lebih kurang
tiga setengah abad yang lewat, terutama ketika Mataram di bawah kekuasaan Amangkurat I, Babad Tanah Jawi Meinsma melukiskannya sebagai berikut:
Kala semanten sang nata sabarang karsanipun ewah kaliyan adatipun,
asring misesa tiyang, tansah nggelaraken siyasat. Para bupati mantri tuwin
para santana sami lampah alap-alapan ing kalenggahanipun, sakelangkung
resah dhateng negari. Tiyang sa-Matawis sami miris manahipun, sarta asring
rahana wulan tuwin srengenge; jawah salah mangsa, lintang kumukus ing saben
dalu ketingal. Punika pratandhanipun yen negari badhe risak

Secara agak longgar, teks tersebut dapat diindonesiakan seperti ini:
Kala itu sang raja segala kehendaknya berubah dari biasanya, sering kali
menyiksa orang, senantiasa menggunakan tipu muslihat. Para bupati, mantri,
serta kerabat istana bertindak sekehendak hati dalam kedudukan masing-masing,
sehingga sedemikian amat meresahkan negara. Penduduk di seluruh Mataram
dicekam rasa takut, serta sering pada malam hari gerhana bulan sedangkan
siangnya gerhana matahari. Hujan pun turun salah musim, bintang kemukus
kelihatan setiap malam. Inilah pertanda bahwa negara akan rusak.

Dari teks ini, tampaklah bahwa lukisan yang kelam itu tidak hanya terjadi
pada keadaan mikrokosmos (jagad cilik jagad manusia), tetapi juga
makrokosmos (jagad gedhe, alam semesta). Salah satu saja dari itu
ada yang tidak beres, pastilah akan terjadi ketimpangan. Akibatnya, ketakaturan
pun bakal berlangsung. Lebih-lebih jika kedua-duanya tidak beres, pasti
makin kacau balaulah keadaan. Makin pekatlah keadaan yang sudah tampak
gelap.

Penopang Keteraturan

Sesunguhnya dalam paham kekuasaan Jawa (tradisional), wahyu dan kasekten
senantiasa dianggap sebagai penopang keteraturan jagad gedhe dan jagad
cilik. Wahyu, yang bisa pula disebut pulung, adalah semacam suratan Yang
Mahakuasa yang menjamin seseorang itu pantas berkuasa. Meski begitu, ia
hanya bisa diperoleh lewat penguatan diri, seperti mesu budi dan tindakan
asketis lainnya.

Adapun kasekten, sekalipun juga lazim diperoleh lewat laku, bukanlah
lahir sebagai suratan ilahiah melainkan hasil dari baik olah jiwa maupun
-yang tak boleh dilupakan adalah olah raga atau olah bela diri.

Namun dua hal itu, terutama yang pertama, agaknya tidak terpelihara
dengan oleh Amangkurat I tak lama setelah dia memegang tampuk kekuasaan
dari pendahulunya. Keadaan sebagaimana yang digambarkan dalam Babad Tanah
Jawi tadi merupakan akibatnya. Mataram, yang dibangun oleh Panembahan Senapati
dan diangkat ke puncak kejaaannya oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma, mulai
menurut bahkan lambat namun pasti menuju keterpecahannya.

Namun sebenarnya tak hanya Amangkurat I seorang diri yang telah membawa
negeri yang dipimpinnya dalam keadaan "kalimputing pedhut, kesaputing
mendhung ireng lelimengan". Gambaran tentang adanya masyarakat yang
terkutuk oleh zaman edan, hampir dua abad berikutnya, disebutkan oleh pujangga
terakhir Keraton Surakarta, Ranggawarsita. Dalam tembangnya yang amat termasyur
itu, sang pujangga mengatakan: amenangi jaman edan/ ewuh oya ing pambudi/
melu edan nora tahan/ yen tan melu anglakoni/ boya kaduman melik/ kaliren
wekasanipun

Serasa melengkapi gambaran itu, dalam tradisi lisan Jawa juga kerap
terdengar ungkapan "wong lugu keblenggu, wong jujur kojur, wong bener
thenger-thenger, wong jahat munggah pangkat, lan pengkhianat tansaya nikmat".
Karena itu, sebenarnya tidak perlu heran jika pada bagian lain dari Kalatidha karya Ranggwarsita tersebut dikatakan: mangkya darajading praja/ kawuryan
wus sunya ruri/ rurah pangrehing ukara/ karana tanpa palupi

Saatnya Terang

Segelap apa pun, sepekat apa pun keadaan yang melingkupi, sesungguhnya
pada spirit Jawa senantiasa bersemayam jiwa optimisme. Orang bisa saja
menyebutnya sekadar pasrah sumarah. Namun justru di situlah terletak pengharapan
-yang nyaris pasti terwujud;bakal hadirnya setitik cerah menuju
era terang benderang.

Paham itu, antara lain tercermin dalam ungkapan cakra manggilangan.
Maksudnya, donya iku ora onya, dunia itu tidak mandek melainkan
terus bergerak. Atau dalam ungkapan sederhana, ana bengi mesthi ana esuk,
merga ana awan mesthi ana bengi. Siang tak selamanya siang, malam pun tak
selamanya malam.

Kalaulah kemudian ada paham yang meyakini akan hadirnya ratu adil,
imam mahdi, herucakra, dan sebagainya, sebenarnya semua itu paralel dengan
harapan akan adanya pepadhang sawise pepeteng.

Boleh saja orang menganggap paham ratu adil itu sebagai omong kosong
belaka. Namun sebagaimana dalam Indonesia Menggugat (1930),
Bung Karno di depan pengadilan kolonial mengemukakan pledoinya:

Haraplah pikirkan, Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya rakyat senantiasa percaya
dan menunggu-nunggu datangnya ratu adil, apakah sebabnya Prabu jayabaya
sampai hari ini masih menyalakan harapan rakyat, .... Tak lain tak bukan
ialah oleh karena hati rakyat yang menangis itu, tak berhenti-hentinya,
tak habis-habisnya menunggu-nunggu atau mengharap-harapkan datangnya pertolongan,
sebagaimana orang yang berada dalam kegelapan tak berhenti-hentinya pula
saban jam, saban menit, saban detik, menunggu-nunggu dan mengharap-harap;
'kapan, kapankah matahari terbit?

Apa pun sumber terang itu, dari maa asalnya, kehidupan tak bakal terus
berlangsung jika pepeteng berlangsung tanpa berkesudahan. Bukankah pergelaran
wayang kulit benar-benar tak akan pernah berlangsung bilamana blencong
tak pernah menyala. Sebab, kata Ki Manteb Sudharsono dalam sebuah janturannya,
blencong minangka pepadhang urub-urip wis nyawi, sawiji-wiji wis tinamtu
kodrate Kawasa, ala-becik ginambar jroning pakeliran

Persoalannya, jika blencong minangka pepadhang tak segera datang, bila
pagi tak segera tiba, ada baiknya untuk sekecil apa pun meretas terang
dengan menghadirkan pepadhang sendiri. Ya, sekalipun itu hanya dari sebuah
ublik melik-melik
(Sucipto Hadi Purnomo/35)

sumber : http://kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id=277

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

BLENCONG

Blencong
16-07-2007
Dening Sindhunata
Ila-ila

TEMEN, temen-temen lan temenan, iku sipating watak sing kudune dadi darbeking para pemimpin lan pangembating praja. Lire, pemimpin iku kudu duweni sipat sinatriya. Gembleng lan anteping tekad, yaiku wataking satria. Mula jeneng nyingkuri sipating satria, yen pemimpin iku tansah gojag-gajeg ora teges, mangu-mangu kuatir kleru. Sipat lan watak mau diwedharake kanthi tarwaca ing Serat Bhagavadgita, sing wus maringi sakehing daya cipta tumraping jagading susastra lan padhalangan ing tanah Jawa iki.

Wose, Serat Bhagavadgita ngemot pirembuge Kresna lan Arjuna ing perang Bharatayudha. Arjuna gojag-gajeg anggone ngadhepi paperangan, maju apa mundur. Jalarane, dheweke kudu nyirnakake kadange dhewe. Ala kaya ngapa, Duryodhana lan para Kurawa ya isih tunggal dulur. Bisma isih kaprenah sesepuhe, lan Durna ya nate dadi gurune. Ing kahanan mangu-mangu iku, Kresna ngelingake, jeneng nyelaki dharmaning kesatria, yen Arjuna ora banjur mudhun ing ngayuda.

Miturut Prof Dr Piet Zoetmulder, ahlining sastra Jawa Kuna, sejatine ana filsafat lan etika sing luwih jero, sing ndhasari wulang wuruking Batara Kresna mau. Filsafate yaiku, dating manungsa iki langgeng, mung ragane sing bakal sirna. Dadi wong iku yen mati, mung ragane sing ora ana. Yen pangandhel iki diugemi, wong bakal dadi wicaksana anggone ngadhepi urip lan patine. Wani temen merga ngandel, menawa pati iku ora bakal nyirnaake uripe sing langgeng.

Dene etikane yaiku, saben wong iku duweni swadharma-ne dhewe-dhewe. Wong sing tinakdirake dadi satria, ya kudu wani nglungguhi swadharmaning satria. Perang iku klebu dadi kuwajibaning satria. Mula satria sing ora wani perang, dheweke bakal dadi titah sing nyingkuri swadharmane. Yen mengkone, wong mau ora bisa nggayuh pakerting sinatria.

Adedhasar filsafat lan etika mau, manungsa sejatine wus sumedya nampa ganjarane. Umpamaa, asor ing ngayuda, dheweke tetep ginanjar berkah lan kamulyan ing swarga. Umpamaa, unggul ing ngayuda, dheweke bakal ngranggeh kamulyan lan jaya kawijayan ing alam donya iki. Mula, yen ora wani perang, dheweke mung bakal nemoni kanistan lan cecamahing wong akeh.

Miturut Prof Zoetmulder, wulang wuruke Serat Bhagadvadgita iku uga tinurun ing sastra Jawa kuno, lire ing kekawin Bhismaparwa lan Bharatayudha. Kekawin Bharatayudha ngringkes piwulang mau dadi mung rong pupuh (X, 12,13). Kresna maringi panglimbang, supaya Arjuna ora mangu-mangu maneh mudhun ing ngayuda, merga Arjuna bakal nerak anggering tata lan adat, sing wis dadi dhasar ginelaring jagad, yen minangka satria dheweke mundur saka ngayuda: kuneng sira Janardanasekung akon sarosapranga, apan hila-hilang ksinatriya surud yan ing paprangan.

Tembung hila-hila utawa ila-ila iku ngemu surasa sing jero. Hila-hila iku tegese apa wae kang nerak lan nglanggar dharma, mula uga kena diarani dosa. Ing basa Jawa modern, ila-ila ditegesi sumpah serapah, lan pituture wong tuwa sing kudu diturut. Wong bakal kena ila-ila, yen ora netepi dharmane, sing wus kinanthen ana ing dhirine salaras karo titahe.

Kaya wis diaturake ing dhuwur, pemimpin kudune tansah ndarbeni sipat sinatriya. Lan netepeni dharmaning satria, pemimpin mau kudune ora mangu-mangu wedi kleru, lan gojag-gajeg ora teges. Pemimpin mau bakal kena ila-ila, yen dheweke ora netepi dharmaning pemimpin, sing wajibe pancen kudu wani mundhut kaputusan sing prelu murih masyarakat iki dadi adil, makmur lan tentrem.

Lan palaganing paprangan zaman saiki dudu Kurusetra, nanging jagading korupsi, lan jagading politik sing kebak doracara, melik nggendhong lali, lan manah ing kapentingan dhiri pribadi, kumalungkung, lan ngremehake rakyat. Mula dadi pemimpin iku ora mung golek kursi, lan golek alem. Kanggo netepi dharmaning pemimpin ing alam Indonesia zaman saiki, pemimpin aja surud saka ing ngayuda: mbrasta korupsi lan merangi politik sing culika. Yen ora, mbuh kapan, pemimpin mau bakal kenas ila-ila. Dudu mung rakyat, nanging luwih-luwih ukume jagad iki dhewe, sing bakal nekake ila-ila tumrap pemimpin mau. Merga jagad iki wis netepake dharma lan swadharma, sapa nerak lan nglanggar, bakal kena ila-ila.

Mula, amrih ora kena ila-ila mau, pemimpin aja tansah mangu-mangu wedi kleru, gojag-gajeg ora teges. Miturut pituturing Serat Wedhatama, pemimpin mau kudune "waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing jiwangga, melok tanpa aling-aling". Lire, anggone mutusake, aja nganti kaling-kalingan kapentingane raga. Patrape kudu temen ngendelake anteping tekad, sing lair saka winasising jiwa lan suksma.
(35/)

SUMBER : http://kejawen.suaramerdeka.com/index.php?id=210

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Wewedharanipun Tri Bawana [Jabaran tiga dunia]

BAHASA JAWA

1. Ayat ingkang sapisan, dipun wastani pambukaning tata mahligai ing dalem Baitalmakmur, kados makaten wewedharanipun :

Sajatine ingsun nata malige ing dalem Baitalmakmur iya iku enggon parameyaningsun jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek kang ana antaraning Dimak iku manik, sajroning pranawa iku sukna, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun ora ana pangeran, anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.

2. Ayat ingkang kaping kalih dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukharam, kados makten wewedharanipun :

Sajatine ingsun anata malige ing dalem baitalmukharam, iya iku enggon laranganingsun jumeneng ana jajaning Adam, kang ana sajroning dhada iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, sajroning jinem iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi kahanan jati.

3. Ayat ingkang kaping tiga dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukadas, mekaten wewejanganipun :

Sajatine ingsun anata Malige ing dalem Baitalmukadas, iya iku enggon pasucen ingsun jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ada antaraning iku mutfah, iya iku mani sajroning mutfah iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahso sajroning rahso iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati.

Menggah ingkang sami kapareng amedharaken wedharan triloka wau para wali 8 :
Susuhunan ing Giri Kadhaton
Susuhunan ing Kudus
Susuhunan ing Panggung
Susuhunan ing Majagung
Susuhunan ing Pancuran
Susuhunan ing Cirebon
Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
Susuhunan ing Kajenar

Dene anggenipun sami karsa amedharaken Triloka punika saking anggenipun sami ambabar kaelokaning Ilmi kasampurnan, ingkang kaangge witting Ilmi bangsa Sorogan, kadosta :
Kawasa saget andhatengaken salwiring sedya.
Anggenipun kawasa saget adamel lumpuhing para cidra, inggih punika bangsaning pangetisan.
Sami kawasa saget adamel sarana wewelikaning pandulu inggih punika kalebet Aji Sesulapan.
Sami anggelaraken bangsaning gendam, urawi puter giling sapanunggalanipun, nanging sadya kal wau nalika pakumpulan kaliyan Kanjeng Susuhunan ing Kalijogo inggih sami ajrih anggelaraken.
Purunipun adamel kaelokan sareng Kanjeng Susuhunan Ing Kalijaga sampun kayun widaraini, tegesipun gesang toya kalih wonten ing donya gesang, ing kahanan akhir inggih gesang, sanyata langgeng boten ewah gingsir mila waget jumeneng Gosul Alam, tegesipun dados musthikaning Sapta Bawana, inggih punika winenang mengku Bumi langit sap pitu, tetep gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi.

TERJEMAHAN

1. Ayat yang pertama dinamakan terbukanya tata mahligai Baitalmakmur wedarnya/jabarannya sebagai berikut :

Sebenarnya aku mengatur singgasana di dalam Baitalmakmur, di situlah tempat kesenangan-KU, berada di kepada Adam ,yang berada didalam kepala disebut dimak yaitu otak, yang berada diantara dimak itu manik, didalam manik itu pramana adalah pranawa, didalam pranawa itu adalah sukma itu adalah rahsa, didalam rahsa itu adalah aku, tidak ada Pangeran hanya dzat yang meliputi disemua keadaan.

2. Ayat yang kedua dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baitalmukharam sebagai berikut :

Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baitalmukharam itulah tempat larangan-larangan-KU, yang berada didada Adam, yang berada di dalam dada itu hati, yang berada diantara hati itu jantung, di dalam jantung itu budi, di dalam budi itu jinem, di dalam jinem itu sukma, didalam sukma itu rahsa dan di dalam rahsa itu aku, tidak ada Tuhan kecuali aku, Dzat yang emliputi semua keadaan .

3. Ayat ketiga dinamakan terbukanya susunan singgasana dalam Baitalmukadas sebagai berikut :

Sebenarnya aku menata singgasana dalam Baitalmukadas, rumah tempat yang aku sucikan berada didalam kontolnya Adam, yang berada di dalam kontol itu pelir, yang berada di dalam pelir itu mutfah yakni mani, di dalam mutfah
adalah madi, di dalam madi itu manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu adalah aku tidak ada Tuhan kecuali aku, dzat yang meliputi semua keadaan.

Adapun yang ditunjuk mewedarkan wedaran Triloka ialah delapan wali, sebagai berikut :
Sesuhunan di Giri Kedaton
Sesuhunan di Kudus
Sesuhunan di Panggung
Sesuhunan di Pajagung
Sesuhunan di Pancuran
Sesuhunan di Cirebon
Syeh Maulana Ibrahim Jatiswara
Sesuhunan di Kajenar


Adapun mereka mau mewedarkan Triloka itu, karena mereka telah menyaksikan kehebatan ilmu kasampurnan, yang dianggap menjadi kuncinya ilmu sorogan, misalnya :

Mampu mendatangkan semua yang dikehendaki
Mampu melumpuhkan orang yang berniat jahat, yaitu tergolong pangatisan.
Mampu membuat penglihatan menjadi berubah ialah sebangsa sulapan.
Mampu menggelarkan jenisnya dendam, atau puter giling dan sebagainya, tetapi semua itu ketika masih berkumpul dengan Sunan Kalijogo, mereka tkut mempergunakan ilmu-ilmu tersebut.

Mereka membuat keanehan setelah Sunan Kalijogo sudah kayun widaraini artinya hidup di akherat pun hidup. Ternyata abadi tidak berubah oleh karenanya dapat menyandang sebagi Gosul Alam, artinya menjadi mustikanya tujuh lapis Bawana mempunyai wewenang menguasai Bumi dan langit lapis tujuh.

sumber : www.heritageofjava.com/ebook/Falsafah_Orang_Jawa.doc


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Ngilmu Kasampurnan

Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Sultan Agung raja atara ( 1613 - 1645 ) rupa-rupanya Serat Kekiyasaning Pangrautan juga menjadi narasumber dala penulisan Serat Wirid Hidayat Jati oleh R.Ng Ronggowarsito karena ada beberapa bab yang terdapat pada Serat kekiyasanning Pangrautan terdapat pula pada Serat Wirid Hidayat Jati. Pada manuskrip huruf Jawa Serat kekiyasanning Pangracutan tersebut telah ditulis kembali pada tahun shaka 1857 / 1935 masehi. Disyahkan oleh pujangga di Surakarta RONG no-GO ma-WAR ni SI ra TO = Ronggowarsito atau R.. Ng. Rongowarsito.

SARASEHAN ILMU KESAMPURNAAN

terjemahan

Ini adalah keterangan Serat Suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.

Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah :

1. Panembahan Purbaya
2. Panembahan Juminah
3. Panembahan Ratu Pekik di Surabaya
4. Panembahan Juru Kithing
5. Pangeran di Kadilangu
6. Pangeran di Kudus
7. Pangeran di Tembayat
8. Pangeran Kajuran
9. Pangeran Wangga
10. Kyai Pengulu Ahmad Kategan

1. Berbagai Kejadian Pada Jenazah
Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian pada keadaan jenazah adalah berbagai diketengahkan dibawah ini :
1) Ada yang langsung membusuk
2) Ada pula yang jenazahnya utuh
3) Ada yang tidak berbentuk lagi, hilang bentuk jenazah
4) Ada pula yang meleleh menjadi cair
5) Ada yang menjadi mustika (permata)
6) Istimewanya ada yang menjadi hantu
7) Bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.


Masih banyak pula kejadiaanya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi apa yang menjadi penyebabnya. Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut :

Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut. Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti yang akan kami utarakan berikut ini :


1. Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.

2. Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.

3. Pada masa hidupnya seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan.
Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.

4. Siapapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.

5. Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.

2. Berbagai Jenis Kematian

Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya
Mati Kisas
Mati kias
Mati sahid
Mati salih
Mati tewas
Mati apes

Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut :

Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.

Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid,
adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih,
adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas,
adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon , jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes,
suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.


Berkatalah beliau : “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh ? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga ?”

Dijawab oleh yang menghadap : “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendaat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.

Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika , tidak terduga siapa yang dapat menyamainya


3. Wedaran Angracut Jasad
Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:

Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya, didunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.
4. Wedaran Menghancurkan Jasad
Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut : “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjijat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khas, dengan cara menjalani tapa brata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta :
Menahan Hawa Nafsu, selama seribu hari siang dan malamnya sekalian.
Menahan syahwat (seks), selama seratus hari siang dan malam
Tidak berbicara, artinya membisu, dalam empat puluh hari siang dan malam
Puasa padam api, tujuh hari tujuh malam
Jaga, lamanya tiga hari tiga malam
Mati raga, tidak bergerak lamanya sehari semalam.

Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya :
1.
Manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan
2.
Menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan
3.
Membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan
4. Puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan
5. Jaga, selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan
6. Pati raga selama sehari semalam.

Adapun caranya Pati Raga adalah : tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.

Perlunya Pati Raga

Baginda Sultan Agung bertanya : “Apakah manfaatnya Pati Raga itu ?”

Kyai Penghulu Ahmad Kategan menjawab : “Adapun perlunya pati raga itu, sebagai sarana melatih kenyataan, supaya dapat mengetahui pisah dan kumpulnya Kawula Gusti, bagi para pakar ilmu kebatinan pada jaman kuno dulu dinamakan dapat Meraga Sukma, artinya berbadan sukma, oleh karenanya dapat mendakatkan yang jauh, apa yang dicipta jadi, mengadakan apapun yang dikehendaki, mendatangkan sekehendaknya, semuanya itu dapat dijadikan suatu sarana pada awal akhir. Bila dipergunakan ketika masih hidup di Dunia ada manfaatnya, begitu juga dipergunakan kelak bila telah sampai pada sakaratul maut.

sumber : www.heritageofjava.com/ebook/Falsafah_Orang_Jawa.doc


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

KAWRUH SEMEDHI

Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.

Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok sok dheweke iku mesthi nemoni kagagalan kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning sedya sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya anaa ing ngendi wae enggone nyugulake dirine, Amarehe diwedeni ing wong akeh panguwuhe gawe kekesing wong yen anyentak dadi panggugupake lan gawe gemeter dirine, ditrisnani ing wong akeh pitembungane digatekake lan pakartine diluhurake ing wong akeh, iya pancen nyata wong liyane mesthi tunduk marang sawijining wong kang ahli ilmu.

Wong ahli kasutapan tansah yakin enggone ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem dhirine. Ana paedahe kang migunani banget manawa wong nindakake pambudi daya kalawan misah dheweke ana ing papan kang sepi karana tinimune kekuwatan gaib iku sok-sok tinemu dhewekan ana ing sepen. Wong ahli kasutapan kudu budidaya bisane nglawan marang nepsune kekarepan umum (kekarepan wong akeh kang campur bawur ngumandang ana ing swasana), kalawan tumindak mangkono wong ahli kasutapan mau dadi nduweni pikiran-pikiran kang mardhika, iya pikiran-pikiran kang mangkono iku kang bisa nekakake kasekten gaib.


Sangsaya akeh kehing kang kena tinides, uga sangsaya gedhe tumandhoning kekuwatan gaib kang kinumpulake. Kekuwatan gaib iku tansah makarti tanpa kendhat enggone mujudake sedya lan nganakake kekarepan. Wong ahli kasutapan kudu anduweni ati kang tetep lan kekarepan kan dereng, kalawan ora maelu marang anane pakewuh pakewuhe lan kagagalan-kagagalaning. Kasekten iku kaperang ana rong warna, iya iku kasekten putih (Witte magie/white magic) utawa kasekten ireng (Zwarte magie/Black Magic). Awit saka anane perangan mau banjur dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane ala.

Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya.

Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh liya-liyane maneh.

Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa mau. Kalawan mangkono dzat "prabawa" iku dadi kumpul ing dalem badane wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane.

Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib.

Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan "rasa wedi" iku atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa.

Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib, atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos.


"Nepsu" iku andadekake tanpa dayane kekuwataning batin. "Semang-semang" iku andadekake ati kang peteng ora padhang terang. "Sengit utawa drengki" iku uga dadi mungsuhing kekuwatan gaib. Wong kang lagi nindakake katamtuwan ing dalem kasutapan kudu kalawan ati kang sabar anteng lan tetep.
Patrapebadan kang kaku lan kagugupan kudu didohake .
Aja sok singsot

Aja duwe lageyan sok nethek nethek kalawan driji tangan marang meja kursi utawa papan liyane.

Aja ngentrok-entrokake sikil munggah mudhun.

Aja sok anggigit kukuning dariji tangan.

Aja mencap-mencepake lambe.

Aja molahake lidhah lan andhilati lambe.

Aja narithilake kedheping mata.

Ngedohake sakehing saradan utawa bendana kang ora becik, kayata glegak-glegek molah-molahake sirah, kukur-kukur sirah, ngangkat pundhak lan liya-liyane sabangsane saradan kabeh.

Satemene perlu banget nyirnakake kekarepan "drengki" luk wit ngrasaning karep drengki iku banget nindhih marang diri pribadi. Ana maneh "drengki" iku kaya anggawa sawijining pikulan abot kang tansah nindhes marang dhiri lan sarupa ana barang atos medhokol kang angganjel pulung ati. "Drengki lan meri" iku mung anggawa karugiyan bae tumrap kita, ora ana gunane sathithik -thithika. Salawase wong isih anduweni pangrasan karep "drengki lan meri" iku ora bakal bisa tumeka kamajuwane tumrap dunya prabawaning gaib.

Ora mung tumindak bae tumrap sawijining wong bae bisa maluyakake wong liya kalawan kekuwatan gaib nanging uga tumindak tumrap sawijining wong maluyakake dhiri pribadi kalawan kekuwatan iku. Bisane maluyakake larane wong liya, mesthine kudu ngirima kekuwatan waluya marang sajroning badane wong kang lara. Manawa wong gelem naliti yen wong iku bisa ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem badane dhewe lan ngetokake sabageyan kekuwatan gaib kawenehake marang wong liyane mestheni uwong bisa ngreti yen arep migunakake kekuwatan iku nganggo paedahe dhiri dhewe uga luwih gampang.


Supaya bisa nindhakake pamaluya marang dhirine dhewe kalawan sampurna wong ngesthi kudu mahamake cara-carane maluyakake panyakit. Iya iku cara-cara kang katindakake kanggo maluyakake wong liya lan wusanane ambudidaya supaya bisa migunakake obah-obahan iku marang awake dhewe.

Kawitane wong kudu nindakake patrape mangreh napas, kanggo negahake asabat. Dene carane ngatur napas iku kaprathelakake kalayan ringkes kaya ing ngisor iki :

Madika panggonan kang sepi.

Lungguha ing sawijining palinggihan kang endhek lan kepenak, sikil karo pisan tumapak ing lemah.

Badan kajejegake lan janggute diajokake.

Benik-beniking klambi kang kemancing padha kauculan, sabuk uga diuculi supaya sandangan dadi longgar lan kepenak kanggo tumindhak ing napas.

Pikiran katarik mlebu, supaya luwar saka sakehing geteran pikiran kaya saka ing jaba.

Sakehing urat-urat kakendokake.

Banjur narika napas kalawan alon lan nganti jero banget tahanen napas iku sawatara sekon/detik (kira-kira 6 detik) lan wusanane wetokna napas iku kalawan sareh.

Anujokna gumolonging pikiran kalawan ngetut marang napas kang mlebu metu iku kalawan giliran. Cara nindakake napas kaya ing ngisor iki :

Narik napas kalawan alon lan nganti jero ing sabisane, nganti dhadha mekar lan weteng dadi nglempet.

Nahan napas iku kira-kira nem saat utawa luwih suwe ing dalem paru-paru dhadhane cikben lestari mekare, lan wetenge cikben lestaringlempetake kalawan mangkono iku gurung dalaning napas tansah tetep menga.

Ambuangna napas kalawan alon nganti entek babar pisan nganti dhadha dadi kempes, lan weteng dadi mekar.

Banjurna marambah-rambah matrapake mangkono iku suwene kira-kira saka lima tumeka limolas menit utawa luwih suwe nganti bisa nemoni pangrasa anteng lan tentrem ing sajroning badan.


Carane matrapake kasebut ing dhuwur iku sawijining cara kanggo napakake napas, iki kena lan kudu ditindakake saben dina telung rambahan, dening sapa bae kang nglakoni tapa supaya oleh ilmu gaib. Daya kang luwih bagus iya iku miwiti makarti miturut pituduhan. Aja weya nindakake patrap kanggo napakake napas iku.


Cara matrapake tumindaking napas iku kena uga ditindakake kalayan leyeh-leyeh mlumah : ngendokake sakabehing urat-urat nyelehake tangan karo pisan sadhuwuring weteng lan nindakake lakuning napas miturut aturan. Daya ngisekake Prana Ngadeg kalawan jejeg sikil karo pisan kapepetake dadi siji lan driji -drijining tangan karo pisan dirangkep dadi siji kalawan longgar.


Banjur matrapa lakuning napas sawatara rambahan miturut aturan. Gawe segering utek lungguha kalawan jejeg lan nyelehna tangan karo pisan ing sandhuwuring pupu kiwa tengen: mripat mandheng marang arah ing ngarep kalawan tetep: sikil karo pisan tumadak ing lemah. Kalawan jempol tangan tengen anutup lenging grana sisih tengen lan anarika napas liwat lenging grana sisih kiwa, wusana nglepasake jempol iku banjur ambuwang napas lan nutupa lenging grana kiwa kalawan driji narika napas liwat lenging grana tengen, lepasna driji panutup iku lan ambuwanga napas. Mangkono sabanjure kalawan genti-genten kiwa lan tengen.

Sumber :www.heritageofjava.com/ebook/Falsafah_Orang_Jawa.doc





Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

BERSYUKUR

‘ Saya seperti keledai atau lebih tepat kuda penerjang bukit. Hidup saya selalu ditekan oleh tuntutan yang tidak bisa saya hindari. Saya harus menghidupi ribuan karyawan. Bayar bunga bank , angsuran hutang Bank dan belum lagi harus ngemong pejabat. Setiap saya bangun pagi , terasa begitu berat beban yang menghimpit sehingga saya tidak pernah tau lagi keindahan mentari pagi. “ Demikian teman saya bertutur. Dulu puluhan tahun lalu, dia juga pernah mengeluh betapa sulitnya hidup serba diatur dan terjebak dengan rutinitas sebagai karyawan. Dia putuskan untuk berhenti kerja. Ingin mandiri. Kini dia tidak lagi merasa hidup serba teratur. Karena tidak ada yang mengatur. Dia tidak lagi menghadapi rutinitas yang membosankan karena dia sebagai creator dan leader. Tapi dia sekarang menghadapi “tuntutan yang tidak bisa dihindari. Artinya dalam rentang waktu hidupnya , dia telah melakukan kesalahan. Hidup sebagai karyawan, itu salah. Juga hidup sebagai pengusaha juga salah. Lantas mana yang benar. Mungkin dia dulu menyalahkan tuhan ketika menjadi karyawan. Dan kini tentu dia akan menyesali mengapa tuhan menjadikannya sebagai pengusaha. 'Dan sedikit sekali daripada hamba-Ku yang tahu berterima kasih (bersyukur)." (QS. Sabda': 13)

Teman saya yang lain juga pernah bertutur bahwa dia sangat kecewa karena gagal mendaki gunung himalaya setelah berhasil menaklukan Gunung Jaya Wijaya. Tapi jauh sebelumnya dia pernah mengeluhkan karena belum berkesempatan mendaki gunung Jaya Wijaya. Saya tidak tau apa yang akan dikeluhkan bila dia telah berhasil menaklukkan Gunung Himalaya. Mengejar puncak ego adalah sifat manusia pada umumnya dan sebagaimana firman Allah
"Sesungguhnya Allah sentiasa melimpahkan kurnia-Nya kepada manusia (seluruhnya), tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur." (QS. al-Baqarah: 243)

Manusia acap kali terjebak dalam egonya. Karena dia selalu melihat dari sisi negatif atas takdir yang menimpanya. Dia tidak mampu menerima apa yang disebut sisi “ kelebihan dan kekurangan, Kebaikan dan keburukan “. Dua kata yang selalu bersanding. Keseimbangan yang mengharuskan kita untuk terus bergerak. Layaknya ayunan bandul jam. Ayunan kekiri dan kekayan yang selalu sama. Tapi ayunan itu akan tetap bergerak apabila tempat bertumpu ayunan itu kuat. Keterhentian ayunan itu akan membuat proses terhenti. Kekiri atau Kekanan. Dua duanya selalu tidak nyaman karena tidak ada keseimbangan. Tidak ada warna. Hidup akan menjadi hampa. Kita harus mempunya kekuatan untuk mempertahankan bandul kehidupan dalam situasi dan kondisi apapun. Karena itu pasti akan terjadi seiring waktu berlalu.
“ Sesungguhnya Kami (Allah) menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya agar Kami menguji mereka siapakah antara mereka yang terbaik perbuatannya."(QS. al-Kahfi:7)

Tidak berlebihan bila orang bijak berkata “ Aku membutuhkan kesulitan agar aku dapat mengerti makna kemudahan. Aku membutuhkan penderitaan agar aku dapat memahami kebahagiaan. Aku memahami kebencian orang lain bila mengharuskan aku untuk belajar mencintai orang lain. “ Seharusnya hidup bukanlah untuk dianalisa apalagi dikeluhkan tapi dilalui sambil melihat langkah dibelakang dan mensyukuri setiap apapun yang kita terima.
" Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur." (QS. An-Nahl:78)

Begitupula kita selalu inginkan segala sesuatu dapat berjalan sesuai apa yang kita mau.. Kita tidak menyadari bahwa setiap hasil adalah suatu reward dari kesabaran , ketekunan dan kerja keras. Proses ini bergulir tanpa bisa kita hindari. Kualitas dan kuantitas reward sangat tergantung kualitas kita melewati proses waktu itu. Setiap manusia mempunya kualitas sendiri sendiri dan sehingga mempunyai reward sendiri2 sesuai takarannya. Itu sebabnya takdir manusia menjadi berbeda. Ada karyawan , ada pengusaha dan penguasa , ada kaya , ada miskin. Menyadari ini akan membuat kita disadarkan bahwa hidup terlalu singkat bila kita hanya sibuk menilai reward. Reward materi tidak memberikan apaapa kecuali kehampaan. Sementara menanamkan kepuasan , rasa syukur terhadap diri sendiri karena mampu memuaskan orang lain dan menghidarkan diri dari segala perbuatan maksiat adalah buah yang tak ternilai. Apapun buahnya , kita telah menentukan pilihan kita secara benar. 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (Q.s. Ibrahim: 7

sumber : http://rahmatallah.blogspot.com/2005/07/bersyukur.html

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Dialog dengan Tuhan ?

Di zaman ini, mungkinkah kita masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan? Bukankah Nabi terakhir telah lama wafat, dan kitab suci terakhir telah diturunkan lima belas abad yang lampau serta Tuhan telah menyatakan sempurnanya agama kita. Masihkah terjadi dialog antara hamba dengan Tuhan?

Neale Donald Walsch percaya akan hal itu. Walsch mengaku masih bisa berdialog dengan Tuhan. Ia kemudian menuliskan hasil dialog dengan Tuhan itu dalam bukunya "Conversations with God: an uncommon dialogue", sebuah buku yang telah berulang kali
dicetak ulang.

"Aku tidak berkomunikasi semata dengan kata. Bentuk komunikasi yang Kupilih lebih melalui "perasaan" (feeling). Perasaan adalah bahasa jiwa. Jika kamu ingin tahu apa yang benar tentang sesuatu, lihatlah bagaimana perasaanmu terhadap sesuatu itu.

Aku juga berkomunikasi lewat "pikiran" (thought). Pikiran dan perasaan tidaklah sama, meskipun keduanya dapat berlangsung pada saat yang sama. Dalam komunikasi lewat pikiran, Aku menggunakan media imajinasi dan gambaran. Karenanya, pikiran lebih efektif daripada menggunakan "kata" sebagai alat komunikasi.

Sebagai tambahan, Aku juga menggunakan kendaraan "pengalaman" sebagai media komunikasi. Dan akhirnya, ketika perasaan, pikiran dan pengalaman semuanya gagal, Aku menggunakan "kata-kata". Kata-kata adalah media komunikasi yang paling tidak efektif. Kata-kata lebih sering dikelirutafsirkan dan disalah pahami. Dan mengapa itu terjadi? Karena demikianlah kata-kata itu. Mereka hanya simbol dan tanda. Kata-kata bukanlah kebenaran; juga bukan sesuatu yang hakiki." (Walsch:1997, h. 3-4)

Inilah "jawaban" Tuhan, ketika Walsch bertanya tentang cara Tuhan berkomunikasi dengan kita. Anda boleh tak setuju dengan pengakuan Walsch. Tak ada larangan kalau anda bersedia menggelari dia dengan "pendusta".Tapi, buat saya, yang menarik adalah kutipan di atas. Bahkan seorang non-Muslim seperti Walsch pun percaya bahwa Tuhan masih berkomunikasi dengan kita. Sayang, terkadang kita lupa akan hal ini, bahwa Tuhan masih berkomunikasi dengan hamba-Nya.

Ketika Walsch --atau "Tuhan"-- menyebutkan perasaan, pikiran, pengalaman dan kata-kata sebagai bentuk komunikasi dari Tuhan, saya teringat, Syekh Terbesar, Ibn Arabi yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan bentuk tajalli dari Allah. Karena itu kemana saja kita arahkan pandangan mata kita, sebenarnya kita menangkap "tanda" Tuhan di sana.

Sayang, kita suka enggan berkomunikasi dengan Tuhan. Shalat pun menjadi berat. Beban kerja yang menumpuk menjadi alasan. Saat kita menzalimi saudara kita, kita sering lupa bahwa saudara kita masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan dan mengadukan kelakuan kita. Ketika duka datang menerpa kita, kita lebih percaya untuk berkomunikasi dengan "orang pintar" dibanding kita adukan derita kita langsung kepada Tuhan. Alih-alih melihat "tanda" dari Tuhan, hambatan ekonomis malah menjadi pembenar ketika kita menerima uang yang bukan hak kita.

Anda boleh tak setuju bahwa buku Walsch merupakan hasil komunikasinya dengan Tuhan. Anda boleh tak setuju ketika Ibn Arabi mengaku "didiktekan" Malaikat ketika menulis Futuhat al-Makkiyah, namun tak ada salahnya saya mengutip lagi isi buku Walsch, ketika "Tuhan" berkata: "Aku bicara kepada setiap orang. Pada setiap waktu. Masalahnya bukan kepada siapa Aku bicara, tetapi siapa yang mau mendengarkan?"

sumber : http://rahmatallah.blogspot.com/2005/07/dialog-dengan-tuhan.html

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan

Kitab ketiga Ibn Arabi yang dikaji pada Tadarus Ramadan Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) adalah Tarjumanul Asywaq, sebuah diwan, antologi puisi. Tadarus Selasa (10/10) itu menghadirkan KH Husein Muhammad (pengasuh Ponpes Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon), Umdah El Baroroh (penulis tesis tentang Ibn Arabi pada pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Abd. Moqsith Ghazali (intelektual muda NU, Dosen Universitas Paramadina).

*****

”Seluruh pengetahuan ketuhanan berada di balik Nizam,” demikian sebait puisi cinta Ibn Arabi kepada seorang perempuan kekasihnya dalam kitab Tarjumanul Asywaq (Ontologi Kerinduan). Nizam adalah anak gadis dari Abu Syuja’, guru Ibn Arabi sendiri. Deretan puisi semacam inilah yang membuat marah para ulama Aleppo, Damaskus saat itu. Mereka mencaci maki dan menghujat Ibn Arabi yang bagi mereka telah mengotori ketuhanan dengan membuat apa yang mereka sebut ”puisi-puisi cinta berahi” dalam antologi kecil itu. Bagi mereka, Ibn Arabi telah menyembunyikan cinta sensualnya kepada perempuan di sebalik ajaran tasawuf demi melestarikan kesan kesalehannya.

Menanggapi caci maki para ulama fikih itu, buru-buru Ibn Arabi menulis buku penjelasan (syarh) terhadap Tarjuman yang diberi judul Ad-Dzakhair wal A`laq (Khazanah dan Kerinduan). Bergantilah caci maki itu dengan permintaan maaf setelah Ibn Arabi mempresentasikan syarh-nya di depan mereka.

Karena itu, KH Husein Muhammad menganggap refleksi dan kontemplasi spiritualitas ketuhanan Ibn Arabi dalam Tarjuman tidak mungkin dipahami tanpa membaca syarh-nya. Bagi Kang Husein (panggilan akrab kiai Cirebon itu), semua diksi dalam Tarjuman adalah kiasan-kiasan, metafor, simbol, dan rumus-rumus yang menunjukkan makna mistis dan spiritualitas ketuhanan.

Berbeda dengan Kang Husein, Umdah El Baroroh melihat bahwa penulisan Ad-Dzakhair adalah bentuk apologi Ibn Arabi. Mengutip Reynold A. Nicholson (The Tarjuman al Asywaq, A Collection of Mystical Odes), Umdah menegaskan bahwa dalam hal ini Ibn Arabi telah terseret oleh arus kemauan para pengritiknya yang formalis. Sebab jika ditelaah lebih detail, apa yang dijelaskan Ibn Arabi dalm Ad- Dzakhair justru berbeda seratus delapan puluh derajat dari pengakuan awalnya dalam puisi-puisinya. Ungkapan perasaan ”sensual” dan kerinduan dalam puisinya berubah menjadi ajaran sakral tentang percintaan seorang hamba kepada Tuhannya melalui simbol-simbol perempuan.

Tak sekadar mengamini Umdah, Abd Moqsith Ghazali bahkan lebih tegas melihat bahwa Ibn Arabi telah terjebak dalam kerangkeng ulama ortodoks yang dominan saat itu. Menurutnya, ungkapan cinta Ibn Arabi dalam Tarjuman adalah ungkapan manusiawi dan alami dari seseorang yang sedang jatuh cinta. Terlalu berlebihan jika kemudian Ibn Arabi menulis syarh untuk menunjukkan bahwa ia sedang berbicara tentang al-hubbul ilahi (kecintaan pada Tuhan). Lebih jauh Moqsith melihat keterjebakan Ibn Arabi melalui apa yang disebutnya sebagai ”over quranisasi” dalam rangka mencari pembenaran terhadap ajaran sufismenya. Nampak bahwa Ibn Arabi khawatir benar bahwa ia akan divonis sebagai ulama yang tak merujuk pada Alquran.

Perihal perempuan

Kontroversi seputar antologi puisi seperti di atas memang terkait langsung dengan isinya yang didominasi ungkapan cinta Ibn Arabi terhadap perempuan. Barangkali Ibn Arabi adalah orang pertama yang menelurkan gagasan tentang kesempurnaan tajalli atau manifestasi Tuhan pada diri perempuan. Ciri khas ajaran tasawuf Ibn Arabi adalah wahdatul wujud (manunggaling kawula lan gusti). Dalam ajaran tersebut Ibn Arabi meyakini bahwa semua yang ada di dunia ini merupakan cerminan Tuhan atau tajalli Tuhan. Tetapi pantulan Tuhan melalui alam seisinya ini bisa disaksikan dalam diri manusia. Karena manusia adalah mikrokosmos (al-`alam as-shaghir) dari alam raya (al-`alam al-kabir). Sehingga pantulan Tuhan dalam diri manusia dinilai oleh Ibn Arabi lebih sempurna dibanding pantulan atau cerminan Tuhan pada alam raya. Tetapi kesempurnaan tajalli Tuhan pada manusia kembali dirangking oleh Ibn Arabi. Di antara dua jenis manusia, yakni laki-laki dan perempuan, bagi Ibn Arabi, perempuan adalah tempat paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Bagaimana penjelasannya?

Umdah El Baroroh mengutip Henry Corbin (L’Imagination Creatrice dans le Soufisme d’Ibn ’Arabi) untuk menjelaskan soal tajalli, perempuan, dan seksualitas dalam pandangan Ibn Arabi ini dalam makalahnya. Tajalli Tuhan pada manusia sesungguhnya tidak muncul dalam penyaksian yang kasat mata. Menurut Corbin, tajalli hanya bisa dilakukan dengan cara mengaktifkan imajinasi kreatif sang pencinta. Sebab, imajinasi mentransmutasikan dunia inderawi dengan cara mengangkatnya kepada modalitasnya sendiri yang halus dan tak kenal rusak. Pergerakan ganda semacam ini memungkinkan adanya respon dua arah, yaitu turunnya yang ilahi dan naiknya yang inderawi (munazalah). Turunnya yang ilahi dan naiknya yang inderawi menuju satu perjumpaan dalam satu esensi ini memungkinkan adanya simpati antara dua entitas yang manunggal itu.

Perjumpaan ini dilukiskan oleh Ibn Arabi sebagai perjumpaan antara al-musytaq (merindu) dan al-musytaq ilaihi (wujud asal yang dirindukan). Pertemuan ini bukan saja harapan dari al-musytaq (manusia yang mencinta), tetapi juga harapan dari al-musytaq ilaihi (Tuhan). Karena Tuhan juga mempunyai hasrat kerinduan (al-syauq) kepada makhluk-Nya demi memanifestasikan diri-Nya pada wujud-wujud agar Dia dapat dikenali. Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u`rafa fakhalaqtu al-khalqa fa bi `arafuni. Hadis ini menyiratkan adanya saling ketergantungan antara Tuhan dengan abd (hamba). Karena hanya dengan hambalah Ia disebut sebagai Tuhan. Dua-duanya seakan terlibat dalam ikatan yang saling bersinergi, yang satu memberi wujud, sementara yang lain mengungkapkannya. Keduanya menempatkan dirinya dalam ‘kepasifan’; yang satu menjadi tindakan wujud bagi yang lain.

Dalam kondisi ini, muncullah apa yang disebut Corbin sebagai unio sympathetica, yaitu pertemuan wujud yang inderawi dengan wujud yang ruhani dalam kesatuan yang saling mengagumi. Di sinilah tajalli Tuhan menemukan wujudnya. Tetapi lagi-lagi hal itu tak dapat dicapai kecuali melalui pengaktifan imajinasi kreatif. Tanpa itu, ia adalah angan-angan belaka, atau bahkan gejala gangguan jiwa.

Di mana perempuan mendapatkan posisinya dalam tajalli Tuhan? Dalam bacaan Umdah, Corbin berhasil memberikan penjelasan yang lebih clear tehadap ide Ibn Arabi tentang persoalan ini dibanding Sachiko Murata dalam The Tao of Islam. Perempuan dalam pandangan Ibn Arabi adalah simbol dari jiwa yang reseptive (munfa’il) dan yang creative (fa’il). Sementara laki-laki adalah jiwa yang creative atau aktif (fa’il) saja. Karenanya, Ibn Arabi tidak menempatkan yang feminin dan yang maskulin itu secara berhadap-hadapan. Sebaliknya, yang feminin baginya adalah jiwa yang meliputi dua unsur sekaligus.

Untuk menguatkan argumennya, Ibn Arabi menyandarkan logikanya pada proses penciptaan Adam. Adam sebagai yang maskulin sesungguhnya menurut Ibn Arabi diwujudkan dari esensi wujud yang feminin. Karena, zat atau asal usul segala sesuatu dalam bahasa Arab disimbolkan dengan sesuatu yang feminin, termasuk zat Tuhan. Setelah terciptanya Adam, Tuhan menciptakan Hawa yang feminin. Hirarki ini dimaknai Ibn Arabi sebagai kebenaran kualitas feminin yang kreatif melalui simbol Tuhan sebagai pencipta Adam dan sebagai yang reseptif melalui simbol Hawa. Sementara Adam yang maskulin kedudukannya adalah berada di tengah-tengah antara dua feminin yang kreatif dan pasif.

Dua kualitas yang saling melengkapi (aktif dan reseptif) yang menyatu dalam perempuan (feminin) inilah yang memungkinkan jiwa ini menjadi tempat yang paling sempurna sebagai tajalli Tuhan. Inilah yang disebut sebagai esensi dari imajinasi kreatif. Dan jiwa kreatif ini juga berpotensi melahirkan cinta dalam diri manusia dan nostalgia yang mampu membangkitkan imajinasinya ke seberang wujudnya yang inderawi. Sementara dari rasa cinta dan nostalgia inilah muncul rasa simpati antara yang inderawi dan yang ruhani menuju pengetahuan ilahi atau tajalli Tuhan par excellence. Bahkan, Ibn Arabi sampai pada kesimpulan bahwa tajalli Tuhan yang paling sempurna akan terwujud melalui hubungan seksual.

Berbeda dengan Umdah, Moqsith justru melihat konsepsi fa’il dan munfa’il ala Ibn Arabi ini menjebaknya untuk bersikap diskriminatif terhadap laki-laki. Menurutnya, keterpesonaan dan kekagumannya pada perempuan menyebabkan Ibn Arabi kehilangan keseimbangan, dengan cara merendahkan dirinya dan kaumnya.

Betapapun, dalam hal ini Ibn Arabi patut diapresiasi karena ia telah membuka jalan bagi para pemikir setelahnya untuk memberi ruang dan penghargaan lebih besar terhadap kalangan perempuan. Ia telah mengajari agama cinta kepada kita, seperti salah satu bait puisinya yang dikutip Kang Husein: “tidak ada di manapun agama, setinggi agama yang dibangun di atas cinta dan kerinduan.”

Tulisan ini adalah liputan untuk Jaringan Islam Liberal. Versi editing dimuat di Jawapos, 20 Oktober 2006

sumber : http://anick.wordpress.com/2006/10/26/menjumpai-tuhan-lewat-perempuan/

Tanggapan  “Menjumpai Tuhan Lewat Perempuan” (Tadarus
Ramadhan JIL III)
Oleh Abdullah

Henry Corbin dengan karangannya yang berjudul
“L’Imagination Creatrice dans le Soufisme d’Ibn
’Arabi” adalah merupakan salah satu pelopor
orang-orang barat untuk mengkaji karya-karya Ibnu
Arabi. Disamping itu muncul tokoh-tokoh lain yang
mengikutinya. Dalam buku tersebut Henry Corbin
menggunakan kata imajiniasi kreatif untuk
menggambarkan konsep-konsep pemikiran dari Ibnu Arabi.
Padahal Ibnu Arabi sendiri sering menceritakan bahwa
dalam proses penulisan karya-karyanya sering kali
hikmah dan himmah, dua kata itu biasanya dihubungkan
dengan suatu ilham yang diberikan oleh Allah kepada
manusia dalam hal ini Ibnu Arabi. Henry Corbin tidak
mengenal kata “ilham” karena dibesarkan dari dunia
barat yang sudah materialistis.

Penggambaran dari hikmah dan himmah yang didapatkan
oleh Ibnu Arabi maka akan diolah sesuai dengan
kapasitas “mesin pengolah” yang dimiliki oleh Ibnu
Arabi. Salah satu modalitas “mesin pengolah” Ibnu
Arabi adalah sastra arab. Kita tahu bahwa sastra Arab
pada saat itu banyak didominasi oleh kalangan kaum
laki-laki dan yang sebagai obyeknya adalah kaum
perempuan. Saya kira sekarangpun masih demikian.
Ditambah lagi bahwa Ibnu Arabi memiliki dua guru sufi
wanita yang salah satunya pernah berkata:” akulah ibu
spiritualmu”. Lengkaplah sudah gambaran sosok ibu atau
perempuan begitu terpatri dalam diri Ibnu Arabi.

Setelah menjalani kehidupan sebagai seorang sufi
dengan melaksanakan proses peribadatan yang ketat.
Maka Allah membukakan (memberikan ilham/intusi/hikmah)
kepada Ibnu Arabi tentang Nama-Nama Allah terutama
Ar-Rahman dan Ar-Rahim maka terbayanglah seorang ibu
di dalam diri Ibnu Arabi.

Jadi adalah wajar bila kemudian dalam beberapa
kitabnya Ibnu Arabi menggambarkan tajalli Ar-Rahman
Allah dalam sosok perempuan. Tetapi adalah sangat
tidak logik dan masuk akal kalau kita dapat menjumpai
Tuhan lewat perempuan tanpa memiliki modalitas cara
pandang seperti Ibnu Arabi.

Dalam salah satu kitabnya (Al-Makkiyah) Ibnu Arabi
pernah berkata : “ Apa yang kudapatkan ini adalah
seperti apa yang didapat oleh Abu Hamid (Al-Ghazali)”.
Kalau demikian maka berarti berasal dari sumber yang
sama (dalam hal ini Allah) tetapi karena memiliki
modalitas yang berbeda maka akan tersampaikan secara
berbeda juga.

Demikian juga dengan kitab Tarjumanul Asywaq, sebuah
diwan, antologi puisi. Maka tulisan-tulisan seperti
ini adalah wajar ”Seluruh pengetahuan ketuhanan berada
di balik Nizam,” sebait puisi cinta Ibn Arabi bukan
kepada seorang perempuan kekasihnya tetapi untuk
menggambarkan keindahan Tuhan karena tajalli
Ar-Rahman.

Karena itu saya setuju dengan pendapat KH Husein
Muhammad yang menganggap refleksi dan kontemplasi
spiritualitas ketuhanan Ibn Arabi dalam Tarjuman tidak
mungkin dipahami tanpa membaca syarh-nya. Bagi Kang
Husein (panggilan akrab kiai Cirebon itu), semua diksi
dalam Tarjuman adalah kiasan-kiasan, metafor, simbol,
dan rumus-rumus yang menunjukkan makna mistis dan
spiritualitas ketuhanan.

Tetapi sangat tidak setuju dengan pendapat Umdah El
Baroroh yang menggunakan tulisan Reynold A. Nicholson
(The Tarjuman al Asywaq, A Collection of Mystical
Odes), sebagai acuan. Karena kerangka berpikir
Reynold A. Nicholson dengan modalitas yang berbeda
pula sehingga menimbulkan salah presepsi.

Demikian juga tidak setuju dengan pendapat Abd Moqsith
Ghazali yang tidak faham dan tidak dapat merasakan apa
yang dialami oleh ibnu Arabi. Karena orang setingkat
Ibnu Arabi pastilah kacamata yang digunakan adalah
kacamata cinta kepada Tuhan. Dan bila Moqsith
mengatakan bahwa telah melihat keterjebakan Ibn Arabi
melalui apa yang disebutnya sebagai ”over quranisasi”
dalam rangka mencari pembenaran terhadap ajaran
sufismenya. Maka hal ini menunjukkan bahwa Umdah El
Baroroh dan Abd Moqsith Ghazali hanya melakukan kajian
buku saja dalam mendalam Ibnu Arabi lebih-lebih buku
yang digunakan merupakan karangan orang-orang yang
tidak pernah merasakan “madu/sufi” sama sekali.
Sehingga menimbulkan salah presepsi.

Seperti ungkapan Ibnu Arabi sendiri ketika ditanya
oleh seseorang. “Bagaimana rasanya jadi seorang
sufi?”. Kata Ibnu Arabi : “ Seperti engkau merasakan
enaknya madu, tidak akan dapat merasakan nikmatnya
madu kalau madu itu tidak engkau makan”. Dengan
demikian maka tidak dapat merasakan apa-apa yang
dirasakan oleh Ibnu Arabi tanpa sedikitpun
melaksanakan proses “perjalanan/peribadatan/tingkah
laku ” para sufi.

Hanya orang-orang yang berjalan di jalan Allahlah yang
akan mendapatkan hikmah

Amiin

sumber : http://www.mail-archive.com/kmnu2000@yahoogroups.com/msg07069.html


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini