"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Sabtu, 29 September 2007

CERMIN 'MABUK'

Para sufi seringkali menggunakan metafora pengalaman batin mereka dengan sejumlah syair yang teramat inah, mengingat, syathahat atau kata-kata jadzabiyahnya sulit diuraikan dengan bahasa formal. Di bawah ini sejumalh contol yang digunakan oleh Abul Qasim al-Qusyairi dalam menjelaskan sejumlah terminologi tasawuf melalui beberapa syair:

Waktu
Setiap hari ia lewat merengkuh tanganku
memberikan sesal dalam hatiku
kemudian, berlalu.

Seperti penghuni neraka
Jika kulit-kulitnya terpanggang
kembali pula kulit-kulit itu
untuk sbuah derita panjang

Bukanlah orang mati itu
istirahat seperti mayat
Kematian adalah
mati kehidupannya.
(Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq)

Haal
Kalau tidak menempati, pasti bukan Haal
Setiap yang menempati
Pasti hilang
Lihatlah bayangan sampai ujungnya
Berkurang ketika ia memanjang.
(Ungkapan salah seorang sufi)

Haibah Dan Uns
Aku datangi
Aku tak mengerti
Dari mana
Siapa
Aku
Melainkan yang dikatakan orang-orang
pada diriku, pada jenisku
Aku datangi jin dan manusia
Lalu tak kutemui siapa pun
Lantas kuatangi diriku.

Tiba-tiba bisikan halus dalam kalbuku:
Amboi, siapakah yang tahu sebab-sebab yang lebih luhur
wujudnya
toh ia bersukaria dengan kehinaan yang sesat
dan dengan manusia
Kalau engkau dari kalangan sirna yang hakiki
Pastikan engkau ghaib dari semesta, arasy dan kursy
Padahal dirimu jauh dari Haal bersama Allah
Jauh dari berdzikir
Lebih pada Jin dan Manusia.
(Abu Said al-Kharraz)

Wujd (Ekstase)
Gelas yang dibasahi air
karena cemerlang beningnya
Lalu mutiara yang tumbuh dari bumi emas
Sementara kaum Sufi menycikan karena kagum
pada cahaya air dalam api dari anggur yang ranum
yang diwarisi ‘Aad dari negeri Iram
sebagai simpanan Kisra
Sejak nenek moyangnya.
(Abu Bakr asy-Syibly)

Jam Dan Farq
Engkau wujudkan Nyata-Mu
dalam rahasiaku
Lisanku munajat kepada-Mu
Lalu kita berkumpul bagi makna-makna
Berpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintas mataku
Toh Engkau buat serasi dari dalam yang mendekat padaku.
(Junaid al-Baghdady)

Fana' Dan Baqa'
Ada kaum yang tersesat di padang gersang
Ada pula yang tersesat di padang cintanya
Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total
Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya.
(Syair yang sering dikutip para sufi).

Sadar Dan Mabuk
Kesadaranmu dari KataKu
adalah sinambung
Dan mabukmu dari bagianKu
menyilakan teguk minuman
Tak bosan-bosan peminumnya
Tak bosan-bosan peneguknya
Menyerah pada sudut piala
yang memabukkan jiwanya.

Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala
Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala
Ada dua kemabukan bagiku
dan hanya dua penyesal hanya satu
Yang diperuntuukan bagi mereka
hanya untukku.
Dua mabuk kepayang
Mabuk cinta
Mabuk abadi

Ketika siuman
Segalanya bugar kembali.

am syair lain tentang Mabuk Ilahi ini para Sufi sering mengutip syair, sbb:

Pabila pagi cerah dengan kejora citanya
itulah keserasian
Antara kemabukan dan kesukacitaan.

bawah ini masih seputar Rasa Mabuk Ilahi:

Dzauq Dan Syurb

Gelas minuman adalah susuan kita
Kalau tak kita rasa
Tak hidup kita

Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah”
Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa?
Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas
Tuntas habis, tak puas pula
dahaga.

sumber :http://www.sufinews.com/index.php?subaction=showfull&id=1078720553&archive=&start_from=&ucat=16&do=sastra

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN DIRI

WIRID HIDAYAT JATI



Di bawah ini, saya coba untuk menerjemahkan dan membahas Wirid Hidayat Jati (aslinya berbahasa Jawa) yang terkenal sebagai tulisan dari pujangga kraton Surakarta, yaitu R.Ng. Ronggowarsito, sbb :

Dalam hal ini bukan berarti saya penganut ajaran tersebut, hanya sebatas telaah ilmu saja.

Wejangan ke-1 Ananing Dat

Sajatine ora ana apa-apa awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin Ingsun, sajatine kang maha suci anglimputi ing sipatIngsun, anartani ing asmanIngsun, amratandhani ing apngalIngsun.

Nasehat ke-1 Adanya Dzat.

(Sesungguhnya tidak ada apa pun ketika masih sunyi hampa belum ada sesuatu, yang paling awal adanya adalah AKU, sesungguhnya yang Maha Suci meliputi sifatKU, menyertai namaKU, menandakan perbuatanKU).

Nasehat di atas menunjukkan kepada kita bahwa pada mulanya alam semesta ini tidak ada, semuanya masih sunyi hampa (awang-uwung), yang paling dahulu ada adalah AKU (Allah). Jadi tidak ada sesuatu pun yang mendahului adanya AKU (Allah), dalam ajaran agama Islam biasa disebut bahwa Allah bersifat Qidam (Dahulu tidak ada yang mendahului), dan AKU (Allah) adalah sumber dari segala sesuatu.

Wejangan ke-2 Wahananing Dat

sajatine Ingsun dat kang amurba amisesa kang kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi sanalika, sampurna saka kodrat Ingsun, ing kono wus kanyatan pratandhaning apngalIngsun kang minangka bebukaning iradatIngsun, kang dhingin Ingsun anitahake kayu aran sajaratulyakin tumuwuh ing sajroning alam ngadammakdum ajali abadi. Nuli cahya aran nur muhammad, nuli kaca aran mirhatulkayai, nuli nyawa aran roh ilapi, nuli damar aran kandil, nuli sesotya aran darah, nuli dhindhing jalal aran kijab. Iku kang minangka warananing kalaratIngsun.

Nasehat ke-2 Tempat Dzat.

Sesungguhnya AKU (Allah) adalah dzat yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu, jadi seketika, sempurna berasal dari kuasaKU (Allah), di situ telah nyata tanda perbuatanKU yang sebagai pembuka kehendakKU, yang pertama AKU menciptakan Kayu bernama Sajaratulyakin tumbuh di dalam alam yang sejak jaman azali (dahulu) dan kekal adanya. Kemudian Cahya bernama Nur Muhammad, berikutnya Kaca bernama Mir’atulhayai, selanjutnya Nyawa bernama Roh Idhofi, lalu Lentera (damar) bernama ‘Kandil’, lalu Permata (sesotya) bernama Darah, lalu dinding pembatas bernama Hijab. Itu sebagai tempat kekuasaanKU (Allah).

Nasehat di atas menunjukkan pada kita bahwa AKU (Allah) merupakan dzat yang maha kuasa yang kuasa menciptakan segala sesuatu hanya dengan satu sabda saja yaitu KUN, maka seketika jadi (FA YAKUN), semua ciptaannya sempurna sebagai pertanda perbuatan (af’al)KU (Allah).

Pertama diciptakan adalah Pohon (kayu) bernama SajaratulYakin, mungkin yang dimaksudkan adalah sajaratulkaun (pohon kejadian) yang merupakan awal dan asal mula penciptaan.

Kedua diciptakan Cahaya yang diberi nama Nur Muhammad. Menurut beberapa ahli, nur muhammad ini merupakan bibit alam semesta. Nur Muhammad dimaksudkan adalah bukan sebagai cahaya dari muhammad, nabinya orang Islam, melainkan secara bahasa berarti cahaya yang terpuji, sehingga dikatakan semua ciptaan pasti berasal dari nur muhammad ini, mengandung nur muhammad. Hal itu pula yang mengisyaratkan adanya pemahaman bahwa dalam tingkatan tertentu kebenaran hanyalah satu, adanya ajaran-2 yang berbeda setelah mencapai tahap tertentu ternyata sama belaka, karena bersumber dari dari Cahaya yang terpuji, cahaya kebenaran, yaitu Nur Muhammad.

Ketiga Allah menciptakan Kaca bernama Miratulhayai (Cermin Kehidupan atau Cermin Malu), dimana ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa setelah diciptakannya Cermin ini, Nur Muhammad akhirnya dapat melihat wujudnya, yang mengakibatkan dirinya bergetar hebat dan berkeringat, dari tetesan keringat inilah makhluk hidup berasal.

Keempat diciptakan Nyawa yang diberi nama Roh Idhofi.

Kelima diciptakan Lentera yang diberi nama Kandil.

Keenam diciptakan Permata diberi nama Darah

Ketujuh diciptakan dinding pembatas antara kehidupan fisik dan non fisik, antara yang kasar dan halus, yang disebut hijab. Hijab ini sendiri dalam keilmuan banyak jenisnya, (insya allah suatu saat akan saya bahas juga).

Wejangan ke-3 Kahananing Dat

Sajatine manungsa iku rahsanIngsun lan Ingsun iku rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake adam asal saka anasir patang prakara, bumi, geni, angin, banyu. Iku kang dadi kawujudaning sipat Ingsun, ing kono Ingsun panjingi mudah limang prakara, nur, rahsa, roh, napsu, budi. Iya iku minangka warananing wajah Ingsun kang maha suci.

Nasehat ke-3 Keadaan Dzat

Sesungguhnya manusia itu rahsaKU dan AKU itu rahsanya manusia, karena AKU menciptakan Adam berasal dari empat perkara, bumi, api, angin, air. Itu sebagai perwujudan sifatKU, di sana AKU tempatkan lima perkara, nur, rahsa, roh, nafsu, budi. Itulah sebagai perwujudan wajahKU yang maha suci.

Nasehat ke-3 menerangkan bahwa manusia diciptakan sebagai ‘rahsa’ (bukan rasa, sebab antara rasa dan rahsa dalam keilmuan jawa berbeda) dari Allah, dan Allah itu sebagai ‘rahsa’ dari manusia. Yang dimaksud adalah bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambaranNya atau menurut citraNya, seperti pernah saya kemukakan bahwa pada tubuh manusia tertulis huruf ALLAH, yaitu : (terlihat saat mengangkat kedua tangan, seperti dalam takbiratul ihram, membaca allahu akbar)

alif sebagai garis dari ujung jari tangan kanan turun hingga ke ujung jari kaki kanan,

lam pertama dari ujung jari tangan kanan turun melalui bahu kanan dan naik ke puncak kepala,

lam kedua dari puncak kepala turun melalui bahu kiri dan naik hingga ujung jari tangan kiri,

ha sebagai garis dari ujung jari tangan kiri turun hingga ujung jari kaki kiri.

Dan manusia diciptakan berasal dari empat unsur yang merupakan gambaran sifatNya yaitu bumi, api, angin dan air.

Bumi dalam tubuh kita terwujud pada hal-2 yang bersifat kedagingan, dan dibagi menjadi dua hal yaitu yang merupakan unsur dari bapak berupa tulang, otot, kulit dan otak, dan unsur dari ibu berupa daging, darah, sungsum dan jerohan.

Api dalam tubuh menjadikan empat nafsu yaitu aluamah, amarah, supiyah dan mutmainah.

Aluamah berwatak suka terhadap makanan, sifatnya membangkitkan kekuatan badan

Amarah berwatak suka marah, emosi, sifatnya membangkitkan kekuatan kehendak (bhs jawa : karep)

Supiyah berwatak keinginan, keterpesonaan, keinginan memiliki, bersifat membangkitkan kekuatan pikir berupa akal

Mutmainah berwatak kesucian dan ketenangan, bersifat membangkitkan kekuatan untuk berpantang (bhs jawa : tarakbrata)

Angin dalam tubuh kita terwujud dalam empat hal yaitu napas, tannapas, anapas dan nupus.

Napas merupakan ikatan badan fisik, bertempat di hati suwedhi, yaitu jembatan hati, berpintu di lisan

Tannapas merupakan ikatan hati, bertempat di pusar, berpintu di hidung

Anapas merupakan ikatan roh, berpintu di telinga

Nupus merupakan ikatan rahsa, bertempat di hati puat yang putih yaitu jembatan jantung, berpintu di mata.

Air dalam tubuh menjadikan empat elemen roh yaitu roh hewani, roh nabati, roh rabbani dan roh nurrani.

Roh hewani, menumbuhkan kekuatan badan

Roh nabati menumbuhkan rambut, kuku, dan menghidupkan budi

Roh rabbani menumbuhkan rahsa (dzat hamba)

Roh nurrani menumbuhkan cahaya.

Setelah empat unsur alam terbentuk dalam tubuh manusia, kemudian Allah menempatkan pula lima hal yaitu dzat hamba (jawa : mudah) sebagai gambaran wajahNya yaitu nur, rahsa, roh, nafsu dan budi.

Nur, merupakan terangnya cahya, jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat menerangi lahir batin

Rahsa, rasa jika mewakili Dzat Yang Maha Suci dapat menumbuhkan daya ketenteraman di lahir batin

Roh, penglihatan roh jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menjadikan penguasaan sempurna

Nafsu, kekuatan nafsu jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan kekuatan kehendak yang sentosa

Budi, penciptaan budi jika mewakili Dzat Yang Maha Suci menumbuhkan daya cipta yang sentosa.

Oleh karena itulah beberapa orang mengatakan bahwa manusia mempunyai sifat-2 Tuhan dan juga mempunyai kesucian wajah Tuhan.

Wejangan ke-4 Pambukaning tata malige ing dalem betalmakmur

sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmakmur, iku omah enggoning parameyanIngsun, jumeneng ana sirahing Adam. Kang ana sajroning sirah iku dimak, yaiku utek, kang ana antaraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsn, dat kang nglimputi ing kaanan jati.

Nasehat ke-4 Pembukaan tahta dalam baitulmakmur

Sesungguhnya AKU bertahta dalam baitulmakmur, itu rumah tempat pestaKU, berdiri di dalam kepala Adam. Yang pertama dalam kepala itu ‘dimak’ yaitu otak, yang ada di antara otak itu ‘manik’ di dalam ‘manik’ itu budi, di dalam budi itu nafsu, di dalam nafsu itu suksma, di dalam suksma itu rahsa, di dalam rahsa itu AKU, tidak ada Tuhan selain hanya AKU, dzat yang meliputi keberadaan yang sesungguhnya.

Nasehat ini menyatakan bahwa Allah bertahta atau bersinggasana di dalam baitul makmur, yang berada di dalam kepala manusia. Barangkali kalau memakai bahasa orang-2 reiki yang dimaksud dengan baitul makmur adalah cakra mahkota yang ada di puncak kepala. Di dalam kepala manusia terdapat otak. Di antara otak itu sendiri terdapat lapisan-2 sebagai berikut :

Yang pertama ‘manik’

Di dalam manik terdapat budi

Dalam budi terdapat nafsu

Dalam nafsu terdapat suksma

Dalam suksma terdapat rahsa

Dalam rahsa terdapat AKU (Allah)

Dan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain hanya AKU (Allah), dzat yang meliputi segalanya.

Wejangan ke-5 Pambuka tata malige ing dalem betalmukarram

sajatine Ingsun anata malige sajroning betalmukarram, iku omah enggoning lalaranganIngsun, jumeneng ana ing dhadhaningg adam. Kang ana sajroning dhadha iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem , yaiku angen-angen, sajroning angen-angen iku suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran anging Ingsun dat kang anglimputi ing kaanan jati

Nasehat ke-5 Pembuka tahta dalam baitul mukarram

Sesungguhnya AKU bertahta dalam baitulmukarram, itu rumah tempat laranganKU, berdiri di dalam dada adam. Yang ada di dalam dada itu hati, yang ada di antara hati itu jantung, dalam jantung itu budi, dalam budi itu jinem, yaitu angan-2, dalam angan-2 itu suksma, dalam suksma itu rahsa, dalam rahsa itu AKU. Tidak ada Tuhan kecuali hanya AKU dzat yang meliputi keberadaan yang sesungguhnya.

Dalam nasehat ini Allah menyatakan bahwa diriNya bertahta di baitul muharram yang menjadi tempat larangan, berada di dalam dada manusia. Mungkin yang dimaksud adalah cakra jantung. Disebutkan bahwa di dalam dada manusia itu terdapat susunan sebagai berikut :

Pertama hati (kalbu)

Di antara hati terdapat jantung,

Di dalam jantung ada budi

Di dalam budi ada angan-2

Di dalam angan-2 ada suksma

Di dalam suksma ada rahsa

Di dalam rahsa ada AKU

Di atas dikatakan bahwa jantung terdapat di antara hati. Yang dimaksud dengan hati ini bukanlah lever atau hati secara fisik, melainkan hati secara maknawi, karena pada diri manusia ada terdapat lebih dari satu hati, yang menurut keilmuan ada yang namanya hati puat, hati suwedhi, dll.

Kembali di wejangan ke-5 ini ditegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain AKU (Allah), dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya (kahanan jati). Mengapa itu perlu ditegaskan, karena untuk menghindari salah pengertian bagi mereka yang telah mendapatkan wejangan ini, jangan sampai karena merasa bahwa AKU (Allah) bertahta di kepala dan di dala manusia, lalu manusia tersebut mengaku dirinya sebagai Tuhan, atau menjadi bagian dari Tuhan. Jika itu yang terjadi, maka manusia tsb telah jauh tersesat.

Wejangan ke-6 Pambuka tata malige ing dalem betalmukadas

sajatine Ingsun anata malige ana sajroning betalmukadas, iku omah enggoning pasucenIngsun, jumeneng ana ing kontholing adam. Kang ana sajroning konthol iku prinsilan, kang ana ing antaraning pringsilan ikku nutpah, yaiku mani, sajroning mani iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahsa, sajroning rahsa iku Ingsun. Ora ana pangeran anging Ingsun dat kang anglimputi ing kaanan jati, jumeneng sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono wahananing alam akadiyat, wahdat, wakidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, dadining manungsa sampurna yaiku sajatining sipatIngsun.

Nasehat ke-6 Pembuka tahta dalam baitulmuqaddas

Sesungguhnya AKU bertahta di dalam baitul muqaddas, itu rumah tempat kesucianKU, berdiri di penis/alat kelamin (konthol) adam. Yang ada di dalam penis itu buah pelir (pringsilan), di antara pelir itu nutfah yaitu mani, di dalam mani itu madi, di dalam madi itu wadi, di dalam wadi itu manikem, di dalam manikem itu rahsa, di dalam rahsa itu AKU. Tidak ada Tuhan kecuali AKU dzat yang meliputi keberadaan sesungguhnya, berdiri di dalam nukat gaib, turun menjadi johar awal, di situ keberadaan alam ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil, jadinya manusia sempurna yaitu sejatinya sifatKU.

Nasehat ini menyatakan bahwa ALLAH bertahta di baitul muqaddas atau baitul maqdis yang merupakan tempat suciNYA yang berada di alat kelamin manusia yang tersusun atas hal-2 sebagai berikut :

Pertama pelir, yang berisi nutfah atau mani

Madi yang merupakan sari dari mani

Wadi sebagai sari dari madi

Manikem sebagai sari dari wadi

Di dalam manikem ada rahsa

Di dalam rahsa ada AKU.

Di sini disebutkan pula bahwa manusia sempurna adalah sebagai perwujudan sifatNYA dan terbentuk melalui tujuh tahapan alam yang dilaluinya, biasa dikenal dengan istilah martabat pitu atau martabat tujuh yaitu

Pertama alam ahadiyah

Kedua wahdat

Ketiga wahidiyah

Keempat arwah

Kelima misal

Keenam ajsam

Ketujuh insan kamil (manusia sempurna).



Wejangan ke-7 Panetep santosaning iman

Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusan Ingsun

Nasehat ke-7 Penetapan iman sentosa

AKU menyaksikan bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali hanya AKU dan AKU menyaksikan sesungguhnya muhammad itu adalah utusanKU.

Dalam nasehat ini Allah menyatakan kesaksianNya yang ditujukan kepada makhluk ciptaanNya, bahwa tidak ada tuhan lain kecuali hanya Dia semata, dan muhammad adalah benar-benar rasul atau utusanNya.



Wejangan ke-8 Sasahidan

Ingsun anekseni ing DatIngsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun, lan anekseni Ingsun satuhune muhammad iku utusanIngsun. Iya sejatine kan aran Allah iku badanIngsun, rasul iku rahsaNingsun, muhammad iku cahayaNingsun. Iya Ingsun kang urip tan kena ing pati, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya Ingsun kang langgeng ora kena owah gingsir ing kaanan jati, iya Ingsun kang waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji. Iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana ora kekurangan ing pakerthi, byar sampurna padhang terawangan, ora karasa apa-apa, ora ana katon apa-apa, amung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodratIngsun

Nasehat ke-8 Sahadat / kesaksian

AKU menyaksikan pada DzatKU sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali AKU, dan menyaksikan AKU sesungguhnya muhammad itu utusanKU. Sesungguhnya yang bernama Allah itu badanKU, rasul itu rahsaKU, muhammad itu cahayaKU. AKUlah yang hidup tidak bisa mati, AKUlah yang ingat tidak bisa lupa, AKUlah yang kekal tidak bisa berubah dalam keberadaan yang sesungguhnya, AKUlah waskita, tidak ada tersamar pada sesuatu pun. AKUlah yang berkuasa berkehendak, yang kuasa bijaksana tidak kurang dalam tindakan, terang sempurna jelas terlihat, tidak terasa apa pun, tidak kelihatan apa pun, kecuali hanya AKU yang meliputi alam semua dengan kuasa (kodrat)KU.

Nasehat ini merupakan penutup yang berupa sahadat atau penyaksian. Nasehat pertama sampai dengan kedelapan merupakan satu rangkaian yang tidak boleh diputus, sebab jika terputus maka pemahamannya akan berkurang.


sumber: http://www.sinhu.web.id/wacana1.htm



Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Kamis, 27 September 2007

CERMIN DATU SANGGUL

SARABA AMPAT

[1]
Alloh jadikan saraba ampat
Syariat thoriqot hakikat makrifat
Manjadi satu di dalam kholwat
Rasa nyamannya tiada tersurat

Parafrase:

`Alloh menjadikan serba empat`, diterangkan oleh Syech Abdul Jalil dibaris berikutnya, serba empat yang pertama adalah `syariat, thoriqot, hakikat, makrifat`.
Urut-urutan ini seolah olah sesuatu yang baku untuk beberapa dekade. Tidak jelas dalil atau dasarnya (Qur-an-Hadits-nya), tapi banyak yang memakai urut-urutan tingkatan atau tahap yang harus ditempuh seperti itu, yaitu syariat dulu (syariat di sini bisa dipahami sebagai ajaran agama yang mengatur wujud lahir manusia), baru thoriqoh ( thoriqoh sendiri artinya `jalan`, bisa dipahami sebagai masa transisi atau proses dari syariat menuju hakekat.), baru setelah itu hakekat (hakekat bisa diartikan esensi atau jiwa atau hal-hal yang menyangkut isi dari agama), baru kemudian makrifat (ma`rifat di sini bisa dipahami ma`rifatulloh, yaitu mengenal Alloh dengan sebenar-benarnya kenal).
Sebagai bahan rujukan disalah satu hadits disebutkan, "awalauddin ma`rifatulloh" , "awal di dalam beragama adalah ma`rifatulloh". (Tetapi kenapa ma`rifatulloh itu ditempatkan pada tahap yang terakhir??)

`Menjadi satu di dalam kholwat`, `kholwat` adalah salah satu `riyadhoh`, atau salah satu latihan bagi shalik, dimana saat ber-kholwat itu seluruh perhatian, jiwa, raga, rasa, semata-mata ditujukan pada Alloh, hal ini berarti, menurut Syech Abdul Jalil, syariat, thoriqot, hakekat, dan ma`rifat, ke-empat-empatnya itu `dilakukan` saat ber-kholwat.
Keterangan tambahan, kholwat ini biasanya dipahami oleh sebagian orang yaitu `riyadhoh` yang dilakukan Nabi Muhammad saat beliau berada di gua Hiro`.
Karena secara jelas, jarang sekali ada yang membahas tentang apa yang dilakukan Nabi di gua Hiro`, dan secara syariat atau hukum-hukumnya bagaimana??.
Padahal hal itulah yang intensif dilakukan Nabi Muhammad sebelum
pengangkatan kenabian. Kadang 7 hari, kadang 10 hari, kadang 21 hari kadang 40 hari bahkan diceritakan pernah hampir 2 tahun Nabi Muhammad berada di Gua Hiro`.

`Rasa nyamannya tiada tersurat`, Rasa saat ber-kholwat, -dalam
ber-syariat, thoriqot, hakekat, ma`rifat-, digambarkan oleh Syech Abdul Jalil, sebagai rasa yang tidak bisa dilukiskan (diistilahkan `tiada tersurat`), hanya para pelaku-pelaku kholwat saja yang merasakannya.

[2]
Huruf Allah ampat banyaknya
Alif i`tibar dari pada DzatNya
Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya
Ha isyarat dari af`alNya

Inilah penjelasan yang kedua tentang serba empat. Yaitu diambil dari huruf Alloh, Alif, Lam, Lam, Ha, yang jumlahnya adalah empat.
`Alif i`tibar dari pada DzatNya`, `Lam awal dan akhir sifat dan AsmaNya`, Ha isyarat dari af`alNya`.
Saya buka di naskah lain, yaitu naskah dari Syeh Muhyiddin tentang
`Martabat tujuh`, tampak ada hubungan erat antara pengertian `martabat tujuh` dengan yang dijelaskan oleh Syech Abdul Jalil ini. Yaitu yang diterangkan oleh Syech Abdul melalui sarana huruf-huruf dalam kata `Alloh` ini, menerangkan 4 martabat yang juga diterangkan dalam `martabat tujuh`.
Dan ini membuat muncul kesimpulan awal bahwa Syech Abdul Jalil juga memperoleh pelajaran tentang `martabat tujuh` ini. Untuk pemahaman Istilah- istilah ini lebih baik anda cari bukunya sendiri tentang `martabat tujuh`, karya Syeh Abdul Muhyi, Pamijahan.

[3]
Jibril, Mikail Malaikat mulia
Isyarat sifat Jalal dan Jamal
Izrail, Israfil rupa pasanganya
I`tibar sifat Qohar dan Kamal

Serba empat yang ketiga dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil, dengan
menjelaskan Malaikat-malaikat tertentu yaitu Jibril, Mikail, Izrail dan
Israfil. Dimana di jelaskan oleh Syech Abdul Jalil di sini, malaikat
Jibril dan Mikail sebagai malaikat mulia -`Jibril, Mikail Malaikat
mulia`-, Isyarat dari sifat Jalal dan Jamal Nya Alloh. (artinya Jalal dan
Jamal -lihat di buku-buku tentang Asma`ul husna). Sementara itu
pasangannya adalah malaikat Izrail dan Israfi sebagai i`tibar sifat Alloh yang Maha Qohar dan Maha Kamal.(artinya Qohar dan Kamal baca pula dibuku tentang asma`ul Husna.

[4]
Jabar Ail asal katanya
Bahasa Suryani asal mulanya
Kebesaran Alloh itu artinya
Jalalulloh bahasa Arabnya

Syech Abdul Jalil di sini menerangkan serba empat yang ke-empat tetapi dengan bahasa tersirat, karena di sini, dibahas tentang asal muasal Jalalulloh dari bahasa wahyu menjadi bahasa lahir yaitu bahasa Arab.
Apakah Qur`an itu diturunkan Alloh dalam bahasa Arab??. Maha Suci Alloh, hanya Alloh yang tahu bahasa wahyu itu.
`Jabar Ail` ini sebagai dimaksudkan atau diistilahkan komunikasi awal antara Alloh dengan Jibril (memakai bahasa `wallohu`alam`). Mengacu dari nama `Jibril` menjadi `Jabar-Ail`, tahap yang kedua diterangkan oleh Syech Abdul Jalil, `Bahasa Suryani asal mulanya`, Bahasa suryani di sini sering dipahami sebagai bahasa malaikat, mirip-mirip bahasa arab,tapi tidak bisa di artikan meskipun ada maknanya.
Contoh lain bahasa Suryani," bi ajin ahujin jalajalyu tu jaljalat`, saya
`intip` dari kitab rahasia yang biasanya dibaca dengan ritme tertentu
dalam suatu kelompok mistis tasawuf.
Tahap ketiga yaitu `Kebesaran Alloh itu artinya`, dalam tahap ini, berarti bahasa `wahyu` tadi sudah bisa diterima oleh manusia, dan baru diberi simbol atau bentuk, karena lewatnya Muhammad si Orang Arab, maka menjadilah `Jalalulloh bahasa Arabnya`

[5]
Nur Muhammad barmula nyata
Asal jadi alam semesta
Saumpama api dengan panasnya
Itulah Muhammad dengan Tuhannya

Di sini, tampak lebih jelas bahwa Syech Abdul Jalil atau Datuk
Sanggul ini, lagi-lagi menjelaskan pelajaran tentang `martabat tujuh`, hal ini dikatakan dalam syair,` Nur Muhammad barmula Nyata`. Dalam kitab `martabat tujuh` baik yang dikarang oleh Syeh Abdul Muhyi maupun karya Haji Hasan Mustapa, yang ujung-ujungnya akan kita temui dalam pendapat Ibnu Arobi, Nur Muhammad diyakini sebagai asal muasal penciptaan alam semesta.
Dijelaskan oleh Syeh Abdul Jalil di baris ke dua,` Asal jadi alam
semesta`. Di pembahasan tentang `martabat tujuh` di kitab yang saya sebutkan di atas, `Nur Muhammad` ini berada pada martabat `wahdah`, atau martabat yang ke dua, tempatnya sifat Alloh. Lihat perkataan Syeh Abdul jalil sendiri pada bagian [2] Alif i`tibar dari pada DzatNya, Lam awal adalah sifatNya.
Dengan jelas dikatakan di baris berikutnya,`Saumpama api dengan panasnya`,
`Itulah Muhammad dengan Tuhannya`. Api adalah perlambang DzatNya, sedang panas perlambang dari sifat api atau sifat dari DzatNya tadi. Ini juga di sebutkan dalam `martabat tujuh`, yaitu martabat `ahadiyah` dan `wahdah`.
Ada kesamaan pemahaman.

[6]
Api dan banyu tanah dan hawa
Itulah dia alam dunia
Manjadi awak barupa-rupa
Tulang sungsum daging dan darah

Serba empat yang berikutnya di sini diterangkan oleh Syeh Abdul Jalil yaitu api, air , tanah dan udara (hawa), inilah yang menjadi unsur-unsur terbentuknya jasmani manusia.`Itulah dia alam dunia` kata Syeh Abdul Jalil,`Menjadi badan yang bermacam-macam`,(`manjadi awak barupa-rupa`).` tulang sungsum daging dan darah`. Kembali lagi penurunan air menjadi tulang, api menjadi darah, tanah menjadi daging dan hawa (udara) menjadi sungsum, kita temui juga dalam bahasan `martabat tujuh`.

[7]
Manusia lahir ke alam insan
Di alam ajsam ampat bakawan
si Tubaniyahdan Tambuniyah
Uriyah lawan si Camariyah

`Manusia lahir ke alam insan`, di alam ajsam empat unsur itu berkawan (ampat bakawan) atau menjadi satu dengan si Tubaniyah Tambuniyah, Uriyah dengan si Camariyah. Kembali lagi dapat kita temui pemahaman yang sama untuk masalah alam ajsam ini di kitab tentang `martabat tujuh`. Bersatunya unsur-unsur jasmaniah yang kasar, dengan empat unsur dari jasad halus (jisim latif). Tubaniyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur air, Tambuniyah mewakili (istilah) jisim latif unsur tanah, Uriyah, mewakili (istilah) jisim latif dari unsur api, Camariyah mewakili (istilah) jisim latif dari unsur udara atau hawa.
Pemahaman empat jisim latif ini juga ada di budaya jawa (Kejawen), yaitu yang di sebut `papat dulur` atau `empat saudara`. Hanya sebagian besar kadang memahami jisim latif ini merupakan keghoiban yang tinggi atau bahkan yang tertinggi. Padahal dalam hal keghoiban adalah termasuk relatif rendah, karena sebenarnya adanya jisim latif karena adanya jisim yang kasar ini.

[8]
Rasa dan akal, daya dan nafsu
Di dalam raga nyata basatu
Aku meliputi segala liku
Matan hujung rambut ka hujung kuku

Serba empat yang berikutnya yaitu,`Rasa dan akal, daya dan nafsu`,`Di dalam raga (jasmani) nyata bersatu`. Di sini, Syech Abdul jalil /Datuk Sanggul tampaknya ingin mengingatkan kita bahwa dalam jasmani atau dalam raga kita itu ada rasa ada akal, ada daya dan ada nafsu. Datuk Sanggul juga memilah Rasa dan akal. Ini sebagaimana pemahaman bahwa Rasa dan akal sebagai karunia Tuhan, berhubungan erat dengan Qolb (Qolb ini diterangkan
oleh Datuk Sanggul di bait berikutnya [9]). Atau bisa dipahami sebagai Cahaya rasa dan Cahaya akal. Hal ini diterangkan di baris berikutnya,`Aku meliputi segala liku`.
Di dalam AlQur`an S.Nur (35),"Allohunurrussamawati wamaa fil ardli......."
"Cahaya Alloh itu meliputi langit dan bumi........."
Ayat ini yang kadang dianggap sebagai pintu gerbang bagi para pengikut tasawuf, untuk menuju ke tingkat `martabat` yang lebih tinggi. Merupakan satu ayat yang pokok di dalam menjelaskan masalah lapisan-lapisan cahaya dari cahaya hamba sampai cahaya ketuhanan. Cahaya rasa dan akal mewakili cahaya ruh idhofi cahaya malaikat, cahaya daya (daya) mewakili ruh Robani ("tidak ada daya dan kekuatan melainkan daya Alloh", "La haula wala quwata
ila billah"), sedangkan nafsu (cahaya nafsu), mewakili cahaya jasmani (raga). Sedangkan Cahaya Alloh meliputi segala sesuatunya. Memakai pemahaman `martabat tujuh`, maka Cahaya rasa dan akal berada pada martabat `alam arwah` dan `alam mitsal`, sedangkan cahaya daya (ketuhanan) berada pada martabat alam `ahadiyah`, `wahdah`,wahidiyah`. Sedangkan cahaya nafsu berada pada martabat `alam ajsam` dan `insan kamil`.
Sedangkan Alloh meliputi segala sesuatu,` Matan hujung rambut ka hujung kuku`,`Mulai ujung rambut sampai ujung kuku. Mulai martabat `Ahadiyah` sampai martabat `insan kamil`

[9]
Tubuh dan hati nyawa rahasia
Satu yang dzohir amat nyatanya
Tiga yang batin pasti adanya
Alam soghir itu sabutnya


Serba empat berikutnya dijelaskan oleh Datu Sanggul yaitu `tubuh` dan `hati nyawa rahasia`. Bisa diartikan `hati itu nyawa yang rahasia`. Bisa juga hal ini dikupas dari tiap kata yang mewakili satu pengertian. Yaitu `hati` mewakili satu pengertian, `nyawa` mewakili satu pengertian dan `rahasia` mewakili satu pengertian.
Padanan pemahamannya adalah, `tubuh` ini yang dimaksudkan adalah jasmani, `hati` di sini yang dimaksudkan adalah `hati sanubari` (maqomnya `yakin`), `nyawa` di sini yang dimaksudkan adalah `hati maknawi` (maqomnya `ainul yakin`), dan yang dimaksudkan `rahasia` di sini adalah `hati sirri` (maqomnya `haqul yakin`).
Gambaran keyakinan ini contohnya sebagai berikut:
Kalau manusia melihat ada asap, sebagian sudah yakin, bahwa ada asap pasti ada api (yakin), sebagian meningkatkan keyakinan mereka dengan cara melihat tempat asal asap tersebut. Dan terlihat lah memang ada api-nya (`ainul yakin), sebagian lagi masih meningkatkan keyakinannya, dipeganglah api tadi, dan terasa panasnya, (haqqul yakin).

Saya sementara membatasi pengertian-pengertian di masalah hati ini, karena sangat lekat dengan rahasia mistis yang ada. Dan terlebih lagi bahwa semuanya yang bersifat teoritis tidak ada artinya dipahami bagaimanapun tingginya pemahaman itu, bila tidak dibarengi dengan `perjalanan` sesungguhnya. (maaf)

`satu yang Dzohir amat nyatanya`. Tidak ada maksud lain kecuali menegaskan masalah kenyataan jasmani. `Tiga yang batin pasti adanya`, mengacu pada tiga hal yang sudah disebutkan di atas. `Alam soghir itu sabutnya`,`Alam kecil itu namanya`

Dalam pemahaman tasawuf, manusia ini juga disebut sebagai `alam soghir` atau `alam kecil` karena semua yang ada di alam ini juga ada di manusia. Dalam kitab "Hakekat Makrifat", bahkan disebutkan, setiap unsur yang ada di alam besar atau alam kabir, juga ada di alam kecil, manusia ini. Baik H,Li, Na, K, Rb,Cs,Fr, dst....dst......maupun yang lainnya, semua ada di manusia.

Ada 3 analog besar di sini yaitu Alam Kabir atau jagad raya ini, analog dengan manusia (alam soghir), analog dengan Al Qur`an.
Di alam besar atau jagad ini secara keseluruhan, di analog-kan dengan manusia secara keseluruhan pula dan analog lain adalah adanya Al Qur`an.
Di alam ini ada `bulan` yang menerima cahaya dari matahari, di manusia ada `akal`, dan di Qur`an ada `Do`a-doa` ( "Ad do`au mukhul ibadah", `do`a itu otaknya ibadah`) . Di alam ada `matahari` (jantungnya alam), di analog-kan di manusia ada `hati` atau `qolb` atau `jantung`. Di Al Qur`an ada jantungnya yaitu Surat Yasin (Qolbun Qur`an). Inti dari surat Yasin yaitu,"Salamun qaulan mirrobirrohim". Di sinilah muncul satu perlambang bahwa hatinya orang-orang yang beriman haruslah di arahkan pada hati yang `salamun` atau selamat atau `Qolbun salim`. Yaitu hati yang terkena goncangan bagaimanapun beratnya, yang terkena ujian bagaimanapun beratnya tetap hati yang ingat dan syukur pada Tuhannya. Hati yang terkena kesenangan bagaimanapun, tetap ingat dan syukur pada Tuhannya. Dalam keadaan apa saja, dalam situasi apa saja, dimana saja, kapan saja, selalu ingat dan syukur pada Tuhannya. Inilah hati yang selamat, `Qolbun Salim`. Tidak berkeluh kesah, tidak kecewa, tidak sedih, tidak menggerutu, dll.

[10]
Mani manikam madi dan madzi
Titis manitis jadi manjadi
Si Anak Adam balaksa kati
Hanya yang tahu Allahu Rabbi


`Mani manikam`, umumnya diperuntukkan untuk mewakili perhiasan yang indah, bagus, elok, sedangkan di sini, mani manikam menjelaskan soal `madi dan madzi`. Arti `madi dan madzi secara harfiah, untuk bahasa Banjar tidak saya temukan arti, untuk bahasa arab, saya tidak begitu tahu, juga untuk bahasa melayu, kok rasanya tidak.
Tapi sepertinya di sini Datuk Sanggul menerangkan `indahnya `perhiasan`, `sel sperma` dan `sel telur`, dalam hubungannya dengan proses persatuan keduanya yang menghasilkan anak adam. Dibaris berikutnya diterangkan,`titis manitis jadi menjadi`, seperti ungkapan,` Abrakadabra`, `Si anak adam balaksa kati`, `Si anak adam beribu beratnya (balaksa kati)`. Datuk sanggul memakai istilah berat di sini sepertinya untuk menggantikan istilah `banyak`. Bisa di artikan,` Si Anak adam menjadi banyak sekali`. `Hanya yang tahu Allahu Rabbi`. Nah ini agak sulit memahaminya, apa yang dituju dengan Datuk Sanggul. Apakah yang dituju itu masalah jumlah anak adam itu sampai seberapa banyak, ini yang tahu hanya Alloh?
atau, rahasia persatuan `madi dan madzi` tadi hanya Alloh yang tahu?
atau rahasia di dalam diri anak adam itu hanya Alloh yang tahu?

Mengacu pada baris sebelumnya, (dianggap yang diberi keterangan adalah baris sebelumnya), maka yang dimaksud hanya Alloh yang tahu adalah jumlah dari si anak Adam, sampai kapankah berakhirnya proses reproduksi, atau proses tambahnya anak adam ini. Dan ini sesuai dengan Hadits Nabi waktu di tanya oleh malaikat Jibril,"Ya Nabi, kapankah datangnya kiamat itu?( kiamat bisa dipahami sebagai akhir masa reproduksi anak adam, atau akhir masa manusia yang di waktu itu sudah tidak ada kelahiran lagi.) Nabi menjawab,"Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya". Karena waktu datangnya kiamat hanya Alloh yang mengetahuinya.

[11]
Kaampat-ampatnya kada tapisah
Datang dan bulik kapada Allah
Asalnya awak dari pada tanah
Asalpun tanah sudah disyarah


`Keempat-empatnya tidak terpisah`, kata Datu Sanggul. Kempat-empatnya di sini, dimaksudkan masalah serba empat yang sudah dijelaskan di atas.
`Datang dan pergi kepada Alloh`, mengacu pada ayat "Inna lillahi wa ina ilaihi roji`un",`siapa yang berasal dari Alloh akan kembali kepada Alloh.
Dalam bahasa jawa umumnya di sebut,"Sangkan paraning Dumadi".
`Asalnya awak dari pada tanah`,`Asalnya jasmani dari tanah`, `asalpun
tanah sudah disyarah`, `asalnya tanah-pun sudah ditentukan`.
Nah, di sini Datuk Sanggul ingin menunjukkan pada kita, bahwa yang kembali pada Alloh itu bukan manusia dari unsur jasmani karena asal jasmani adalah tanah dan dari tanah kembali ke tanah lagi, melainkan unsur rohani-lah yang datang dan perginya dari Alloh.
Di sini muncul dua pemahaman.
"Sangkan paraning Dumadining Jasmani", yaitu `dari tanah kembali ke tanah`
dan, "Sangkan paraning Dumadining Ruhani", inilah yang `dari Alloh dan akan kembali ke Alloh`

Dua hal ini, bagi yang kurang paham kadangkala di samakan. Kadang dianggap kita kembali pada Alloh dengan jasmani dan rupa kita dan dengan jenis kelamin yang kita miliki. Padahal rupa kita, jenis kelamin kita, itu adalah bawaan jasmani. Bukankah tidak pernah kita temui adanya dalil, baik Qur-an maupun hadits yang menerangkan bahwa ruhani itu ada yang laki atau ada yang wanita???

Kadang ada yang berlogika bahwa saat kita mati, saat itulah yang tetap di akherat. Artinya bila kita mati muda, maka dengan wajah muda kita itu kita menghadap Alloh, sedang bila kita mati tua, maka wajah tua kita itu yang menghadap Alloh.
Nah, kalau anggapan ini diteruskan, muncul persoalan yang tak terjawab. Kalau kita mati dengan usia yang lebih tua dari kakek kita waktu mati, maka bukankah `lucu` ,karena logikanya menjadi, kita menghadap Alloh lebih muda kita dari pada kakek kita. Naudzubillah, pikiran yang sesat.
Ingatlah satu hadits,"Alloh tidak melihat rupamu, tidak melihat pakaianmu, tidak melihat jasmanimu, melainkan yang dilihat Alloh adalah hatimu" Sekali lagi, `asal dari Alloh`, `kembali ke Alloh`, `asal tanah kembali ke tanah`. Ini yang ada dalilnya di Qur`an. Dan ini pula yang diterangkan oleh Datuk Sanggul.

[12]
Dadalang Simpur barmain wayang
Wayang asalnya sikulit kijang
Agung dan sarun babun dikacang
Kaler di pasang di atas gadang

`Dadalang simpur bamain wayang`, bisa di artikan ` Dalang bekerja bermain wayang`.
`Simpur`, sepertinya di ambil dari bahasa Jawa,`Sampur` yang berarti
`selendang`, tapi apabila dikatakan `ketiban sampur`, atau `ketiban
selendang`, sama artinya terkena suatu beban kerja`. Jadi `Dalang bekerja bermain wayang.`

Suatu turunan dari kebudayaan Hindu di India, yang dibawa masuk ke Indonesia, khususnya Jawa adalah `Pagelaran Wayang`. Dan setelah masuknya agama Islam, melalui para wali-wali (terutama wali sembilan), maka cerita-cerita dalam wayang di modifikasi sehingga semuanya membawa nafas ajaran agama Islam. Seperti cerita,`Dewa Ruci` yang katanya karya Sunan Bonang. Dan yang senang memakai wayang untuk memberikan pelajaran tentang agama Islam, terutama sekali memang Sunan Kalijogo dan Sunan Bonang (konon).
Perlambang didalam wayang inilah, yang dipakai oleh Datuk Sanggul untuk menerangkan maksudnya. `Dalang kerja bermain wayang`, `Wayang asalnya si kulit kijang`.

`Agung dan Sarun Babun di kacang`.
Untuk satu bait ini, lama saya merenung, mempertanyakan apa yang dimaksud oleh Datuk Sanggul dalam memakai Istilah ini, karena istilah `sarun babun dikacang`, tidak saya temukan dalam istilah bahasa Banjar (yang sekarang), tidak pula saya temukan di istilah bahasa Arab maupun Melayu. Atau mungkin saja saya yang memang tidak tahu bahwa istilah itu sebenarnya ada dalam salah satu bahasa tadi.
Bahkan saya juga sempat berpikir, jangan-jangan Datuk Sanggul memakai bahasa `Suryani`.Tapi, kalau melihat di baris berikutnya,` Kaler dipasang di atas gadang`, tampak serapan bahasa jawa ke dalam bahasa Banjar.
(Karena sudah saya tanyakan pada orang-orang Banjar sendiri, bahwa tidak ada istilah itu)., yang kata itu berasal dari bahasa Jawa yaitu,` Kelir dipasang di atas gedang`. Artinya,` Kelir` itu layar putih yang ada sebagai `background wayang`. `dipasang di atas gedang`. `gedang di sini dimaksudkan adalah `pisang` atau `pohon pisang`. Kalau istilah Jawanya `dhebog` (bacanya seperti `the book`).

Alhamdulillah ada salah seorang sahabat memberitahukan bahwa di kitab karya KH.Haderanie tentang " Ma`rifat Musyahadah Mukasyafah Mahabah", maksud dari
`Agung dan sarun babun dikancang` itu :

Agung = gong;Sarun = Saron;babun = genderang; dikancang = dikencangkan talinya

Dengan memakai pemahaman `Martabat tujuh`, baris ke tiga dan keempat bisa dipahami sebagai berikut,:
`Agung dan sarun babun di kacang`.`Kaler dipasang di atas gadang`.
`Agung` mewakili Dzat Alloh dalam martabat `Ahadiyah`, `sarun babun
dikacang` mewakili dan menceritakan `kemuliaan` dari martabat yang kedua dan ketiga. Karena lanjutannya adalah `Kelir` yang dalam filsafat Islam di jawa ini dipahami sebagai `Jagad` alam semesta ini. Yang berada pada martabat ke enam dan ketujuh, yaitu `alam ajsam` dan `alam insan kamil`. Sedangkan `pohon pisang` atau `gadang` yang dipakai menancapkan `Kelir` tersebut adalah mewakili perlambang `alam arwah` dan `alam mitsal`.


[13]
Wayang artinya si bayang-bayang
Antara kadap si lawan tarang
Semua majaz harus dipandang
Simpur balakun hanya saorang

`Wayang artinya si bayang-bayang`, Dipahami dalam filsafat Islam yang di Jawa, bahwa makna `wayang` memang berasal dari kata `bayang`. Menandakan bahwa `wayang itu si bayang-bayang`. Demikian juga manusia ini, yang dilambangkan sebagai wayang, adalah merupakan bayang-bayang dari Alloh ta`ala.
Hal itu juga yang menjadi alasan, kenapa wayang yang indah warna-warnai, tapi yang ditunjukkan pada penonton justru bayang-bayangnya. Tetapi bila penontonnya atau si wayang sendiri bisa memahami hakekat diri, maka tampaklah keindahan atau kemuliaan dirinya. Dan kalau diteruskan kesadarannya, maka sadarlah, bahwa yang menggerakkan wayang adalah si dalang."Man arofa nafsahu faqod arofa robahu", barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya".

Cerita di wayang, sama, atau analog dengan cerita di dunia ini yaitu
`Antara kadap lawan si tarang.`Antara gelap lawan terang`.
Kalau kita lihat, ada kesamaan filsafat wayang ini dengan filsafat aji
saka yaitu:
"ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa da ja ya nya, ma ga ba ta nga" "ada cerita, dua utusan, sama kuatnya, sama matinya"
Dua utusan ini adalah `kadap lawan tarang`, antara `gelap musuh terang`,
antara `kebenaran musuh kebatilan`. Yang memang sudah nash Qur`an juga sampai kiamat nanti, akan terus bertarung antara kebenaran musuh kebatilan ini. Dan barulah saatnya nanti (qiamat), kedua-duanya akan hancur lebur atau mati.

Analog juga dengan filsafat cina,:
yang dilambangkan dengan bulatan, yang separo terang dan yang separo gelap. Atau unsur yin dan yang. Hanya saja kalau di filsafat cina ini, dipahami bahwa seputih-putihnya, ada gelap sedikit. Dan segelap-gelapnya ada terang sedikit. Kenisbian gelap dan terang ini yang ditonjolkan.
Artinya tidak ada yang benar mutlak dan tidak ada yang salah mutlak.

Tapi Datuk sanggul mengingatkan,`semua majaz harus dipandang`. `Semua wujud atau semua bentuk tetap harus dipandang`, tetapi,` simpur balakun hanya saorang`. Hakekatnya, semua pekerjaan itu berasal dari si Dalang (hanya seorang).
"La haula wala quwata ila billah". "Tidak ada daya dan kekuatan melainkan hanya dari Alloh semata". (Tauhid)

[14]
Samar, Bagung si Nalagaring
Si Jambulita suara nyaring
Ampat isyarat amatlah panting
Siapa hendak mencari hening


Serba empat yang terakhir yang diceritakan Datuk Sanggul adalah 4
punakawan (4 hamba) dalam wayang yaitu,`Semar, Bagong, dan
Nologareng(Gareng),` serta` Si Jambulita suara nyaring` yaitu `Petruk`
yang rambutnya njambul itu. Mungkin ini bisa dipahami satu tahapan akhir dalam proses manusia yang mencari kebenaran yaitu proses `penghambaan diri` pada Alloh. atau `Hamba Alloh` atau "Abdulloh".

Serba empat menurut Datuk Sanggul sangat-lah penting,` Ampat isyarat amatlah panting` bagi `Siapa yang hendak mencari hening` atau `bagi siapa saja yang hendak mencari kebenaran`.


kututup dengan ucapan syukurku "Alhamdulillah" pada Alloh, pada Nabi Muhammad dan pada Syech Abdul Jalil atau Datuk Sanggul, yang telah memberikanku petunjuk, pengertian dan pemahaman.

Ada kesalahannya, semata-mata adalah karena kedholiman diriku ini., yang tidak mampu memberikan keterangan.


wassalam
huttaqi

SUMBER : http://www.huttaqi.com/artikel.php?id_isi=185&id_ttl=41&flag=0

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN CERMIN

Kesadaran Sejati Bagaikan Cermin
(dikutip dari buku "Kesadaran Sejati - Wisnu Prakasa")

Kesadaran Sejati bagaikan cermin,
tidak terikat dengan gambaran
yang tampak dihadapannya.
Ketika marah datang,
maka akan memantulkan marah.
Ketika kegembiraan datang
maka akan memantulkan kegembiraan.
Ketika biru datang,
maka akan memantulkan biru.
Ketika kemuliaan datang,
maka akan memantulkan kemuliaan.
Cermin yang jernih selalu memantulkan kebenaran.
(Jakarta, Nopember 1995)

Cermin tidak akan pernah menyimpan gambaran apapun dan juga tidak pernah menolak, karena cermin selalu menerima tetapi tidak pernah menyimpannya.

Memamahi akan tidak pernah menyimpan gambaran pikiran membuka jalan pada Kekosongan Sejati, dimana Kekosongan Sejati merupakan sifat alamiah dari Kesadaran Sejati. Memahami akan tidak pernah menolak apapun membuka jalan pada Kebenaran Sejati, dimana Kebenaran Sejati juga merupakan sifat alamiah dari Kesadaran Sejati.

Pada dasarnya, kita semua takut menaruh tangan kita diatas api, kita takut mengalami sakit, dsb. Rasa takut pertama yang timbul di saat kita menyadari tangan kita telah berada di atas api, merupakan suatu sifat alamiah yang timbul.

Tetapi bilamana kita terus menerus masuk dalam ketakutan ini, maka hal ini merupakan suatu halangan. Rasa sakit yang membekas dalam pikiran kita, sehingga setiap kali kita melihat api akan selalu timbul kembali bayangan ketakutan dalam pikiran kita.

Kita tidak boleh takut akan ketakutan itu sendiri. Ketakutan itu haruslah sekedar lewat dalam Kesadaran Sejati kita, seperti pantulan burung yang terbang dipermukaan sebuah cermin. Kita memang dapat melihat gambaran burung itu, tetapi gambaran pantulan burung itu hilang seketika tanpa meninggalkan bekas gambaran apapun dipermukaan cermin.

Demikian pula dengan rasa lapar yang timbul, jangan kita berusaha untuk menolak rasa lapar ini. Rasa lapar yang timbul merupakan suatu hal yang alamiah, karena tubuh kita membutuhkan energi untuk bergerak. Bilamana kita menolak rasa lapar yang timbul, akhirnya tubuh kita akan melemah dan akhirnya mudah terserang penyakit. Dan jangan pula membiarkan rasa lapar ini berlebihan sehingga kita menjadi takut akan kelaparan.

Mereka yang selalu merasa takut akan kelaparan, akhirnya akan menumpuk makanan sedemikian banyak sehingga mereka sendiri lupa dan tidak akan pernah sanggup untuk menghabiskannya. Inilah jalan menuju pemahaman Kebenaran Sejati yang juga merupakan sifat alamiah dari Kesadaran Sejati.

Uang diciptakan sebagai alat perantara untuk tukar-menukar, maka setiap orang akan berusaha mencari uang sebanyak-banyaknya agar dapat membeli apa yang mereka inginkan. Hal ini merupakan suatu sifat alamiah dari uang, yang dapat memberikan suatu kemudahan untuk menukarkannya dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

Tetapi bilamana manusia mulai menganggap uang sebagai segalanya, hal ini akan menjadikan dirinya terikat akan uang sehingga mereka dengan mudah menjadi lupa diri dan tidak pernah menyadari bahwa uang yang mereka miliki saat ini sebenarya tidak akan pernah habis walaupun di belanjakan sepanjang hidupnya untuk memenuhi keinginannya.

Jadikanlah kesadaran sejati laksana cermin, karena cermin tidak akan menyimpan gambaran apapun yang terpantul didalamnya, dan juga tidak akan menolak gambaran apapun yang tampak secara alamiah dihadapannya. Bilamana kita dapat menjadikan jati diri kita laksana cermin, maka kita telah kembali menyatu dengan kesadaran sejati sehingga kesadaran sejati menjadi jati diri kita yang sebenarnya tanpa beda.

Kesadaran Sejati bagaikan sebuah cermin, dimana kesadaran sejati selalu menerima apa adanya tanpa menambahkan, dan Kesadara sejati juga tidak akan pernah menyimpan gambaran yang pernah diterimanya.

Bilamana kita dapat memahami arti kesadaran sejati yang seperti cermin, maka kita akan memahami makna dari Kekosongan yang sebenarnya (Kekosongan Sejati). Arti Kekosongan bukanlah berarti mengosongkan perasaan ataupun berusaha untuk mengosongkan segalanya. Makna dari Kekosongan yang dimaksud adalah memahami kebenaran yang sesungguhnya dari kesadaran alamiah semuanya, laksana sebuah cermin yang tidak akan pernah terisi sedikitpun oleh segala macam gambaran yang terpantul didalamnya.

Master Lao-Tzu menjelaskan kekosongan dalam awal ajarannya bahwa: “Kosong tetapi berbentuk, berbentuk tetapi kosong.”. Janganlah mengartikan hanya sebagai suatu pengetahuan saja, tetapi berusahalah untuk melatihnya. Hanya dengan berlatih, kita akan mengerti arti sesungguhnya dari apa yang dimaksud oleh Lao-Tzu.

Seperti suara dan gambaran televisi. Dari televisi, kita dapat mendengar bermacam-macam suara seperti alat music, suara kendaraan, tembakan, dan macam-macam lainnya yang sebenarnya bersumber dari getaran speaker. Kita juga dapat melihat bermacam-macam gambar dari layar televisi, yang sebenarnya hanya pancaran cahaya.

Semua ini yang kita tangkap sebenarnya hanya getaran dari speaker dan pancaran cahaya dari tabung televisi, maka jangan menganggapnya sebagai sesuatu kebenaran yang mutlak. Televisi tidak pernah menjelaskan bentuknya. ini sama seperti kita yang tidak akan pernah dapat menguraikan dan menggambarkan bentuk dari Kesadaran Sejati kita.

Demikian pula halnya kita tidak dapat melihat secara langsung mata sendiri, menggigit gigi sendiri, mendengar telinga sendiri, ataupun merasakan lidah sendiri. Kita tidak akan pernah dapat melakukannya, karena semuanya merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dari jati diri sendiri. Bilamana kita terus mencoba untuk mencari dan berusaha untuk menemukannya diluar dari diri , akhirnya hanya menjadi perbuatan yang sia-sia.

Pencarian yang tiada hentinya tersebut menunjukan bahwa sebenarnya kita tidak menyadari dan memahami apa yang kita miliki. Jika kita telah menyadari bahwa ‘kita’ adalah ‘itu’ sendiri, maka kita sebenarnya tidak perlu membuatnya dan tidak ada yang perlu dicari dimanapun juga.

Bilamana kita membina kehidupan spiritual seperti apa yang dimaksud oleh Master Lao-Tzu, maka kita akan menemukan kebenaran sejati bahwa Kesadaran Sejati bagaikan sebuah cermin. Dimana Kesadaran Sejati dapat menjadi segalanya, dan Kesadaran Sejati juga dapat menjadi tidak segalanya.

Bila telah memahami bahwa berbentuk dan kosong adalah sesuatu yang tidak terpisahkan, maka segala keterikatan akan bentuk tidak lagi menguasai kesadaran sejati; dan segala penolakan akan kekosongan tidak lagi timbul dalam kesadaran sejati.

Maksud dari master Lao-Tzu yang sebenarnya adalah Kesadaran Sejati haruslah terbebaskan dari segala ketergantungan pikiran, tetapi Kesadaran Sejati tetap mengetahui kebenaran sejati tentang pikiran dan kesadaran alamiah dari semuanya.

Sangat disayangkan sejak lahir hingga sekarang kita selalu memandang kehidupan kita berdasarkan apa yang tampak tanpa dapat membersihkannya dari kotoran dan keterikatannya, hal ini membuat Kesadaran Sejati kita semakin lama semakin tertimbun oleh debu-debu pikiran yang terus melekat.

http://www.goldenmother.org/info/Kesadaran%20Sejati/Kesadaran%20Sejati%20Bagaikan%20Cermin.htm

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN ALFATIHAH

sumber : superjenar.wordpress.com

Menurut saya pribadi, surah al fatihah ini intinya adalah menegakkan kalimat tauhid laailaahaillallah yang terjemahan resminya “Tidak ada Tuhan selain Allah”. Dulu, saya pahami bahwa kalimat tauhid ini menjelaskan bahwa yang namanya Tuhan itu Allah, kalau ada yang menamainya selain Allah, maka dulu saya anggap sebagai orang kafir. Bahkan mengucapkapkan Allah pun harus dengan benar yaitu Alloh, kalau diucapkan Allah maka dulu saya anggap salah juga hehehe.

Makna kalimat tauhid menurut saya saat ini adalah “Tiada sesuatu selain Dia”. Bahwa segala sesuatu itu untukNya, dariNya, dan semuanya itu atas pertolonganNya (ikhlas, ridha, tawakkal illallah).

Berikut ini ada beberapa pengertian surah al fatihah menurut saya pribadi. Dan saya rasa, masih banyak lagi makna-makna lain yang belum terungkap. Semoga saja dengan hidayahNya, akan banyak pengertian lain tentang surah ini yang dapat kita pahami.

Pengertian ke-1
Ayat 1-7, seperti tertulis dalam Al-Qur’an.

  • Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:1)
  • Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, (QS. 1:2)
  • Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3)
  • Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1:4)
  • Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)
  • Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6)
  • (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1:7)

Pengertian ke-2

  • Ayat 1 = Syahadat
  • Ayat 2,3,4 = Sholat
  • Ayat 5 = Zakat
  • Ayat 6 = Puasa
  • Ayat 7 = Haji

Pengertian ke-3

  • Ayat 1 = Dzat
  • Ayat 2 = Sifat
  • Ayat 3,4 = Asma Ayat
  • 5,6,7 = Af’al

Pengertian ke-4

  • Ayat 1 = Niat
  • Ayat 2 = Menahan diri dari sifat tercela (trita)
  • Ayat 3,4 = Mengisi dengan sifat terpuji
  • Ayat 5 = Ikhlas, tiada daya & upaya/pengembalian kepadaNya
  • Ayat 6 = Ridha, tidak berduka cita
  • Ayat 7 = Pengorbanan/Cinta/Tawakal, tidak ada kekuatiran

Pengertian ke-5

  • Ayat 1 = Cipta
  • Ayat 2 = Rasa
  • Ayat 3,4 = Karsa
  • Ayat 5,6,7 = Karya

Pengertian ke-6

  • Ayat 1 = Ahadiah / Alam Lahut / DzatNya
  • Ayat 2 = Wahdah / Alam Jabarut / Hakikat Muhammad / Sifatullah
  • Ayat 3 = Wahidiah / Alam Malakut / Hakikat Insaniyah / Ruhul Qudus / Asmaullah
  • Ayat 4 = Alam Arwah / Hakikat segala nyawa / Ruhul Hayah
  • Ayat 5 = Alam Mitsal / Hakikat segala rupa
  • Ayat 6 = Alam Ajsam / Hakikat segala tubuh
  • Ayat 7 = Alam Insan / Hakikat manusia

Pengertian ke-7

  • Ayat 1 = Allah
  • Ayat 2 = Rahsa
  • Ayat 3 = Sukma
  • Ayat 4 = Nafsu
  • Ayat 5 = Budi
  • Ayat 6 = Manik
  • Ayat 7 = Otak

Pengertian ke-8

  • Ayat 1 = Allah
  • Ayat 2 = Rahsa
  • Ayat 3 = Sukma
  • Ayat 4 = Angan-angan
  • Ayat 5 = Budi
  • Ayat 6 = Jantung
  • Ayat 7 = Hati

Pengertian ke-9

  • Ayat 1 = Allah
  • Ayat 2 = Rahsa
  • Ayat 3 = Manikem
  • Ayat 4 = Wadi
  • Ayat 5 = Madi
  • Ayat 6 = Mani
  • Ayat 7 = Pelir

Pengertian ke-10

  • Ayat 1 = Dzat yang Maha Rahman dan Maha Rahim
  • Ayat 2 = Segala puji atas SifatNya
  • Ayat 3 = JamalNya, KeindahanNya
  • Ayat 4 = JalalNya, KeagunganNya
  • Ayat 5 = Laa hawla wala quwwata illah billiah
  • Ayat 6 = Laailaahaillallah wahdahu laasyarikallah ….
  • Ayat 7 = Hasbunallah wanikmal wakiil, nikmal maula wanikman nashiir

superjenar


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

cermin takdir

Lauh Mahfudz digambarkan sebagai kitab yang terpelihara, didalamnya berisi apapun juga. Ulama2 bilang bahwa semua kejadian telah tertulis di dalam Lauh Mahfudz. Banyak manusia yang menjadi pasif, karena salah dalam memahami masalah takdir.

Untuk masalah Lauh Mahfudz ini saya jabarkan dalam bentuk perumpamaan yang sederhana : “Seorang guru sedang mengajar di kelasnya, ada salah satu muridnya yang terkenal nakal. Sudah nakal, jarang masuk sekolah, tidak cerdas, dll. Guru ini kemudian menulis di buku catatannya bahwa muridnya ini akan tidak naik kelas pada waktu akhir tahun ajaran. (dengan melihat sebab-sebabnya)

Begitu juga dengan Dia, Dia Maha Tahu, Dia menulis sesuatu di dalam Lauh Mahfudz karena pengetahuanNya yang Maha Luas (dan tanpa kedzaliman sedikit pun).
Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (QS. 21:23).

Akan tetapi tiap manusia ada bakatnya masing-masing. Misalkan manusia menciptakan mobil F1 (dgn kecepatan 300 km/jam) dan menciptakan Bajaj (dgn kecepatan 50 km/jam). Manusia juga begitu, ada yang sekelas F1 dan ada juga yang sekelas Bajaj. Sebagai manusia, kita hanya diwajibkan untuk mencapai kecepatan tertinggi, dengan menekan pedal gas kencang-kencang. Nggak peduli apakah kita sekelas mobil F1 atau Bajaj, yang penting kita telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. 2:286)

Tetapi ada juga manusia yang protes. Enak yang F1 dong daripada bajaj, enak yang kaya dong daripada miskin, dll. Sahabat nabi Abu Bakar hartanya kalah jauh dibanding dengan Umar Bin Khatab. Pada waktu perjuangan dengan nabi, Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya sedangkan Umar Bin Khatab menyerahkan separoh hartanya. Walaupun secara kuantitas, jumlah yang disumbangkan Umar lebih banyak dari Abu Bakar akan tetapi Nabi memuji Abu Bakar lebih dibanding Umar. Karena Allah melihat prosentasenya, bukan jumlahnya.

Prosentase berbanding lurus dengan tawakal/rasa berserah diri seseorang dengan Tuhannya. Disini terlihat bahwa Dia Maha Adil. Ada point penting dalam masalah amal sholeh. Amal yang kita lakukan ini sebenarnya bertujuan untuk mengosongkan diri kita. Semakin kosong diri kita, maka semakin dekatlah kita kepadaNya. Apabila di dalam beramal, kita masih ada bayangan mengenai pahala, surga, dll. Maka amal ini menurut saya bukan malah mengosongkan diri kita. Karena hal ini telah melenceng dari tauhid.

Inni anna amanna ( Saya dan anda semuanya tidak ada apa-apanya)
Laailaahaillallah anta subhanaka inni kuntum minal dzaalimin (Engkau Maha Suci, sesungguhnya aku ini hambamu yang dzalim)
Salam terakhir di dalam sholat (saya asalnya tidak ada, dan akan menjadi tidak ada)

superjenar

sumber : superjenar.wordpress.com


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN ZUHUD

from : superjenar.wordpress.com

Seringkali Sapi’i ini merasa badmood, Kadang Sapi’i merasa pingin marah, pingin mukul orang, pingin mencaci-maki orang. Rasa marah ini sering timbul, kadang tanpa sebab yang jelas. Dan kadang muncul karena merasa hidupnya sesak, pedih, kelabu, gelisah, risau karena memikirkan banyak masalah (baik yang real maupun khayal, real atau imagined).

Suatu ketika dia bertemu dengan Kyai Mudakir, dan Sapi’i pun menanyakan masalahnya
Sapi’i : Gimana sih biar bahagia, nggak sumpek (baca :suntuk) di dunia ini ?
Kyai Mudakir : Hidup yang zuhud.
Sapi’i : Zuhud ? berarti saya nggak kerja, menghindari dunia donk ?
Kyai Mudakir : Gendheng Be’e !!! (baca : gila apa !!!). Wah pandanganmu tentang zuhud terlalu sempit Nak.
Sapi’i : Terus Zuhud itu apa ?
Kyai Mudakir : Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.

Contoh orang yang nggak zuhud itu begini :
Misalkan kamu ketemu cewek cantik, terus kamu bayangkan, wah seandainya dia jadi istriku, terus punya anak selusin, kita sehidup semati, kaya raya lagi …ohhh …ohhhh. Aku ganteng, dia cantik, pasti deh anakku cakep-cakep …ohhh….ohhhh. Lama kelamaan kamu pasti gendheng.

Ketahuilah angan-angan itu nggak akan berhenti disitu, malah akan berlanjut ke yang lebih jauh lagi. Setelah berpisah dengan cewek cantik tadi, pasti deh, kamu merasakan kerinduan yang amat sangat, hati kamu menderita. Kamu menderita karena meletakkan kebahagian pada dataran dunia (yaitu cewek). Bukan berarti kamu nggak boleh menaksir cewek lho, itu sah-sah saja asal jangan banyak berkhayal. Jangan memberi harga yang terlalu tinggi terhadap dunia ini. Yang wajar-wajar saja.

Sapi’i : Iya, saya sering sedih gara-gara masalah dunia yang sepele.
Kyai Mudakir : Letakkanlah kebahagianmu pada dataran spiritual/akhirat. Hati kamu akan mantap, nggak mudah goyah. Tahan banting terhadap pujian dan ejekan, tahan uji. Kamu nggak akan suntuk gara-gara hal dunia. Kebahagianmu adalah ketika kamu merasa berdialog denganNya, pada waktu sholat, pada waktu dzikir.

Sapi’i: Moga-moga saya bisa zuhud
Kyai Mudakir : Pendekkanlah angan-anganmu, Untuk memendekkan angan-angan kamu harus tahu rumusnya.
Sapi’i: Rumus ? Kayak pelajaran Matematika saja
Kyai Mudakir (sambil ketawa) : Matematika gundulmu !!!.
Misalkan kamu baru putus dengan pacar kamu, kamu sedih setengah mati karena kamu mengingat masa indah berdua, ingat lagu kalian berdua, tempat-tempat romantis yang kalian kunjungi, dll

Rumusnya gini : Kamu cari tahu, wanita itu makhluk apa sih ? wanita, begitu juga pria merupakan makhlukNya. Dia lahir ke dunia ini dari 2 tempat kencing (pertama dari tempat kencing ayah ketika membuahi, kedua dari tempat kencing ibu ketika dilahirkan) dan ketika mati dia akan menjadi bangkai. Nggak ada yang istimewa dengan wanita. Yang membedakan cuman hatinya saja.

Begitu juga ketika kamu sedih karena diejek/dihina orang lain ? Setelah dihina, kamu lihat aja tubuh kamu, apakah tubuh kamu berkurang karena ejekan dia (mis : telinga hilang satu atau jari-jari tinggal empat). Misalkan kamu merasa sakit hati, Ketahuilah yang terpenting bagimu itu pandangan Allah terhadapmu, bukan pandangan makhluk kepadamu. Mau orang sedunia memusuhi kamu, masa bodo amat, yang penting kamu dekat dengan Yang Maha Kuasa.

Syekh Abdul Qadir Jailani berkata, “Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.” Coba cari tahu hakekat dunia ini, Santai aja lah.

superjenar


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN SANGKAN PARAN

Artikel berikut ini bukan tulisan saya, masuk ke kategori “Tulisan dari berbagai sumber”. Artikel ini merupakan tulisan dari Adi Soeripto. Selamat membaca !
______________________________________________________

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”. Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran. Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari . Orang Jawa biasa menyebut “Pangeran” artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali. Masyarakat tradisional sering mengartikan “Pangeran” dengan “kirata basa”. Katanya pangeran berasal dari kata “pangengeran”, yang artinya “tempat bernaung atau berlindung”, yang di Bali disebut “sweca”. Sedang wujudNYA tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapaiNYA dan kata kata tak dapat menerangkanNYA. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenaranNYA. Karena itu orang Jawa menyebutnya “tan kena kinaya ngapa” ( tak dapat disepertikan). Artinya sama dengan sebutan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan perananNYA. Karena itu kepadaNYA diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain. Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai perananNYA ini sama seperti dalam ajaran Hindu. “Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti” artinya “Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutNYA dengan banyak nama”.

Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.

Tentang hubungan Tuhan dengan ciptaanNYA, orang Jawa menyatakan bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNYA. Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga”, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya. Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaanNYA. Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan: Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu. Artinya, Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah. Sama dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikara dalam agama Hindu. Oleh karena itu Tuhan pun disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh. Cerita tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan “kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng”, seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya. Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan “DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA”.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi. Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: “adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan”, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan. Dari keterangan diatas jelaslah bahwa pada hakekatnya filsafat Jawa adalah Hinduisme, yang monotheisme pantheistis. Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata “Gusti lan kawula iku tunggal”. Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat “Tat Twam Asi” pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau “Engkau adalah Aku”, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.

Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata “ya ngono ning ora ngono”, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”. Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan. Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti “api dan cahayanya”, yang dalam bahasa Jawa “kaya geni lan urube”

Upaya mencari Tuhan

Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan. Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut: Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst. Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa Jawa “tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.

Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”, ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang” dan “batas cakrawala”. Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan” maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”. Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri” dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman. Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.

Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi “lingga yoni”. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.

Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani “proses” penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan “yoga” secara sederhana. Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan “pranayama” yang merupakan salah satu cara untuk “mengosongkan diri” dengan “mengatur irama pernafasan” Hasil minimal yang dicapai adalah “mempertenang diri” ketika “memuja Tuhan” dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta “Sang Hyang Widhi”. Ketika memuja itulah mereka berusaha “mengosongkan diri” dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan “Sang Maha Kosong”. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya. Menurut orang Jawa, apabila tujuan “samadi” itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak ke “hening” an tercapai, orang serasa terjun ke suasana “heneng” atau “sunya”, tenggelam dalam suasana “kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut”, yang dikatakan “manjing jroning sepi”, atau “rasa damai yang tak terkatakan”. Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata “tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati” (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati). Di sini makna kedamaian adalah “kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun”, yang diistilahkan dengan suasana “hening heneng” atau “kedamaian sejati”. Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut “sukha tan pawali dukha”. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.

Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan “Pangeraningsun” atau “Tuhan yang ada dalam diriku”. Karena itulah ketika kita mengawali proses “kramaning sembah” dengan pertama-tama menyebut “OM Atma Tattvatma”, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata “Duh Pangeraningsun”, yang sebelumnya amat dikenal. Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad, artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.

Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”. Gradasi warnanya menunjukkan kadar “karma wasana” seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya. Bandingkan dengan pengertian sa ba ta a i dalam ajaran Hindu. Dalam setiap “proses” meditasi mereka perlu diberitahu, setidak-tidaknya disebut namanya agar ikut membantu.

Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat). Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu, sebuah kidung sengaja diciptakan Apek banyu pikulane warih, apek geni dedamaran, kodhok ngemuli elenge, tanpa suku lumaku, tanpa una lan tanpa uni, dst. Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara, dst. Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman. Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan “kana kene padha bae” artinya “sana dan sini sama saja”. Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Semua hal yang diterangkan di atas adalah ajaran Hindu. Namun bagi mereka, yang tidak mau berusaha mencari “akarnya” dan tidak mau berlajar Hinduisme, menganggapnya sebagai “agama Jawa”. Dan karena “agama Jawa” tidak ada, maka mereka menempatkannya sebatas faham, yaitu faham “kejawen” dan eksis sebagai aliran kepercayaan.

______________________________________________________

my comment :

Atman itu kalau di tasawuf, dikenal dengan sebutan “Hakikat Muhammad” atau “Sifatullah”. Jikalau kita memiliki pandangan yang “open mind”, setidaknya kita bisa mengetahui, bahwa di ajaran agama lain pun memiliki tujuan yang sama. Kebenaran itu universal.

Banyak jalan menuju Roma …

Selama ini, kebanyakan orang beragama karena “katanya”. Untuk mengetahui kebenaran, nggak bisa dengan “katanya” hehehe.

Namanya juga manusia, beda-beda. Ada yang beragama cukup dengan “katanya”. Namun ada juga yang bandel dikit, mencoba menyelidiki hakikatnya. Nah semua itu tergantung pilihan masing-masing

salam


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

CERMIN ALWUJUD DAN AL ADAM

Artikel berikut ini bukan tulisan saya, masuk ke kategori “Tulisan dari berbagai sumber”. Artikel ini merupakan tulisan dari Kyai Muhammad Zuhri. Selamat membaca !
______________________________________________________________________

Sifat lembut dan sifat keras sama-sama milik Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia. Sedangkan umat manusia, turun ke dunia melalui pertolongan Dzat yang sama dan dari kekuatan yang sama pula. Inilah intisari asal-usul manusia. Kesadaran memahami asal-usul manusia akan mengantarkan kita untuk lebih akrab dengan orang lain, bahkan dengan bangsa lain. Kesatuan kita dengan sesama umat manusia bahkan tidak hanya akan terbatas oleh suatu bangsa, melainkan kesatuan sebagai bangsa dari ‘bangsa umat manusia’.

Selama ini, setiap bangsa mencari asal-usulnya dari bangsa-bangsa terdahulu. Misalnya, bangsa Arya, bangsa Yahudi, bangsa Arab, bangsa kulit putih dan bangsa kulit berwarna. Itulah yang menjadi identitas mereka, sehingga bangsa yang satu merasa lebih unggul dari pada bangsa yang lain. Padahal sesungguhnya, warna apa pun dan di wilayah mana pun mereka berkembang dan berbudaya, sungguh mereka berasal dari sebuah ‘negeri yang sama’.

NEGERI KETIADAAN

Kita datang dari sebuah negeri yang sepi, tidak punya wujud, tidak punya sifat, tidak punya kekuatan dan tidak punya hak atas segala sesuatu. Negeri itu disebut ‘negeri ketiadaan’. Ketika semuanya belum ada, yang ada hanya Al Wujud (Allah) dan Al ‘Adam (ketiadaan). Meskipun ketiadaan, tetapi ketiadaan itu ada. Di sanalah kampung halaman kita; sebuah tempat segala sesuatu memiliki hakikat, tetapi tidak mempunyai apapun baik itu roh, rupa, kekuatan, hak, potensi maupun kemungkinan-kemungkinan, kecuali bila mendapat pertolongan dari Al Wujud (Allah).

Untuk memahami Al ‘Adam (ketiadaan) ini, marilah kita membuat sebuah analogi. Kita mengenal Ilmu Bilangan. Di samping ada bilangan positif, ada bilangan negatif. Bilangan negatif adalah bilangan di bawah nol. Bilangan-bilangan itu ada, tetapi tidak bisa diwujudkan. Bila bilangan 1 atau 2 bisa diwujudkan, misalnya dengan sebuah pensil atau dua batang rokok, namun tidak demikian halnya dengan -1 atau -2. Bilangan-bilangan ini hanya bisa berwujud bila kita berbuat sesuatu terhadapnya. Bila kita tambahkan kepadanya masing-masing dengan 2 dan 3, bilangan-bilangan negatif itu baru bisa berubah dan berwujud. Itulah ilustrasi kondisi alam semesta ini pada awal mula kejadiannya.

Al ‘Adam (ketiadaan) adalah rumah kita yang pertama. Al ‘Adam bersifat qobilah (memohon, mengharap, meminta, menerima) sedangkan Al Wujud (Allah) bersifat fa’ilah (berbuat, memberi, menyuplai). Sebagian dari Al ‘Adam (ketiadaan) yang bersifat qobilah itu, memohon kepada Al Wujud (Allah) agar diwujudkan dari kondisi minus menuju kondisi plus (taat, setia menuruti perintah Tuhan). Maka ketika permohonan dikabulkan melewati amrullah “kun” (”Jadilah’”), Al ‘Adam pun menjadi alam semesta beserta para malaikat. Inilah yang disebut alam kauniah (alam realita). Alam realita ini terjadi hanya karena perintah Tuhan (amrullah).

“Sesungguhnya amrullah (perintah Allah) ketika Dia menghendaki sesuatu, Dia tinggal mengatakan “Jadilah’, maka mereka pun menjadi.” (QS. Yaasin: 82)

Sejenak kita memahami firman Tuhan di atas. Kita tidak pemah bertanya, mengapa Tuhan menggunakan kalimat perintah kalau bukan berarti ada sesuatu yang diperintah? Adanya kata perintah “Kun” (”Jadilah!”) mengisyaratkan adanya sesuatu yang diperintah. Pihak yang diperintah
inilah yang disebut Al ‘Adam (ketiadaan). Jadi, ketiadaan itu ada. Namun adanya tanpa makna, tanpa roh, tanpa rupa, tanpa kekuatan. Setdah melewati perintah Allah untuk menjadi sesuatu, Al ‘Adam kemudian mewujud alam semesta beserta para malaikat.

Alam semesta adalah seluruh isi jagat raya mulai dari partikel-partikel sampai galaksi-galaksi. Seluruh kekuatan yang menopang setiap sistem yang ada di balik alam semesta, diciptakan Tuhan melewati amr-Nya (perintah-Nya). Segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki kekuatan
yang mengatur sebuah sistem yang ada di dalamnya. Kekuatan ini disebut ”kekuatan malaikati’. Misalnya, keberadaan sebutir kerikil. Kerikil bisa menjadi kerikil karena ada kekuatan malaikat yang mengatur struktur dan konstruksi kerikil. Tumbuhan bisa tumbuh karena ada lebih banyak lagi kekuatan malaikat yang menopang proses perkembangan tumbuhan itu.

Di antara ciptaan-ciptaan Tuhan itu ada yang berkembang semakin sempurna sehingga kesempurnaan konstruksinya memadai imtuk dijadikan mitra dialog Tuhan. Benda yang paling sempuma konstruksinya di alam ini adalah otak manusia yang berada di dalam tubuh manusia. Maka dipilihlah manusia untuk mengemban amanah, yang amanah itu sebelumnya ditolak oleh langit, bumi dan gunung-gunung. Dia diberi kemerdekaan. Kemerdekaan itu diperoleh justru karena ada titipan. Seluruh isi alam semesta tidak merdeka selain manusia. Dan karena itu, manusia bisa keluar dari mekanisme dan sistem nilai yang ada di alam semesta. Mengenai hal ini Al Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah dzolmun jahul (aniaya dan bodoh), sebab amanah untuk me-manage alam semesta ternyata diterimanya. Padahal manusia mempunyai kemungkinan berbuat lain (tidak mau menerima tawaran itu).

Tetapi tidak demikian sebenarnya. Dilihat dari beratnya tugas, manusia bisa dikatakan dzolmun jahul. Tetapi memang demikianlah skenario Tuhan sebelumnya. Setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berada di dalam alam semesta melamkan berada di balik alam semesta. Sebab Tuhan adalah Dzat di luar ruang dan waktu, sedangkan semua ciptaan-Nya berada di dalam ruang dan waktu, maka Dia menciptakan makhluk yang paling berkualitas untuk ditempatkan di bumi (di dalam ruang dan waktu)sebagai wakil-Nya untuk diberi tugas menangani manajerial Tuhan.

Ketika Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah (wakil-Ku) di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30).

Maka jadilah Adam a.s. sebagai makhluk yang paling istimewa. Ia diangkat Tuhan sebagai khalifah (Wakil Tuhan), berarti Adam juga menjadi ‘wakil Tuhannya’ para malaikat. Itulah sebabnya kepada para malaikat, Tuhan pun berfirman:

“Sujudlah kepada Adam. Maka para malaikat pun sujud kecuali Iblis.” (QS. Al-Baqarah: 34)

Jadi hakikat manusia sesungguhnya ‘disujudi’ oleh para malaikat dan malaikat menjadi takut (menuruti perintah) manusia manakala manusia bias menempatkan diri di dalam peran kekhalifahan Tuhan.

DUA ROH

Sebagai keturunan Adam a.s., kita hadir ke dunia melalui proses penciptaan. Berawal dari sebuah sel sperma (spermatozoa) yang telah memiliki roh (kekuatan). Dengan roh tersebut spermatozoa bisa bergerak bebas mencari sel telur (ovum). Setelah menemukan lahannya itu, spermatozoa dan sel telur kemudian tumbuh menjadi segumpal darah. Dari segumpal darah berubah menjadi sekerat daging, membentuk embrio (janin). Setelah lahir, makhluk tersebut tumbuh dan berganti nama mulai dari bayi, anak-anak hingga menjadi orang dewasa yang mampu ber-regenerasi.

Pertumbuhan manusia mulai dari spermatozoa hingga menjadi orang dewasa yang mampu ber-regenerasi, disebabkan oleh kekuatan yang mengatur dan menopang semua sistem dalam tubuh. Kekuatan inilah yang disebut roh (’roh nabati’), sebab roh inilah yang menjadikan manusia berpotensi untuk tumbuh dan berkembang biak sebagaimana halnya tumbuh-tumbuhan.

Roh nabati ada karena amrullah (perintah Allah). la diciptakan Tuhan melalui amr-Nya (”Kun”, Jadilah!), maka ketika itu ia pun menjadi sebuah kekuatan yang menumbuhkembangkan manusia. Inilah potensi pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia. Selain potensi berupa roh nabati, Allah juga memberikan kepada kita Roh-Nya (Rohullah}. Roh Tuhan ditiupkan ke dalam tubuh manusia ketika sang janin berumur 4 bulan dalam rahim sang ibu.

‘Dan telah Ku-tiupkan kepadanya Roh-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29)

Dalam diri manusia memiliki dua roh; roh nabati dan Roh Tuhan. Roh nabati adalah roh ciptaan yang selalu ber-regenerasi sehingga bersifat selalu ingin abadi di bumi. Roh Tuhan adalah roh amanah (roh titipan) yang bersifat ingin kembali kepada Tuhan. Kedua roh yang bertentangan
ini bertemu di dalam tubuh manusia. Pertemuan ‘dua samudera’; samudera ciptaan (roh nabati) dan Samudra Yang Menciptakan (Roh Tuhan). Pertemuan antara samudera kenisbian dan samudera kemutlakan mewujud sebagai khalifatullah (khalifah Tuhan).

KEMERDEKAAN MENJADI DIRI SENDIRI

Manusia sebagai khalifah Tuhan, diberi tugas untuk melaksanakan manajerial Tuhan; menjamah lingkungan, melakukan transformasi sosial. Namun di dalam menjalankan tugasnya, manusia sering menemukan kendala diri karena dia memiliki cara berpikir ganda. Misalnya, ketika ia
melihat seseorang dalam kesulitan keuangan, ia akan berpikir: “Kalau dia tidak saya tolong, kasihan. Tetapi kalau saya tolong, harta saya kalong(berkurang)…”

Perdebatan antara dua perbedaan terjadi karena manusia memiliki dua potensi. Roh nabati yang selalu menuntut agar jasmani kita sejahtera, abadi di bumi, ditentang Roh Tuhan yang senantiasa ingin kembali kepada Tuhan. Dialog memperjuangkan kepentingan fisikal (oleh roh nabati) dan kepentingan spiritual (oleh Roh Tuhan) tidak pernah berakhir manakala kita sendiri tidak menentukan langkah apa yang mesti kita lakukan. Disinilah manusia diberi kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri.

Pada zaman dahulu, para brahma, biksu, rahib-rahib dan orang-orang suci yang telah ma’rifat billah tidak berani menyimpan harta. “Di dalam rumah saya tidak boleh ada harta. Kalau saya bekerja mendapat 10 ribu, 2 ribu untuk makan, maka yang 8 ribu harus saya akhiratkan.” Bagian hidupnya di dunia dilupakan, semua dianggarkan untuk akhirat.

Sistem agama dahulu memang demikian, tetapi sekarang tidak lagi relevan. Di zaman sekarang setiap orang harus sanggup menopang dirinya sendiri selain harus menolong orang lain. Orang yang hanya menolong pihak lain berarti hanya melaksanakan manajerial Tuhan tanpa mengembangkan diri. Kehidupannya hanya untuk akhirat tanpa mendapatkan dunia. Kita harus mendapatkan dunia kita. Untuk bisa menolong dua kali hingga seribu kali, kita harus memiliki sisa sebagai aset yang bisa dikembangkan.

Allah telah memberikan petunjuk agar kita tepat dalam bersikap; tidak memenangkan satu kekuatan (roh) dan mematikan kekuatan yang lain. Kedua-duanya, baik kekuatan fisikal (roh nabati) maupun kekuatan spiritual (Roh Tuhan), harus sama-sama dimenangkan. Win-win solution;mencapai kebahagiaan di akhirat dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia.

“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (QS.Al-Qashash:77)

Demikianlah maka setiap hendak melakukan suatu perbuatan harus ada kompromi (dialog dua roh), selanjutnya di dalam berinteraksi dengan orang lain, kita juga harus melakukan kompromi yang serupa. Inilah yang disebut momen creation yaitu momen mencipta yang senantiasa membutuhkan pendekatan dan pengorbanan. Kita tidak hanya mencari kemenangan sendiri
melainkan harus memikirkan pula kemenangan orang lain. Misalnya, kompromi antara penjual dan pembeli, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara bapak dan anak. Kedua pihak harus ada interaksi dengan tidak menggunakan qudrat (kekuasaannya). Bahwa setiap manusia merasa memiliki qudrat sehingga cenderung akan menggunakannya dalam upaya memaksakan kehendak.

Bila dua orang bertemu, berinteraksi, berdialog mendaptakan hal baru yang bisa memudahkan kehidupannya baik secara fisikal maupun spiritual, mereka itu telah melaksanakan ibadah. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Apakah agama itu ya Rasulullah?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Agama itu. komunikasi dengan Allah, dengan rasul, dengan pemimpin-pemimpin umat, dengan orang awam”

Hakikat agama adalah komunikasi (dialog); komunikasi yang murni, sehat, tidak saling membunuh tetapi saling memberikan kesempatan hidup. Dalam hidup ini, kita dikehendaki Tuhan untuk menjadi partner dialog-Nya. Oleh sebab itu kita berkewajiban usul (berdo’a) bila dalam kehidupan ini merasakan keberatan-keberatan, menemukan kendala-kendala yang bisa menghalangi kita dalam melaksanakan manajerial-Nya. Rasulullah s.a.w. senantiasa usul kepada Tuhan untuk meringankan beban umatnya.

WUJUD BARU

Kita datang dari negeri ketiadaan yang diberi wujud oleh Tuhan; diberi roh, potensi, rupa, jisim, dan ditiupkan kepada kita Roh Tuhan (Rohullah). Maka teknik pendayagunaan fasilitas-fasilitas dari Tuhan itu hendaklah berorientasi pada keridlaan Tuhan. Hanya dengan cara demikian kelak kita akan mendapatkan wujud baru yang lebih baik. Wujud baru yang akan kita miliki tidak seperti hakikat yang ada di dalam Al ‘Adam (ketiadaan). Bukan pula seperti wujud ketika masih berada di dunia. Wujud baru kita ialah wujud yang lebih mulia; rohnya adalah roh kita tetapi jasadnya berasal dari amal shaleh kita.

Orang-orang yang dilahirkan kembali di akhirat dalam keadaan buta, mereka menuntut:

“Ya, Tuhan. Mengapa kami dikumpulkan di sini dalam keadaan buta, sedangkan kami diberi mata sewaktu di dunia?” Allah pun menjawab: “Demikianlah ketika datang peringatan-peringatan-Ku, kamu lengah dan berpaling. Maka hari ini Aku pun melengahkan kamu.” (OS.Thaha: 125-126)

Apa yang kita peroleh di hadapan Tuhan kelak adalah apa yang kita lakukan dl dunia sekarang ini. Bila kita melakukan hal-hal yang buruk di dunia, maka kelak akan mendapat wajah baru yang buruk. Sebaliknya, bila kita melakukan hal-hal yang baik dan benar demi ridla Allah, niscaya kelak akan memperoleh wajah baru yang baik dan mulia. Hakikatnya adalah memperoleh kenikmatan. Kenikmatan spiritual sebagaimana yang kita mohonkan kepada Tuhan setiap kali kita melakukan shalat:

“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)

Siapakah yang dimurkai Tuhan dan siapakah yang tersesat? Yang dimurkai Tuhan ialah orang-orang yang menyalahgunakan fasilitas-fasilitas Tuhan, sedangkan yang tersesat adalah orang-orang yang beribadah tetapi tidak menurut peraturan Tuhan.


Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini