Artikel berikut ini bukan tulisan saya, masuk ke kategori “Tulisan dari berbagai sumber”. Artikel ini merupakan tulisan dari Kyai Muhammad Zuhri. Selamat membaca !
______________________________________________________________________
Sifat lembut dan sifat keras sama-sama milik Tuhan yang diturunkan kepada umat manusia. Sedangkan umat manusia, turun ke dunia melalui pertolongan Dzat yang sama dan dari kekuatan yang sama pula. Inilah intisari asal-usul manusia. Kesadaran memahami asal-usul manusia akan mengantarkan kita untuk lebih akrab dengan orang lain, bahkan dengan bangsa lain. Kesatuan kita dengan sesama umat manusia bahkan tidak hanya akan terbatas oleh suatu bangsa, melainkan kesatuan sebagai bangsa dari ‘bangsa umat manusia’.
Selama ini, setiap bangsa mencari asal-usulnya dari bangsa-bangsa terdahulu. Misalnya, bangsa Arya, bangsa Yahudi, bangsa Arab, bangsa kulit putih dan bangsa kulit berwarna. Itulah yang menjadi identitas mereka, sehingga bangsa yang satu merasa lebih unggul dari pada bangsa yang lain. Padahal sesungguhnya, warna apa pun dan di wilayah mana pun mereka berkembang dan berbudaya, sungguh mereka berasal dari sebuah ‘negeri yang sama’.
NEGERI KETIADAAN
Kita datang dari sebuah negeri yang sepi, tidak punya wujud, tidak punya sifat, tidak punya kekuatan dan tidak punya hak atas segala sesuatu. Negeri itu disebut ‘negeri ketiadaan’. Ketika semuanya belum ada, yang ada hanya Al Wujud (Allah) dan Al ‘Adam (ketiadaan). Meskipun ketiadaan, tetapi ketiadaan itu ada. Di sanalah kampung halaman kita; sebuah tempat segala sesuatu memiliki hakikat, tetapi tidak mempunyai apapun baik itu roh, rupa, kekuatan, hak, potensi maupun kemungkinan-kemungkinan, kecuali bila mendapat pertolongan dari Al Wujud (Allah).
Untuk memahami Al ‘Adam (ketiadaan) ini, marilah kita membuat sebuah analogi. Kita mengenal Ilmu Bilangan. Di samping ada bilangan positif, ada bilangan negatif. Bilangan negatif adalah bilangan di bawah nol. Bilangan-bilangan itu ada, tetapi tidak bisa diwujudkan. Bila bilangan 1 atau 2 bisa diwujudkan, misalnya dengan sebuah pensil atau dua batang rokok, namun tidak demikian halnya dengan -1 atau -2. Bilangan-bilangan ini hanya bisa berwujud bila kita berbuat sesuatu terhadapnya. Bila kita tambahkan kepadanya masing-masing dengan 2 dan 3, bilangan-bilangan negatif itu baru bisa berubah dan berwujud. Itulah ilustrasi kondisi alam semesta ini pada awal mula kejadiannya.
Al ‘Adam (ketiadaan) adalah rumah kita yang pertama. Al ‘Adam bersifat qobilah (memohon, mengharap, meminta, menerima) sedangkan Al Wujud (Allah) bersifat fa’ilah (berbuat, memberi, menyuplai). Sebagian dari Al ‘Adam (ketiadaan) yang bersifat qobilah itu, memohon kepada Al Wujud (Allah) agar diwujudkan dari kondisi minus menuju kondisi plus (taat, setia menuruti perintah Tuhan). Maka ketika permohonan dikabulkan melewati amrullah “kun” (”Jadilah’”), Al ‘Adam pun menjadi alam semesta beserta para malaikat. Inilah yang disebut alam kauniah (alam realita). Alam realita ini terjadi hanya karena perintah Tuhan (amrullah).
“Sesungguhnya amrullah (perintah Allah) ketika Dia menghendaki sesuatu, Dia tinggal mengatakan “Jadilah’, maka mereka pun menjadi.” (QS. Yaasin: 82)
Sejenak kita memahami firman Tuhan di atas. Kita tidak pemah bertanya, mengapa Tuhan menggunakan kalimat perintah kalau bukan berarti ada sesuatu yang diperintah? Adanya kata perintah “Kun” (”Jadilah!”) mengisyaratkan adanya sesuatu yang diperintah. Pihak yang diperintah
inilah yang disebut Al ‘Adam (ketiadaan). Jadi, ketiadaan itu ada. Namun adanya tanpa makna, tanpa roh, tanpa rupa, tanpa kekuatan. Setdah melewati perintah Allah untuk menjadi sesuatu, Al ‘Adam kemudian mewujud alam semesta beserta para malaikat.
Alam semesta adalah seluruh isi jagat raya mulai dari partikel-partikel sampai galaksi-galaksi. Seluruh kekuatan yang menopang setiap sistem yang ada di balik alam semesta, diciptakan Tuhan melewati amr-Nya (perintah-Nya). Segala sesuatu yang ada di alam ini memiliki kekuatan
yang mengatur sebuah sistem yang ada di dalamnya. Kekuatan ini disebut ”kekuatan malaikati’. Misalnya, keberadaan sebutir kerikil. Kerikil bisa menjadi kerikil karena ada kekuatan malaikat yang mengatur struktur dan konstruksi kerikil. Tumbuhan bisa tumbuh karena ada lebih banyak lagi kekuatan malaikat yang menopang proses perkembangan tumbuhan itu.
Di antara ciptaan-ciptaan Tuhan itu ada yang berkembang semakin sempurna sehingga kesempurnaan konstruksinya memadai imtuk dijadikan mitra dialog Tuhan. Benda yang paling sempuma konstruksinya di alam ini adalah otak manusia yang berada di dalam tubuh manusia. Maka dipilihlah manusia untuk mengemban amanah, yang amanah itu sebelumnya ditolak oleh langit, bumi dan gunung-gunung. Dia diberi kemerdekaan. Kemerdekaan itu diperoleh justru karena ada titipan. Seluruh isi alam semesta tidak merdeka selain manusia. Dan karena itu, manusia bisa keluar dari mekanisme dan sistem nilai yang ada di alam semesta. Mengenai hal ini Al Qur’an mengatakan bahwa manusia adalah dzolmun jahul (aniaya dan bodoh), sebab amanah untuk me-manage alam semesta ternyata diterimanya. Padahal manusia mempunyai kemungkinan berbuat lain (tidak mau menerima tawaran itu).
Tetapi tidak demikian sebenarnya. Dilihat dari beratnya tugas, manusia bisa dikatakan dzolmun jahul. Tetapi memang demikianlah skenario Tuhan sebelumnya. Setelah menciptakan alam semesta, Tuhan tidak berada di dalam alam semesta melamkan berada di balik alam semesta. Sebab Tuhan adalah Dzat di luar ruang dan waktu, sedangkan semua ciptaan-Nya berada di dalam ruang dan waktu, maka Dia menciptakan makhluk yang paling berkualitas untuk ditempatkan di bumi (di dalam ruang dan waktu)sebagai wakil-Nya untuk diberi tugas menangani manajerial Tuhan.
Ketika Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah (wakil-Ku) di muka bumi” (QS. Al-Baqarah: 30).
Maka jadilah Adam a.s. sebagai makhluk yang paling istimewa. Ia diangkat Tuhan sebagai khalifah (Wakil Tuhan), berarti Adam juga menjadi ‘wakil Tuhannya’ para malaikat. Itulah sebabnya kepada para malaikat, Tuhan pun berfirman:
“Sujudlah kepada Adam. Maka para malaikat pun sujud kecuali Iblis.” (QS. Al-Baqarah: 34)
Jadi hakikat manusia sesungguhnya ‘disujudi’ oleh para malaikat dan malaikat menjadi takut (menuruti perintah) manusia manakala manusia bias menempatkan diri di dalam peran kekhalifahan Tuhan.
DUA ROH
Sebagai keturunan Adam a.s., kita hadir ke dunia melalui proses penciptaan. Berawal dari sebuah sel sperma (spermatozoa) yang telah memiliki roh (kekuatan). Dengan roh tersebut spermatozoa bisa bergerak bebas mencari sel telur (ovum). Setelah menemukan lahannya itu, spermatozoa dan sel telur kemudian tumbuh menjadi segumpal darah. Dari segumpal darah berubah menjadi sekerat daging, membentuk embrio (janin). Setelah lahir, makhluk tersebut tumbuh dan berganti nama mulai dari bayi, anak-anak hingga menjadi orang dewasa yang mampu ber-regenerasi.
Pertumbuhan manusia mulai dari spermatozoa hingga menjadi orang dewasa yang mampu ber-regenerasi, disebabkan oleh kekuatan yang mengatur dan menopang semua sistem dalam tubuh. Kekuatan inilah yang disebut roh (’roh nabati’), sebab roh inilah yang menjadikan manusia berpotensi untuk tumbuh dan berkembang biak sebagaimana halnya tumbuh-tumbuhan.
Roh nabati ada karena amrullah (perintah Allah). la diciptakan Tuhan melalui amr-Nya (”Kun”, Jadilah!), maka ketika itu ia pun menjadi sebuah kekuatan yang menumbuhkembangkan manusia. Inilah potensi pertama yang diberikan Tuhan kepada manusia. Selain potensi berupa roh nabati, Allah juga memberikan kepada kita Roh-Nya (Rohullah}. Roh Tuhan ditiupkan ke dalam tubuh manusia ketika sang janin berumur 4 bulan dalam rahim sang ibu.
‘Dan telah Ku-tiupkan kepadanya Roh-Ku.” (QS. Al-Hijr: 29)
Dalam diri manusia memiliki dua roh; roh nabati dan Roh Tuhan. Roh nabati adalah roh ciptaan yang selalu ber-regenerasi sehingga bersifat selalu ingin abadi di bumi. Roh Tuhan adalah roh amanah (roh titipan) yang bersifat ingin kembali kepada Tuhan. Kedua roh yang bertentangan
ini bertemu di dalam tubuh manusia. Pertemuan ‘dua samudera’; samudera ciptaan (roh nabati) dan Samudra Yang Menciptakan (Roh Tuhan). Pertemuan antara samudera kenisbian dan samudera kemutlakan mewujud sebagai khalifatullah (khalifah Tuhan).
KEMERDEKAAN MENJADI DIRI SENDIRI
Manusia sebagai khalifah Tuhan, diberi tugas untuk melaksanakan manajerial Tuhan; menjamah lingkungan, melakukan transformasi sosial. Namun di dalam menjalankan tugasnya, manusia sering menemukan kendala diri karena dia memiliki cara berpikir ganda. Misalnya, ketika ia
melihat seseorang dalam kesulitan keuangan, ia akan berpikir: “Kalau dia tidak saya tolong, kasihan. Tetapi kalau saya tolong, harta saya kalong(berkurang)…”
Perdebatan antara dua perbedaan terjadi karena manusia memiliki dua potensi. Roh nabati yang selalu menuntut agar jasmani kita sejahtera, abadi di bumi, ditentang Roh Tuhan yang senantiasa ingin kembali kepada Tuhan. Dialog memperjuangkan kepentingan fisikal (oleh roh nabati) dan kepentingan spiritual (oleh Roh Tuhan) tidak pernah berakhir manakala kita sendiri tidak menentukan langkah apa yang mesti kita lakukan. Disinilah manusia diberi kemerdekaan untuk menjadi dirinya sendiri.
Pada zaman dahulu, para brahma, biksu, rahib-rahib dan orang-orang suci yang telah ma’rifat billah tidak berani menyimpan harta. “Di dalam rumah saya tidak boleh ada harta. Kalau saya bekerja mendapat 10 ribu, 2 ribu untuk makan, maka yang 8 ribu harus saya akhiratkan.” Bagian hidupnya di dunia dilupakan, semua dianggarkan untuk akhirat.
Sistem agama dahulu memang demikian, tetapi sekarang tidak lagi relevan. Di zaman sekarang setiap orang harus sanggup menopang dirinya sendiri selain harus menolong orang lain. Orang yang hanya menolong pihak lain berarti hanya melaksanakan manajerial Tuhan tanpa mengembangkan diri. Kehidupannya hanya untuk akhirat tanpa mendapatkan dunia. Kita harus mendapatkan dunia kita. Untuk bisa menolong dua kali hingga seribu kali, kita harus memiliki sisa sebagai aset yang bisa dikembangkan.
Allah telah memberikan petunjuk agar kita tepat dalam bersikap; tidak memenangkan satu kekuatan (roh) dan mematikan kekuatan yang lain. Kedua-duanya, baik kekuatan fisikal (roh nabati) maupun kekuatan spiritual (Roh Tuhan), harus sama-sama dimenangkan. Win-win solution;mencapai kebahagiaan di akhirat dengan tidak melupakan kebahagiaan di dunia.
“Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. (QS.Al-Qashash:77)
Demikianlah maka setiap hendak melakukan suatu perbuatan harus ada kompromi (dialog dua roh), selanjutnya di dalam berinteraksi dengan orang lain, kita juga harus melakukan kompromi yang serupa. Inilah yang disebut momen creation yaitu momen mencipta yang senantiasa membutuhkan pendekatan dan pengorbanan. Kita tidak hanya mencari kemenangan sendiri
melainkan harus memikirkan pula kemenangan orang lain. Misalnya, kompromi antara penjual dan pembeli, antara pemimpin dan yang dipimpin, antara bapak dan anak. Kedua pihak harus ada interaksi dengan tidak menggunakan qudrat (kekuasaannya). Bahwa setiap manusia merasa memiliki qudrat sehingga cenderung akan menggunakannya dalam upaya memaksakan kehendak.
Bila dua orang bertemu, berinteraksi, berdialog mendaptakan hal baru yang bisa memudahkan kehidupannya baik secara fisikal maupun spiritual, mereka itu telah melaksanakan ibadah. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah s.a.w., “Apakah agama itu ya Rasulullah?” Rasulullah s.a.w. menjawab: “Agama itu. komunikasi dengan Allah, dengan rasul, dengan pemimpin-pemimpin umat, dengan orang awam”
Hakikat agama adalah komunikasi (dialog); komunikasi yang murni, sehat, tidak saling membunuh tetapi saling memberikan kesempatan hidup. Dalam hidup ini, kita dikehendaki Tuhan untuk menjadi partner dialog-Nya. Oleh sebab itu kita berkewajiban usul (berdo’a) bila dalam kehidupan ini merasakan keberatan-keberatan, menemukan kendala-kendala yang bisa menghalangi kita dalam melaksanakan manajerial-Nya. Rasulullah s.a.w. senantiasa usul kepada Tuhan untuk meringankan beban umatnya.
WUJUD BARU
Kita datang dari negeri ketiadaan yang diberi wujud oleh Tuhan; diberi roh, potensi, rupa, jisim, dan ditiupkan kepada kita Roh Tuhan (Rohullah). Maka teknik pendayagunaan fasilitas-fasilitas dari Tuhan itu hendaklah berorientasi pada keridlaan Tuhan. Hanya dengan cara demikian kelak kita akan mendapatkan wujud baru yang lebih baik. Wujud baru yang akan kita miliki tidak seperti hakikat yang ada di dalam Al ‘Adam (ketiadaan). Bukan pula seperti wujud ketika masih berada di dunia. Wujud baru kita ialah wujud yang lebih mulia; rohnya adalah roh kita tetapi jasadnya berasal dari amal shaleh kita.
Orang-orang yang dilahirkan kembali di akhirat dalam keadaan buta, mereka menuntut:
“Ya, Tuhan. Mengapa kami dikumpulkan di sini dalam keadaan buta, sedangkan kami diberi mata sewaktu di dunia?” Allah pun menjawab: “Demikianlah ketika datang peringatan-peringatan-Ku, kamu lengah dan berpaling. Maka hari ini Aku pun melengahkan kamu.” (OS.Thaha: 125-126)
Apa yang kita peroleh di hadapan Tuhan kelak adalah apa yang kita lakukan dl dunia sekarang ini. Bila kita melakukan hal-hal yang buruk di dunia, maka kelak akan mendapat wajah baru yang buruk. Sebaliknya, bila kita melakukan hal-hal yang baik dan benar demi ridla Allah, niscaya kelak akan memperoleh wajah baru yang baik dan mulia. Hakikatnya adalah memperoleh kenikmatan. Kenikmatan spiritual sebagaimana yang kita mohonkan kepada Tuhan setiap kali kita melakukan shalat:
“Tunjukkanlah kami jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan kenikmatan, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 6-7)
Siapakah yang dimurkai Tuhan dan siapakah yang tersesat? Yang dimurkai Tuhan ialah orang-orang yang menyalahgunakan fasilitas-fasilitas Tuhan, sedangkan yang tersesat adalah orang-orang yang beribadah tetapi tidak menurut peraturan Tuhan.