Sang Angkara
Cerpen HERMAWAN AKSAN INILAH aku, si angkara murka. Sebutkan jenis kejahatan yang kalian ketahui. Aku pasti sudah melakukan semuanya.
Mungkin sebentar lagi aku akan melepas nyawa. Atau terjepit abadi tertimpa Gunung Suwela. Sungguh tak bisa kulawan pusaka Guwawijaya, bahkan dengan Pancasona yang bertahun-tahun menggetarkan jagat raya. Tapi aku puas dengan segala lelakon hidupku. Membuat kekacauan di pelbagai pelataran. Aku bisa tertawa sambil melepaskan nyawa.
Kecuali satu hal yang membuatku menyesal.
Kuakui, warna hidupku memang hitam legam. Lebih hitam daripada malam yang mencekam. Namun, benarkah aku tengah berhadapan dengan lawan yang berwarna putih? Sungguhkah hidup hanya terdiri dari warna hitam dan putih?
Bahwa aku terlahir sebagai angkara, sesungguhnya, bukanlah atas kehendakku. Keangkaraanku hanyalah karma dari perbuatan ayah dan ibuku. Ayahku, Begawan Wisrawa, adalah seorang resi yang tak mampu menilai dirinya secara bijaksana.
Lihatlah hikayatnya yang sudah menjadi legenda. Ia datang ke Alengka, menghadap Prabu Sumali, sahabatnya sendiri, untuk meminang sang putri, Dewi Sukesi, melalui sayembara yang mereka adakan. Bukan untuk dirinya, tentu saja, melainkan bagi anaknya yang tercinta, Danaraja. Namun apa yang terjadi?
Ayahku memang resi yang sangat sakti. Karena itu, dengan mengerahkan segala ilmunya, ia bisa memenuhi syarat pertama sayembara, yaitu mengalahkan Jambumangli, adik Prabu Sumali, yang sebelumnya tak terkalahkan oleh ksatria dan resi mana pun.
Ia pun siap untuk memenuhi syarat yang kedua, sebagaimana diminta Sang Dewi, yakni rahasia ilmu yang terkandung pada ajian Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
O, belum pernah ada manusia yang bisa memahami rahasia ajian ini.
Kecuali Begawan Wisrawa.
Dan bahwa sesungguhnyalah Sang Begawan, ayahku itu, enggan menguraikan rahasia Sastra Jendra. Hanya demi sang putra tercintalah ia bersedia melanggar keyakinannya sendiri. Kecuali ayahku, tak ada orang yang mencapai taraf kesempurnaan hidup. Dan ia harus menguraikannya kepada seorang wanita muda yang cantik tak tertara.
Keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, harus berada di dalam sebuah ruangan yang sunyi, tak boleh terganggu hiruk-pikuk dunia di sekitarnya, kalau tak ingin pemaparan rahasia itu menemui kegagalan.
Sunyi, temaram, dengan cahaya yang hanya berasal dari lubang-lubang angin di keempat dindingnya. Keduanya duduk berhadapan, dengan jarak hanya sejangkauan tangan. Sukesi menatap wajah tua Wisrawa, dan sang begawan memandang titik di antara kedua mata cemerlang sang dewi.
Dengan suara perlahan, dibukalah segala rahasia yang terdapat dalam Sastra Jendra.
Ah, aku bukanlah pemilik rahasia Sastra Jendra. Karena itu, pengetahuanku hanyalah sebatas permukaan, yakni bahwa Sastra Jendra adalah ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Jadi, ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan untuk mencapai kesempurnaan hidup.
Orang yang menguasai Sastra Jendra akan terbebaskan dari segala petaka. Jika mati, rohnya akan berkumpul dengan roh manusia-manusia yang telah sempurna, berkumpul dengan para dewa yang mulia.
Namun, suara pelan sang Begawan ternyata mampu mengguncang Suralaya. Menimbulkan gempa dan angin puting beliung yang memorakporandakan istana para dewa.
Batara Guru, yang paham atas apa yang terjadi, segera turun ke arcapada, diiringi Sang Permaisuri. Sebagai dewa yang mahatahu, ia sadar, Sastra Jendra tak boleh terbuka oleh siapa saja. Kalau manusia bisa memahami intinya, kelak tak akan ada lagi fungsi para dewa, karena manusia akan bisa menjadi setaraf dewa. Takdir mengharuskan hal itu tak boleh terjadi.
Batara Guru dan Dewi Uma segera merasuki Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi, menggelitiki titik-titik lemah keduanya.
Begawan Wisrawa memang pendeta yang sakti, halus budi pekerti, dan waskita. Tapi ia juga manusia biasa, yang ternyata masih menyimpan nafsu lahiriah. Apalagi di hadapannya adalah seorang wanita yang kecantikannya tak tertandingi, dengan kulit seperti pualam dan rambut laksana air terjun, yang mengeluarkan harum tujuh bunga merayapi kedua lubang hidungnya.
Baik Begawan Wisrawa maupun Dewi Sukesi tak berdaya menghadapi godaan. Dada mereka terbakar oleh nafsu yang makin lama makin membara.
Dan terjadilah apa yang dikehendaki Maharaja Dewata.
Berbulan kemudian, benih nafsu mereka menumbuhkan angkara pada keturunannya. Dan inilah aku, yang ketika lahir membuat ayahku membisu dan ibuku terguguk. Sesuatu yang mengherankan. Bukankah siapa menabur nafsu akan menuai angkara? Aku langsung terlahir dengan sepuluh kepala dan dua puluh tangan, berwujud raksasa yang menggiriskan. Mungkin karena terlampau kecewa, ayah dan ibuku kemudian enggan memeliharaku.
Aku dibuang kepada kakekku, Prabu Sumali, yang justru bisa menerima keadaan fisikku yang berukuran besar di luar nalar.
Beberapa waktu kemudian, aku tahu ayah dan ibuku kecewa ketika lahir anak kedua yang lebih raksasa dariku dan anak ketiga yang juga raksasa meskipun berjenis kelamin wanita.
Ah, benarkah aku terlahir dan kemudian besar hanya untuk mengumbar angkara?
Boleh jadi kalian tak banyak yang tahu. Kakekku, Prabu Sumali, mendidikku agar gemar bertapa dan menjalani pati geni. Ia pernah berbisik bahwa ia ingin aku kelak menjadi satria yang mandraguna tanpa tara, memiliki kelebihan dari siapa pun.
Di puncak Gunung Gohkarna, yang tak pernah diinjak manusia sebelumnya, aku melakukan tapa mati raga. Hitunglah, aku melakukan tapa lima tahun bagi tiap kepala. Jadi, untuk bertapa bagi kesepuluh kepalaku, aku mematikan ragaku tak kurang dari lima puluh tahun. Adakah manusia lain yang menjalani tapa seperti yang aku lakukan?
Batara Guru sendirilah yang turun dari Suralaya ke puncak Gohkarna ketika tapaku tiba pada ujungnya.
"Apa yang kauinginkan dengan mati raga lima puluh warsa?" tanya Batara Guru. Mataku silau oleh pancaran cahaya dari sekujur tubuhnya.
Aku menjawab jujur apa adanya.
"Hamba ingin mendapat kesaktian dan kedigdayaan melebihi siapa pun penghuni arcapada. Bukan hanya yang ada di atas bumi, melainkan juga segala makhluk di bawah bumi, bahkan jauh di Suralaya. Hamba ingin bisa bertiwikrama menjadi sebesar Gohkarna."
Batara Guru tampak terpana. Namun ia tak bisa menarik kata-katanya. "Kupenuhi segala permintaanmu."
Nah, apa yang salah dengan jalan hidupku?
Lima puluh tahun aku bersembunyi di gunung yang terlampau sunyi, tak tahu apa pun yang terjadi di bawah sana.
Atau mungkin justru itulah pangkalnya. Aku terlampau lama bertapa dan belum sepenuhnya siap menjelajahi dunia ketika tiba-tiba mataku terkesima oleh sebuah cahaya yang memancar dari wajah jelita. Sangat jelita. Aku yakin, wajah ibuku yang pernah menggemparkan tak kan ada sepersepuluhnya.
Orang memanggilnya Sinta.
Benar, dia wanita yang didamba siapa saja. Salahkah kalau aku juga memendam cinta?
Ya, cinta.
Inilah mungkin yang menjadi pangkal bencana sehingga aku kemudian dikenal sebagai sang angkara.
Padahal, hanya satu kesalahannya: dia sudah menjadi milik Rama. Dan satu kesalahanku: aku dibakar cinta.
Tapi aku memang berhasrat memilikinya. Aku tak peduli apa pun caranya. Sinta harus menjadi bunga Alengka, seperti ibuku dulu menjadi bunga yang memancarkan keindahannya ke seantero dunia.
O, putri Mantili, mungkin aku menyesal karena sayembara itu terjadi ketika aku masih mesu diri di Gohkarna sehingga seakan-akan hanya ada satu orang yang mampu mengangkat dan mementangkan Gendewa. Tapi tak apalah. Aku yakin bahwa aku belum terlambat untuk memilikinya. Ayodya hanyalah sepetak tanah kecil dibanding Alengka dan negeri-negeri lain yang sudah kutaklukkan seperti Maespati dan Lokapala, dan bagiku Rama terlampau lemah lembut meski kabar sampai juga kepadaku bahwa ia Sang Wisnuputra.
Aku memang menculik Sinta ketika sang jelita justru ditinggal Rama yang terkecoh oleh sebuah permainan sederhana. Lagi pula, untuk apa dewi secantik dia harus menderita di rimba raya?
Kalian tahu, Sinta kutempatkan di bagian istana Alengka yang paling indah. Dan kalian tahu, aku tak pernah menjamahnya meskipun bisa saja kalau hanya kuturuti nafsu belaka.
Aku menawarkan cinta.
Lebih besar daripada yang sudah diberikan Rama.
Ah, Sinta, betapa besarnya cintaku, melebihi apa pun di dunia. Aku rela mempersembahkan apa pun yang kau minta, walaupun harus memindahkan istana Maharaja Suralaya.
Oh, tak pantaskah aku memendam cinta yang membara?
Tak pantaskah raksasa buruk rupa mencinta wanita yang jelita? Bukan salahku terlahir dengan wajah yang buruk tak terkira. Dan bukan salah Sinta, tentu saja, dikaruniai keindahan luar biasa. Dan apakah aku salah memiliki cinta? Bukankah cinta tumbuh begitu saja, tanpa pernah ada rencana?
Kuhadapi segala tantangan, kutaklukkan segala rintangan, meskipun harus pecah perang yang tak pernah kukira. Perang besar yang menghanguskan separo jagat.
�Semua demi cinta.
Dan aku bangga karenanya. Kuhadapi semua bukan demi kemasyhuran atau nama besar. Aku merasa apa yang sudah kumiliki sebelumnya lebih besar daripada sekadar kemasyhuran. Aku lebih perkasa dari siapa pun. Aku lebih digdaya dari semuanya. Aku raja dari segala maharaja.
Hanya satu yang belum kuraih.
Dicinta.
Aku memiliki dan dengan sepenuh hati kuberikan cinta. Karena itu kudambakan juga cinta dari orang yang kucinta. Bukankah itu wajar? Aku mencinta dan aku ingin dicinta. Bukan oleh siapa saja, melainkan oleh Sinta.
Ah, Sinta.
Sayang, demi cinta, aku harus menghadapi nyaris seluruh dunia, bahkan Suralaya. Hanya dibantu rakyatku serta satu adikku, juga anakku, aku menghadapi Rama yang didukung para raja perkasa, bahkan juga salah satu adik kandungku sendiri. Aku, manusia yang meraih taraf kedigdayaan melalui upayaku sendiri, berhadapan dengan lelananging jagat yang memang sudah ditakdirkan untuk menandaskan segala jenis angkara, mendapat bantuan dari para raja, juga resi dan brahmana, serta satria anak-anak dewa, dan bahkan mendapat lindungan dari para dewa sendiri.
Aku bangga. Rakyatku telah bertarung dengan gagah perkasa. Anakku maju dengan dada yang penuh gelora. Adikku pun berlaga dan kemudian perlaya menjadi bunga negeri.
Dan aku maju menadahkan dada dan muka demi keyakinan yang tak juga goyah.
Cinta.
Kuhadapi Rama meski aku tahu bahwa sudah tercatat di garis takdir aku akan perlaya di ujung Guwawijaya.
Hanya saja, sebelum aku melepas nyawa, ketahuilah bahwa tak ada warna putih di atas dunia. Bahkan para dewa, serta maharaja para dewa, menggambar lembar-lembar hidupnya juga dengan goresan nafsu kelabu. Bagaimana mungkin Sang Manikmaya terpikat oleh sang istri di punggung Lembu Andini? Kenapa para dewa juga bisa tergoda oleh wanita-wanita arcapada?
Pahamilah bahwa sang lelananging jagat pun bukanlah satria sempurna. Ia lebih suka mementingkan diri sehingga sang istri dan ayah sendiri tak tahan lagi. Bukankah Dasarata tewas karena kesedihan tak tertahankan oleh kepergiannya ke hutan? Bukankah Rama sendiri tega meninggalkan sang istri demi mengejar sebuah bayang-bayang yang tak nyata? Dan kesalahan yang paling besar, bukankah ia mencurigai sang dewi telah ternoda oleh tangan kasarku sehingga harus menghadapi hukuman tak terkira: terjun ke dalam kobaran api?
Tiap detik, aku memang selalu membayangkan tubuh Sinta seperti membayangkan getaran kepundan Gunung Gohkarna. Namun, aku tak pernah menjamahnya karena aku berharap sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar semburan magma. Yakni cinta.
Karena itu, biarlah aku mati dengan rasa puas di hati. Bahwa sebenarnya keangkaraanku yang terang-terangan tidaklah seberapa dibanding ribuan angkara yang bersaput wajah Brahmana. Aku yakin, angkara yang demikian jauh lebih berbahaya dibanding sekadar angkara seorang Rahwana.***
Bumiayu, akhir 2005.
SUMBER : http://www.pikiran-rakyat.co.id/cetak/2006/062006/24/khazanah/cerpen.htm