Ia adalah Kutub bagi Lingkaran para Ahli Makrifat, Samudra Ilmu yang tak pernah habis, walaupun seluruh makhluk minum darinya untuk memuaskan dahaga spiritual mereka. Ia adalah seorang Raja yang memiliki cahaya murni dari Essens yang Unik dan dilepaskan dari penangkarannya dari Yang Tersembunyi untuk disebarkan kepada semua orang yang Arif. Ia menyingkap sisi gelap bulan dari Sifat-Sifat Ilahi mulai dari buaian sampai ia mencapai keadaannya yang sempurna. Ketika masih muda, ia telah diberi otoritas dan mulai bekerja untuk menerima Rahasia dari Rahasia dan untuk menyingkap Hijab. Ia tidak pernah melirik pada keinginan duniawi. Ia terus maju sampai ia mencapai maqam kewalian tertinggi, di mana ilmu mengenai Intisari Yang Gaib diberikan, dan rahasia mengenai Kenihilan Mutlak diungkapkan. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya dari Kenihilan Mutlak menuju Cahaya Mutlak. Allah membangkitkan Tarekat ini melalui dirinya di zamannya dan Dia mendukungnya dengan Nikmat-Nya. Dia menjadikannya sebagai satu tautan keemasan di dalam Silsilah Keemasan ini, dan Dia menjadikannya salah satu dari pewaris Nabi (s) yang tertinggi.
Syekh Ubaydullah (q) berusaha melakukan yang terbaik untuk membersihkan kotoran dan kegelapan yang telah menutupi kalbu manusia. Ia menjadi matahari untuk menyinari jalan untuk para salik menuju Maqam Keyakinan dan Perbendaharaan Ilmu Spiritual yang tersembunyi.
Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.
Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”
Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya
Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”
Ia berkata,
Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.
Ia berkata,
Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.
Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.
Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”
Ia meriwayatkan,
“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al-Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”
“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”
“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”
“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar. Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”
“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al-Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.
Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu. Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”
“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar. Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”
Keunggulan dalam Khidmah
Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya.
Ia berkata,
Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.
Ia berkata,
Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”
Syekh Ubaydullah (q) berkata,
“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”
Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”
Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an
Ia berkata,
Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.
Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy-syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]? Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.
Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.
Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.
Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.
Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.
Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,
Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.
Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.
Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], iaberkata,
Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.
Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.
Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.
Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya. Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.
Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.
Makna dari Shiddiq
Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.
Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.
Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’
Adab Syekh dan Murid
Ia berkata,
Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.
Ia berkata,
Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.
Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda-beda.
Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’
Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.
Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.
Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”
Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al-Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.
“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.
“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari `Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’
Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”
Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l-i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.
Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as-Samarqandi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1yy-aR0D4hf9e5WUC7K3W9riCpt-J9st1-N0UpFCK0uE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
21. Muhammad az-Zahid, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Kesempurnaannya Orang-Orang yang Saleh, Kejeniusannya para Mursyid dan Intinya Kewalian. Padanya tercurah al-Khilafa al-Rabbaniyyah, dan Kerajaan Spiritual adalah naungannya. Ia menggabungkan Ilmu Surgawi dengan Ilmu Syari`ah di dalam dirinya, dan ia menggenggam tarekat dan hakikat terbaik, sampai ia menjadi lokus bagi semua Wahyu dan Ilham Spiritual. Di dalam dirinya muncul Ilmu dari para Arifiin. Ia terkenal sebagai Orang yang Unik dalam Ilmunya dan dalam Menggunakan Kalam. Di dalam kalbunya ia membawa rahasia yang mempunyai daya tarik bagi kalbu manusia. Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan Wahyu Surgawi di dalam dirinya, dan Yang memberikan Keramat di dalam setiap masalah yang penting. Dia menghiasi dirinya dengan Cahaya Sempurna Sayyidina Muhammad (s) pada awal kenaikannya menuju Maqam Ilmu Spiritual. Ia adalah Rahasia Syekhnya, Qiblat bagi para pengikut Syekhnya, dan Pewaris Ilmu Syekhnya.
Ia menulis sebuah kitab yang dinamakan Silsilat al-`Arifiin wa Tadzkirat ash- Shiddiqiin yang mengenai penanda spiritual Syekhnya, Syekh `Ubaydullah (q). Di dalamnya ia mengatakan,
“Aku berkhidmah pada Syekhku selama 12 tahun sampai beliau wafat, yaitu sejak 883 hingga 895 H. Latar belakang hubungan dan bay’atku kepadanya berawal dari suatu hari di mana aku pergi dengan sahabatku, Syekh Ni`matullah dari Samarqand menuju Herat untuk melanjutkan sekolah kami. Ketika kami sampai di desa Syadiman, kami tinggal selama beberapa hari di sana untuk beristirahat karena saat itu sedang musim panas. Suatu hari Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q) datang ke kota yang sama, dan kami menemuinya pada saat `Ashar.
Beliau bertanya kepadaku darimana aku berasal. Aku berkata, ‘Dari Samarqand.’ Beliau berbicara kepada kami dengan penuh adab. Melalui ucapannya, beliau membuka masalah-masalah pribadi yang ada di dalam hatiku, satu demi satu, hingga beliau mengatakan mengapa aku pergi ke Herat. Itu sangat luar biasa sehingga membuat hatiku tersambung kepadanya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jika tujuanmu adalah untuk menuntut ilmu, kau dapat menemukannya di sini, tidak perlu pergi ke Herat.’ Aku akui bahwa setiap gosip kecil dan inspirasi yang ada di dalam kalbuku terbuka baginya bagaikan halaman-halaman sebuah buku; namun demikian aku masih berniat untuk pergi ke Herat.
Salah satu pengikutnya yang tidak senang dengan niatku berkata, ‘Syekh sedang sibuk menulis, kau boleh pergi.’ Aku tidak pergi, tetapi menunggu sampai Syekh kembali muncul. Akhirnya Syekh kembali dan berkata kepadaku, ‘Sekarang ceritakan kisahmu yang sebenaranya. Mengapa kau ingin pergi ke Herat? Apakah kau ingin mencari jalur spiritual atau kau ingin menuntut ilmu eksternal (ilmu duniawi)’ Temanku menjawab mewakiliku, ‘Ia mencari ilmu spiritual, tetapi ia mengejar ilmu eksternal sebagai pembungkusnya.’ Beliau berkata, ‘Jika seperti itu, bagus.’ Kemudian beliau membawaku ke sebuah taman pribadi dan kami berjalan bersama sampai kami lenyap dari pandangan orang-orang. Beliau menggandeng tanganku dan aku segera mengalami keadaan fana’ yang panjang. Aku memahami bahwa beliau menghubungkan aku dengan Syekhnya dan dari Syekhnya kepada Syekh seterusnya hingga kepada Nabi (s) dan dari Nabi (s) kepada Allah (swt).
Ia lalu mengatakan kepadaku bahwa aku akan mampu membaca dan mamahami tulisannya. Beliau membungkusnya dan memberikannya kepadaku sambil mengatakan bahwa di dalamnya teradapat hakikat ibadah melalui ketaatan, kesalehan dan ketawadukan. Melalui manuskrip ini, jika engkau mengikutinya, kau akan menyadari suatu penglihatan Allah (swt).
Jalan ini adalah berdasarkan cinta kepada Allah, yang berdasarkan pada Sunnah Nabi (s), yaitu mengikuti jejaknya. Nabi (s) bersabda, ‘Kalian harus mengikuti jalanku dan jalan para khalifah setelahku.’ Untuk ini kau harus berkumpul bersama ulama-ulama yang saleh yang merupakan para pewaris Ilmu Agama dan Pewaris Ilmu Surgawi; Pewaris Ilmu Gaib dan Ilmu Sifatullah; Pewaris Cinta Hadratillah. Dengan berkumpul bersama mereka kau akan dibimbing untuk mewujudkan Ilmu Ilahi dan untuk mengikuti jalan Nabi (s) yang murni.
Kau harus menjauhi ulama yang korup, yang menggunakan agama sebagai jalan untuk mengumpulkan kesenangan duniawi dan mendapatkan ketenaran dan jabatan. Hindari Sufi-Sufi yang Menari; mereka bagaikan anak-anak, tidak bertanggung jawab. Jangan dengarkan orang yang berbicara tanpa pemahaman mengenai segala hal yang tidak masuk akal, mengenai halal dan haram tanpa pernah berbicara mengenai pentingnya tidak menyimpang dari Akidah Ahl as-Sunnah wal-Jama`ah.
Jangan dengarkan argumen para filsuf dan orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf kecuali hanya namanya saja, namun berpura-pura sebagai Sufi. Wahai anakku, semoga Allah menyambutmu dengan salam Islam.
Beliau kemudian kembali ke majelisnya, membacakan Fatihah untukku dan mengizinkan aku untuk pergi ke Herat. Aku lalu meninggalkan hadiratnya dan mengarahkan langkahku ke Bukhara. Beliau mengutus seseorang kepadaku, membawakan sebuah surat untuk Syekh Kallan, putra Mawlana Sa`d ad-din al-Kashgari. Di dalam surat itu tertulis, ‘Kau harus merawat putraku yang membawa suratku ini dan menjaganya dari ulama-ulama yang buruk.’ Ketika aku melihat isyarat baik darinya, cintaku terhadapnya tertanam dalam kalbuku. Tetapi aku tidak kembali kepadanya, namun tetap melanjutkan perjalan ke Herat.
Jalan menuju Bukhara memakan waktu yang lama, karena tungganganku lemah. Aku harus berhenti setiap satu atau dua mil. Aku telah menempuh perjalanan dengan enam keledai ketika akhirnya tiba di Bukhara. Ketika aku tiba mataku sakit sehingga aku tidak dapat melihat selama beberapa hari. Ketika kondisiku membaik dan aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke Herat, aku mengalami demam yang tinggi. Aku merasa sangat sakit sampai terpikir olehku bahwa jika aku melanjutkan perjalananku, mungkin aku akan mati. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kemudian kembali untuk berkhidmah kepada Syekh.
Setelah aku sampai di Tashkent, aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi. Aku meninggalkan buku-bukuku, pakaianku, dan tungganganku pada seseorang. Salah satu pembantu Syekh `Ubaydullah (q) melihatku di jalan. Aku berkata, ‘Mari kita mengunjungi Syekh.’ Ia berkata, ‘Di mana tungganganmu? Bawalah ke rumahku setelah itu baru kita pergi.’ Ketika aku akan mengambil tungganganku itu sebuah suara datang kepadaku, ‘Hewan tungganganmu sudah mati dan semua barang yang ada di sana sudah hilang.’ Aku menjadi sangat bingung. Aku menyadari bahwa Syekh tidak senang dengan rencanaku mengunjungi Syekh Ilyas. Suatu pikiran terlintas di dalam hatiku, ‘Lihatlah bagaimana Syekh telah mengarahkan semua kekuatannya untuk mengangkatku sementara aku memutuskan untuk mendatangi orang lain.’ Aku memutuskan untuk tidak mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi tetapi langsung mendatangi Syekh `Ubaidullah al-Ahrar. Ketika hal ini masuk ke dalam hatiku, seorang pria mendatangiku dan berkata, ‘Kami menemukan hewan tungganganmu beserta barang-barangmu di sana.’ Aku mendatangi orang yang kutitipkan hewan dan barang-barangku padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Aku mengikat hewan tungganganmu di sini, tetapi ketika aku melihatnya kembali ia telah lenyap. Aku lalu mencarinya ke mana-mana. Seolah-olah bumi telah menelannya. Kemudian aku kembali lagi, ternyata aku menemukannya di sana, tepat di tempat aku mengikatnya semula.’ Aku lalu mengambil hewan itu dan pergi menuju Samarqand untuk menemui Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q). Ketika aku tiba, beliau keluar menyambutku, ‘Selamat datang, selamat datang.’ Aku tinggal bersama Syekh dan tidak pernah meninggalkannya lagi sampai akhir hayatnya.
Ia mempunyai keyakinan yang sempurna. Ia menerima apapun yang dikatakan oleh Syekhnya dan tidak ada yang dapat mengubah keyakinannya itu. Ia berkata,
Syekhku sering berbicara mengenai spiritualitas dan ilmu rahasia. Beliau selalu mengarahkan bicaranya kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Ketika kau mendengarku berbicara tentang Hakikat Ilahiah, apakah hal itu menimbulkan konflik terkait dengan keyakinan yang kau dapat dari orang tuamu atau gurumu?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu engkau adalah orang yang dapat kami ajak bicara.’
Suatu hari Syekhku sakit dan beliau memintaku untuk memanggil seorang dokter dari Herat. Mawlana Qassim datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, lakukan perjalananmu dengan cepat karena Syekh tidak tahan untuk sakit yang lama.’ Aku lalu menempuh perjalanan dengan cepat dan kembali dengan seorang dokter tetapi aku mendapati Syekh dalam keadaan sehat, sementara Mawlana Qassim telah wafat. Perjalananku memakan waktu tiga puluh lima hari. Aku bertanya kepada Syekhku, ‘Bagaimana Mawlana Qassim wafat padahal beliau masih muda?’ Beliau berkata, ‘Ketika kau pergi Mawlana Qassim mendatangiku dan berkata, ‘Aku memberikan hidupku untukmu.’ Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, jangan lakukan itu, karena begitu banyak orang yang mencintaimu.’ Ia berkata, ‘Wahai Syekhku, aku datang ke sini bukan untuk berkonsultasi padamu. Aku telah mengambil keputusan dan Allah telah menerimanya dariku.’ Apapun yang kukatakan, aku tidak bisa mengubah keputusannya. Hari berikutnya ia menjadi sakit dan penyakit yang sama denganku, yang terefleksi padanya. Ia wafat pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal dan dengan cepat aku menjadi pulih tanpa memerlukan seorang dokter.’”
Syekh Muhammad az-Zahid wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 926 H/1520 M. di Samarqand. Ia meneruskan rahasianya kepada keponakannya, Syekh Darwisy Muhammad as-Samarqandi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1i6qAE4l2eQg1lryyLC8WsOdkFj4HjkYeFj8d3V9Jb0A/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
22. Darwisy Muhammad, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang Ghawts dari para Awliya yang termasyhur dan Berkah dari para Ulama Islam. Ia adalah Fajar dan Cahaya bagi Timur dan Barat. Ia adalah Master bagi Kerajaan Bimbingan. Ia dibesarkan di rumah pamannya yang mengajarinya akhlak terpuji, mendidiknya dengan ilmu agama dan spiritualitas, dan merawatnya dari keran moralitas dan etika. Ia memuaskan dahaganya dengan Hakikat Surgawi dan Ilmu Gaib, sampai kalbunya menjadi Rumah bagi Wahyu Ilahi, sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Langit dan bumi tidak bisa menampung Aku, tetapi kalbu hamba-Ku yang Mukmin dapat menampung-Ku.”
Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru-guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.
Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”
Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu
Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”
Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.
Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.
Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”
Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).
Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid-muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.
Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1Y6gcWmYyY13ESgsuYm90G7MkKXaiJR-Ltr3lsyxTaVs/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
23. Muhammad Khwaja al-Amkanaki, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Pewaris Rahasia-Rahasia Nabi (s) dan yang Utama di antara para Awliya Terpilih. Ia adalah seorang Imam yang kemegahannya diketahui oleh semua orang dan yang keberkahannya menjangkau tempat yang luas.
Ia dilahirkan di daerah Amkana, sebuah desa di Bukhara. Ia dibesarkan oleh ayah dan pamannya. Selama masa kanak-kanaknya ia mendapat bimbingan yang sangat baik, sampai ia menjadi seperti orang yang berada di bawah sebuah kubah mulia, yang melindunginya dari segala noda. Ia tidak pernah menemukan suatu karakteristik yang baik kecuali kemudian ia mendapatkannya. Kesalahan apapun, bahkan yang terkecil akan dibuangnya. Ia tidak pernah menjumpai suatu maqam yang tinggi tanpa mencakupnya, begitu pula dengan rahasia yang berharga tanpa ia menjaganya, dan juga rasa spiritual yang lezat tanpa menikmatinya. Ia mengikuti ayahnya seperti matahari di hari yang cerah dan bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Ia duduk di Singgasana Penerus dan ia berusaha melakukan yang terbaik untuk mengangkat kalbu para pengikutnya. Ia mengenakan Burdah (Mantel) Qutub dan setiap atom di dunia ini, termasuk pada manusia atau binatang, tumbuhan atau benda-benda tak bergerak mendapat dukungan dari spiritualitasnya. Cahaya dari kekuatannya menerangi Jalan dari Tarekat ini, sehingga kemasyhurannya tersebar luas, dan orang-orang berdatangan untuk menimba ilmunya, mendapat bimbingan melalui cahayanya dan mendapat pencerahan melalui bimbingannya. Pintunya menjadi tujuan bagi setiap Arifin dan Qiblat bagi kalbu para Shalihin. Ia dibusanai dan dihiasi dengan Atribut Ilahi, membuktikan posisinya yang tinggi di Dimensi Surgawi.
Berikut ini adalah beberapa ucapannya yang diberkati,
“Setiap orang harus tahu bahwa agar seorang salik mengalami kemajuan di dalam Tarekat ini, pertama ia harus memanaskan gambaran Syekhnya ke dalam kalbunya, sampai jejak-jejak panas dari koneksi itu menjadi dapat terlihat. Ia harus mengarahkan panas itu menuju Kalbu yang Mendasar (Hakiki, Esensial) dan Universal. Ini adalah level kalbu di mana terdapat hakikat gabungan dari seluruh manusia dan seluruh makhluk, baik duniawi maupun surgawi. Meskipun tidak ada inkarnasi fisik, semua leluhur dan pada akhirnya seluruh makhluk hadir di dalam kalbu Esensial. Sorang salik tidak boleh terganggu oleh detail-detail pada makhluk, tetapi haru mengarahkan kekuatan kalbunya menuju Dzat yang Hakikat-Nya mencakup segala sesuatu. Ia harus terbebas dari segala keraguan terkait manifestasi Dzat yang selalu Hadir, dan harus tahu bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah (swt). Ia harus melihat dengan Mata Kebenaran bahwa semua makhluk muncul dan menjadi nyata semata-mata hanya melalui Allah.”
“Yang diminta dari Tarekat ini adalah mengarahkan diri kalian menuju Maqam Pengikisan Diri dan Maqamul Fana, yang merupakan Maqam Pertama dari Kebingungan. Ini akan mengantarkan kalian menuju Maqam Penerimaan Cahaya Murni dari Esens. Pada maqam itu tidak ada elemen lain yang ada kecuali Esens yang Murni tersebut. Bahkan Nama dan Sifat tidak bisa muncul di dalam Maqam Esens yang Murni tersebut. Orang yang dapat mencapai Maqam Esens yang Murni lebih tinggi daripada orang yang berada pada Maqam Asma wal Sifat.”
Ia wafat pada tahun 1016 H. Ia meneruskan rahasianya kepada Syekh Muayyidu-d-Din Muhammad al-Baqi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1waI1yZqix2X8aj89uHEQQEwEgDDZS80yzG_Fa0YU9y4/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
24. Muhammad al-Baqi bi-l-Lah, qaddasa-l-Lahu sirrah
Semoga Allah Mensucikan Rahasianya
Ia adalah seorang Arif, seorang yang fana billah dan baqa billah, yang telah diangkat ke Maqam Penglihatan tertinggi. Ia adalah Rahasia (sirr) dari Rahasia-Rahasia Allah dan Keramat dari Keramat-Keramat Allah. Di dalam dirinya ia menggabungkan dua tipe ilmu, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Allah mengaruniainya dari dua Samudra, dan memberinya Otoritas dari dua alam, yaitu alam manusia dan jin.
Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) mengatakan, “Muhammad al-Baqi adalah orang yang duduk di Singgasana seluruh Syekh, dan ia adalah Deputi dari seluruh Syekh di dalam Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi, yang telah mencapai batas Tak Hingga, yang telah mencapai Maqam-Maqam Kewalian tertinggi. Ia adalah seorang Qutub yang menyokong setiap makhluk di bumi ini. Ia menyingkap rahasia-rahasia yang hakiki. Ia adalah yang membenarkan Maqam Hakikat dari Nabi Muhammad (s). Ia adalah Pilar bagi Ahlul Irsyad. Ia adalah Esens dari Orang-Orang Arif dan seorang Muhaqqiqin.”
Ia lahir pada tahun 972 H. di kota Kabul, di negeri `Ajam yang merupakan daerah koloni Kesultanan India. Ayahnya adalah seorang hakim bernama, Abdu-s-Salam. Ia pergi ke India pertama kalinya dalam urusan pribadi. Di sana ia tertarik oleh suatu Daya Tarik Ilahiah. Ia lalu meninggalkan kehidupan duniawi dan mengejar ilmu spiritual dari Syekh di zamannya. Ia terus berkumpul dengan para syekh dan awliya sampai ia sendiri menjadi sebuah samudra keilmuan dan menjadi seorang wali. Ia kemudian sering bepergian sampai ia tiba di kota Samarqand. Di sana ia menghubungkan diri dengan Syekh di zamannya, yaitu Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). Dari beliau ia menerima Tarekat Naqsybandi.
Dalam waktu yang sangat singkat ia menerima apa yang memerlukan waktu seumur hidup bagi seorang salik untuk dapat menerimanya. Ia juga diangkat melalui bimbingan spiritual dari Syekh Ubaidullah al-Ahrar (q). Kehormatannya menjadi terkenal di mana-mana. Syekhnya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q), memberinya otoritas untuk membimbing para pengikutnya dan melatih mereka untuk menjalankan tarekatnya. Beliau memerintahkannya untuk kembali ke India. Beliau memprediksikan, “Kau akan mempunyai seorang murid yang akan menjadi seperti matahari.” Kelak murid yang dimaksud adalah Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi (q).
Ia kembali ke India dan tinggal di kota Delhi-Jahanabad, yang diisinya dengan iman, ilmu, rahasia-rahasia dan cahaya. Melaluinya Tarekat Naqsybandi tersebar ke seluruh penjuru Sub Benua India dan jutaan orang terhubung kepadanya melalui para deputinya. Seluruh bangsa di Sub Benua India tertarik terhadap ilmu dan kekuatan Surgawinya dan mereka tertarik terhadap akhlak kenabian yang disandangnya. Menjadi termasyhur di seluruh Sub Benua India bahwa setiap orang yang datang kepadanya lalu memandang matanya, atau duduk di dalam majelisnya, melakukan zikir, ia akan memasuki suatu keadaan peniadaan diri (gaib) yang dengannya ia akan mencapai keadaan fana, melalui sekali pertemuan. Dengan keramatnya ini, ia menarik jutaan orang hingga Tarekat Naqsybandi menjadi buah bibir setiap orang di zamannya.
Ia wafat pada hari Rabu, 14 Jumadil-Akhir 1014 H. di kota Delhi dalam usia 40 tahun dan empat bulan. Makamnya berada di sebelah barat kota Delhi.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1RzPgNj8BqDyUpDErl6o6vggk-nAym9cU6_LDkI1rgE0/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
25. Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Mutiara dari Mahkotanya para Awliya yang Berilmu. Ia adalah Harta bagi mereka yang Muncul Sebelumnya dan yang Lahir Setelahnya. Di dalam dirinya tergabung seluruh nikmat dan kemurahan mereka. Ia adalah Bukit Sinainya dari Tajali Ilahi, Pohon Lotus Terjauh dari Ilmu yang Khas, dan Mata Air dari Ilmu Kenabian yang Tersembunyi. Ia adalah Sang Jenius di antara para Ulama, dan ia adalah Sultan bagi bumi, yang tersenyum ketika ia dilahirkan dan dimuliakan dengan kehadirannya. Ia adalah seorang Mursyid Kamil Mukammil. Ia adalah Sang Penyeru menuju Hadirat Allah, seorang Qutub dan Imam yang Unik. Ia adalah Sang Mujahid bagi Milenium Kedua, Sayyidina wa Mawlana (Junjungan dan Guru kami) asy-Syekh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, ibn asy-Syekh `Abdul Ahad, ibn Zainu-l-`Abidin, ibn `Abdulhayy, ibn Muhammad, ibn Habibullah, ibn Rafi`uddin, ibn Nur, ibn Sulayman, ibn Yusuf, ibn `Abdullah, ibn Ishaq, ibn `Abdullah, ibn Syu`ayb, ibn Aad, ibn Yusuf, ibn Syihabuddin, yang dikenal sebagai Farq Syah al-Qabidi, ibn Nairuddin, ibn Mahmud, ibn Sulayman, ibn Mas`ud, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Asghari, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Akbar, ibn Abdu-l-Fattah, ibn Ishaq, ibn Ibrahim, ibn Nair, ibn Sayyidina `Abdullah (r), ibn Amir al-Mu’minin, Khalifah Nabi (s), Sayyidina `Umar al-Faruq (r).
Ia dilahirkan pada hari `Asyura, 10 Muharram tahun 971 H., di desa Sihar Nidbasin. Dalam beberapa terjemahan desa itu disebut Sirhind di kota Lahore, India. Ia menerima ilmu dan pendidikannya melalui ayahnya dan melalui banyak syekh di zamannya. Ia mengalami kemajuan di dalam tiga tarekat: Suhrawardiyya, Qadiriyya, dan Chistiyya. Ia diberi izin untuk melatih para pengikutnya di dalam ketiga tarekat itu pada usia 17 tahun. Ia sibuk dalam menyebarkan ajaran tarekat ini dan dalam membimbing para pengikutnya, namun ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya dan ia terus-menerus mencarinya. Ia merasa tertarik dengan Tarekat Naqsybandi, karena melalui rahasia dari ketiga tarekat yang dijalaninya ia dapat melihat bahwa Tarekat Naqsybandi adalah yang terbaik dan tertinggi. Kemajuan spiritualnya akahirnya membawanya ke hadirat Ghawts dan Qutub di zamannya, yaitu asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q), yang telah diutus dari Samarqand ke India atas perintah Syekhnya, yaitu Syekh Muhammad al-Amkanaki (q). Ia lalu mengambil Tarekat Naqsybandi dari asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q) dan tinggal bersamanya selama dua bulan dan beberapa hari, hingga Sayyidina Muhammad al-Baqi (q) membukakan bagi kalbunya rahasia dari tarekat ini dan memberinya otoritas untuk melatih murid-murid dalam tarekat ini. Beliau berkata mengenai Syekh Ahmad al-Faruqi (q), “Ia adalah Qutub tertinggi di zaman ini.”
Nabi (s) memprediksikan kemunculannya di dalam salah satu haditsnya, di mana beliau (s) bersabda, “Akan ada di antara umatku, seorang pria yang dipanggil Silah. Melalui syafaatnya banyak orang yang akan diselamatkan.” Hal ini disebutkan di dalam koleksi Suyuti, Jam`ul-Jawami`. Yang menegaskan mengenai kebenaran dari hadits ini adalah apa yang ditulis oleh Imam Rabbani mengenai dirinya sendiri, “Allah telah menjadikan aku sebagai Silah di antara dua Samudra.” Silah artinya “hubungan.” Jadi yang ia maksudkan adalah bahwa Allah menjadikannya sebagai penghubung antara dua samudra--dua ilmu, yaitu ilmu lahir dan batin. Syekh Mir Husamuddin berkata, “Aku melihat Nabi (s) di dalam sebuah mimpi di mana beliau (s) berdiri di atas minbar dan memuji Syekh Ahmad as-Sirhindi. Nabi (s) bersabda, ‘Aku bangga dan senang dengan kehadirannya di antara umatku. Allah menjadikannya sebagai seorang mujahid, yang membangkitkan agama.’”
Banyak awliya yang memprediksikan kemunculannya. Salah satu di antara mereka adalah Syekh Ahmad al-Jami (q). Beliau berkata, “Setelah aku akan muncul tujuh belas orang Ahlullah, semuanya bernama Ahmad dan yang terakhir di antara mereka akan menjadi kepala dari mileniumnya. Ia akan menjadi yang tertinggi di antara mereka semua dan ia akan menerima Maqamul Kasyf. Ia akan membangkitkan agama ini.”
Selain itu yang memprediksikan kedatangannya adalah Mawlana Khwaja al-Amkanaki (q). Beliau berkata kepada khalifahnya, “Seorang pria dari India akan muncul. Ia akan menjadi imam bagi abad ini. Ia akan dilatih olehmu, jadi bergegaslah untuk bertemu dengannya, karena para Ahlullah menanti kedatangannya.” Muhammad al-Baqi (q) berkata, “Itulah sebabnya aku pindah dari Bukhara ke India.” Ketika mereka bertemu beliau berkata kepadanya, “Kau adalah orang yang kemunculannya telah diprediksikan oleh Syekh Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). Ketika aku melihatmu, aku tahu bahwa engkau adalah Qutub di zamanmu. Ketika aku memasuki daerah Sirhindi di India, aku menemukan sebuah lampu yang sangat besar dan sangat terang hingga cahayanya sampai ke langit. Setiap orang mengambil dari cahaya lampu itu. Dan engkau adalah lampu itu.”
Dikatakan bahwa Syekh ayahnya, yaitu Syekh `Abdul Ahad, yang merupakan seorang syekh dari Tarekat Qadiri telah memberikan sebuah jubah dari syekhnya yang diwariskan dari Ghawts al-Azham, Sayyidina `Abdul Qadir al-Jilani (q). Sayyidina `Abdul Qadir mengatakan kepada penerusnya, “Simpanlah untuk seseorang yang akan muncul pada akhir dari milenium pertama. Namanya adalah Ahmad. Ia akan membangkitkan agama ini. Aku telah membusanainya dengan seluruh rahasiaku. Di dalam dirinya terpadu ilmu lahir dan batin.”
Pencarian Raja-Raja dan Raja-Raja Pencari
Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) berkata,
“Ketahuilah bahwa Penjaga Langit menarikku karena mereka ingin agar aku tertarik, dan mereka memfasilitasiku dengan jalan untuk melintasi ruang dan waktu (at-tayy) dalam berbagai maqam salik yang berbeda-beda. Aku mendapati bahwa Allah adalah Inti bagi semua hal, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para Ahli Tasawuf. Kemudian aku mendapati Allah di dalam semua hal tanpa inkarnasi (hulul). Lalu aku mendapati Allah bersama semua hal. Kemudian aku melihat-Nya di depan semua hal dan kemudian aku melihat-Nya mengikuti semua hal. Akhirnya aku sampai pada maqam di mana aku melihat-Nya dan aku tidak melihat yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan istilah Musyahadah, yang juga merupakan Maqamul Fana’. Itu adalah tahap pertama dalam Kewalian, dan merupakan maqam tertinggi dalam Memulai Tarekat ini. Penglihatan ini pertama muncul di cakrawala, kemudian yang keduanya di dalam Diri. Kemudian aku diangkat ke Maqamul Baqa’ yang merupakan tahap kedua dalam Kewalian.
“Ini adalah sebuah maqam yang jarang dibicarakan oleh para Awliya, karena mereka tidak mencapainya. Mereka semua berbicara mengenai Maqamul Fana’, tetapi maqam berikutnya adalah Maqamul Baqa’. Pada maqam itu sekali lagi aku mendapati semua makhluk tetapi aku melihat bahwa inti dari semua makhluk ini adalah Allah, dan Dzat Allah adalah Inti dari diriku. Lalu aku mendapati Allah di dalam semua hal, tetapi pada hakikatnya di dalam diriku. Aku diangkat ke maqam yang lebih tinggi, untuk melihat bahwa Allah bersama segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia bersama dengan diriku. Lalu aku diangkat untuk melihat bahwa Dia mendahului segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mendahului diriku. Lalu aku diangkat ke suatu maqam di mana Dia mengikuti segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mengikuti diriku. Lalu aku melihat-Nya di dalam segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia berada di dalam diriku. Lalu aku melihat segala hal tetapi aku tidak melihat Allah. Dan ini adalah akhir dari semua maqam di mana mereka telah membawaku sejak awal. Singkatnya, mereka mengangkatku ke Maqamul Fana’, lalu ke Maqamul Baqa’ dan mereka membawaku kembali bersama orang-orang, pada Maqam orang-orang awam. Ini adalah maqam tertinggi dalam membimbing orang ke Hadratillah. Itu adalah Maqamul Irsyad yang sempurna, karena cocok dengan pemahaman manusia.”
Ia berkata, “Hari ini aku menemani orang yang telah mencapai Ujung dari Ujung, Qutub bagi seluruh makhuk, seorang Insan Kamil, Syekh Muhammad al-Baqi (q). Melalui dirinya aku menerima berkah yang luar biasa, dan dengan berkahnya aku dikaruniai Haqiqatul Jadzbah, kekuatan daya tarik yang membuatku dapat mencapai setiap manusia yang telah diciptakan Allah. Aku diberi kehormatan untuk mencapai suatu maqam yang menggabungkan Maqamul Awwal dengan Maqamul Akhir. Aku mencapai semua maqam Pencarian dan aku mencapai Maqamul Akhr, yang merupakan makna dari ‘Mencapai Nama ar-Rabb’, melalui dukungan Sang Singa Allah, Asadullah, `Ali ibn Abi Thalib karamallaahu wajhah, semoga Allah memuliakan wajahnya. Aku diangkat ke Maqamul Arasy, yang merupakan Hakikat dari Kebenaran Muhammad (s), dengan dukungan (madad) dari Syah Baha’uddin Naqsyband. Kemudian aku diangkat lebih tinggi lagi, ke Maqamul Jamaal, yang merupakan maqam Kebenaran dari Qutub-Qutub Muhammad (s) dengan dukungan dari Ruh Nabi yang suci.
“Aku mendapat dukungan dari Syekh `Ala’uddin al-`Aththaar, yang darinya aku menerima Maqam-Maqam Qutub Spiritual Terbesar (al-qutubiyyati-l-`uzhma) dari Hadirat Nabi Muhammad (s). Kemudian Perhatian Ilahiah Allah menarikku dan aku naik menuju ke suatu Maqam di atas Qutub-Qutub itu, suatu Maqam Asal yang Istimewa. Di sini dukungan dari al-Ghawts al-A`zham, `Abdul Qadir Jilani (q) mendorongku ke atas menuju Maqam Asal dari Asal. Kemudian aku diperintahkan untuk turun kembali, dan ketika aku kembali aku melewati ke-39 tarekat selain Naqsybandiyyah dan Qadiriyyah. Aku melihat maqam-maqam dari syekh mereka dan mereka menyapa dan menyalamiku dan mereka memberikan semua harta perbendaharaan mereka dan semua ilmu pribadi mereka yang membuatku dapat menyingkap hakikat yang belum pernah tersingkap bagi orang lain di zamanku.
“Kemudian dalam perjalanan turunku, aku bertemu dengan Khidr (a), dan beliau menghiasi diriku dengan Ilmu Surgawi (`ilmu-l-ladunni) sebelum aku mencapai maqam para Qutub.”
“Abu Dawud mengatakan di dalam sebuah hadits autentik bahwa Nabi (s) bersabda, ‘Pada setiap awal abad Allah akan mengirimkan seseorang yang akan membangkitkan agama,’ tetapi ada perbedaan antara Mujahid bagi suatu abad dengan Mujahid bagi suatu milenium. Hal itu seperti perbedaan antara seratus dengan seribu.”
“Di dalam suatu penglihatan spiritual, Nabi (s) memberiku kabar gembira, ‘Kau akan menjadi pewaris spiritual dan Allah akan memberimu otoritas untuk memberi syafaat atas nama ratusan ribu orang pada Yawmil Hisab.’ Dengan tangan sucinya beliau (s) memberiku otoritas untuk membimbing orang dan beliau (s) berkata kepadaku, ‘Aku tidak pernah memberi otoritas itu sebelumnya.’”
“Ilmu yang muncul dariku berasal dari maqam Kewalian, tetapi aku menerimanya dari Cahaya Nabi Muhammad (s). Para Wali tidak dapat membawa ilmu semacam itu, karena itu di luar ilmu mereka. Itu adalah Ilmu dari Inti Agama ini dan Inti dari Ilmu tentang Dzat Allah wal Sifat. Tidak ada orang yang membicarakan hal semacam itu sebelumnya dan Allah telah mengaruniaiku untuk membangkitkan agama ini pada milenium kedua.”
“Allah menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia dari Tauhid yang Unik dan Dia mencurahkan ke dalam kalbuku segala macam Ilmu Spiritual dan pemurniannya. Dia menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia ayat-ayat suci al-Qur’an sehingga aku dapat menemukan samudra ilmu di bawah setiap huruf dari al-Qur’an yang semua menunjukkan Maha Tingginya Dzat Allah (swt). Jika aku mengungkapkan satu kata dari rahasia tersebut, mereka akan memenggal leherku, sebagaimana yang mereka lakukan kepada Hallaj dan Ibn `Arabi. Ini adalah makna dari hadits Nabi (s) di dalam Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah (r), “Nabi (s) mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku ungkapkan kepada orang, tetapi yang kedua jika aku mengungkapkannya mereka akan menggorok leherku.”
“Allah (swt) telah menunjukkan kepadaku semua nama yang masuk ke dalam tarekat kita, sejak zaman Sayyidina Abu Bakr (r) hingga Yawmil Hisab, baik pria maupun wanita, dan mereka semua akan masuk ke dalam Surga, dengan syafaat dari para syuyukh dalam tarekat ini.”
“Al-Mahdi (a) akan menjadi salah satu pengikut tarekat ini.”
“Suatu hari aku sedang berzikir bersama para pengikutku, kemudian suatu inspirasi masuk ke dalam kalbuku bahwa aku telah melakukan suatu hal yang salah. Kemudian Allah membukakannya kepada mataku, ‘Aku telah mengampuni orang yang duduk bersamamu dan orang yang meminta syafaat melalui dirimu.’”
“Allah telah menciptakan aku dari residu Nabi-Nya (s).”
“Ka`bah selalu datang dan melakukan tawaf di sekelilingku.”
“Allah (swt) berkata kepadaku, ‘Siapapun orang yang kau salati jenazahnya, ia akan diampuni, dan jika orang mencampurkan tanah dari makammu dengan tanah dari makam mereka, mereka pun akan diampuni.”
“Allah berkata, ‘Aku telah memberimu karunia dan kesempurnaan yang istimewa yang tidak pernah diterima oleh seseorang sampai zamannya Mahdi (a).’”
“Allah memberiku kekuatan irsyad (memberi bimbingan) yang luar biasa. Bahkan jika aku mengarahkan bimbinganku kepada sebuah pohon yang mati, ia akan menghijau kembali.”
Seorang syekh besar menulis surat kepadanya, “Maqam-maqam yang telah kau raih dan kau bicarakan, apakah para Sahabat mendapatkannya, dan jika ya, apakah mereka menerimanya pada sekali waktu atau dalam waktu yang terpisah?” Ia menjawab, “Aku tidak dapat memberimu jawaban kecuali jika engkau datang ke hadiratku.” Ketika syekh itu datang, dengan segera ia menyingkapkan hakikat spiritualnya dan membersihkan kegelapan dari kalbunya sampai syekh itu berlutut dan berkata, “Aku percaya, aku percaya! Sekarang aku melihat bahwa maqam-maqam ini semunya tersingkap kepada para Sahabat hanya dengan melihat Rasulullah (s).”
Suatu ketika di bulan Ramadan, ia diundang oleh sepuluh orang muridnya untuk berbuka puasa bersama mereka. Ia menerima undangan mereka satu per satu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, ia hadir di setiap rumah, berbuka puasa, dan mereka melihatnya bersama mereka di rumah mereka masing-masing pada saat yang bersamaan.
Suatu saat ia melihat ke langit yang saat itu sedang hujan. Ia berkata, “Wahai hujan, berhentilah sampai jam anu dan anu.” Hujan itu lalu berhenti tepat sampai waktu yang ia sebutkan, setelah itu hujan kembali turun.
Suatu ketika Raja memerintahkan seorang pria untuk dieksekusi. Orang itu mendatangi Syekh Ahmad dan berkata, “Mohon tulislah surat untuk menghentikan eksekusiku.” Ia lalu menulis surat kepada Sultan, “Jangan eksekusi orang ini.” Sultan merasa takut terhadap Sayyidina Ahmad al-Faruqi dan mengampuni orang itu.
Suatu ketika seorang murid berniat untuk mengunjungi Syekh Ahmad al-Faruqi (q). Dalam perjalanan ia diundang untuk menjadi tamu seseorang yang tidak menyukai syekh. Namun demikian murid itu tidak mengetahui hal ini. Setelah makan malam, tuan rumah mulai mencaci Syekh. Menjelang tidur pada malam itu, dalam hatinya ia berkata, “Ya Allah, aku datang untuk mengunjungi Syekh, bukannya mendengar seseorang yang mengutuk Syekh. Ampunilah aku.” Ia lalu tidur dan ketika ia bangun ia mendapati bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Ia lalu segera pergi menemui Syekh dan menceritakan semuanya. Sayyidina Ahmad al-Faruqi mengangkat tangannya dan berkata, “Berhenti! Tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Akulah yang menyebabkan kejadian itu.”
Ia berkata,
“Aku diberi otoritas untuk memberi tarekat dalam tiga tarekat yang berbeda: Naqsybandi, Suhrawardi dan Chistiyyah.”
Ia begitu terkenal hingga membuat iri para ulama ilmu lahiriah di zamannya. Mereka datang kepada Raja dan berkata, “Ia mengatakan hal-hal yang tidak dapat diterima dalam agama.” Mereka mendesak Raja untuk memasukannya ke dalam penjara. Akhirnya ia dimasukkan ke dalam penjara selama tiga tahun. Putranya, Syekh Sayyid berkata, “Ia berada dalam pengawasan yang sangat ketat di penjara. Para penjaga ditempatkan di sekeliling selnya. Namun demikian setiap hari Jumat ia akan terlihat di masjid jami. Tidak peduli pengawasan seketat apapun yang diberikan, ia tetap dapat meloloskan diri dari penjara dan muncul di masjid.” Dari sini mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menempatkannya di dalam penjara dan akhirnya mereka pun membebaskannya.
Ia menuliskan banyak buku, salah satu yang paling terkenal adalah Maktubat.
Di dalamnya ia berkata,
“Harus diketahui bahwa Allah telah menempatkan kita di bawah Perintah dan Larangan-Nya. Allah berfirman, ‘Apapun yang diberikan oleh Nabi kepadamu, ambillah, apapun yang telah dilarangnya, tinggalkanlah.’ [59:7] Jika kita ikhlas dalam hal ini, kita harus mencapai Fana’ dan cinta pada Dzat-Nya. Tanpa ini kita tidak bisa meraih derajat kepatuhan. Jadi, kita berada di bawah kewajiban lainnya, yaitu mencari Jalan Sufisme, karena Jalan ini akan membimbing kita menuju Maqamul Fana’ dan Cinta pada Dzat-Nya. Setiap tarekat berbeda satu sama lain dalam hal maqam-maqam kesempurnaannya, begitu pula dalam hal menjaga Sunnah Nabi (s) dan memiliki definisi sendiri mengenai apa yang diperlukan. Setiap tarekat mempunyai jalan masing-masing dalam menjaga Sunnah Nabi (s). Tarekat kita, melalui para syuyukh meminta kita untuk menjaga seluruh perintah Nabi (s) dan meninggalkan hal-hal yang dilarangnya. Syekh kita tidak mengikuti jalan yang mudah (rukshah) tetapi berusaha keras menjaga jalan yang sulit (azimah). Dalam semua langkah mereka, mereka selalu ingat ayat Qur’an, ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau jual beli dari Mengingat Allah’ [24:37].
“Dalam perjalanan menuju penyingkapan Hakikat Ilahiah, seorang salik bergerak melalui tahapan-tahapan ilmu dan kedekatan yang beragam terhadap Tuhannya:
- “Bergerak menuju Allah adalah gerakan vertikal dari maqam-maqam yang lebih rendah menuju maqam-maqam yang lebih tinggi; sampai gerakannya melampaui ruang dan waktu dan seluruh maqam melebur menjadi apa yang disebut `Ilm ul-
wajib Allah. Ini juga disebut Fana’.
- “Bergerak di dalam Allah adalah tahapan di mana seorang salik bergerak dari maqam Asma wal Sifat menuju sebuah maqam yang tidak dapat digambarkan oleh kata ataupun tanda. Ini adalah Maqam Baqa bi’l-Lah.
- “Bergerak dari Allah adalah tahapan di mana seorang salik kembali dari alam surgawi ke dunia sebab dan akibat, turun dari maqam ilmu tertinggi ke maqam terendah. Di sini ia melupakan Allah oleh Allah, dan ia mengenal Allah dengan Allah dan ia kembali dari Allah kepada Allah. Ini disebut Maqam Yang Terjauh dan Terdekat.
- “Bergerak di dalam sesuatu adalah bergerak di dalam makhluk. Ini melibatkan pengetahuan yang erat semua elemen dan maqam-maqam di dunia ini setelah lenyap dalam Maqamul Fana’. Di sini seorang salik dapat mencapai Maqamul Irsyad, Maqam Bimbingan, yang merupakan maqam para Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak Nabi (s). Ia membawa Ilmu Ilahi ke dunia makhluk untuk membangun Bimbingan.
“Seluruh proses bagaikan memasukkan benang ke dalam jarum. Benang mencari lubang jarum, melewatinya kemudian kembali lagi ke asalnya. Ada dua ujung yang bertemu, membentuk sebuah simpul dan mengamankan benang itu seluruhnya. Mereka membentuk satu keseluruhan, benang, lubang dan jarumnya, dan benda-benda lainnya yang mereka tangkap dijahit dalam satu kesatuan pada kain.”
“Harus diketahui oleh setiap orang bahwa para Syekh Naqsybandi memilih untuk membimbing murid-muridnya pertama melalui gerakan dari Allah, berjalan dari maqam tertinggi ke maqam terendah. Atas alasan ini mereka mempertahankan hijab-hijab awam murid-muridnya dari penglihatan spiritual dan hanya menghilangkan hijab-hijab itu pada tahap terakhir. Tarekat yang lain memulainya dengan pegerakan menuju Allah, bergerak dari maqam terendah menuju maqam tertinggi dan mereka menghilangkan hijab-hijab awam terlebih dahulu.”
“Disebutkan di dalam Hadits Nabi (s) bahwa ‘Para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi.’ Ilmu para Nabi ada dua macam: ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia. Seorang ulama tidak bisa disebut sebagai seorang pewaris bila ia tidak mewarisi kedua ilmu tersebut. Jika ia hanya mengambil satu macam ilmu, maka ia belum lengkap. Oleh sebab itu para pewaris sejati adalah orang-orang yang mengambil ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia, dan hanya para Awliya yang sungguh menerima dan menjaga warisan ini.”
Ia meninggalkan banyak buku lainnya. Ia wafat pada tanggal 17 Shafar 1034 H. dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di desa Sirhind. Ia adalah seorang syekh dalam empat tarekat: Naqsybandi, Qadiri, Chisti dan Suhrawardi. Ia lebih menyukai Naqsybandi karena ia berkata, “Ia adalah induk bagi semua tarekat.”
Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Syekh Muhammad Ma`shum (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/13DpyyOo5SaG5HE7SJYm0iwmjvwy3t_xbPzm_J1YB5Mk/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
26. Muhammad al-Ma`shum, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Tali Allah (`Urwat-il-Wutsqa), seorang Mursyid yang Saleh yang menggabungkan Syari`ah dan Hakikat di dalam dirinya dan yang menunjukan perbedaan antara Kebodohan dengan Bimbingan Sejati. Ia dilahirkan pada tahun 1007 H. Ia dididik oleh ayahnya dengan ilmu para Awliya yang istimewa. Ia menduduki Singgasana al-Irsyad di dalam Tarekat Naqsybandi dalam usia 26 tahun setelah Syekhnya wafat. Ia menjadi terkenal di mana-mana. Namanya menjadi buah bibir, bahkan raja-raja pun mengakui kebesarannya di zamannya. Orang-orang datang dari segala penjuru untuk bertemu dengannya.
Sejak kecil ia sudah menjadi seorang wali. Ia tidak pernah mau disusui di bulan Ramadan. Ia berbicara mengenai Ilmu Tauhid pada usia tiga tahun, dengan mengatakan, “Aku adalah tanah, aku adalah langit, aku adalah Tuhan… Aku adalah ini, aku adalah itu.” Ia menghafal Qur’an dalam waktu tiga bulan ketika berumur enam tahun. Ia berusaha untuk mempelajari ilmu sejati, Syari`at dan Hakikat melalui kalbunya dan ia mencapai maqam yang tinggi dari ilmu-ilmu ini. Pada usia 17 tahun ia sudah dianggap sebagai ulama terbesar di zamannya. Fatwanya sangat terpercaya. Ia tidak menerima bid’ah maupun penyimpangan.
Ketika ia masih muda, ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q) menyatakan bahwa akan muncul kekuatan besar dalam dirinya. Suatu ketika ia berkata kepada ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q), “Aku melihat diriku sebagai kehidupan yang bergerak di setiap atom dari alam semesta ini. Dan alam semesta ini mengambil cahaya darinya sebagaimana bumi mendapatkan cahaya dari matahari.” Ayahnya berkata, “Wahai anakku, itu artinya engkau akan menjadi seorang Qutub di zamanmu. Ingatlah itu dariku.”
Suatu saat ayahnya berkata kepadanya, “Kau telah dicetak dari residu dari residuku, yang merupakan residu dari tanahnya Nabi (s).”
Ayahnya berkata, “Aku telah menuangkan kepada putraku, Muhammad Ma`shum segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku.”
Ia berkata, “Seorang Arif yang sempurna yang dimulikan untuk berada di dalam Maqamul Wujud Sepenuhnya akan menyaksikan dan mengamati Keindahan Allah dalam cermin alam semesta ini dan ia akan melihat dirinya dalam segala hal. Alam semesta ini akan menjadi dirinya dan ia akan menjadi alam semesta ini. Ia akan melihat dirinya bergerak di dalam setiap individu dari alam semesta ini, mencakup Keseluruhan dari Bagian dan Bagian dari Keseluruhan.”
Dari Keramatnya
Suatu ketika salah satu wakilnya, Khwaja Muhammad ash-Shiddiq sedang berjalan dengan menunggangi kuda. Kakinya terpeleset dari kudanya dan ia tergantung pada salah satu pijakan kaki kudanya. Kuda itu berlari hingga ia berpikir bahwa ia akan mati, tetapi ia teringat untuk mengatakan, ‘Wahai Syekhku, madad, tolonglah aku.’ Ia melihat Syekhnya muncul, mengambil tali kekang kuda itu dan menghentikannya.
Salah satu muridnya berkata, “Aku tenggelam ke dalam laut dan aku tidak bisa berenang. Aku memanggil namanya dan beliau muncul dan mengeluarkan aku.”
Suatu saat ia sedang duduk bersama para pengikutnya di khaniqah (pondok untuk salat, berdoa dan bertafakur) dan mereka mulai melihat air keluar dari tangan dan lengannya. Mereka terkejut dan bertanya padanya, “Apakah itu wahai Syekh kami?” Ia berkata, “Tadi salah seorang muridku berada di kapal dan kapal itu dihantam badai dan tenggelam. Ia memanggilku dan aku segera menarik tangannya dan menyelamatkannya dari tenggelam.” Kami mencacat waktu kejadian itu dan beberapa bulan kemudian seorang pedagang datang kepada kami. Kami bertanya tentang peristiwa itu dan ia berkata, “Ya, pada saat itu Syekhku datang dan menyelamatkan aku.”
Pernah terjadi di mana seorang pesulap biasa membuat api, lalu ia akan memasuki api itu dan api itu tidak mengenainya. Hal itu menimbulkan fitnah dan kebingungan di antara masyarakat. Kemudian Syekh membuat api yang sangat besar di tengah kota dan ia berkata kepada pesulap itu, “Masuklah ke dalam apiku!” Pesulap itu ketakutan. Kemudian ia menarik salah satu muridnya, “Masuklah ke dalam api itu, dan ketika kau berjalan, ucapkan, “LA ILAHA ILLALLAH.” Murid itu masuk ke dalam api itu dan api itu menjadi dingin dan menyelamatkan dirinya, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim [21:69] ketika ia dilemparkan ke dalam api. Ketika pesulap itu melihat hal ini, ia segera mengucapkan Syahadat: asy-hadu an la ilaha illa-l-Lah, wa asy-hadu anna Muhammadan rasulu-l-Lah dan masuk Islam.
Suatu ketika Syekh `Abdur Rahman at-Tirmidzi berkata, “Aku datang bersama saudaraku untuk mengunjungi Syekh Muhammad Ma`shum (q). Ia menghadiahkan baju-bajunya kepada setiap orang kecuali kepadaku. Ketika kami kembali ke negeri kami, aku merasa sangat sedih karena aku tidak mendapatkan apa-apa darinya. Tak lama beredar kabar bahwa Syekh akan berkunjung ke kota kami. Semua orang menyambutnya dan aku pun bergabung dengan mereka. Aku melihat Syekh datang dengan seekor kuda putih. Ia memandang padaku dan berkata, ‘`Abdur Rahman, jangan sedih. Aku mengujimu dan aku menyimpan jubah istimewaku yang aku warisi dari ayahku, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) untukmu.’ Aku lalu mengambil jubah itu darinya dan memakainya. Dengan segera segala sesuatu lenyap dan Syekhku muncul di hadapanku: dalam setiap atom, dalam setiap partikel, beliau muncul. Aku mengalami keadaan yang sangat membahagiakan dan aku memasuki Hadirat Ilahi.”
Suatu hari seorang tuna netra datang kepadanya dan memohon, “Mohon doakan aku agar Allah mengembalikan penglihatanku.” Ia lalu menggosokkan air ludahnya ke mata orang itu dan berkata, Pulanglah ke rumahmu dan jangan membuka matamu sampai kau tiba di sana.’ Ketika orang itu tiba di rumahnya dan membuka matanya, ia dapat melihat.
Orang-orang berkata kepadanya, “Ada seseorang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Ia menjadi resah dan di tangannya ia memegang sebuah pisau untuk memotong semangka. Ketika ia memotong semangka itu, ia berkata, “Sebagaimana aku memotong semangka ini, aku memotong leher orang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Tiba-tiba orang itu pun mati.
Ia berkata,
“Ketika aku menunaikan Haji, aku melihat Ka`bah memeluk dan menciumku dengan penuh semangat dan penuh emosi. Kemudian Allah menyingkapkan suatu penglihatan spiritual bagiku, cahaya dan keberkahan memancara dariku, dan jumlahnya semakin bertambah dan bertambah; sampai ia memenuhi gurun; lalu semua pegunungan dan semua samudra; kemudian ia memenuhi alam semesta dan memasuki setiap atom di alam ini. Kemudian semua atom ini ditarik kembali menuju cinta pada Inti Ka`bah. Aku melihat banyak makhluk spiritual, di antara mereka adalah para malaikat dan awliya, mereka semua berdiri di hadiratku seolah-olah aku adalah Sultan mereka. Kemudian aku menerima surat tertulis yang disampaikan oleh malaikat, dan di sana tertulis, ‘dari Tuhan Surgawi, Alam Semesta dan Seluruh Makhluk, Aku menerima Hajimu.’”
“Kemudian aku melanjutkan perjalananku untuk mengunjungi Madinati’l- Munawwarah, kotanya Nabi (s). Aku memasuki kota Nabi (s) dan aku pergi mengunjungi makam beliau (s). Ketika aku mengarahkan wajahku kepada wajahnya, aku melihat Nabi (s) keluar dari makamnya, dan beliau (s) memeluk dan menciumku. Kemudian aku melihat diriku dalam suatu keadaan di mana kalbuku seolah-olah berpadu dengan kalbunya, lidahku dengan lidahnya, telingaku dengan telinganya, sampai aku melihat diriku sendiri, aku melihat Nabi (s) dan ketika aku melihat Nabi (s) aku melihat diriku sendiri. Penglihatan itu membawaku ke Maqam Kenaikan (Mi’raj) menuju ke tempat di mana Nabi (s) mengalami kenaikan pada malam Isra Mi’raj. Aku menerima semua ilmu yang Nabi (s) ingin aku menerimanya.
“Kemudian aku menuju kedua khalifah Nabi (s). segera setelah aku berada di hadirat Sayyidina Abu Bakr (r), aku melihat sebuah jubah merah di pundakku. Kemudian aku berpindah ke makam Sayyidina `Umar (r) dan aku melihat jubah kuning di pundakku. Ketika aku meninggalkan mereka, aku melihat jubah hijau disandangkan di pundakku, yang aku tahu bahwa itu adalah jubah Nabi (s). Kemudian aku melihat suatu penglihatan di mana Allah menyingkapkan semua hijab dari kalbuku, dan aku melihat bahwa semua yang telah diciptakan oleh Allah dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, semuanya memerlukan Habibullah Sayyidina Muhammad (s), dan beliau (s) adalah pusat dari semua cahaya yang bergerak di dalam setiap atom.”
“Apa yang diberikan oleh Nabi (s) kepadaku pada saat itu, jika aku mengatakannya, orang-orang akan memotong leherku. Kemudian aku melihat bahwa setiap shalawat atas Nabi (s), setiap pujian pada Nabi (s) dan setiap puisi yang ditulis atas nama Nabi (s), seolah-olah itu untukku. Kemudian aku melihat bahwa semua alam semesta, dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, telah diterangi dan bersinar dengan cahayaku. Ketika saatnya tiba untuk kembali ke negeriku, aku kembali mengunjungi Nabi (s) untuk terakhir kalinya dan aku menangis pada saat perpisahan itu dan aku melihat Nabi (s) keluar dari maqamnya. Beliau (s) membusanaiku dengan busana yang belum pernah kulihat sebelumnya dan beliau (s) memberikan sebuah mahkota di kepalaku. Mahkota itu berasal dari Raja Diraja, dari Hadirat Ilahi, yang dihiasi dengan berbagai macam batu permata yang tidak bisa digambarkan di dunia ini. Dan aku tahu bahwa Mahkota itu dan Busana-Busana itu telah diberikan kepadaku dari Busana-Busana Allah (swt), yang Dia berikan kepada Nabi-Nya (s) pada malam Isra Mi’raj dan yang telah disimpan oleh Nabi (s) untukku dan kemudian diberikan kepadaku pada malam itu.”
Syekh Muhammad Ma`shum (q) merupakan Keramat dari Keramat-Nya allah dan Cahaya yang Allah curahkan ke dunia ini untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa ia telah memberi bay’at kepada lebih dari 900.000 orang ke dalam tarekat ini dan ia mempunyai 7.000 wakil, dan mereka semua adalah wali. Hal itu disebabkan karena dalam seminggu shuhbah (asosiasinya), ia dapat membawa para pengikutnya ke Maqamul Fana’, dan dalam satu bulan ke Maqamul Baqa’. Dikatakan pula bahwa ia dapat membawa para pengikutnya menuju Maqamul Wujud dengan sekali duduk di dalam majelisnya.
Ia wafat pada tanggal 9 Rabiul Awal 1079/1668 M. Ia meneruskan rahasia dari Tarekat ini kepada Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1QY0KjV28qbJvAgX9GWJ-azAqtSD0AC58LKgyl85jdOE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
27. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang Mujahid bagi tarekat ini dan Mujahid bagi jalur sejati dari Sunnah Nabi (s). Ia mendapat manfaat spiritual yang besar dari leluhurnya, yaitu Sayyidina `Umar al-Faruq (r), dan dari kakeknya, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q). Dengan berkah dari Nabi (s), ia mampu menyebarkan tarekat ini lebih jauh dan lebih luas.
Ia dilahirkan pada tahun 1055 H./1645 M. Ia dibesarkan di rumah ayahnya, Muhammad Ma`shum (q), dan ia disusui dengan susu dari ilmu ayahnya, kakeknya dan leluhurnya yang diberkati. Semasa ayahnya masih hidup ia duduk di Singgasana Bimbingan dan ia mengikuti jejak para pendahulunya. Rumahnya menjadi cahaya bagi para ulama yang datang bagaikan ngengat dari segala penjuru. Ketika ilmu halusnya berkembang, ia menjadi semakin terkenal bahkan di langit, mencapai orbit dari orang-orang yang arif sampai ia mampu menguraikan Simbol-Simbol dari Ilmu yang tersembunyi dan membuka Perbendaharaan dari Urusan-Urusan Surgawi. Ia menyebarkan ilmu lahir dan batin, dan ia memadukan para pemula dengan orang-orang yang sudah ahli dan ia mengajarkan Ilmu tentang Rasa (dzawq).
Atas perintah ayahnya ia pindah ke kota Delhi untuk menyebarkan ilmu Syari`ah dan cahaya Hakikat. Sultan sendiri, Muhammad Alamagir, menjadi muridnya, sehingga orang-orang di Dewan, menteri-menteri, dan semua pangeran menjadi muridnya. Dengan dukungan Sultan, tak lama seluruh kerajaan pun menerimanya. Ia mewujudkan Sunnah Nabi (s) dan menginspirasikan cinta untuk Syari`ah ke seluruh bangsa. Dengan ilmu yang mendalam yang memenuhi kalbunya, ia mengangkat bendera Islam dan menghilangkan jejak-jejak kebodohan dan tirani dari kerajaan.
Melalui berkah dari pertemanan dengan Syekh Sayfuddin (q), Allah menjadikan Sultan berhasil dalam segala urusannya dan mencegah terjadinya hal-hal yang berbahaya dan melanggar hukum di wilayahnya. Sultan membasmi para penindas dan orang-orang yang berbuat zalim. Ia terus menjaga hubungannya dengan Syekh, mengikutinya sebagai murid. Melalui dorongan Syekh, ia mampu menghafal kitab suci al-Qur’an. Ia mengisi waktu-waktu malamnya dengan melakukan amalan tarekatnya, dengan berzikir, sementara siang harinya ia mengurusi urusan-urusan di kerajaannya.
Syekh berusaha untuk menghapuskan segala bentuk penderitaan dan penindasan dari kerajaan melalui Sultan, dan usahanya berhasil dengan gemilang, hingga seluruh India hidup dalam damai. Syekh mendapat posisi yang begitu terhormat di mana seluruh sultan dan pangeran akan berdiri untuk menghormatinya.
Suatu hari seseorang berdiri bersama pangeran-pangeran lain dan sultan dalam hadirat Syekh, kemudian sebuah bisikan menyindir masuk ke dalam kalbunya, mengatakan, “Sombong sekali Syekh ini.” Syekh lalu memandangnya dan berkata, “Kau benar, karena Keangkuhanku berasal dari Keangkuhan Allah.”
Suatu ketika seorang pria menyangkal kata-kata Syekh. Malamnya ia bermimpi di mana sekelompok orang datang dan menyerangnya. Mereka memukulinya berkali-kali dan bertanya, “Beraninya kau menyangkal ucapan Syekh, padahal ia adalah Pecinta Allah?” Orang itu bangun dan mendapati dirinya luka-luka, ia segera mendatangi Syekh dan memohon ampun.
Di dalam khaniqahnya (pondok untuk berkhalwat), setiap hari sekitar 6000 salik tinggal di sana dan mereka makan makanan yang disediakannya.
Suatu hari ia mendengar suara ney (flute dari bambu) dari rumah tetangganya. Ia begitu terpesona dengan alunan suaranya sehingga membuatnya jatuh pingsan. Setelah sadar ia berkata, “Apakah menurut kalian aku hampa dengan gairah dan emosi? Tidak, mereka yang mendengar ney tetapi tidak merasakan gairah dan emosilah yang hampa. Tetapi ketika kita mendengar sesuatu yang indah, kita begitu tersentuh sehingga kita segera ditransfer menuju Hadirat Ilahi.”
Bagi para Awliya, panggilan Allah terdengar tanpa ada campuran dari “debu kesengsaraan” dan itulah sebabnya mereka jatuh pingsan ketika mereka mendengarnya.
Suatu hari seorang penderita kusta datang dan meminta doanya agar ia bisa disembuhkan. Syekh lalu meniupnya dan dalam waktu singkat penyakitnya lenyap.
Syekh Muhammad Sayfuddin wafat pada tahun 1095 H./1684 M. dan ia dimakamkan di kota Sirhind. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Grandsyekh Nur Muhammad al-Badawani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1_vVnqFoMssDgxzYEXA17gp1mw-gpbEE57M2Q7cACbSQ/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
28. as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang keturunan Nabi (s). Cahayanya bersumber dari Maqam Surgawi. Ia menuangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam kalbu-kalbu yang bingung dan menjadikannya sebagai Sosok bagi setiap nikmat dan jalan menuju Allah (swt) bagi semua orang di zamannya. Melalui dirinya Allah telah memperbarui Syari`ah dan Hakikat seperti bulan purnama di gelapnya malam. Berapa banyak Sunnah yang telah dilupakan kemudian dihidupkan kembali dan berapa banyak bid’ah yang telah menghasut kemudian dihilangkannya?
Ia dilahirkan pada tahun 1075 H./1664 M. Ia dibesarkan di sebuah rumah yang diberkati, memuaskan dahaganya terhadap ilmu lahir dan batin di mata air Tarekat Naqsybandi sejak masa kanak-kanaknya. Ia menerima berkah dari Syekhnya, dan mereka bangga dengan kemajuannya. Ia terus mengalami kemajuan hingga di negeri India ia menjadi Lampu yang bersinar. Orang-orang berdatangan menemuinya dari segala penjuru, mereka mendapatkan berkah dari rahasianya dan berkah dari para leluhurnya. Ia menduduki Singgasana Tarekat ini mengikuti Syekhnya dan ia bagaikan mercusuar yang membimbing dengan cahayanya bagi mereka yang mencari di Jalannya. Ia meninggalkan nama yang termasyhur, dan bagaimana tidak, bila Nabi Muhammad (s) adalah leluhurnya? Ia adalah Cabang dari Pohon Ilmu Kenabian dan Keturunan Murni dari Keluarga Nabi (s). Tidak heran bila ia menjadi kiblat bagi para Awliya dan gerbangnya menjadi tujuan bagi semua orang di Jalan Allah.
Ia begitu saleh hingga ia menghabiskan waktunya dalam membaca dan mempelajari adab Nabi (s) dan para Awliya. Ketaatannya yang ketat terhadap Bentuk dan Niat mengikuti Nabi (s) dalam semua perbuatannya diilustrasikan dalam peristiwa berikut. Suatu hari ia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kanannya, yang bertentangan dengan kebiasan Nabi (s). Hal itu mengakibatkan ia mengalami sembelit selama tiga hari, karena ia telah menyimpang dari kepatutan mengikuti Sunnah dengan satu langkahnya itu. Ia memohon ampun kepada Allah dan Allah melepaskannya dari kesulitannya itu.
Ia memulai hidupnya dalam keadaan meniadakan diri. Ia tetap dalam keadaan itu selama lima belas tahun. Dalam periode itu ia selalu berada dalam keadaan fana ini, dan tidak pernah keluar dari keadaan tersebut kecuali ketika melakukan ritual salat. Ketika salat ia akan kembali ke dalam keadaan sadar diri. Setelah selesai ia akan kembali ke keadaannya semula. Ia berhati-hati untuk makan hanya dari pendapatan yang diperoleh dari keringat di dahinya. Ia hanya makan roti yang dipanggangnya sendiri, dan ia memakannya hanya dalam potongan-potongan yang sangat kecil. Ia menghabiskan seluruh waktunya dalam bertafakur dan kontemplasi. Ketika rotinya habis, ia akan kembali untuk mempersiapkannya, setelah itu ia akan kembali pada tafakur dan kontemplasinya. Akibat seringnya berkontemplasi, punggungnya menjadi bungkuk. Ia berkhidmah terhadap Syekhnya selama bertahun-tahun. Ia juga berkhidmah pada Syekh Muhammad Muhsin, putra dari narator hadits besar di zamannya, Syekh `Abdul Haqq, salah satu khalifah dari Syekh Muhammad Ma`shum (q), hingga melalui khidmahnya ia mencapai maqam kesempurnaan yang tinggi.
Ia pernah berkata, “Selama tiga puluh tahun terakhir bertafakur, ‘Bagaimana aku akan mendapatkan penghasilan’ tidak pernah terlintas di dalam kalbuku. Subjek mengenai rezeki tidak pernah masuk ke dalam kalbuku, tetapi aku makan ketika aku merasa perlu.” Ia tidak pernah makan dari makanan yang disediakan oleh orang yang sombong. Ia berkata, “Makanan dari orang kaya yang sombong berisi kegelapan.”
Jika ia meminjam sebuah buku, ia akan membacanya dalam tiga hari, karena ia berkata, “Refleksi dari kegelapan dan kelalaian dari pemilik buku akan tercermin kepadaku.” Ia sangat berhati-hati dalam hal itu. Khalifahnya, Sayyidina Habibullah (q) akan menangis bila mengingatnya, dan ia akan mengatakan kepada para pengikutnya, “Kalian tidak melihatnya. Jika kalian hidup di zamannya, kalian akan memperbarui iman kalian atas Kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia sepertinya.”
Sayyidina Habibullah (q) juga mengatakan, “Penglihatan Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) sangat detail dan akurat. Ia dapat melihat lebih baik dengan kalbunya dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat orang dengan matanya. Ketika aku berada di hadiratnya, beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat jejak-jejak perzinaan dalam dirimu. Apa yang telah kau lakukan pada hari ini?’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, ketika aku mendatangimu mataku melihat seorang wanita di jalan.’ Beliau berkata, ‘Lain kali berhati-hatilah dalam melindungi matamu.’”
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu ketika aku sedang dalam perjalanan menemui Syekh, aku melihat seorang pecandu alkohol di jalan. Ketika aku bertemu dengan Syekh, beliau berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu dalam jejak-jejak alkohol.’ Dari sini aku menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini memantul dari satu orang kepada orang yang lain, dan karakter seseorang memantul kepada orang lain. Itulah sebabnya kita harus menjaga diri kita agar senantiasa bersih sepanjang waktu, dan selalu berkumpul dengan orang-orang di Jalan Allah.
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu hari seorang wanita datang kepadanya dan berkata, ‘Wahai Syekhku, jin menculik putriku dan aku telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya kembali, tetapi tidak membantu.’ Beliau lalu bertafakur mengenai hal itu selama hampir satu jam. Kemudian beliau berkata, ‘Putrimu akan kembali besok sekitar waktu Ashar, jadi sekarang pulanglah dan istirahat.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sangat menanti-nantikan datangnya waktu itu, dan menantikan putriku kembali sehingga sulit sekali aku beristirahat. Tepat pada waktu yang dikatakan oleh Syekh, aku mendengar ada ketukan di pintu dan ternyata itu adalah putriku. Aku bertanya apa yang terjadi. Ia berkata, ‘Aku telah diculik dan dibawa ke gurun oleh seorang jin. Ketika aku berada di sana, kemudian seorang Syekh datang dan membawaku ke sini.’”
Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) wafat pada tahun 1135 H./1722-23 M. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada penerusnya, Syekh Syamsuddin Habib Allah Jan-i-Janan al-Mazhar (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1g-X_IcdCywG7fYEyJckpoyAKT2T0XW3ByC4L0WpOwNg/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
29. Syamsuddin Habib Allah, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Matahari dari Kebahagiaan Abadi. Ia adalah Kekasih Allah (swt). Ia adalah Ruh bagi Ahlul Haqq, dan ia adalah Inti dari Ruh Ahlul Dzawq. Ia adalah salah satu Panji dari Rasul yang Mulia. Ia mengangkat Agama Nabi Muhammad (s). Ia membangkitkan Tarekat Naqsybandi.
Ia dilahirkan pada tahun 1113 H./1701 M. di India. Sejak kanak-kanak cahaya Bimbingan dan jejak Kesalehan bersinar dari keningnya. Karakternya dicetak dengan Tajali Keindahan Ilahiah (tajalli-l-jamal). Ia terkenal akan ketampanannya, seperti Nabi Yusuf (a), dan setiap orang mencintainya karena ia melambangkan keindahan. Itu adalah Sifat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi (s), “Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan,” dan itu juga merupakan sifat Nabi (s), sebagaimana Anas (r) berkata, “Nabimu (s) adalah sosok yang paling indah penampilannya dan suaranya adalah yang terindah di antara semua Nabi.” Karena hal ini, Syekh `Abdur-Ra’uf al-Munawi berkata, “Nabi (s) tidak ada duanya dalam hal keindahannya.”
Ketika Syekh Mazhar (q) berusia sembilan tahun, ia melihat Sayyidina Ibrahim (a) yang memberikan kekuatan keramat melalui transmisi spiritual. Pada usianya ini, jika seseorang menyebutkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dalam kehadirannya, ia akan melihatnya muncul dengan mata fisiknya. Ia juga mampu melihat Nabi (s) dan seluruh Sahabat Nabi (s) dan para Syekh Tarekat Naqsybandi, khususnya Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q).
Ayahnya membesarkannya dan mendidiknya dalam semua cabang ilmu agama. Pada usia yang masih muda kalbunya tertarik dengan cahaya spiritual yang muncul dari Syekhnya, yaitu as-Sayyid Nur Muhammad (q). Syekhnya membukakan mata kalbunya dan menyuapinya dengan nektar dari bunga Ilmu yang tersembunyi. Syekh membawanya keluar dari Maqam Kesadaran Diri dan mengangkatnya ke Maqam-Maqam yang lebih tinggi yang membuatnya sangat takjub dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia menemani Syekh Nur Muhammad (q) dalam mi’raj berikutnya. Syekh mengizinkannya untuk mengamati Misteri dari Dunia yang Tersembunyi dan memberinya hadiah-hadiah berupa Kekuatan Keramat dan Maqam-Maqam yang Tinggi.
Seseorang melihat Syekhnya membukakan Sembilan Titik, yang merupakan lokus dari Rahasia-Rahasia Naqsybandi pada dirinya. Dari ilmu sembilan titik ini, ia menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam lima titik yang lebih kuat, hingga Syekhnya memberinya otoritas untuk “mengaktifkan” Kesembilan Titik itu setiap saat dan untuk menggunakannya. Kemudian Syekh membawanya kembali ke hadiratnya dan hanya hadiratnya. Beliau membawanya naik-turun, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan membungkusnya dengan cahayanya dan melindunginya dengan pandangannya, sampai ia mencapai kesempurnaan tertinggi dan membangkitkan dirinya dari Kebodohan.
Dengan teguh dan tulus ia berkhidmah kepada Syekhnya. Ia terus mengalami kemajuan dengan melaksanakan khalwat di gurun dan hutan atas perintah Syekhnya. Dalam khalwat ini makanannya hanya rumput dan dedaunan dan yang dipakainya hanyalah apa yang menutupi auratnya. Suatu hari setelah berkali-kali khalwat, ia memandang cermin tetapi ia tidak melihat dirinya, yang dilihat adalah Syekhnya.
Pada tahap ini Syekh memberinya otoritas untuk membimbing hamba Allah menuju tujuan mereka, membimbingnya ke Jalan yang Lurus, dan beliau menempatkannya pada Singgasana Penerus, dan melalui dirinya Matahari Bimbingan naik ke Menara Kebahagiaan.
Ketika gurunya wafat, ia terus berziarah ke makamnya selama dua tahun dan ia menerima cahaya dan ilmu yang dapat ditransmisikan oleh Syekhnya dari makamnya. Kemudian melalui hubungan spiritual ia diperintahkan untuk terhubung dengan seorang syekh yang masih hidup.
Ia sampai di Pintu seorang Mursyid Kamil di zamannya, Syekh Muhammad Afzal, Syekh Safi Sa`dullah, dan Syekh Muhammad `Abid. Ia merapatkan diri kepada Syekh Syah Kalsyan dan kepada syekh lain yang bernama Muhammad az-Zubair. Ia sering menghadiri sesi Syekh Muhammad Afzal, salah satu khalifah dari putra Syekh Muhammad Ma`sum (q). Ia datang dan belajar dari Syekh `Abdul Ahad dan menerima ilmu hadits Nabi (s) darinya. Selama di kelas, setiap kali Syekh menyebutkan sebuah hadits, ia akan lenyap melalui mahuwa dzat (menarik diri), dan sebuah penglihatan akan muncul kepadanya di mana ia akan mendapati dirinya sedang duduk bersama Nabi (s) dan mendengar hadits itu secara langsung dari Nabi (s). Ia akan mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi dalam narasi hadits yang disampaikan, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang jenius di dalam ilmu hadits.
Ia terus menemani Syekh-Syekh ini selama dua puluh tahun. Ia terus mengalami kemajuan dalam Maqam Kesempurnaan, sampai ia menjadi Samudra Ilmu. Ia diangkat menuju Cakrawala Qutub sampai ia menjadi Qutub di zamannya, bersinar seperti matahari di siang hari. Syekh Muhammad Afzal berkata, “Syekh Mazhar Habibullah diberi Maqam Qutub dan ia adalah poros tengah dari tarekat ini di masa kini.”
Kesempurnaan spiritualnya menarik orang dari segala penjuru di Sub Benua India. Dalam hadiratnya, setiap salik akan menemukan apa yang ia perlukan, sampai-sampai dengan berkahnya Sub Benua India menjadi seperti Ka`bah yang dikelilingi oleh kumpulan malaikat.
Di dalam dirinya yang mulia berpadu kekuatan dari empat tarekat. Ia adalah mursyid bagi Tarekat Naqsybandi, Qadiri, Suhrawardi dan Chisti. Ia sering berkata, “Aku menerima rahasia-rahasia dan ilmu dari tarekat-tarekat ini dari Syekhku, Sayyid Nur Muhammad Badawani (q), sampai aku menerima kekuatan yang istimewa dalam tarekat-tarekat ini. Beliau mengangkatku dari Tahap Ibrahimiah ke Tahap Muhammadiah, yang membuatku dapat melihat Nabi (s) duduk di tempatku sementara aku duduk di tempat beliau. Kemudian aku menghilang dan aku melihatnya duduk di kedua tempat itu. Kemudian aku melihatnya menghilang dan aku melihat diriku sendiri duduk di kedua tempat itu.”
Berikut ini adalah beberapa perkataan dari Syekh Mazhar (q):
“Suatu ketika aku sedang duduk dalam hadirat Syekh Muhammad `Abid dan Syekh berkata, “Kedua matahari pada kedua ujung bertemu, dan jika cahaya keduanya dipadukan dan dipancarkan ke seluruh alam semesta ini, ia akan membakar segala sesuatu.”
“Syekh Muhammad Afzal lebih tua dariku tetapi beliau biasa berdiri ketika aku masuk ke ruangan, dan beliau berkata kepadaku, ‘Aku berdiri untuk menghormati silsilah mulia yang kau miliki.’”
“Dunia dan segala isinya serta alam semesta dan segala isinya ada dalam genggamanku, dan aku dapat melihat mereka sejelas aku dapat melihat tanganku.”
Ia mempunyai pengalaman ajaib yang tak terhitung dan penglihatan spiritual yang sangat banyak tentang alam Surgawi begitu juga dengan dunia yang lebih rendah.
Suatu ketika ia berjalan dengan beberapa pengikutnya tanpa membawa perbekalan. Mereka berjalan dan setiap mereka merasa lelah, mereka akan beristirahat. Syekh akan memanggil mereka dan berkata, “Makanan ini untuk kalian,” dan semeja makanan muncul di hadapan mereka.
Suatu hari dalam perjalanan terjadi badai yang sangat mengerikan, angin menerbangkan semua yang ditemuinya. Cuaca sangat dingin dan orang-orang menggigil karena kedinginan. Situasi mereka bertambah buruk hingga seolah-olah mereka akan mati di gurun yang membeku itu. Kemudian Syekh Mazhar mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia mengelillingi kami tetapi tidak mengenai kami.” Dengan segera awan diangkat dari mereka, dan meskipun hujan yang dingin terus berlangsung selama satu mil ke depan, di sekeliling mereka suhunya meningkat hingga ke suhu yang nyaman bagi mereka.
Ia berkata, “Suatu ketika aku berziarah ke makam Syekh Muhammad Hafiz Muhsin. Aku mengalami keadaan fana dan dalam penglihatan spiritualku aku melihat tubuhnya. Tubuhnya utuh, tidak terurai, dan kain kafannya masih utuh dan bersih, hanya sedikit kotor di bagian kakinya. Melalui kekuatan spiritualku, aku bertanya mengenai hal itu. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku akan menceritakan sebuah kisah kepadamu. Suatu hari aku mengambil sebuah batu dari halaman tetanggaku dan meletakkannya pada sebuah lubang di halamanku, dan aku berkata kepada diriku, ‘Besok pagi akan kukembalikan padanya,’ tetapi aku lupa. Akibatnya muncul kotoran di kafanku. Perbuatan tadi mencemari kafanku.’”
Ia berkata, “Sepanjang kalian diangkat dalam kesalehan, kalian akan diangkat dalam kewalian.”
Suatu hari ia menjadi marah pada seorang tiran, dan ia berkata, “Sebuah penglihatan spiritual datang kepadaku di aman aku melihat semua Syekh, dari Abu Bakr ash-Shiddiq (r) hingga Syekh yang sekarang, mereka semua tidak senang dengan tiran itu.” Hari berikutnya tiran itu meninggal dunia.
Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, saudaraku telah dipenjara di desa sebelah. Mohon doanya agar Allah menyelamatkannya.” Ia berkata, “Wahai anakku, saudaramu tidak dipenjara, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang salah dan besok kau akan menerima surat darinya.” Apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.
Ia menginformasikan kepada para pengikutnya mengenai kabar gembira dan beberapa orang yang iri menolak untuk menerima apa yang ia katakan. Ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, mari kita bawa seorang hakim. Kita akan menyampaikan sudut pandang kita masing-masing dan biarkan ia menilai di antara kita.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima hakim lain kecuali Nabi (s) dan di Yawmil Hisab kami akan meminta penilaiannya mengenai hal ini.” Kemudian ia berkata, “Tidak perlu menunggu sampai Hari Kiamat. Kita akan meminta Nabi (s) memberikan penilaiannya sekarang.” Ia kemudian bertafakur secara mendalam dan ia diminta untuk membaca Surat al-Fatihah. Setelah ia melakukannya, tiba-tiba Nabi (s) muncul ke hadapan semua orang dan beliau (s) berkata, “Al-Mazhar Habibullah adalah benar dan kalian semua salah.”
Mengenai Penciptaan
Ia berkata, “Wujud hanyalah Sifat Allah sendiri. Dunia ini semata-mata hanyalah bayangan dari hakikat yang wujudnya ada di Hadriat Ilahi. Hakikat dari semua makhluk yang mungkin (haqa’iq al-mumkinat) adalah hasil dari perbuatan Sifat dan Kualitas Ilahiah pada Sesuatu yang Hampa (`adm). Wujud Sejati dari semua yang termanifestasi dalam makhluk fisik yang ditegaskan dalam bentuk cahaya dalam Hadirat Ilahi.
“Segala sesuatu yang muncul dalam penciptaan fisik semata-mata hanyalah bayangan dari hakikatnya yang bercahaya yang diproyeksikan oleh Kualitas Ilahiah terhadap kekosongan dari yang tak berwujud. Alam dari Sifat Ilahiah merupakan Asal dari Mata Air bagi Alam Semesta yang tercipta (mabadi’ ta`ayyunat al-a`lam). Karena semua makhluk fisik muncul dari kombinasi Kualitas Ilahiah Allah dengan Kekosongan, dengan demikian makhluk mempunyai bagian dari dua asal yang sifatnya berbeda. Dari sifat kehampaan yang tak berwujud dan bukan apa-apa muncul kualitas yang kental dari substansi fisik di mana dalam lingkup perbuatan manusia ia menghasilkan kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Dari Sifat Ilahiah muncul Cahaya, Ilmu, dan Kebaikan. Dengan demikian seorang Sufi ketika ia melihat pada dirinya sendiri, melihat semua kebaikan di dalam dirinya sebagai cahaya dari Sifat Ilahi yang terrefleksikan padanya, tetapi itu bukan berasal darinya. Sebuah perumpamaan mengenai hal itu bisa berupa sebuah setelan bagus yang dipinjam membuat orang terlihat menawan, tetapi sesungguhnya itu bukan miliknya dan untuk itu ia tidak patut menerima pujian. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai substansi dasar, penuh kegelapan dan kebodohan, dengan sifat yang lebih buruk daripada binatang. Dengan persepsi ganda ini, ia melepaskan keterikatannya dari tarikan ego dan tidak menonjolkan dirinya, dan berpaling ke arah tobat terhadap Sumber Ilahiah untuk semua Kebaikan. Dengan berpalingnya ini, Allah mengisi kalbunya dengan cinta dan rindu terhadap Hadirat Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan beremosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiaan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt). Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.
Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ada di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir. Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang-orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat. Ingatlah aku di dalam doamu.” Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok. Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid. Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat. Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”
Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal tujuh Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya. Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya salat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku memaafkannya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”
Ia wafat pada hari Jumat. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al-Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 salat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.” Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk salat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda salatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1QRffZieABBnorKEu2cbp1FNh0hlG9D40Ol1FzSSxYUA/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
30. Abd Allah ad-Dahlawi (Syah Ghulam Ali)
Semoga Allah mensucikan Ruhnya
Ia adalah Puncak bagi orang-orang Arif dan Raja bagi Mursyid al-Kamil, Sang Penyingkap Ilmu Agama dan Penyingkap Rahasia Keyakinan; Yang Membenarkan Maqam Kesempurnaan, Syekh dari semua Syekh di Sub Benua India, Pewaris Ilmu dan Rahasia Tarekat Naqsybandi. Ia dikenal sebagai seorang Penyelam dan Perenang yang Unik dalam Samudra Keesaan; seorang Musafir di Gurun Maqamul Zuhud; Qutub bagi semua tarekat dan Qibrit al-Ahmar (Belerang Merah “Yang Paling Langka di antara yang langka) bagi semua kebenaran.
Ia menyempurnakan dirinya sendiri dan menghiasi dirinya dengan adab terbaik. Ia mengangkat dirinya hingga ke Langit Ilmu Spiritual yang Tinggi dan menghiasi dirinya dengan bintang-bintangnya. Ia menjadi bintang dalam segala ilmu. Ia tumbuh menjadi bulan purnama dan ia melihat cahaya muncul dari Matahari gurunya, sampai gurunya menerimanya untuk melatihnya secara formal dan merawatnya.
Syekh mendukungnya dengan kekuatan spiritualnya dan mengangkatnya menuju tingkat keberkahan tertinggi yang telah diraihnya, sampai ia mencapai maqam Haqqul Yaqiin dan maqam dari Pohon Lotus Terjauh. Kemudian ia mengirimnya kembali ke dunia ini, sampai ia menjadi mursyid bagi setiap umat manusia. Ia diberi izin untuk memberi bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Ia mendukung Syari`ah dan menegakkan Sunnah, dan membangkitkan Kebenaran dari lima tarekat: Qadiri, Suhrawardi, Kubrawi, Chishti dan Naqsybandi. Ia meneruskan rahasia-rahasia dari lima tarekat kepada para penerusnya, dan melaluinya kepada semua Syekh dalam Silsilah Keemasan. Ia mengangkat semua muridnya ke maqam-maqam yang terpuji dari Wali Abdal (Wali Pengganti) dan Awtad (Wali Pasak atau Tiang).
Ia dilahirkan pada tahun 1158 H./1745 M. di desa Bitala di Punjab. Ia adalah seorang keturunan dari Ahlul Bait. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan zuhud, yang mendapat pelatihan dalam Tarekat Qadiri melalui Syekh Nasir ad-Din al-Qadiri, yang dilatih oleh Khidr (a). Sebelum ia dilahirkan, ayahnya melihat di dalam mimpi di mana Sayyidina `Ali, khalifah keempat, mengatakan kepadanya, “Panggilah ia dengan namaku.” Ibunya bermimpi bertemu dengan seorang yang saleh yang berkata, “Kau akan mempunyai seorang anak laki-laki. Panggillah ia dengan nama `Abdul Qadir.” Kemudian ayah dan ibunya mempunyai mimpi yang sama di mana Nabi (s) mengatakan kepada mereka untuk menamai anaknya dengan nama `Abdullah. Karena perintah Nabi (s) lebih utama untuk didahulukan, maka beliau menamai anaknya `Abdullah Syah Ghulam `Ali.
Ia mampu menghafal al-Qur’an dalam satu bulan karena kejeniusannya. Ia mendidik dirinya sendiri dalam ilmu lahir dan batin, sampai ia menjadi yang tertinggi di antara para ulama. Ketika masa kanak-kanak, ia sering pergi ke gurun, berzikir di sana selama berbulan-bulan sekaligus; dengan memakan apapun yang bisa didapatkannya. Suatu ketika ia tinggal selama 40 hari tanpa tidur dan tanpa memakan apapun. Zikirnya tidak berhenti. Syekh ayahnya memerintahkan ayahnya untuk membawa anaknya kepadanya untuk diberi bay’at dalam Tarekat Qadiri. Malam di mana ia tiba di rumah Syekh itu, ternyata ia sudah wafat. Ayahnya berkata, “Kami ingin memberimu Tarekat Qadiri, tetapi sekarang kau bebas untuk menempuh jalan apapun yang cocok bagimu.”
Ia terus menemani Syekh dari Tarekat Chisti di Delhi, di antaranya adalah Syekh Dia'ullah, Syekh `Abdul `Addad, khalifah dari Syekh Muhammad Zubair, Syekh Mirdad, Mawlana Fakhruddin, dan banyak lagi lainnya, sampai ia berusia dua puluh dua. Ia datang sendiri ke Khaniqah Syekh Jan Janan Habibullah (q). Ia meminta izinnya untuk memasuki Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Syekh Habibullah berkata kepadanya, “Lebih baik bagimu untuk berada dalam tarekat-tarekat itu yang mempunyai cita rasa dan gairah, karena di dalam tarekat kami tidak ada yang lain kecuali menjilati batu tanpa garam.” Ia berkata, “Itulah tujuan tertinggiku.” Syekh Habibullah menerimanya dan berkata, “Semoga Allah memberkatimu. Tinggallah di sini.”
Ia berkata, “Setelah aku menerima ilmu hadits dan menghafal Qur’an dan mempelajari tafsirnya, aku berdiri di hadapan Syekhku. Beliau memberi bay’at dalam Tarekat Qadiri melalui tangan sucinya. Beliau juga memberiku bay’at dalam Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Aku sedang berada di hadirat majelis zikir dan dalam asosiasinya selama 15 tahun. Kemudian beliau memberiku otoritas untuk membimbing dan melatih murid-murid. Pada awalnya aku merasa ragu karena aku takut bahwa Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) tidak akan memberiku izin untuk mengajar dalam Tarekat Naqsybandi. Suatu hari aku melihatnya dalam penglihatan spritual selama masa-masa keraguanku, beliau duduk di sebuah singgasana. Syah Naqsyband (q) lalu masuk. Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) segera berdiri dan mempersilakan Syah Naqsyband (q) untuk duduk di singgasana itu dan beliau tetap berdiri dalam hadiratnya. Dalam hatiku terlintas pikiran bahwa ini adalah sebuah tanda untuk menghormati Syah Naqsyband (q). Beliau berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Syah Naqsyband (q). Yang menjadi tujuan adalah Allah. Jalur apapun yang kau pilih, kau dapat mencapai-Nya.’”
Ia berkata, “Aku hidup dengan pendapatan dari sebuah properti yang aku miliki. Tetapi kemudian aku melepaskannya demi Allah. Setelah itu aku mengalami banyak kesulitan karena tidak mempunyai pendapatan. Aku hanya memiliki sebuah tikar tua untuk tidur dalam cuaca yang dingin dan sebuah bantal kecil untuk menyangga kepalaku. Aku menjadi sangat lemah. Aku mengunci diriku di kamarku dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Wahai diriku, ini adalah kuburanmu. Aku tidak akan membuka pintu itu untukmu. Apapun yang Allah sediakan untukmu, kau boleh mengambilnya. Kau akan tinggal di sini tanpa makanan dan tanpa apa-apa kecuali tikar dan bantal itu. Air akan menjadi makananmu. Wahai ruhku, zikrullah akan menjadi makanan untukmu.’ Aku tinggal dalam kondisi seperti itu selama 40 hari, aku menjadi sangat lemah, sampai Allah mengirimkan seseorang mengetuk pintuku. Ia melayaniku dengan memberi makanan dan pakaian selama 50 tahun.”
Ia berkata, “Ketika aku mengunci pintu kamarku dan aku mengatakan apa yang kukatakan, Perlindungan Allah datang kepadaku. Suatu hari seseorang datang dan berkata, ‘Buka pintunya.’ Aku berkata, ‘Aku tidak ingin membukanya.’ Ia berkata, ‘Bukankah engkau memerlukan aku?’ Aku berkata, ‘Tidak, aku memerlukan Allah (swt).’ Pada saat itu aku mengalami penglihatan spiritual di mana aku diangkat ke Hadratillah dan seolah-olah aku telah menghabiskan waktu seribu tahun di Hadirat-Nya. Kemudian aku kembali dan Dia berkata, ‘Bukalah pintu itu.’ Setelah itu aku tidak pernah mengalami kesulitan lagi.”
Orang-orang berdatangan dari mana-mana. Kemasyhurannya sampai ke Byzantium, Iraq, Khorasan, Transoxiana, dan Suriah. Ketenaranny juga mencapai Afrika Utara. Ia mengirimkan khalifah dan deputinya ke mana-mana atas perintah Sayyidina Muhammad (s). Di antara mereka adalah Sayyidina Khalid Baghdadi (q). Ia mencapai orang-orang melalui mimpi dan membimbing orang-orang di negeri-negeri yang jauh. Orang-orang menempuh perjalanan jauh untuk menemuinya, mengatakan kepadanya, “Kau memanggilku melalui mimpiku.”
Khaniqahnya biasanya memberi makanan untuk 2000 orang setiap hari dan selalu penuh. Ia tidak pernah menyimpan makanan untuk keesokan hari. Karena kesederhanaannya ia tidak pernah berselonjor, karena ia takut kalau-kalau itu akan terarah kepada Nabi (s) atau kepada Wali tertentu yang berada di Hadratillah. Ia tidak pernah melihat pada cermin. Jika seekor anjing memasuki rumahnya untuk mencari makan, ia akan berkata, “Ya Allah, siapakah aku menjadi wasilah bagi-Mu dengan Pecinta-Mu? Dan siapakah aku hingga memberi makan mereka ketika Engkau memberiku makan dan memberi mereka makan? Ya Allah, aku berdoa demi makhluk-Mu, makhluk yang ini, dan semua orang yang datang padaku meminta kasih sayang, kirimkanlah aku Rahmat demi mereka dan bawalah aku lebih dekat dengan-Mu dan tolonglah aku untuk memegang Sunnah Nabi (s) dan menerima apa yang telah Kau tetapkan dan meninggalkan apa yang Kau larang.”
Ia berkata, “Suatu ketika Isma`il al-Madani datang mengunjungiku, atas perintah Nabi (s). Dari negerinya, Hijaz, ia telah menempuh ribuan mil. Beliau membawa beberapa relik peninggalan Nabi (s) sebagai hadiah untukku. Aku meletakkannya di Masjid Jami di Delhi.”
Ia berkata, “Suatu ketika Raja Nabdilkahand mendatangiku dan beliau memakai busana orang-orang kafir. Ketika aku melihatnya, aku marah terhadapnya dan aku katakan, ‘Kau tidak bisa duduk di hadiratku dengan pakaian semacam itu.’ Raja itu menjawab, ‘Jika kau mengecamku sedemikian rupa, aku tidak akan datang ke majelismu.’” Syekh berkata, “Itu lebih baik.” Raja itu lalu berdiri dengan marah dan kemudian pergi. Ketika ia sampai di pintu, sesuatu terjadi padanya, tidak ada yang tahu apa itu. Ia lalu melemparkan busana ala kafir itu dan segera kembali dan mencium tangan Syekh lalu mengambil bay’at darinya. Raja itu kemudian menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia. Orang-orang bertanya apa yang terjadi padanya dan ia menjawab, “Ketika aku pergi keluar, aku melihat Syekh datang ke pintu bersama Nabi (s), padahal beliau berada di dalam! Itulah yang membuatku kembali kepadanya.”
Ia sangat jarang tidur. Ketika ia bangun untuk melakukan salat Tahajud, ia akan membangunkan setiap orang untuk duduk bertafakur bersamanya dan membaca al-Qur’an. Yang menjadi amalannya setiap hari adalah membaca sepertiga al-Qur’an kemudian salat Fajar bersama jemaahnya. Kemudian ia akan duduk dalam majelis zikir dan tafakur hingga matahari terbit. Ia akan salat Isyraq kemudian memberikan shuhba. Ia akan duduk membaca Hadits dan membaca tafsir Qur’an. Ia lalu salat Duha kemudian duduk untuk makan bersama para pengikutnya. Ia makan sedikit dan setelah makan ia akan membaca buku religius atau buku-buku spiritual dan menulis beberapa surat. Setelah Zhuhur ia akan duduk dan membaca tafsir dan hadits sampai waktu `Ashar. Setelah `Ashar ia akan berbicara mengenai Sufisme dan tokoh-tokoh terkemuka, seperti: al-Qusyayri, atau Ibn 'Arabi atau Syah Naqsyband (q). Kemudian ia akan duduk di dalam majelis zikir sampai Maghrib. Setelah Maghrib ia akan duduk dalam majelis privat bersama pengikutnya. Kemudian ia akan makan malam dan salat `Isya. Setelah `Isya ia akan mengisi waktu dengan zikir dan tafakur. Ia akan tidur selama satu atau dua jam, lalu ia akan bangun untuk melakukan Tahajud.
Masjidnya terlalu kecil untuk para pengikutnya, karena ia hanya bisa menampung 2.000 orang. Jadi, ia biasa membaca zikir untuk para pengikutnya secara bergiliran, setiap giliran, masjidnya penuh.
Siapapun yang memberinya donasi, pertama ia akan membayarkan zakat dari donasi itu. Menurut Mazhab dari Imam Abu Hanifa, tanpa menunggu waktu berjalan selama setahun, karena memberi zakat segera lebih baik daripada memberi sedekah. Ia akan menggunakan sisa dari donasi itu untuk mempersiapkan makanan dan manisan untuk fakir miskin dan membelanjakan untuk kebutuhan zawiyah dan kebutuhan pribadinya.
Beberapa orang pernah mencuri uang itu, tetapi ia tidak menegur mereka, tetapi akan menyerahkan urusannya kepada Allah. Suatu hari seseorang mencuri sebuah buku darinya kemudian mengembalikannya dengan menjualnya. Ia memuji orang itu dan memberinya sejumlah uang. Seorang muridnya berkata, “Wahai guruku, buku ini adalah buku yang dicuri dari perpustakaanmu sendiri dan di dalamnya ada tanda tanganmu.” Ia berkata, “Jangan menggunjing, urusan itu adalah antara dia dengan Allah.”
Ia selalu duduk dengan posisi berlutut, tidak pernah bersila atau berselonjor, tetapi dengan posisi menghormati Nabi (s) dan ia wafat dalam posisi seperti ini. Ia menyembunyikan apa yang ia berikan sebagai sedekah. Ia tidak pernah melihat berapa banyak yang ia berikan dan kepada siapa ia memberikannya. Ia memakai pakaian lama. Jika ia diberi pakaian baru, ia akan menjualnya dan membeli banyak pakaian tua dari hasil penjualannya. Ia berkata, “Lebih baik bagi orang banyak mempunyai beberapa baju daripada hanya seorang mempunyai baju yang bagus.”
Asosiasinya seperti asosiasi Sufyan ats-Tsawri, seorang Sahabat Nabi (s): tidak pernah bersuara keras, tidak ada gunjingan, dan tidak ada urusan duniawi yang didiskusikan. Tidak ada yang terdengar di sana kecuali tentang spiritualitas dan agama.
Suatu hari Syekh berpuasa dan salah seorang pengikutnya berbicara kasar tentang Raja India. Ia berkata kepadanya, “Sayang sekali bagiku, aku kehilangan puasaku.” Mereka berkata kepadanya, “Wahai guru kami, kau tidak melakukan apa-apa; orang yang bicaralah yang bertanggung jawab.” Ia berkata, “Tidak, orang yang bicara dan yang mendengar membagi dosa itu bersama.”
Ia sangat mencintai Nabi (s) sehingga setiap kali nama sucinya disebutkan ia akan terguncang dan pingsan. Ia sangat teliti dalam mengikuti Nabi (s) dalam perbuatan dan menjaga Sunnahnya.
Kata-Kata mengenai Kesempurnaannya dan Kesempurnaan dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Tarekat Naqsybandi dibangun atas empat prinsip, yaitu: menjaga Hadirat Allah; ilham Ilahiah, daya tarik dan mengabaikan bisikan-bisikan.”
“Siapa pun yang meminta Rasa dan Kerinduan, ia tidak benar-benar meminta Hakikat dari Hadratillah.”
“Seorang salik harus sangat waspada bagaimana ia melewati setiap momen hidupnya. Ia harus tahu bagaimana ia salat; ia harus tahu bagaimana ia membaca Qur’an; ia harus tahu bagaimana ia membaca Hadits; ia harus tahu bagaimana ia melantunkan Zikir; ia harus tahu berapa banyak kegelapan yang ia dapatkan dari makanan yang meragukan.”
"Makanan ada dua macam; yang pertama adalah untuk memuaskan diri dan yang kedua untuk memelihara diri. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang kedua dapat diterima karena ia memberikan kekuatan yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kalian dan menjaga Sunnah Nabi (s).”
“Sebagaimana meminta yang halal (hal-hal yang dibolehkan) adalah kewajiban bagi setiap Mukmin; menolak yang halal juga merupakan kewajiban bagi setiap Arif, Seorang yang Arif, seorang Sufi adalah orang yang menolak dunia dan akhirat, meskipun keduanya adalah halal. Ia tidak menerima yang lain kecuali Allah (swt).”
“Harus dimengerti oleh setiap orang bahwa semua kesempurnaan berpadu pada diri Nabi (s). Penampilan kesempurnaannya pada setiap abad dan waktu yang berbeda adalah berdasarkan pada kesiapan dan keadaan dari abad dan waktu pada saat itu. Itulah sebabnya penampilan dari kesempurnaannya di masa hidupnya dan di masa para Sahabat berada dalam bentuk Jihad dan perjuagan dalam berdakwah. Penampilannya kepada para awliya di abad berikutnya melalui hadirat sucinya adalah dalam bentuk Gaib (Peniadaan Diri), Fana, Cita Rasa, Gairah, Emosi, Rahasia Tauhid dan keadaan spiritual lainnya. Itulah yang telah muncul ke dalam kalbu dan pada lidah para Awliya.”
“Bagi kita malam yang lapar adalah malam Mi’raj. Malam yang lapar adalah malam yang menginginkan Allah.”
“Bay`ah (Inisiasi) ada tiga kategori: yang pertama adalah untuk perantaraan Syekh; kedua untuk tobat dari dosa-dosa; dan yang ketiga untuk terpaut atau terhubung dengan dan menerima silsilah.”
“Semua kesempurnaan manusia kecuali Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q), sementara Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Syah Naqsyband (q)."
“Manusia ada empat kategori: mereka yang tidak seperti manusia, karena semua yang mereka minta hanyalah dunia; lalu mereka yang meminta Akhirat; manusia yang matang yang meminta Akhirat dan Allah; dan manusia istimewa yang hanya meminta Allah.”
“Ruh manusia akan diambil oleh Malaikat Maut, tetapi ruh orang yang terpilih tidak dapat didekati oelh malaikat; Allah sendiri yang mengambilnya dengan Tangan Suci-Nya.”
“Pikiran Ilahi adalah pikiran yang tahu tujuannya tanpa sebuah mediator, sedangkah Pikiran Duniawi adalah pikiran yang perlu melihat jalannya melalui seorang pemandu dan seorang wali.”
“Barang siapa yang ingin berkhidmah, ia harus berkhidmah pada Syekhnya.”
Dari Penglihatan Spiritualnya
Mengenai penglihatan spiritualnya, ia berkata,
“Suatu ketika aku mempunyai sebuah penglihatan spiritual di mana aku melihat al-Mir Ruhullah, salah satu pengikut Jan Janan Habibullah (q), yang berkata kepadaku, ‘Nabi (s) sedang menantimu.’ Di dalam penglihatan itu aku bergerak ke tempat di mana Nabi (s) menunggu. Beliau memelukku dan dengan pelukan itu aku berubah seperti dirinya. Kemudian aku berubah seperti sosok Syekhku, Jan Janan Habibullah (q). Kemudian aku berubah seperti Syekh Amar Kulal (q). Kemudian aku berubah seperti Syah Naqsyband (q), dan kemudian aku berubah seperti `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q). Kemudian aku berubah seperti Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r), Sahabat Nabi (s).”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual mendekati waktu salat `Isya di mana aku melihat Nabi (s) mendatangiku dan berkata, ‘Aku mempunyai nasihat untukmu dan murid-muridmu; jangan tidur sebelum `Isya.’”
“Suatu ketika aku mendapat penglihatan spiritual di mana aku bertanya kepada Nabi (s), ‘Kau bersabda bahwa ‘Barang siapa yang melihatku, maka ia telah melihat Kebenaran.’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, dan ia akan melihat Allah (swt).”
“Suatu hari aku mempunyai penglihatan spiritual di mana aku melihat Nabi (s) datang kepadaku dan beliau (s) berkata kepadaku, “Jangan melewatkan membaca Qur’an dan melakukan zikir, kau dan murid-muridmu, dan kirimkanlah selalu pahalanya sebagai hadiah untukku; dengan begini kau akan memperolah pahala yang besar.”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual dan aku berkata kepada Nabi (s), ‘Aku sungguh takut dengan api neraka.’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Siapapun yang mencintai kami, ia tidak akan masuk neraka.’”
“Suatu ketika aku mempunyai suatu penglihatan spiritual dan aku melihat Allah (swt) berbicara padaku. Dia berkata, “Wahajahmu adalah wajah Sulthan al-Awliya, dan engkaulah orangnya.’”
“Di dalam penglihatan spiritualku aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku, memelukku, dan memasuki pakaianku. Kami menjadi satu. Aku bertanya padanya, ‘Siapakah engkau?’ Beliau menjawab, ‘Syah Bahauddin Naqsyband, dan kau adalah aku dan aku adalah engkau.’”
Suatu ketika ia berada di tepi laut dan ombak sedang mengamuk dan ia melihat sebuah kapal sedang berlayar. Kapal itu terancam tenggelam, tetapi segera setelah ia memandangnya, kapal itu berhenti terombang-ambing dan laut menjadi tenang.
Suatu ketika salah seorang pengikutnya, Syekh Ahmad Yar, sedang menempuh perjalanan dagang dalam sebuah karavan. Karavan itu berhenti untuk beristirahat. Ia tertidur dan di dalam mimpinya ia melihat Syekhnya berkata, “Pergilah segera dari sini, ada perampok yang akan menyerang.” Ia terbangun dan bercerita kepada orang-orang, tetapi mereka tidak mau percaya. Akhirnya ia pergi sediri dan perampok itu datang dan membunuh semua orang.
Suatu hari Syekh Zul Syah bersiap-siap untuk mengunjungi Syekh `Abdullah dari tempat yang sangat jauh. Ia tersesat di jalan. Seorang pria mendatanginya dan menunjukkan arah yang benar. Ia bertanya kepadanya siapa dia. Ia menjawab, “Aku adalah orang yang akan kau datangi.”
Syekh Ahmad Yar berkata, “Suatu ketika Syekh `Abdullah pergi untuk melayat seorang wanita salehah yang putrinya meninggal dunia. Wanita itu dan suaminya menjamunya. Syekh berkata kepada wanita itu dan suaminya, ‘Allah akan memberi kalian seorang anak laki-laki menggantikan putri kalian.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sudah berusia enam puluh tahun dan aku telah melewati masa usia suburku, dan suamiku sudah berusia 80 tahun. Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai anak?’ Beliau berkata, ‘Jangan bertanya bagaimana Allah dapat melakukannya! Itu adalah suatu keberkahan untuk kalian dan restuku untuk kalian.’ Kemudian beliau pergi keluar, mengambil wudu dan salat dua rakaat di masjid. Kemudian beliau mengangkat tangannya untuk berdoa, ‘Ya Allah karuniakan seorang anak kepada mereka sebagaimana yang telah Kau janjikan kepadaku.’ Kemudian beliau memandangku dan berkata, ‘Doa itu telah diterima.’ Berikutnya, wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki.”
Suatu hari seorang wanita yang merupakan saudara dari Mir Akbar `Ali dan seorang murid dari Syekh jatuh sakit. Mir Akbar `Ali mendatangi Syekh dan memintanya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi Syekh menolak untuk memberikan doa. Mir Akbar`Ali tetap bersikeras. Syekh berkata, “Itu mustahil, karena wanita itu akan meninggal dunia dalam lima belas hari.” Mir `Ali pulang ke rumah dan dua minggu kemudian wanita itu meninggal dunia.
Suatu ketika di daerah sekitar Delhi terjadi kekeringan dan tidak ada tanaman yang bisa tumbuh. Orang-orang menjadi putus asa. Pada suatu hari yang sangat panas Syekh `Abdullah pergi keluar halaman masjid dan di bawah matahari yang menyengat, ia berkata, ‘Ya Allah, aku tidak akan bergerak dari sini sampai Engkau menurunkan hujan kepada kami.’ Belum lagi doanya selesai, langit dipenuhi awan dan hujan mulai turun. Hujan itu terus berlangsung selama 40 hari.
Ia berkata, “Aku ingin mati seperti Syekhku, Mirza Jan Janan Habibullah, sebagai seorang syahid. Tetapi aku ingat bahwa setelah beliau wafat orang-orang menderita kekeringan selama tiga tahun dan banyak terjadi pembunuhan dan masalah karena Allah murka dengan orang yang membunuhnya. Oleh sebab itu ya Allah, aku tidak ingin mati seperti itu, tetapi aku meminta-Mu untuk membawaku kepada-Mu.”
Ia wafat pada tanggal 12 Shafar 1241 H./1825 M. Ia wafat dengan buku Hadits Nabi (s), Jami` at-Tirmidzi, di tangannya. Ia dimakamkan di sebelah makam Syekhnya di Khaniqah Jan Janan Habibullah di Delhi.
Ia meninggalkan banyak buku, termasuk Maqamat an-Naqsybandiyya, Risalat al-Isytighal bi Ismi-l-Jalal, Manahij at-Tahqiq, dan Minatu-r-Rahman.
Ia meneruskan rahasianya kepada Mawlana Syekh Khalid al-Baghdadi al-`Utsmani as-Sulaymani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1h0exglbf4krvuYv_4Non5D2j2o-7U0Jcg2uRBExDWP0/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
31. Khalid al-Baghdadi
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah Ulama dari para Ulama dan Wali dari para Wali dan Arif dari para Arifin dan Cahaya dan Bulan Purnama dari Tarekat ini di zamannya. Ia adalah Pemegang Rahasia dari Hakikat dan Hakikat dari Rahasia. Rahasianya bergerak ke dalam setiap manusia sebagaimana ruh bergerak ke dalam tubuh. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Khatamul Anbiya, mungkin saja kata-katanya merupakan wahyu Ilahi. Ia menyebarkan ilmu Syari`ah dan Tasawuf. Ia adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Syari`ah dan Hakikat. Ia adalah Ulama dari Mursyid Kamil dan Wali dari Ulama Kamil. Ia mencapai semua ilmu spiritual dan ilmu duniawi. Ia mempelajari batang dan cabang-cabangnya. Ia adalah Pusat dari Lingkaran Qutub di zamannya dan ia merupakan jalan untuk menggabungkan akhir dengan awal dan awal dengan akhir.
Ia adalah seorang Mujaddid, Pembangkit Nilai-Nilai Agama dari abad ke-13 Hijriah. Alam semesta bangga akan kehadirannya. Ia dilahirkan pada tahun 1193 H./1779 M. di desa Karada, di kota Sulaymaniyyah, Iraq. Ia dibesarkan dan dilatih di kota itu, di mana ada banyak sekolah dan masjid di sana. Bahkan kotanya dianggap sebagai kota pendidikan utama pada masa itu. Kakeknya adalah Pir Mika'il Chis Anchit, yang artinya Mika'il, Wali dengan enam jari. Gelarnya adalah `Utsmani karena ia adalah keturunan Sayyidina `Utsman ibn `Affan (r), khalifah ketiga Rasulullah (s). Ia mempelajari Qur’an dan penjelasan dari Imam Rifai menurut Mazhab Syafi’ii. Ia terkenal akan puisinya. Ketika ia berusia lima belas tahun ia menganut zuhud sebagai akidahnya, lapar sebagai tunggangannya, keterjagaan sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.
Ia adalah seorang salik di Dunia Allah dan ia mencapai berbagai jenis ilmu yang ada di zamannya. Ia belajar dari dua ulama besar di zamannya, yaitu Syekh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syekh Abdur al-Barzinji, dan ia membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Ia kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana ia mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Kemudian ia datang ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia mengenai Prinsip-Prinsip Fikih.
Kemudian ia mempelajari karya Ibn Hajar, Suyuti, dan Haythami. Ia mampu menghafal tafsir Qur’an dari Baydhawi. Ia mampu menemukan pemecahan bahkan bagi pertanyaan-pertanyaan tersulit di bidang fikih. Ia mampu menghafal Qur’an dalam empat belas Qiraat yang berbeda, dan ia menjadi sangat terkenal di mana-mana karena kemampuannya ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, yang merupakan gubernur daerah Baban berusaha membujuknya untuk mengurus sekolah di kerajaannya. Namun ia menolaknya dan ia pindah ke kota Sanandaj, di mana ia mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Gurunya dalam disiplin ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu sekuler ia kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul terjadinya wabah penyakit pada tahun 1213 H/1798 M. ia mengambil alih madrasah Syekh `Abdul Karam Barzinji. Ia mengajarkan ilmu-ilmu modern, dan memverifikasi persamaan-persamaan yang rumit dalam astronomi dan kimia.
Ia kemudian melaksanakan khalwat, meninggalkan semua yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala ibadah dan banyak zikir, baik zikir jahar maupun khafi. Ia tidak lagi mengunjungi sultan, tetapi ia tetap berkumpul bersama murid-muridnya sampai tahun 1220 H./1806 M. ketika ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji dan mengunjungi Nabi (s). Ia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melalui kota Mosul dan Yarbikir dan ar-Raha dan Aleppo dan Damaskus, di mana ia bertemu para ulama di sana dan mengikuti Syekh di sana, yang merupakan syekh bagi ilmu qadim dan modern, serta guru ilmu hadits, asy-Syekh Muhammad al-Kuzbara. Ia menerima otoritas dalam Tarekat Qadiri dari Syekh al-Kuzbari dan deputinya, Syekh Mustafa al-Kurdi, yang turut menemaninya pergi hingga sampai di kota Nabi (s).
Ia memuji Nabi (s) dalam puisi Persia sedemikian rupa sehingga orang-orang merasa takjub akan kefasihannya. Ia menghabiskan waktu yang panjang di Kota Nabi (s). Ia melaporkan:
“Aku sedang mencari seorang saleh yang langka untuk mendengarkan nasihat darinya ketika aku melihat seorang Syekh di sebelah kanan dari Rawdhatu-sy-Syarifa. Aku memintanya untuk memberikan nasihat, dari seorang ulama yang bijak kepada seorang yang bodoh. Beliau menasihatiku agar tidak merasa keberatan ketika aku memasuki Mekah, terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan bertentangan dengan Syari`ah. Beliau menasihati agar aku tetap diam. Aku lalu mencapai Mekah dan aku menjaga nasihat itu di dalam hatiku. Aku pergi ke Masjidil Haram dini hari pada hari Jumat. Aku duduk di dekat Ka’bah membaca Dala'il al-Khayrat, ketika aku melihat seorang pria dengan janggut hitam bersandar pada sebuah tiang dan memandangku. Dalam hatiku terlintas bahwa orang itu kurang memperlihatkan penghormatan kepada Ka’bah, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa mengenainya dan mengenai persoalan itu.
“Ia memandangku dan memarahiku dengan berkata, ‘Hei bodoh, tidakkah kau tahu bahwa kemuliaan hati orang beriman lebih berharga daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa engkau mengkritikku di dalam hatimu karena aku berdiri membelakangi Ka’bah dan wajahku mengarah padamu. Apakah kau tidak mendengar nasihat Syekh di Madinah yang mengatakan kepadamu untuk tidak mengkritik?’ Aku mengejarnya dan meminta maaf, mencium tangan dan kakinya dan memohon bimbingannya menuju Allah. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hartamu dan kunci untuk kalbumu bukan di daerah ini, tetapi di India. Syekhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kau lakukan.’ Aku tidak menjumpai seseorang yang lebih baik darinya di seluruh Masjidil Haram. Ia tidak mengatakan kepadaku India mana yang harus kutuju, sehingga aku kembali ke Syam dan berkumpul bersama ulama-ulama di sana.”
Ia kemudian kembali ke Sulaymaniyyah dan melanjutkan ajarannya mengenai penyangkalan diri. Ia selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, ada seseorang yang datang ke Sulaymaniyyah. Beliau adalah Syekh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf, yang dikenal dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang khalifah dari Qutub al-A`zham, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berjumpa dengannya dan memberinya penghormatan dan bertanya mengenai mursyid kamil yang dapat menunjukkan jalan baginya. Beliau mengatakan, “Ada seorang Syekh kamil, seorang Ulama dan Arifin, yang menunjukkan jalan pada salik menuju Raja Diraja, seorang yang ahli dalam urusan-urusan pelik, mengikuti Tarekat Naqsybandi, membawa akhlak Nabi (s), seorang mursyid dalam Ilmu Spiritual. Ikutlah denganku untuk berkhidmah kepadanya di Jehanabad. Sebelum aku berangkat, beliau berkata kepadaku, ‘Kau akan bertemu seseorang, ajaklah ia bersamamu.’”
Syekh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H./1809 M. melalui kota Ray, kemudian Tehran, dan beberapa provinsi di Iran di mana ia bertemu dengan seorang ulama besar Isma`il al-Kashi. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapur. Ia mengunjungi Master dari semua induk Tarekat di Bistham, Syekh Bayazid al-Bisthami, dan ia memujinya di makamnya dengan puisi Persia yang sangat fasih. Kemudian ia bergerak ke Tus, di mana ia mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian ia memasuki kota Jam dan ia mengunjungi asy-Syekh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya. Kemudian ia memasuki kota Herat di Afghanistan, kemudian Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini, ulama-ulama besar yang ditemuinya akan menguji pengetahuannya mengenai Syari`ah dan Makrifat, begitu pula di bidang logika, matematika, dan astronomi. Mereka mendapati bahwa ia bagaikan sungai yang luas, yang mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tak bertepi.
Kemudian ia pindah ke Lahore, di mana ia bertemu dengan Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi dan meminta doa restunya.
Ia mengingat,
“Malam itu aku tidur di Lahore dan aku bermimpi di mana Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi menarikku dengan giginya. Ketika aku bangun, aku ingin menceritakan mimpi itu padanya, tetapi beliau berkata, ‘Jangan menceritakan mimpimu kepadaku. Kami sudah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk melanjutkan perjalanan menuju saudaraku dan Syekhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q). Pembukaan kalbumu ada di tangannya. Kau akan mengambil bay’at dalam Tarekat Naqsybandi.’ Kemudian aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syekh. Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi gunung dan lembah dan gurun sampai aku sampai di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perlu satu tahun untuk mencapai kota ini. Empat puluh hari sebelum aku sampai, beliau mengatakan kepada murid-muridnya, ‘Penerusku akan datang.’”
Malam ketika ia memasuki kota Jehanabad ia menulis puisi dalam bahasa Arab, menelusuri tahun-tahun perjalanannya dan memuji Syekhnya. Kemudian ia memujinya dengan puisi dalam bahasa Persia yang memukau orang-orang karena kefasihannya. Ia memberikan segala yang dibawanya dan semua yang ada di sakunya kepada fakir miskin. Kemudian ia dibay’at oleh Syekhnya, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berkhidmah di zawiyahnya dan membuat perkembangan pesat dalam berjuang melawan diri (nafs). Lima bulan belum berlalu ketika ia menjadi salah seorang di antara orang-orang dari Hadratillah dan yang mempunyai Visi Ilahiah.
Ia memohon izin dari Syekh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syekh kemudian memberinya otoritas tertulis terhadap lima tarekat.
Yang pertama adalah Tarekat Naqsybandi, atau Silsilah Keemasan, yang menjadi subjek dari buku ini.
Yang kedua adalah Tarekat Qadiri melalui Syekh dari Sayyidina Ahmad al-Faruqi, Syah as-Sakandar dan dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junayd, as-Sirra as-Saqati, Musa al-Kazim, Ja`far ash-Shadiq (a), Imam al-Baqir (a), Zain al-`Abidiin (a), al-Husayn (a), al-Hasan (a), `Ali ibn Abi Thalib (r), dan Sayyidina Muhammad (s).
Tarekat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, mata rantai silsilahnya serupa dengan Silsilah Qadiriyyah sampai al-Junayd, yang kembali kepada Hasan al-Basri dan setelah itu kepada Sayyidina `Ali (r) dan Nabi (s).
Beliau juga memberinya otoritas dalam Tarekat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur yang sama seperti Qadiriyyah, tetapi melalui Syekh Najmuddin al-Kubra.
Terakhir, ia diberi otoritas dalam Tarekat Chisti melalui suatu jalur dari `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan Jan Janan (q) kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) dan kemudian melalui banyak syekh kepada Syekh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali (r), dan Nabi (s).
Beliau memberinya otoritas untuk mengajar semua Ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Awrad. Ia mampu menghafal Kitab Itsna `Asyari (Dua Belas Imam), yang merupakan sumber rujukan mengenai ilmu dari keturunan Sayyidina `Ali (r).
Ia lalu pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H./1813 M. untuk kedua kalinya dan ia tinggal di Madrasah Ahsa'iyya Isfahaniyyah. Ia mengisi waktunya dengan memperdalam ilmu-ilmu Allah dan memperbanyak Zikrullah. Kemudian beberapa orang yang iri menulis surat berisi kritikan kepadanya dan mengirimkannya kepada Sultan, Sa`id Pasha, gubernur Baghdad. Mereka menuduhnya kufur dan mengkritiknya dengan tuduhan-tuduhan lain yang tidak dapat diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, ia berkata, “Jika Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bukan seorang yang beriman, lalu siapa yang beriman?” Ia lalu mengusir musuh-musuh yang iri tersebut dari hadapannya dan memenjarakan mereka.
Syekh meninggalkan Baghdad untuk beberapa waktu dan kemudian kembali lagi untuk ketiga kalianya. Ia kembali ke madrasah yang sama yang saat itu telah direnovasi untuk menyambutnya. Ia mulai menyebarkan berbagai ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Ia menyingkap rahasia-rahasia Hadratillah, menerangi kalbu manusia dengan cahaya yang Allah berikan ke dalam kalbunya, sampai gubernur, para ulama, guru-guru, para pekerja dan orang-orang dari berbagai latar belakang menjadi pengikutnya. Baghdad pada zamannya sangat terkenal akan ilmunya, sehingga kota itu disebut “Tempat bagi Dua Macam Ilmu,” dan “Tempat bagi Dua Matahari.” Serupa dengan hal itu, ia juga dikenal sebagai “Yang Mempunyai Dua Sayap” (dzu-l-janahayn), sebuah kiasan bagi penguasaan ilmu lahir dan batin yang dimilikinya. Ia mengirimkan khalifah-khalifahnya ke mana-mana, dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Suriah) ke Turki, dari Iran ke India, dan Transoxania (wilayah sekitar Uzbekistan sekarang), untuk menyebarkan jalan para pendahulunya di Tarekat Naqsybandi.
Ke mana pun ia pergi, orang-orang akan mengundangnya ke rumah-rumah mereka, dan rumah mana pun yang ia masuki, rumah itu menjadi makmur. Suatu hari ia mengunjungi Kubah Batu (Qubbat ash-Shakhrah) di Yerusalem bersama banyak pengikutnya. Ia sampai di Kubah Batu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, keluar untuk bertemu dengannya bersama sekelompok orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke dalam Gereja Kumama untuk memberkatinya dengan kehadirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kotanya Nabi Ibrahim (a), ayah dari semua Nabi, dan ia disambut oleh orang-orang di sana. Ia masuk ke dalam Masjid Ibrahim al-Khalil dan ia mengambil keberkahan dari dindingnya.
Ia pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Sekelompok besar khalifah dan murid-muridnya turut menemaninya. Kotanya Masjidil Haram beserta para ulama dan Awliyanya keluar untuk menemuinya dan semuanya mengambil bay’at darinya. Mereka memberinya kunci-kunci kedua Kota Suci dan mereka menganggapnya sebagai Syekh Spiritual bagi Dua Kota Suci. Ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi pada hakikatnya Ka’bah yang memutarinya.
Setelah hajinya dan berziarah ke makam Nabi (s), ia kembali ke Syam asy-Syarif (Suriah yang diberkati). Ia diterima dengan hangat oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, di mana ketika ia memasuki Syam, sebuah parade yang sangat besar diadakan dan 250.000 orang menyambutnya di gerbang kota. Semua ulama, menteri, Syekh, orang kaya dan miskin datang untuk turut mengambil keberkahan dan meminta doanya. Itu bagaikan sebuah hari raya. Para penyair melantunkan puisi mereka dan orang-orang kaya memberi makan pada fakir miskin. Semua orang sama di hadapannya ketika ia memasuki kota. Ia membangkitkan ilmu Spiritual dan ilmu lahir dan menyebarkan cahaya itu sehingga orang-orang, baik Arab dan non-Arab menerima Tarekat Naqsybandi dari tangannya.
Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 1242 H./1827 M. ia memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Murid-muridnya sangat senang dan ia berkata, “Alhamdulillah, kita akan melakukannya jika Allah memanjangkan umur kita, setelah Ramadan, pada awal Syawal.” Itu merupakan tanda bahwa ia mungkin akan meninggalkan dunia fana ini.
Pada hari pertama di bulan Syawal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu muridnya memintanya untuk mendoakan dirinya agar selamat dari wabah itu, dan ia menambahkan, “Dan untukmu juga Syekhku.” Ia berkata, “Aku merasa malu di hadapan Tuhanku, karena niatku ketika datang ke Syam adalah untuk mati di Tahan Suci ini.”
Yang pertama meninggal dunia adalah putranya, Bahauddin, pada malam Jumat dan ia berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kami,” dan ia menguburkannya di Jabal Qasiyun. Putranya berumur lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu fasih dalam tiga bahasa: Persia, Arab, dan Kurdi, dan ia biasa membaca Qur’an.
Kemudian, pada tanggal 9 Dzul-Qaidah, putrnya yang lain, Abdur Rahman juga meninggal dunia. Ia lebih tua setahun dari adiknya. Mawlana Khalid (q) memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam untuk menguburkan putra keduanya. Ia berkata, “Di antara murid-muridku, banyak yang akan meninggal dunia.” Ia memerintahkan mereka untuk menggali lebih banyak untuk murid-muridnya, termasuk istri dan putrinya, dan ia memerintahkan mereka untuk mengairi daerah itu. Kemudian ia berkata, “Aku memberi otoritas sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi kepada Syekh Isma`il asy-Syirwani.” Ia mengatakan hal ini pada tahun kematiannya, 1242 H./1827 M.
Suatu hari ia berkata, “Aku mendapat suatu penglihatan spiritual yang luar biasa kemarin: aku melihat Sayyidina `Utsman Dzun-Nurayn (r) seolah-olah beliau wafat dan aku melakukan salat untuknya. Beliau membuka matanya dan berkata, ‘Ini adalah dari keturunanku.’ Beliau menggandeng tanganku dan membawanya kepada Nabi (s), dan berkata kepadaku agar membawa seluruh murid Naqsybandi di zamanku dan di zaman setelahku hingga zamannya Mahdi (a), dan beliau memberkati mereka. Kemudian aku keluar dari penglihatan itu, dan aku melakukan salat Maghrib bersama anak-anak dan murid-muridku.
“Rahasia apapun yang kumiliki telah kuberikan kepada deputiku, Isma`il asy-Syirwani. Siapa yang tidak menerimanya, berarti ia bukan bagian dariku. Jangan berdebat, jadilah satu pikira dan ikuti pendapatnya Syekh Isma`il. Aku menjamin siapapun di antara kalian yang menerima dan mengikutinya, ia akan bersamaku dan bersama Nabi (s).”
Ia memerintahkan mereka agar tidak menangisinya, dan ia meminta mereka untuk menyembelih hewan dan memberi makan fakir miskin demi kecintaan kepada Allah dan demi kehormatan Syekh. Ia kemudian meminta mereka untuk mengirimkan bacaan Qur’an dan doa. Ia memerintahkan mereka untuk tidak menulis apa-apa di makamnya, kecuali “Ini adalah makam Sang Ghariib (orang asing) Khalid.”
Setelah `Isya' ia masuk ke dalam rumahnya, memanggil semua keluarganya, dan menasihati mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Fajr, ia bangun, berwudu dan salat sebentar. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamar ini kecuali atas perintahku.” Ia berbaring di sisi kanan, menghadap Qiblah, dan berkata, “Aku telah terkena wabah dan aku akan menanggung semua wabah yang diturunkan di Damaskus.” Ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Siapapun yang terkena wabah, biarkan wabah itu mengenaiku dan selamatkan semua orang di Syam.”
Hari Kamis tiba, dan semua Khalifahnya masuk ke kamarnya. Sayyidina Isma`il asy-Syirwani bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” Ia berkata, “Allah telah mengabulkan doaku. Aku akan membawa semua wabah dari semua orang di Syam dan aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarinya air, tetapi ia menolak, dan berkata, “Aku meninggalkan dunia untuk bertemu Tuhanku. Aku telah menerima untuk membawa semua wabah dan membebaskan orang-orang yang terinfeksi di Syam. Aku akan meninggal pada hari Jumat.”
Ia membuka matanya dan berkata, “Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq,” ikrar yang dibaca dalam bay’at Tarekat Naqsybandi, dan ia membaca ayat 27-30 dari Surat al-Fajr: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya! Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!” Kemudian ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhannya dan ia pun wafat, seperti yang telah diprediksikannya, pada tanggal 13 Dzul Qaidah, 1242 H./1827 M. Mereka membawanya ke madrasahnya dan memandikannya dengan air yang penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sambil berzikir, khususnya Syekh Isma`il asy-Syirwani, Syekh Muhammad, dan Syekh Aman. Mereka membaca Qur’an di sekelilingnya dan di pagi harinya, mereka membawanya ke sebuah masjid di Yulbagha.
Syekh Isma`il asy-Syirwani meminta Syekh Aman `Abdin untuk melakukan salat jenazah untuknya. Masjid tidak mampu mengakomodasi semua orang yang hadir. Dikatakan bahwa lebih dari 300.000 orang melakukan salat di belakangnya. Syekh Isma`il berjanji kepada orang-orang yang tidak bisa melakukan salat di masjid bahwa ia akan melakukan salat jenazah kedua kalinya di makam. Orang-orang yang memandikannya membawa jenazahnya ke kuburnya. Hari berikutnya, Sabtu, seolah-olah suatu keajaiban terjadi di Syam, wabah itu tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia.
Mawlana Khalid meneruskan Rahasianya kepada penerusnya Syekh Isma`il asy-Syirwani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1E-Tiwi0eWN_P5kF2xR-y4GgDbMAsGsRscmmup48GgUw/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
32. Ismail asy-Syirwani
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah seorang Imam bagi Kekuatan Batin. Ia adalah salah satu dari Master Sufisme. Ia adalah Pemilik Singgasana Irsyad (Bimbingan), dan Fokus bagi Curahan Berkah Ilahi. Ia adalah Menara bagi Rahasia Gaib dari Esensi Ilahiah. Melalui dirinya manusia terbimbing menuju jalur Ilmu Surgawi dan melalui dirinya mereka menjadi terpandang. Ia adalah mercusuar di zamannya. Ia adalah Imam bagi orang-orang yang berilmu tinggi, orang-orang yang bermusyahadah. Di zamannya ia adalah seorang Sufi di mana semua mata tertuju kepadanya.
Syekh Isma`il asy-Syirwani (q) adalah orang yang membawa Tarekat Naqsybandi ke Daghestan. Ia adalah orang yang membangun jihad menentang penjajahan Rusia yang kejam dan yang menghidupkan agama Islam di negerinya setelah ia hampir di berantas.
Ia dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 7 Dzul-Qai`da 1201 H./1787 M. di desa Kurdemir, di Distrik Syirwan, Daghestan, di Kaukasia. Ia mempunyai tubuh yang tinggi kekar dengan kulit yang putih. Mata dan janggutnya hitam dan nada suaranya tinggi.
Ia mendapatkan pendidikannya di Dagestan melalui ayahnya yang merupakan salah seorang ulama terbesar di zamannya, yaitu asy-Syekh Anwar asy-Syirwani. Beliau mendidik Isma`il muda dalam menghafal Qur’an, di mana Isma`il dapat menghafal seluruh juz pada usia tujuh tahun. Kemudian ia mengisi waktunya dengan menghafal tujuh bacaan yang berbeda. Pada usia sembilan tahun ia mulai mempelajari ilmu Fiqih dan Ilmu Hadits dari Syekh Abdur Rahman ad-Daghestani. Pada usia muda, ia mampu memberi bukti-bukti dari Qur’an dan Hadits untuk hampir semua pertanyaan menyangkut Fiqih.
Suatu hari ia terhantam oleh suatu pengarus Surgawi yang sangat kuat yang membuatnya kehilangan kesadaran sepenuhnya dan membawanya ke dalam Keadaan Merendahkan Diri. Keadaan ini, di mana ia lenyap di dalam dirinya, mendorongnya untuk mencari Hakikat yang ia temui di dalam kalbunya. Kemudian pada suatu hari, ia mendapatkan sebuah penglihatan, di mana sebuah suara berkata kepadanya, “Kau harus mengarahkan dirimu menuju ke Delhi, di mana kau akan belajar dari para ulama dan syekh di sana. Semoga Allah memberi keberuntungan kepadamu untuk bertemu dengan penerus dari Syekh `Abdullah ad-Dahlawi.”
Penglihatan itu terus muncul kepadanya, hingga ia mencapai usia tujuh belas tahun. Ia berkata kepada ayahnya, “Aku ingin pergi untuk menjadi salah seorang pengikut `Abdullah ad-Dahlawi.” Ayahnya sangat takut untuk membiarkannya pergi ke negeri yang jauh seperti itu, tetapi akhirnya beliau menyerah dan merestuinya putranya untuk pergi. Isma`il mulai melangkahkan kakinya menuju Delhi, berjalan siang dan malam tanpa sarana angkutan. Ia menempuh perjalanan selama satu tahun untuk mencapai Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q) di Delhi.
Ia tinggal di Khaniqah Syekh dan belajar darinya. Ia berkhidmah selama beberapa tahun. Pada tahun 1224 H./1809 M. ia bertemu Mawlana Khalid (q) ketika beliau datang ke India untuk bertemu dengan Syekh `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan untuk mengikuti tarekat melalui beliau. Syekh Isma`il biasa mengamati perilaku Mawlana Khalid dan Syekh `Abdullah dengan seksama. Ia sangat terkesan dengan perilaku dan ketulusan Mawlana Khalid ketika berkhidmah terhadap Syekh `Abdullah. Suatu ketika Syekh `Abdullah memandang Sayyidina Isma`il dan berkata, “Rahasiamu ada pada Syekh Khalid. Ketika ia kembali ke negerinya, kau akan mengikutinya.”
Ketika Mawlana Khalid kembali ke negerinya di Syam pada tahun 1225 H., Syekh Isma`il asy-Syirwani kembali ke Daghestan untuk berpamitan kepada orang tuanya. Dalam perjalanan pulang ke Daghestan, ia berhenti di sebuah kota di mana ia melihat orang-orang sedang berdiri di tengah gurun, berdoa dengan mengangkat tangannya, memohon agar Allah menurunkan hujan. Sepanjang tahun hujan tidak pernah turun. Ketika mereka melihatnya dan terpancar kesalehan di wajahnya, mereka memohon padanya agar ia berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan bagi mereka. Ia lalu mengangkat tangannya dan berdoa. Awan mulai terkumpul dan angin mulai bertiup. Hujan pun mulai turun dan terus berlangsung selama tujuh hari tanpa henti.
Ketika ia sampai di Daghestan, ia meminta izin pada orang tuanya untuk pindah ke Suriah (Syam asy-Syarif). Namun demikian, ia tinggal dulu di Daghestan selama beberapa tahun dan ketika ia berada di sana, orang-orang berdatangan untuk belajar darinya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Jika seseorang mengabdikan dirinya kepada Allah (swt), manfaat pertama yang akan ia terima adalah bahwa ia tidak lagi memerlukan bantuan orang lain.”
“Manisnya wangi para pecinta Tuhan akan muncul dan menyebar dari dirinya. Bahkan jika mereka berusaha untuk menutupinya, mereka tidak akan mampu menutupnya, dari manapun mereka berasal dan ke manapun mereka pergi.”
“Barang siapa yang mendengar hikmah dan tidak menerapkannya, itu adalah suatu kemunafikan.”
“Berteman dengan orang-orang munafik adalah suatu penyakit dan obatnya adalah dengan meninggalkan mereka.”
“Allah (swt) berfirman bahwa barang siapa yang sabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.”
“Allah memberi hamba-hamba-Nya dengan rasa manis dari zikirnya. Jika ia bersyukur kepada Allah dan senang dengan hal itu, Dia akan memberikan Kedekatan terhadap-Nya. Jika ia tidak bersyukur dan tidak senang dengannya, Dia akan mencabut rasa manis dari zikir itu dan meninggalkannya pada lidahnya saja.”
“Allah mengekspresikan Keakraban dengan hamba-hamba-Nya dengan jalan menunjukkan para Awliya-Nya kepada mereka.”
“Sufisme adalah Kemurnian, bukannya deskripsi. Ia adalah Kebenaran tanpa akhir, seperti sungai mawar merah.”
“Tasawwuf adalah berjalan dengan Rahasia-Rahasia Allah.”
“Barang siapa yang lebih memilih berteman dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan membuat kalbunya menjadi mati.”
“Bagi orang yang arif, ada waktu di mana ketika Cahaya Ilmu akan bersinar padanya. Itu membuatnya melihat Keajaiban-Keajaiban dari Alam Gaib.”
“Siapapun yang mengaku bahwa ia mampu “Mendengar”, namun ia tidak dapat mendengar zikir burung-burung dan suara-suara kayu dan tiupan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”
Ketika ditanya mengenai manusia, ia mengatakan, “Ada empat jenis manusia dan hantu. Pada mereka Kehendak Allah mengalir seterusnya.”
Ia menghabiskan tahun-tahunnya di Daghestan. Kemudian ia mendapatkan suatu penglihatan di mana Syekh `Abdullah ad-Dahlawi (q) memerintahkannya untuk pindah ke Syam dan tinggal di sana dan berkhidmah kepada Syekh Khalid al-Baghdadi (q). Ia menempuh perjalanan ke Syam dengan berjalan kaki dari Daghestan ke Kuman, dari Kuman ke Azerbaijan dan ke Tiflis. Dari sana ia melanjutkan perjalanannya menuju Tabriz, lalu Amad, Aleppo, Hama, dan Hom. Akhirnya ia tiba di Damaskus, ibu kota Suriah, setelah menempuh perjalanan selama setahun.
Di Suriah ia segera menemui Syekhnya. Dari Marja di pusat kota di mana ia telah tiba, tidak ada cara yang mudah untuk pergi ke gunung yang menghadap ke seluruh Damaskus, di mana Khaniqah Syekhnya berada. Ia berjalan dari Marja ke gunung itu dalam dua jam, hingga akhirnya ia tiba di pintu Syekhnya. Ketika ia masuk, Syekhnya telah menunggunya. Beliau berkata, “Kami mendapat kabar mengenai kedatanganmu. Selamat datang!”
Syekh Khalid (q) segera menempatkannya ke dalam khalwat yang panjang. Di dalam khalwat itu beliau mengajari apa yang diperlukannya untuk mencapai kesempurnaan, kemudian beliau memberikan kekuatan dari tarekat ini. Beliau memerintahkan seluruh pengikutnya untuk mendengarkannya.
Beliau berkata,
“Ini adalah Khalifahku. Ia bagaikan kubah masjid, kubah Masjid Nabawi. Melalui dirinya, rahasia-rahasia tarekat ini akan mengalir kembali ke Daghestan. Dari sana aku dapat melihat cahayanya terpancar hingga mencapai tujuh generasi Syekh. Setiap orang dari ketujuh Syekh ini akan melambangkan kekuatan tertinggi dari Hadratillah. Melalui mereka akan terdapat dukungan besar untuk menentang pasukan Jahiliah yang akan memenuhi wilayah Daghestan.”
“Di antara orang-orang Daghestan akan muncul seorang kesatria yang akan hidup di zaman tiga Syekh besar dari Tarekat ini dan ia akan mendapat dukungan mereka. Ia akan memimpin pertempuran melawan pasukan Jahiliah ini.” Kemudian beliau berkata kepada murid-muridnya, “Syekh Isma`il asy-Syirwani adalah yang terbaik di antara seluruh ulama di zamannya, dan aku membesarkannya untuk menjadi salah satu Wali yang sempurna. Ia akan membimbing kalian dan membimbing semua orang setelahku. Ia akan menjadi seorang Arif yang akan menyebarkan rahasia tarekat ini kembali di daerah Kaukasia. Imam ini akan menjadi Yang Pertama yang duduk di Singgasanaku dan ia akan menjadi Pemegang perbendaharaan apapun yang kumiliki, untuk digunakan di Jalan Allah. Dan tugasnya adalah untuk menjaga anak-anakku.”
Syekh Isma`il berkhidmah kepada Syekhnya dan terus menemaninya. Ia melakukan perjalanan bersamanya dan tinggal bersamanya di rumahnya selama lima belas tahun. Ia diberi Khilafah Mutlak dan ia diberi izin untuk membimbing murid-muridnya. Ia mengarahkan orang-orang dengan ilmu terbaiknya hingga namanya menjadi termasyhur di seluruh Syam, Iraq, Persia, Armenia, Turki, dan sampai di tanah Daghestan.
Syekh Khalid menugaskannya untuk mengajar dan melatih orang-orang di Masjid Al-Addas di Damaskus. Ia biasa menghitung dan mengevaluasi perbuatan dari setiap salik, satu per satu, dan mempersembahkannya kepada Syekhnya, Mawlana Khalid. Apapun pertanyaan yang ditanyakan oleh muridnya, ia akan membawanya kepada Syekh. Kemudian Syekh akan memberi jawaban atau meminta Syekh Isma`il memberikan fatwanya.
Syekh Majid al-Khani melaporkan, “Syekh Ismail sering berkata kepada kami, ‘Aku adalah sebuah cermin pemoles. Apapun yang telah diukirkan oleh Hazrat Mawlana Khalid pada diriku, aku pantulkan kepada kalian.’ Dan ia tidak pernah menunjukkan dirinya lebih tinggi daripada kami.”
Syekh Majid al-Khani berkata, “Ketika Syekh Khalid (q) wafat, Syekh Isma`il menangis. Ia terguncang, namun demikian ia tetap tegar, bagaikan gunung yang kokoh. Ia membuat semua pengikut Syekh untuk bersatu dan bersaksi bersama-sama bahwa mereka akan memegang teguh Tali Allah. Ia memperbarui energi mereka dan mengambil kesedihan dari hati mereka. Ia memberi penghormatan pada mereka dan ia memuji mereka dan memberkati mereka. Ia mengajari mereka jalan peribadatan terbaik dan mempersiapkan diri mereka untuk menerima Ilmu Spiritual yang lebih tinggi. Ia mengambil alih kontrol untuk membimbing para salik menggantikan Syekhnya dan ia tetap mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh Syekhnya. Ia berkata, ‘Tidakkah kalian tahu bahwa Hazrat Mawlana Khalid (q) adalah seorang Ahlillah dan orang-orang seperti itu tidak pernah mati. Mereka bersama kita setiap saat dan setiap detik.”
Setelah beberapa waktu ia pergi menuju Daghestan dan sampai di sana dengan sangat cepat. Di zawiyahnya di Daghestan ia bertemu dengan Syekh Khas Muhammad. Melihat cahaya tarekat ini pada dirinya, ia berkata, “Kau akan menjadi penerusku.” Akhirnya ia meneruskan rahasia tarekat ini kepadanya, sebagaimana dua Awliya besar Daghestan lainnya, yaitu Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Selama ia tinggal di kampung halamannya, Syekh Isma`il menyebarkan tarekat ke seluruh Daghestan dan mendorong warga untuk berjuang melawan Rusia yang menentang agama dan kehidupan spiritual. Dalam waktu singkat pengikutnya muncul di mana-mana, dan banyak di antara mereka yang aktif dalam memerangi Rusia. Mereka tak kenal lelah dalam menyebarkan Tarekat Naqsybandi ke seluruh Daghestan sampai semua kota dan rumah-rumah dikenal sebagai pengikut Naqsybandi.
Imam Syamil ad-Daghestani asy-Syasyani dan Mullah Fawzi Muhammad, pemimpin gerakan melawan Rusia termasuk pengikutnya. Selama 36 tahun, di bawah kepemimpinannya dan kepemimpinan penerusnya, mereka mempertahankan negeri mereka dari agresi Rusia yang menindas mereka.
Keramatnya
Dikatakan bahwa suatu hari Syekh Isma`il (q) sedang berada di sebuah masjid dan ia mengamati seorang miskin yang tidak makan, tidak minum dan tidak tidur. Ia mendekati orang itu dan bertanya, “Apa keinginanmu?” Ia berkata, “Aku menginginkan roti hangat dan beberapa makanan.” Syekh Isma`il mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu yang belum makan selama tiga hari. Aku mohon berikanlah makanan baginya dengan apapun yang Kau inginkan.” Belum lagi ia menyelesaikan doanya, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam masjid dan berkata, “Istriku sakit dan aku bersumpah bahwa aku akan memberi makan fakir miskin agar istriku mendapat berkahnya. Ini aku bawakan beberapa roti hangat dan makanan untuk diberikan kepada orang yang kelaparan.”
Salah satu muridnya di Daghestan menceritakan, “Suatu hari Syekh Isma`il berkata kepada dirinya, ‘Wahai egoku, aku marah denganmu. Aku akan melemparmu ke dalam kesulitan.’ Ia lalu pergi ke pegunungan di Daghestan dan berbaring di mulut sebuah gua di mana ada dua ekor singa di sana. Singa-singa itu tidak bergerak, sementara kami--yang mengikutinya menjadi sangat terkejut. Kemudian singa jantan mendekatinya dengan sepotong daging di mulutnya, kemudian duduk, jauh darinya, tidak mendekatinya tetapi hanya memperhatikannya. Kemudian singa betina mendekati dengan daging di mulutnya. Ia mulai menangis dan mengaum. Singa jantan mendekati singa betina dan membuatnya berhenti menangis. Mereka duduk sebentar sambil memperhatikan Syekh. Kemudian singa jantan mengambil kedua anaknya dan menyerahkan kepada ibunya, setelah itu ia mendekati Syekh Isma'il. Ia duduk di sebelahnya, tinggal di sana sampai Syekh pergi.”
Suatu hari Syekh Isma`il melewati sebuah desa. Ketika beberapa penduduk desa melihat dan mengenalinya, semua orang berdatangan untuk bertemu dengannya. Syekh di desa itu datang dan berkata, “Wahai Syekh Isma`il, selamat datang dan ajarilah kami.” Ia berkata, “Wahai Abu Said, Allah mempunyai dua cara pengajaran: jalan yang umum dan jalan yang khusus. Jalan yang umum adalah jalan di mana engkau dan sahabat-sahabatmu berada. Sedangkan untuk jalan khusus, ikutlah denganku dan akan kutunjukkan padamu.” Mereka mengikutinya sampai ia tiba di tepi sungai. Ia berkata, “Ini adalah Jalan Allah,” kemudian ia menyeberangi sungai itu dengan berjalan kaki ke seberangnya lalu menghilang.
Syekh `Abdur Rahman ad-Daghestani meriwayatkan,
“Suatu hari aku duduk di antara banyak orang. Kami melihat Syekh Isma`il mendekat dengan mengenakan jubah wol dan ia memakai sepatu baru. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Syekh Isma`il itu seorang Syekh Sufi sejati. Aku akan datang padanya dan menyakan hal-hal yang sulit, dan kita lihat apakah beliau bisa menjawabnya atau tidak.’ Aku mendekatinya dan beliau melihatku. Ketika aku semakin dekat, beliau berkata, ‘Wahai Abdur Rahman, Allah berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an untuk menghindari prasangka. Jangan coba-coba untuk bertanya padaku. Itu bukan adab yang baik.’ Aku berkata dalam hatiku, ‘Sungguh suatu keajaiban! Itu adalah keajaiban yang besar! Bagaimana beliau mengetahui pertanyaanku dan bagaimana beliau tahu namaku? Aku harus mengikutinya dan bertanya lebih jauh lagi.’ Aku berlari mengejarnya, tetapi aku tidak dapat menemukannya.
“Suatu hari aku melihatnya di sebuah desa. Beliau sedang berdiri dan salat dan matanya penuh dengan air mata. Ketika beliau sudah selesai, aku berlari padanya dan terlitas di dalam hatiku untuk meminta maaf terhadap apa yang telah kulakukan sebelumnya. Beliau memandangku dan berkata, ‘Bacakan aku ayat Quran, wa innii la-Ghaffarun liman taaba wa amana wa `amila shalihan tsumma-htada [20:82] (‘Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.’) Kemudian beliau pergi. Aku berpikir pada diriku sendiri, ‘Sesungguhnya beliau adalah seorang abdal (“Wali Pengganti”); untuk kedua kalinya beliau membicarakan apa yang terlintas di dalam hatiku.’
“Kemudian pada hari yang sama, dalam perjalananku pulang, aku melewati desa itu lagi dan aku melihatnya berdiri di samping sumur dengan sebuah cangkir di tangannya. Beliau ingin minum dari sumur itu. Ketika aku melihatnya, cangkir itu jatuh ke dalam sumur. Kemudian aku melihat beliau mengangkat tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, aku haus dan air adalah makananku satu-satunya. Ya Allah, Kau tahu mengenai isi hatiku dan Kau tahu bahwa aku haus.’ Demi Allah, dalam sekejap air di dalam sumur itu naik ke permukaan bahkan sampai luber ke luar sumur, termasuk cangkirnya. Beliau lalu mengambil cangkir itu dan minum, kemudian beliau berwudu dan salat empat rakaat. Kemudian beliau memasukkan pasir ke dalam cangkir itu, lalu menambahkan sedikit air dan mengaduknya dengan jarinya. Beliau kemudian duduk dan makan dari campuran itu. Aku lalu mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Syekh Isma`il, izinkanlah aku makan bersamamu. Apakah yang kau makan? Tanah?’ Beliau berkata, ‘Wahai Abdur Rahman, berbaiksangkalah kepada Allah.’ Beliau lalu memberiku cangkir itu, aku angkat ke mulutku dan ternyata itu adalah air dan madu. Aku bersumpah demi Allah bahwa selama hidupku, belum pernah aku minum seenak itu. Setelah peristiwa itu, hari-hari berlalu tanpa pergi bagiku untuk makan atau minum, aku merasakan kepuasan dari manis yang kudapatkan dari cangkir itu.”
Syekh Muhammad ad-Daghestani berkata, “Suatu ketika aku pergi untuk menemui Syekh Isma`il asy-Syirwani (q). Aku mencium tangannya dan aku meminta izin untuk menemaninya dalam perjalanannya. Aku pergi bersamanya selama dua hari. Selama itu aku tidak pernah melihatnya makan atau minum. Aku menjadi sangat lapar dan haus dan aku menjadi sangat lemah untuk melanjutkan perjalanan tanpa makanan atau minuman. Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, aku sangat lemah.’ Beliau berkata, ‘Apakah engkau lapar atau haus?’ Aku berkata, ‘Ya, dua-duanya.’ Beliau berkata, ‘Jadi kau belum siap untuk menemaniku. Tutuplah matamu.’ Aku menutup mataku dan ketika aku membukanya aku mendapati diriku berada di rumahku.”
Ia wafat pada hari Rabu, tanggal 10 Dzul-Hijjah 1255 H. /1839 M. Ia dimakamkan di Amasya.
Ia mewariskan rahasianya kepada tiga khalifahnya yang semuanya merupakan murid-muridnya. Suksesi multipel ini serupa dengan yang terjadi semasa Sayyidina Syah Naqsyband (q), ketika beliau meneruskan rahasia tarekat ini kepada banyak khalifah; yang membedakan adalah bahwa pada saat itu Syah Naqsyband meneruskan rahasia utamanya kepada seorang penerus, yaitu Sayyidina `Ala'uddin al-Aththar, sedangkan Syekh Isma`il meneruskannya kepada tiga orang, yaitu Syekh Khas Muhammad asy-Syirwani, Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi al-Kurali, dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Sayyidina Isma`il Syirwani (q) memberi informasi kepada ketiga khalifahnya mengenai prediksi masa depan mereka, “Aku mewarisi rahasia tarekat kepada kalian bertiga sekaligus atas perintah Nabi (s), dan perintah Sayyidina `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), dan Imam Tarekat, Syah Naqsyband, dan Syekhku, Khalid al-Baghdadi (q), dan melalui hadirat spiritual Sayyidina Uwais al-Qarani (r). Masing-masing dari kalian akan mengemban rahasia dari Silsilah Keemasan ini dengan kekuatan yang sama, tetapi kenaikan kalian menuju Singgasana al-Irsyad akan berurutan, dan masing-masing dari kalian akan menjaga hubungan dengan satu sama lain sebagaimana yang aku katakan sekarang: setelah diriku otoritas dari rahasia itu akan berada di tangan Syekh Khas Muhammad asy-Syirwani (q); selanjutnya di tangan Muhammad Effendi al-Yaragi al-Kurali (q); kemudian di tangan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/196WLRvfgvyC2iPqZWf4oWlbYbB2bUdUBcpeA3rP7qZ8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
33. Syekh Khas Muhammad Shirwani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Aku menangis tetapi Dia membuatku bahagia.
Aku menjadi sadar tetapi Dia membuatku mabuk.
Aku diselamatkan tetapi Dia menenggelamkan aku.
Satu waktu Dia bersahabat denganku,
Di waktu yang lain Dia mengangkatku
Di waktu yang lain lagi, Dia memerangi aku
hingga aku menjadi marah.
Satu waktu aku bermain dengan-Nya,
Satu waktu aku menemani-Nya,
Di waktu yang lain aku menghindari-Nya,
Di waktu yang lain aku berbicara dengan-Nya
Jika engkau mengatakan bahwa Dia senang,
Kau akan mendapati Dia murka,
atau jika kau katakan Dia mempunyai kewajiban,
kau akan mendapati Dia memutuskan.”
Abdul Karim Jili
Ia adalah ulama yang paling bijaksana di zamannya, dihiasi dengan keindahan ilmu, dibusanai dengan kesalehan dan kesabaran, dicerahkan dengan inti dari keyakinan dan didukung dengan keteguhan imannya. Ia dapat membedakan yang haqq dari yang batil. Ia tidak tertandingi dalam keelokan dan klarifikasinya. Ia adalah master dari tarekat ini dan yang pertama dalam jemaah. Ia adalah sang pemenang di antara orang-orang yang arif dan sang penunjuk arah bagi para salik.
Bicaranya menjadi teladan dan indah dalam kefasihannya. Bukti-bukti dan contoh-contoh yang diberikannya merupakan metafora yang menjelaskan suatu konsep agar dapat diterima dan dipahami oleh orang-orang. Semua orang kagum akan kefasihannya. Jika ia melewati sebuah kota di Daghestan, orang-orang akan berbaris di jalan untuk melihatnya. Para penulis biasa mendatangi majelisnya untuk mendengar kefasihan tutur katanya, sementara para ahli fiqh datang untuk mendengar uraian fiqhnya, para filsuf untuk logika yang disampaikannya, para pembicara untuk kejelasan ceramahnya, dan para Sufi untuk Tajali Kebenarannya.
Ia dilahirkan di Kulal, sebuah distrik di Shirwan, di selatan Daghestan pada hari Senin, tanggal 1 Muharram 1201 H./1786 C.E.
Ia berperawakan tinggi dan kulitnya sangat putih. Janggutnya berwarna antara hitam dan putih. Matanya hitam. Nada suaranya tinggi.
Ia adalah salah satu fuqaha yang saleh dan banyak berdoa. Ia mengikuti dan mengajarkan Mazhab Syafi’i. Ia hafal "Kitab ul-Umm" dari Imam Syafi’i. Ia mampu memberi fatwa pada usia dua puluh tahun. Ia sangat dihormati oleh semua orang di kotanya. Ia memperoleh pelajaran Tasawuf pertamanya dari keluarganya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata, “Jalan kita dikontrol dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
“Aku telah berjumpa dengan empat tipe awliya dari Tarekat Naqsybandi, dan dari masing-masing tipe ada tiga puluh contoh; tetapi pada akhirnya aku mengikuti Syekh Isma`il ash-Shirwani (q).”
“Allah tidak mengirim segala sesuatu ke bumi ini kecuali sebagai pelajaran bagi hamba- hamba-Nya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang arif?” Ia menjawab, “Seorang arif adalah orang yang mengetahui rahasia kalian tanpa kalian mengatakannya.”
Ia berkata, “Kami tidak mengambil Sufisme melalui pembicaraan atau kata-kata yang menyolok atau dengan mengatakan, ‘Syekh kami mengatakan ini dan itu.’ Kami mengambil Sufisme dengan lapar dan meninggalkan dunia dan dengan mengasingkan diri dari semua orang.”
Ia pernah ditanya, “Apa perbedaan antara murid dan murad?” Ia menjawab, “Murid adalah orang yang memperoleh ilmunya melalui aktivitas dan kegiatan belajarnya, sedangkan murad adalah orang yang menerima ilmunya melalui ilham dan inspirasi. Murid bergerak dan berjalan, tetapi murad terbang, dan sangat berbeda antara orang yang berjalan dengan orang yang terbang.”
“Keikhlasan antara Allah dan hamba-hamba-Nya tidak disaksikan oleh seseorang, tidak pula malaikat mencatatnya, dan tidak pula Setan merusaknya serta tidak pula nafsu menghancurkannya.”
“Bahkan para shiddiqin pun dapat mengubah pendapatnya lebih dari empat puluh kali dalam semalam, meskipun ia dapat dipercaya. Sementara al-Musyahid (orang yang menyaksikan) pandangannya teguh selama empat puluh tahun.”
Orang yang berada pada “Maqam Musyahada” dari Hadratillah, ia melihat Hakikat. Ia akan mencapai tiga tahap penyaksian: `ilm al-yaqin; `ayn al-yaqin; dan haqq al-yaqin. Ilmu yang ia peroleh akan diterima secara langsung dari Hadratillah, yang tidak pernah berubah. Oleh sebab itu orang-orang pada maqam ini keputusannya teguh, dan itu berasal dari Hakikat, bukannya dari buah pikiran akalnya.
Ia berkata, “Seseorang tidak bisa disebut sebagai hamba yang bijaksana sampai tidak tampak lagi pada dirinya hal-hal yang tidak disukai Allah.”
“Tarekat Sufi Naqsybandi adalah berdasarkan empat karakteristik perilaku, yaitu: tidak bicara kecuali jika ditanya atau diminta, tidak makan kecuali jika lemah karena lapar; tidak tidur kecuali ketika lelah; dan tidak tinggal diam ketika berada di Hadirat-Nya (yakni bermunajat terus kepada Allah).”
“Kemurnian kalbu tergantung pada kemurnian zikir dan kemurnian zikir tergantung pada tidak adanya syirik khafi (syirik yang tersembunyi).”
“Bicaranya Nabi (s) adalah dari Hadratillah, sedangkan bicaranya Sufi adalah dari Musyahadah (Penyaksian).”
“Jalan bagi Sufi kepada Allah adalah dengan berjuang melawan diri mereka sendiri.”
“Ilmu Tauhid telah terhijab dari mata ulama lahir (ulama dengan ilmu eksternal) sejak dulu kala. Mereka hanya bisa membicarakan bagian luarnya saja.”
“Apa yang menyebabkan kalbu merasa gembira dan damai ketika ia mendengar suara yang indah? Itu adalah suatu konsekuensi dari peristiwa di mana Allah telah berbicara kepada ruh ketika mereka masih berupa atom di Hadirat-Nya; Allah bertanya kepada mereka, ‘Bukankah Aku adalah Tuhanmu?’ Manisnya Kalamullah menjadi terpatri pada mereka. Sehingga di dunia ini, ketika kalbu mendengar suatu zikir atau musik, ia mengalami kegembiraan dan kedamaian, karena ini adalah refleksi dari manisnya Kalamullah tadi.”
Mengenai Keramatnya
Selama dua puluh tahun ia tidak makan kecuali hanya sekali seminggu. Wirid hariannya terdiri dari salat 350 rakaat.
Syekh Ahmad al-Kawkasi berkata, “Suatu ketika aku sedang menempuh perjalanan dari suatu kota ke kota lain dengan menembus hutan untuk suatu urusan yang penting. Di tengah perjalanan salju turun dengan lebatnya, dan angin bertiup kencang. Setelah salju berhenti, hujan mulai turun, membuat semua jalan seperti sungai. Aku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melewati hutan itu. Aku masuk ke hutan itu menjelang malam, tetapi aku tersesat di tengah hutan. Langit menumpahkan hujan dan malam menyelimutiku, banjir semakin tinggi dan aku tidak tahu ke mana aku harus pergi. Aku sampai pada sebuah sungai yang mengalir melewati pepohonan. Banjir membuat sungai itu seperti samudra, penuh dengan gelombang. Jembatan di atasnya telah hancur, tetapi aku harus menyebranginya. Air sungai semakin tinggi hingga mencapai kakiku dan kemudian mencapai kaki kudaku. Aku takut akan tenggelam bersama kudaku. Aku lalu mengangkat kedua tanganku dan berdoa kepada Tuhanku, “Ya Allah, tolonglah aku dalam kesulitan ini.” Dengan segera aku mendengar sebuah suara di belakangku yang mengatakan, ‘Wahai Ahmad, mengapa engkau memanggilku dan membuatku keluar dari rumahku? Aku menoleh dan aku melihat Syekh Khas Muhammad di belakangku, tetapi beliau sangat besar. Beliau berkata, ‘Peganglah tanganku dan mari kita sebrangi sungai ini.’ Aku merasa ketakutan. Beliau berkata, “Bila engkau bersama kami, kau tidak perlu takut.’ Lalu kami menyebrangi sungai dan beliau berjalan di atas air dan aku berjalan bersamanya di atas air hingga ke sebrang. Beliau berkata, ‘Sekang kau sudah aman,’ lalu beliau menghilang. Ketika aku sampai di tempat tujuanku dan pergi ke masjid, aku melihat beliau sedang duduk di sana. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?’ Beliau berkata, ‘Wahai Ahmad, bagi kami tidak ada batas. Kami bisa berada di mana saja dan kapan saja.’”
Jihadnya
Benningsen dan Wimbush menggambarkan tentang pengaruh Syekh Isma`il ash-Shirwani (q) dan khalifahnya di Daghestan, “Tarekat Naqsybandiyyah memainkan peranan penting dalam sejarah bangsa Kaukasia. Disiplinnya kuat, dedikasi mereka total bagi cita-citanya, dan mempunyai hierarki yang ketat, hal itu dapat terlihat dari epik perlawanan orang-orang gunung di Kaukasia terhadap penaklukan Rusia. Suatu perlawanan yang berlangsung sejak 1824 hingga 1855, di mana bukan hanya pemimpin gerakan mereka tetapi juga para penguasa setempat (na'ib) dan mayoritas para pejuangnya adalah para pengikut Naqsybandi. Dapat dikatakan bahwa hampir selama lima puluh tahun perang Kaukasia memberikan kontribusi yang penting bagi kehancuran Kekaisaran Tsar baik secara moral maupun material dan mempercepat kejatuhan monarki Rusia. “Persaudaraan itu juga meraih hasil lain yang mendalam dan bertahan lama, yaitu mengubah orang-orang setengah kafir di daerah pegunungan itu menjadi penganut Muslim ortodoks yang kuat, dan mereka berhasil memperkenalkan Islam ke daerah di atas Chechnya dan suku-suku di Kirkasia, di bagian barat Kaukasus yang menganut paham animisme.”... “Migrasi besar-besaran Muslim Kaukasus ke Turki tidak menghancurkan Tarekat Naqsybandiyyah di Daghestan dan Chechnya; karena akarnya telah menyebar begitu luas dan mendalam.”
Khas Muhammad (q) wafat pada hari Minggu, tanggal 3 Ramadan 1260 H./1844 M. ketika kembali ke Daghestan setelah menunaikan ibadah haji. Ia dimakamkan di Damaskus. Ia meneruskan otoritas tarekat ini kepada penerusnya, yaitu Sayyiddina asy-Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q), sesuai dengan kehendak Syekh mereka sebelumnya, Sayyidina Isma`il ash-Shirwani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1oNrz_iib7gNwmK_b9CMuWNtuVyXmotJFWtwEgGH7s80/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
34. Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Aku tidak pernah berhenti untuk berdiri, karena Cinta-Mu,
di tempat di mana akal kebingungan.”
Abul-Hasan an-Nuri.
Ia adalah seorang Imam yang saleh dan dihormati oleh setiap orang. Ia mengeluarkan perbendaharaan ilmu dengan adabnya yang tinggi. Perkataannya merupakan pedoman bagi perjalanan sang salik. Cahaya Ilmu Surgawi bersinar dari keningnya. Ia gagah berani dalam pertempurannya melawan penjajahan Rusia pada masanya. Ia mempunyai Kesalehan sejati dan Iman yang sangat murni. Ia tawaduk terhadap semua orang. Tanda-tanda kesempurnaan ada padanya, egonya berada pada kendalinya. Ia menganjurkan orang-orang untuk mengikuti Tarekat Naqsybandi dan mendukungnya, baik dengan lidah (kata-kata), perbuatan dan dalam hati mereka. Ia bagaikan sebuah Taman Mawar di mana lebah akan mengumpulkan nektar dan menghasilkan madu terbaik. Orang-orang berlari ke gerbangnya untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di dalam dirinya terdapat tanda sebuah Keramat dalam mengetahui rahasia-rahasia kalbu para pengikutnya, dan dalam menunjukkan jalan bagi mereka untuk mencapai Maqam yang Sempurna dari Cinta Ilahi. Ia adalah seorang Sufi besar, seorang Arif yang terpandang di seluruh negeri yang mengelilingi Daghestan. Ketenarannya tersebar hingga ke Turki, Persia, dan di seluruh negeri di Arab. Kalbunya dipenuhi dengan keikhlasan. Ia mempelajari ilmu lahir dan batin. Ia adalah seorang ulama Qur’an dan Hadits, dan ia menguasai ilmu Fiqh. Ia juga menguasai ilmu Kimia, Astronomi dan Logika. Ia merupakan rujukan bagi setiap ilmu.
Ia melatih murid-muridnya yang jumlahnya ribuan. Di siang hari ia mengajari mereka strategi militer untuk menghadapi Rusia, dan di malam hari ia mengajari mereka spiritualitas. Ia sangat jarang tidur, seringkali hanya tidur tidak lebih dari dua jam sehari. Makanannya seringkali hanya air, dan pakaiannya hanya satu-satunya jubah wolnya. Ia sangat terkenal di seluruh Daghestan. Ia hidup di zaman seorang tiran terkenal, Syah Syamus, Gubernur Daghestan.
Ia dilahirkan di desa Kural, di Shirwan, Daghestan pada hari Selasa, 2 Dzul-Qai'dah 1191 H./1777 M.
Ia bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat, janggutnya putih dan matanya hijau. Suaranya lembut.
Dari Kata-Katanya
Ia pernah berkata, “Jika para Pecinta dari Al-Ahad bicara mengenai cinta mereka terhadap-Nya, dari apa yang mereka gambarkan, setiap pecinta akan mati.”
“Seorang murid tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya kecuali apa yang Allah kehendaki baginya, dan ia tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta, kecuali Rabbnya.”
“Jika seorang murid setelah lima hari berpuasa kemudian berkata, ‘Aku lapar,’ ia tidak cocok berada di tarekat kita.”
“Depresi dalam kalbu berasal dari tiga penyakit: kehilangan harmoni dengan alam, menjaga kebiasaan seseorang yang bertentangan dengan Sunnah; dan berkumpul bersama orang-orang yang korup/fasad.”
“Ketika kalbu putus asa dalam memvisualisasikan Dzat Allah, Dia mengirimkan Sifat-Sifat-Nya kepadanya yang membuat kalbu itu tenang, diam dan menjadi gembira.”
“Mengamati adalah untuk mata. Menyaksikan (musyahada) adalah dari kalbu. Penyingkapan (kasyf) adalah untuk Rahasia-Rahasia (asrar) dari penglihatan.”
“Kapankah Allah menjadi tidak rida terhadap hamba-Nya? Yaitu ketika hamba-Nya merasa jengkel dengan lamanya berlangsungnya majelis Zikir. Jika cintanya untuk Allah adalah benar, maka itu akan seperti sekejap mata.”
“Kematian menyangkal kebahagiaan bagi orang yang mencintai kehidupan duniawi.”
“Allah tidak akan mengangkat orang yang mencintai uang.”
“Cinta seorang Mukmin merupakan pelita di dalam kalbunya.”
“Islam adalah menyerahkan hatimu kepada Tuhanmu dan tidak menyakiti orang lain.”
Sebagai tanda ketawadukannya, ia pernah berkata, “Jika ada pengumuman di masjid, ‘Orang yang korup/fasad dipersilakan keluar,’ aku akan menjadi orang pertama yang pergi.”
“Barang siapa yang datang kepada Allah dengan kalbunya, Allah akan mengirimkan kalbu semua hamba-Nya kepadanya.”
“Aku melihat karya Allah di dalam manusia, tetapi gagasan palsu mereka sendiri membuat mereka buta dari penglihatan ini; dan aku mendengar zikir dan tasbih yang tak pernah berhenti dalam diri mereka, tetapi telinga mereka tuli terhadapnya.”
“Tidak semua orang dapat memakai pakaian dari wol; untuk memakainya diperlukan kemurnian kalbu.”
“Barang siapa yang memakai pakaian wol dengan tawaduk, Allah akan mengangkatnya dan cahaya bersinar di dalam kalbunya. Barang siapa yang memakainya dengan arogan dan bangga, Allah akan menghinakannya.”
Ia mempunyai kebiasaan untuk menempatkan murid-muridnya untuk berkhalwat secara bertahap. Murid senior yang telah melakukan banyak khalwat akan ditempatkan dalam khalwat yang sangat intens dalam ruangan khusus di bawah tanah. Ia menerima pria dan wanita yang datang untuk meminta nasihatnya, dan ia mempunyai murid pria dan wanita yang ditempatkan di dalam khalwat, masing-masing dalam khalwat yang terpisah.
Seorang ulama yang iri dengan ketenaran Syekh Yaraghi berniat untuk menghancurkan reputasinya. Ia mendatangi Gubernur Daghestan, Syah Syamus, dan mengatakan bahwa Syekh Yaraghi (q) telah membaurkan pria dan wanita. Ulama itu berkata kepada Gubernur, “Orang itu telah menghancurkan Syariah,” padahal Syekh Yaraghi (q) dikenal sangat ketat dalam mempertahankan Syariah dan Sunnah. Ulama itu berusaha untuk meyakinkan Gubernur agar ia memasukannya ke dalam penjara. Gubernur lalu mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat kepada Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q). Syekh membaca surat itu dan ia mengatakan kepada utusan itu, “Tunggu! Aku akan mengirimkan hadiah untuk Gubernur dengan syarat jangan dibuka sampai aku datang ke sana.” Ia masuk ke dalam kamarnya, lalu keluar dengan membawa sebuah kotak yang diberikannya kepada utusan itu.
Gubernur menerima kotak itu dan ia merasa ngeri ketika terpikir untuk membukanya. Saat sidang Sayyidina Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) datang dengan seluruh muridnya. Ketika ia masuk, Gubernur berdiri. Orang-orang yang melihatnya berdiri tahu bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi, karena ia tidak biasa berdiri untuk menghormati seseorang.
Syekh berkata, “Bukalah kotak itu!” Ia membuka kotak itu dan mendapati sepucuk surat di dalamnya. Di bawah kotak itu terdapat batu bara yang menyala. Di bawahnya ada sehelai kain, sama sekali tidak terpengaruh dengan batu bara itu. Dan di bawah kain itu terdapat bubuk mesiu. Ia berkata, “Bacalah surat itu!” Gubernur membuka surat itu dan membacanya dengan suara lantang, “Kepada Gubernur. Meskipun tuduhan terhadap kami adalah tidak benar, namun demikian kami bertanya, ‘Dapatkah orang yang menjaga sebuah kotak penuh batu bara yang menyala yang diletakkan di atas bubuk mesiu selama satu minggu…’ saat itu Gubernur mulai gemetar. Syekh berkata kepadanya, “Jangan gemetar. Lanjutkan membacanya.” Gubernur melanjutkan, “... di mana di bawahnya terdapat bubuk mesiu selama satu minggu tanpa terjadi ledakan atau sesuatu yang membahayakan, apakah ia tidak sanggup menjaga murid-muridnya, pria dan wanita, dari ledakah akibat nafsu mereka?”
Suatu ketika ada seorang wanita yang membawa putranya kepada Syekh. Anak itu berusia empat bulan. Syekh memanggil anak itu dan yang membuat orang-orang heran adalah bahwa anak itu berjalan mendatanginya. Syekh berkata kepada anak itu, “Ikutilah kata-kataku,” dan Syekh membaca Surat al-Ikhlash diikuti oleh anak itu. Lalu Syekh berkata, “Sekarang, bacalah sendiri,” dan anak itu membacanya sendiri. Orang yang menceritakan peristiwa itu mengatakan, “Aku melihat anak itu 30 tahun kemudian, dan ia menunjukkan kecerdasannya seperti yang pernah ia perlihatkan di hadapan Syekh.”
Jihadnya
Leslie Blanch menyatakan di dalam bukunya, “The Sabres of Paradise,” bahwa Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) merupakan Syekh dari Imam Syamil an-Naqshbandi (q). Selama perangnya melawan Rusia, ia memberi arahan berupa taktik dan strategi, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayiddina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) setelahnya.
Dalam Bab 34, Gammer mengatakan mengenai Syekh, di dalam bukunya, “Muslim Resistance to the Tsar…”
“... Sementara kilatan sangkur Rusia berusaha menghadang dari semua sisi, pengaruh Mula Muhammad [al-Yaraghi] terus berkembang dengan mantap, dari tahun ke tahun.
Tanpa wujud dan bentuk tertentu, ajarannya disampaikan dengan pasti dan dilakukan secara diam-diam melewati pagar baja yang kaku, bagaikan bayangan kapal menembus batu karang yang menghadang, atau seperti api yang membakar lumut di rawa-rawa yang terus merambat karena angin. Kedua kekuatan tersebut, baik moral maupun material, bergerak dalam lingkaran konsentris dengan arah berlawanan, dengan kecepatan yang sama, dan hanya ketika percikan kebebasan terakhir seolah-olah jatuh terinjak-injak oleh tentara Tsar di Daghestan tengah, api yang suci siap membara dan menyinari tanah (Daghestan) di setiap penjuru, bahkan sampai perbatasan terluarnya.”
“Sumber-sumber Rusia sepakat menyatakan bahwa Muhammad al-Yaraghi (q) dan murid-muridnya dari sejak awal selalu mengobarkan semangat jihad melawan Rusia. Hal ini tidaklah mengejutkan..... Terlebih lagi, peranan para ta’ifa Sufi, khususnya Tarekat Naqsybandiyya, dalam pergerakan jihad di dunia Islam telah ditekankan … [karena] pengaruh dari khotbah Muhammad al-Yaraghi (q).”
“...Perhatian utama dari Muhammad al-Yaraghi (q) dan murid-muridnya adalah membangun dan menegakkan Syariah dan menghilangkan adat istiadat (yang tidak sesuai dengan Syariah) yang masih bertahan.”
Syekh berbicara kepada para penduduk yang tinggal di pegunungan di Daghestan, “Kalian bukanlah Muslim atau Kristen atau Pagan (penyembah berhala)... Nabi (s) bersabda, ‘Seorang Muslim sejati adalah orang yang mematuhi Qur’an dan menyebarkan Syariahku. Siapa yang mengikuti perintahku akan berdiri lebih tinggi daripada seluruh awliya sebelumku.”...”Bersumpahlah wahai manusia, untuk menghentikan semua kebiasaan burukmu dan hindari perbuatan dosa. Isilah waktumu siang dan malam di dalam masjid. Berdoalah kepada Allah dengan penuh semangat. Menangislah dan mintalah pengampunan kepada-Nya.” [hal. 44]
Syekh Yaraghi (q) sering memprediksi masa depan murid-muridnya dan prediksinya selalu menjadi kenyataan. Ketika penyandang tuna netra dan orang yang cacat datang kepadanya dan ia berdoa untuk mereka, mereka dapat disembuhkan. Jika orang miskin datang dan ia berdoa untuknya, mereka akan menjadi kaya.
Ia wafat pada hari Rabu, 17 Muharram 1265 H./1848 M. Ia memberi otoritas kepada penerusnya, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) untuk melanjutkan sebagai Mursyid Tarekat, dengan Rahasia yang telah diberikan oleh Syekh mereka, Sayyidina Isma`il ash-Shirwani (q), dan sebagaimana yang telah diperintahkan olehnya.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1cHlDXKHy841iR7fq0q2dqc3gUfqjtqGN-LtSY3UiQyE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
35. Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah salah satu dari Manusia Sempurna yang Allah busanai dengan Asmaul Husna wal Sifat. Ia membuatnya sebagai Pilar utama dari Ilham Ilahiah berupa Rahasia yang tesembunyi dan Kunci untuk membuka Singgasana Ilmu. Ia mewakili Tuhannya sebagai Bayangan-Nya di dunia ini, kalbunya dihiasi dengan permata dari Essensi Wahdaniah yang Unik. Dia menjadikannya sebagai Rumah bagi Cahaya-Nya. Ia adalah Rezeki bagi kalbu-kalbu para Salik dan ia merupakan wasilah bagi mereka yang ingin mendengar Kalamullah secara langsung. Ia adalah Sang Kibrit al-Ahmar, “Belerang Merah” menurut Timbangan Ilahiah, Sang Penjamin bagi Tersingkapnya Rahasia-Rahasia Ibadah yang dalam. Ia adalah Kamus bagi bahasa Ilmu-Ilmu Khusus: padanya bersemayam Zamrud Hijau dan Merah Delima bagi Sang Penyelam di Samudra itu, yang darinya muncul Warisan Besar dalam membangkitkan ilmu spiritual dan agama.
Ia memahami perkataan burung dan ia merupakan penerjemah Gairah Cinta Ilahi dan ia dimuliakan dengan Ilham-Ilham dari Tarekat ini. Ia adalah penampilan Maqam Kenabian dari Hakikat Muhammad (s). Ia adalah Mursyid dari Mursyid, Cahaya dari Cahaya, Arif dari Arif. Ia adalah seorang Mursyid dari tarekat ini yang mengambil kekuatannya melalui garis hubungan darah kepada Nabi (s), ia adalah seorang Sayyid Hasani wal Husayni, dan ia mengambil kekuatan spiritual tarekat ini dari Nabi (s) melalui Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dan Sayyidina `Ali (r).
Ia dilahirkan di distrik Kubu, dari Ghazikumuk, di Daghestan pada hari Kamis, 16 Muharam tahun 1203 H./1788 M. Sejak dilahirkan ke dunia ini ia sudah berada dalam Maqamul Syahadah (Penyaksian) dan sepanjang hidupnya ia berada dalam Maqamul Kasyf, atau tanpa hijab.
Ia adalah seorang ulama baik dalam ilmu lahir maupun ilmu batin. Ia dikenal dapat berbicara dalam 15 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Urdu, Pashtu, Hindi, Rusia, Turki, dialek Daghestani dan Circassia, dan Armenia. Ia telah menghafal Qur'an dalam hati dan mengingat 775.000 Hadits, baik yang sahih maupun yang palsu.
Ia adalah seorang ensiklopedia hadits dan referensi bagi tafsir kitab suci al-Qur’an. Ia adalah seorang ahli Fikih dan Logika. Ia adalah seorang ilmuwan dan ahli matematika. Ia memiliki kecakapan khusus dalam ilmu Fisika. Ia adalah seorang ahli homeopati. Bahkan tidak ada cabang ilmu apapun yang belum dipelajarinya secara mendalam. Ia adalah seorang Sufi besar dan menulis buku berjudul “Adab al-Muridiyya fi ‘th-Thariqat an-Naqsybandiyya,” “Adab Murid di dalam Tarekat Naqsybandi.”
Ia adalah seorang Kutub dari Syekhnya di zamannya dan ia menempati posisi itu selama empat puluh tahun. Syekhnya, yaitu Syekh Isma`il (q), menunjukkan berbagai ilmu rahasia yang penting untuk melatih dan mengangkat murid-muridnya.
Ketika Syekh Syekh Isma`il (q) masih hidup, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sudah merupakan seorang wali. Di masa hidupnya dua wali besar lainnya dari Daghestan dan khalifah dari Syekhnya, Sayyidina Khas Muhammad (q) dan Syekh uhammad Effendi al-Yaraghi (q), ia terus menjadi wali yang membawa rahasia utama dari Tarekat Naqsybandi. Namun demikian, hanya ketika Syekhnya, Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) wafat, ia diberi izin untuk menjadi Mursyid tarekat ini.
Ia berbadan tinggi namun kurus. Kulitnya sangat putih. Janggutnya sangat panjang dan lebar. Matanya merah, suaranya lembut dan manis.
Ketika ia masih muda, ia adalah seorang murid dari ulama dan Sufi di Daghestan. Untuk beberapa saat ia menjadi sekretaris Gubernur Ghazikumuk. Ia memutuskan untuk meninggalkannya karena, “Allah memberiku kekuatan untuk melihat dengan dua mata istimewa, kekuatan untuk melihat ke dalam tujuh Langit dan melihat menembus bumi. Aku tidak bisa bekerja untuk seorang penindas.” Ia meinggalakan pekerjaan itu dan mengarahkan dirinya menuju Tarekat Naqsybandi, yang subur pada masa itu. Ia mempersiapkan orang-orang untuk berperang melawan Rusia. Kemudian ketika ia menjadi seorang Syekh, ia menjadi penasihat dan pemberi ilham di belakang perlawanan bersenjata Imam Syamil (q) yang juga adalah ayah mertuanya.
Ilmunya mengenai Tarekat Naqsybandi membuat orang-orang dari berbagai daerah datang untuk mendengar perkataannya. Ketika orang bertanya mengapa ia meninggalkan jabatannya di pemerintahan, ia menjawab dengan kata-kata sebagaimana yang dikutip di atas tadi. Mereka takjub dengan jawabannya. Dalam waktu yang singkat ia menjadi sangat terkenal.
Sepanjang zamannya Syekh Syamil (q), gubernur lainnya yang bernama Arlar Khan, memintanya untuk menerima posisi mufti (pemegang kewenangan agama). Ia menolaknya dengan berkata, “Aku tidak akan bekerja untuk para penindas.” Kemudian gubernur memerintahkannya untuk mengambil jabatan itu, tetapi ia mengabaikannya dan kemudian pergi. Gubernur kemudian memerintahkan agar ia digantung. Syekh Jamaluddin (q) berdiri dengan tali mengelilingi lehernya dan segera akan dieksekusi. Tiba-tiba Gubernur berlari ke arah balkon dan berteriak, “Stop! Stop! Jangan gantung dia.” Dalam keramaian itu, Gubernur terjatuh dari balkon dan menewaskan dirinya. Orang-orang segera melepaskan tali dari leher Sayyidina Jamaluddin (q) dan membiarkannya pergi. Ini adalah salah satu keramatnya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Kau harus menggunakan ilmumu. Jika engkau tidak menggunakannya, ia akan digunakan untuk menentangmu.”
“Langkah pertama dalam Maqam Wahdaniyah Yang Khas adalah menjaga sabda Nabi (s), yaitu ‘Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.’”
“Ibadah seorang yang Arif adalah lebih baik daripada mahkota di kepala raja.”
“Jika ilmu yang akan kubicarakan berasal dari diriku, maka ia akan musnah; tetapi bila itu berasal dari-Nya, dan karena itu berasal dari-Nya, maka ia tidak akan pernah musnah.”
“Di antara amal yang pahalanya tidak dapat dilihat oleh malaikat adalah Zikrullah.”
“Asosiasi terbaik dan tertinggi adalah duduk bersama-Nya dalam Maqam at-Tawhiid.”
“Jagalah waktumu, karena mereka berjalan dan tidak akan pernah kembali. Sungguh malang orang yang lalai. Sambungkan wazifa harianmu satu dengan yang lain, seperti mata rantai, kau akan mendapat manfaat darinya. Jangan membuat kalbumu sibuk dengan kehidupan duniawi, karena itu akan menyingkirkan pentingnya Akhirat dari dalam kalbumu.”
“Kisah orang-orang yang saleh dan para awliya bagaikan batalion Pasukan Allah, di mana maqam murid dibangkitkan dan ilmu rahasia dari Sang Arif menjadi dikenal. Bukti dari hal ini ada di dalam kitab suci al-Qur’an, ketika Allah berfirman kepada Nabi (s), ”Kami akan ceritakan kisah-kisah Rasul yang datang sebelummu, untuk meneguhkan hatimu” [11:120].
“Jadikanlah kalbumu bersama Allah `Azza wa Jalla, dan tubuhmu bersama orang-orang, karena siapa yang meninggalkan orang-orang akan meninggalkan jemaah dan siapa yang meninggalkan jemaah akan jatuh ke dalam kelalaian. Orang yang menggunakan Rahasianya untuk bersama orang-orang akan jatuh ke dalam ujian dan godaan dan ia akan dihijab dari Hadirat Tuhannya.”
“Allah telah menyingkapkan kepada hamba-hamba-Nya mengenai kekurangan mereka ketika Dia mengungkapkan bahwa mereka diciptakan dari tanah liat. Dia tunjukkan kepada mereka kehinaannya bahwa mereka berasal dari setetes air yang hina (mani). Dan Dia membuat mereka menyaksikan ketidakberdayaannya ketika Dia menciptakan kebutuhan untuk pergi ke kamar kecil.”
“Kebanggaan adalah bahaya yang sangat besar bagi manusia.”
“Ilmu mengenai Keesaan merupakan kekhususan bagi Sufi yang memungkinkan mereka dapat membedakan antara yang Abadi dan yang sementara.”
Dari Keramatnya
Dikatakan bahwa Allah mengaruniainya dengan dua mata tambahan dari kedua mata normalnya dan ini memberikan penglihatan tambahan baginya. Satu mata terletak di bawah pusarnya, dan satu lagi di atas pusarnya. Ketika ia masih bayi, para wanita di Ghazikumuk berdatangan untuk melihat kedua mata tambahan itu.
Allah memberi kekuatan spiritual kepada kedua mata ini di mana Dia menyingkapkan ilmu gaib untuk diketahui, baik Ilmu Surgawi maupun ilmu terkait makhluk spiritual (jin) dari dunia ini.
Dengan mata di atas pusarnya ia dapat melihat Ilmu Surgawi dan diberikan kekuatan spiritual untuk memindahkan dirinya ke Hadirat Ilahi dengan penglihatan yang lengkap, tanpa kehilangan kesadarannya. Ia dapat melihat Rahasia-Rahasia Ilahi dalam kesadaran penuh dan berbicara mengenainya kepada para pengikutnya. Setiap kali muridnya bertanya mengenai maqam-maqam Surgawi, ia akan menjawabnya dengan melihat maqam itu dengan Penglihatan yang Sempurna terlebih dahulu, baru kemudian memberikan jawabannya.
Mata di atas pusarnya digunakan untuk menjawab semua pertanyaan mengenai dunia ini dan mengenai jin. Ia sangat terkenal dalam menjelaskan kepada para pengikutnya mengenai apa yang mereka perlukan mengenai masa depan, masa sekarang dan masa lalu mereka. Silsilah dan hubungan kekerabatan antara murid-muridnya dengan leluhurnya disingkapkan baginya seperti sebuah kitab. Ia dapat memuaskan setiap orang yang bertanya mengenai leluhurnya karena ia dapat menyebutkan leluhur mereka satu per satu.
Suatu hari ia duduk bersama murid-muridnya dan memakan apel. Tiba-tiba ia mengambil apel-apel itu dari piring dan melemparkannya ke udara. Murid-muridnya terkejut melihat tindakan yang seperti kekanak-kanakan itu, khususnya dalam kaca mata prinsip Sufi yang dengan tegas menghindari semua perbuatan yang tergolong tidak berguna dan tidak ada urusannya (ma la ya`ni). Ia memandang mereka dan berkata, “Jangan melihat pada suatu perbuatan dan salah menafsirkannya, itu akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal. Makna dari tindakan yang tadi kulakukan akan diketahui dalam beberapa jam, ketika seorang murid akan datang dari desa lain dan kalian akan mendapat penjelasannya.”
Sebagaimana yang diprediksikan, seorang pria datang dan berkata, “Wahai Syekhku, saudaraku baru saja meninggal dunia.” Syekh berkata, “Itulah yang terjadi. Sekarang katakan kepada mereka kapan tepatnya ia meninggal dunia.” Ia berkata, “Ia meninggal dunia empat jam yang lalu.” Syekh menjelaskan, “Aku melihat malaikat `Izra'il (a) datang untuk mencabut nyawa seorang pengikutku dengan kemarahan dan hukuman. Aku melemparkan apel itu ke atas dan dengan tindakan itu, aku menghentikan `Izra'il (a). Aku berkata agar ia kembali kepada Allah `Azza wa Jalla, dan mengatakan kepada-Nya bahwa Sayyid Jamaluddin (q) meminta agar Dia mengubah kematian hamba-Nya itu dari su’ul khatimah (akhir yang buruk) menjadi khusnul khatimah. Dalam perjalanan `Izra'il (a) kembali dengan jawaban bahwa Allah telah mengubah takdirnya dari hukuman menjadi rahmat, aku melemparkan apel kedua dan mengatakan kepada `Izra'il (a) agar ia pergi dan aku sendiri yang akan mencabut nyawa muridku. Akulah yang mencabut nyawanya keluar dari jasadnya pada tujuh napas terakhirnya.”
Suatu ketika ada beberapa pengunjung dari Kazan yang menempuh perjalanan untuk bertemu Sayyidina Jamaluddin (q). Dalam perjalanannya mereka melewati rumah seorang wanita tua yang bernama Salahuddin `Ayesya. Wanita itu berkata, “Bila kalian bertemu dengan Syekh, mintalah padanya untuk memberiku bay’at, karena aku sendiri tidak bisa pergi menemuinya.” Pada akhir pertemuan mereka dengan Syekh Jamaluddin (q), mereka memintanya untuk memberi wirid bagi Salahuddin `Ayesya. Ia berkata, “Bawakan sehelai kain ini kepadanya.” Mereka lalu membawakan sehelai kain yang diberikan oleh Syekh itu dan menyerahkannya kepada Salahuddin `Ayesya. Wanita itu mengambilnya, membukanya, melihatnya dan mengatakan, “Aku mengerti, aku mengerti!” dan ia mengangkat kain itu ke atas kepalanya. Lalu ia pergi dan beberapa waktu kemudian, ia datang kembali membawa sebuah bejana berisi susu. Ia berkata, “Bawakan ini kembali kepada Syekh.” Ketika mereka kembali dan memberikan susu itu, Syekh sedang dalam keadaan sakit parah karena telah dianiaya oleh Gubernur. Syekh lalu meminum susu itu dan berkata, “Alhamdulillah, aku disembuhkan melalui susu yang diperah dari rusa oleh wanita itu. Ia sangat bijaksana. Ia segera mengerti. Aku meletakkan sebuah arang yang menyala di dalam kain itu tetapi kain itu tidak terbakar. Ketika aku mengirimkannya kepadanya, ia mengerti bahwa memegang tarekat ini bagaikan memegang sebuah bara api yang menyala. Ia mengambil arang itu dan mengirimkan susu. Susu itu adalah lambang kemurnian kalbu. Jadi ia mengirimiku sebuah jawaban dengan mengatakan, “Aku menerima kesulitan di jalan ini (dalam tarekat ini), dan aku mendedikasikan kemurnian kalbuku kepadamu.” Kemudian orang-orang desa itu kembali menemui wanita itu dan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Syekh. Ia berkata, “Ketika aku menerima arang itu, dua ekor rusa muncul di pintuku. Aku tidak pernah melihat hal itu. Aku segera mengerti bahwa aku harus memerah mereka dan mengirimkan susunya kepada Syekh.”
Suatu ketika Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sedang bersama murid-muridnya di sebuah masjid jami di sebuah kota untuk melakukan salat Isya berjamaah. Ketika salat telah selesai, semua orang keluar dan mereka mengunci masjidnya. Satu orang tetap tinggal di dalam masjid itu, ia bersembunyi di balik pilar. Namanya adalah Orkallisa Muhammad, salah satu murid terbaik dari Sayyid Jamaluddin (q). Ia berbicara sendiri, mengatakan, “Hei Orkallisa Muhammad, sekarang tidak ada orang lain bersamamu, kau sendiri sekarang. Bela dirimu.” Dan ia menjawab sendiri, “Bagaimana aku dapat membela diriku? Aku adalah orang terburuk yang pernah Allah ciptakan di bumi. Aku bersumpah bahwa jika apa yang aku katakan tidak sesuai dengan apa yang kuyakini, maka istriku menjadi haram bagiku!” Ia tidak tahu bahwa Syekhnya juga bersembunyi di dalam masjid itu dan mengamatinya. Syekh melihat ke dalam kalbunya. Ia melihat bahwa kalbunya sungguh menganggapnya sebagai orang terburuk di antara seluruh makhluk.
Sayyid Jamaluddin (q) menampakkan dirinya, tertawa dan berkata, “Wahai Orkallisa, datanglah ke sini.” Orkallisa sangat terkejut melihat Syekhnya karena ia berpikir bahwa ia sendirian. Syekh berkata kepadanya, “Kau benar, dan kau juga setia dan tulus.” Segera setelah ia mendengar hal ini, Orkallisa Muhammad melayang hingga kepalanya membentur langit-langit masjid. Ia kemudian jatuh dan melayang lagi dan jatuh lagi dan seterusnya hingga tujuh kali. Ketika seorang murid dibersihkan dari dunia ini, ruhnya akan mengangkatnya dan ia akan terbang seperti seekor burung.
Lalu Syekh Jamaluddin (q) berkata kepadanya, “Duduklah.” dan ia pun duduk. Syekh lalu menunjuk dengan telunjuknya ke kalbu Orkallisa Muhammad dan membuat gerakan berputar. Ketika ia memutarkan jarinya, ia membuka kalbunya, bukan kepada Hadirat Ilahi, tetapi kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi yang sudah berada di dalam kalbunya. Apa yang dibukakan Syekh kepadanya adalah enam level yang akan dibukakan kepada seorang salik agar ia dapat menapaki langkah pertamanya di dalam tarekat ini (level murid, setelah level muhib). Mereka adalah hakikat daya tarik (haqiqat al-jadzba), hakikat mencurahkan ilmu dengan melimpah (haqiqat al-fayd), hakikat untuk memfokuskan diri kepada Allah (haqiqat at-tawajjuh), hakikat memberi perantaraan atas izin Allah (haqiqat at-tawassul), hakikat memberi bimbingan (haqiqat al-irsyad), dan hakikat menggulung, dapat bergerak sesuka hatinya di dalam dimensi ruang (haqiqat at-tayy).
Keenam kekuatan yang dibukakan kepadanya adalah Langkah Utama yang pertama di dalam Jalan Sufi. Setelah ia membukakan keenam kekuatan ini, ia dapat membawanya ke Maqam Syahadah/Penyaksian. Di dalam maqam itu, ia melihat dirinya duduk bersama 124.000 burung putih yang mengelilinginya. Seekor burung hijau yang besar terbang di bagian tengah. Setelah penglihatan itu, burung-burung putih itu lenyap dan di tempatnya kini muncul rohani dari 124.000 awliya. Lalu burung hijau itu lenyap dan muncul rohani dari Sayiddina Muhammad (s). Nabi (s) berkata, “Aku bersaksi bahwa ia telah mencapai Maqamul Ihsan dan sekarang kau dapat mempercayainya. Berikan dia rahasia dari Tarekat Naqsybandi.” Kemudian Sayidd Jamaluddin (q) menuangkan dari kalbunya ke kalbu Orkallisa Muhammad, rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak pernah diimpikannya. Ia berkata kepada Syekhnya, “Wahai Syekhku, apakah hal-hal ini ada di dalam tarekat?” Ia berkata, “Ya, wahai anakku, dan ini baru awal dari perjalanan ini.”
Dikatakan bahwa rahasia dari Syekhnya dapat terlihat pada diri Orkallisa Muhammad. Ia memberikan khotbah Jumat di atas minbar dan ia dapat menepukkan tangannya dan berkata, “Wahai manusia, menangislah!” kemudian orang-orang mulai menangis. Kemudian ia menepukkan tangannya lagi dan berkata, “Tertawalah!” dan mereka mulai tertawa. Kemudian ia memanjatkan doa, mengatakan, “Ya Allah, mereka telah menangis dalam pertobatan mereka dan mereka memohon ampunanmu, ampunilah mereka. Dan mereka tertawa atas nikmat dan rahmat-Mu!” Kemudian ia akan menepukkan tangan untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, “Apakah kalian menerima Tarekat Naqsybandi menjadi tarekat kalian?” dan mereka semua menjawab, “Ya.” Lalu ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mau berzikir 5000 kali ‘Allah’ di lidah dan 5000 kali ‘Allah,’ dalam hati?” dan mereka menjawab, “Ya.” Dengan metode ini ia menyebarkan Tarekat Naqsybandi ke seluruh Daghestan, Kazan, Rusia Selatan dan di antara pasukan Imam Syamil.
Jihadnya
Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) sangat terlibat dalam mengarahkan perang melawan Rusia. Ia berperang untuk menjaga agar ajaran spiritualitas tetap kuat di Rusia, sebagaimana di zaman sebelumnya. Ia mendukung Imam Syamil dalam perang melawan Rusia selama hampir 40 tahun. Prajuritnya semata-mata berasal dari murid Naqsybandi, karena ia tidak memperbolehkan ada afiliasi lain di dalam pasukannya. Leslie Blanch menulis hal berikut mengenai hubungan mereka di dalam bukunya, “The Sabres of Paradise”:
“Syamil mematuhinya [Syekh Jamaluddin] lama setelah ia [Syamil] menjadi penguasa yang angkuh yang tidak mentoleransi adanya kritikan. Dengan tutornya, Syamil termasuk murid yang sangat disiplin dan rajin. Ia mempelajari bahasa Arab dan literatur Arab, filosofi dan teologi, mengalami kemajuan menuju doktrin Sufi yang rumit di mana evolusi agama merupakan prinsip fundamental di dalam Sufisme, termasuk studi komparatif mengenai Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Tampaknya ia bukanlah seorang murid biasa dan Jamaluddin mempersiapkan dirinya untuk takdir yang besar, yang menurut beberapa sumber, telah tertulis di keningnya.” [hal. 54-55]
“Ia [Imam kedua di Daghestan] mengalami kemajuan pesat dalam hierarki di madrasah, menjadi salah satu murid dalam lingkaran eksklusif. Namun, betapa pun jauhnya mereka menyusun rencana jihad mereka, tetap saja mereka mengambil inspirasi spiritualnya dari ajaran Sufi [Jamaluddin].”
“Imam Syamil menikah dengan putri Mullah Jamaluddin, Zaydat.” [hal. 211]
“Secara umum, Imam Syamil menghabiskan waktunya dalam tafakur atau berdoa, atau mengikuti diskusi teologis dengan guru spiritualnya, Mullah [Sayyid] Jamaluddin.” [hal. 352]
Ketika Syekh Syamil dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Rusia pada tahun 1279 H./1859 M. Syekh Jamaluddin (q) memutuskan untuk melakukan hijrah masal bersama para penduduk Daghestan ke Istanbul, Turki. Ketika keputusan itu telah ditetapkan, orang-orang dari Daghestan, Kazan, Chechnya, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan dan daerah lainnya, semuanya mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan daerah yang dikuasai Rusia. Mereka pergi ke Turki dan negeri-negeri Arab lainnya.
Syekh Syamil dibebaskan oleh Rusia dengan syarat bahwa ia bersumpah tidak akan melakukan perlawan lagi terhadap mereka. Ia lalu menunaikan ibadah haji dan mendapat sambutan sebagai pahlawan di Mekah, dikatakan bahwa ia diangkat ke atas Ka’bah untuk berdoa di sana agar semua orang memperoleh manfaat dengan melihatnya. Ia wafat di Madinah dan dimakamkan di Makam para Sahabat, al-Baqi`.
Hijrah
Syekh Jamaluddin (q) pindah ke Istanbul, ditemani oleh keluarganya dan keluarga Syekh Syamil. Di sana mereka tinggal di distrik Uskudar, di sisi Asia dari Istanbul. Dari sana ia menyebarkan ajaran Tarekat Naqsybandi ke seluruh Turki.
Pada saat itu semua rumah dibangun dari kayu. Suatu hari kebakaran hebat terjadi di kota Uskudar. Orang-orang meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka datang kepadanya, dan mendesaknya untuk segera pergi. Ia berkata dengan sangat tenang, “Aku tidak akan pergi karena rumahku tidak akan terbakar. Rumah ini dibangun dari uang yang diperoleh dengan tanganku sendiri. Rumah yang dibangun dengan uang yang murni dan halal tidak akan terbakar.” Seluruh distrik itu terbakar, tetapi rumahnya tidak tersentuh oleh api. Rumah itu terus diperlihara hingga sekarang, dan menjadi sangat terkenal.
Perilakunya bersama keluarga dan murid-muridnya selalu sempurna. Ia menjaga akhlak terbaik bersama mereka. Ia tidak pernah bereaksi terhadap keluhan atau keberatan dari keluarganya. Ia tidak pernah keberatan atau mengkritik murid-muridnya. Ia selalu berusaha untuk membuat mereka senang.
Suatu hari, tak lama sebelum wafatnya, ia memanggil istri dan putrinya. Ia berkata, “Hari ini aku telah melakukan sebuah pekerjaan besar, dan itu menyita seluruh tenagaku sehingga aku menjadi sangat lemah. Bila kalian nanti membaca koran, kalian akan melihat bahwa ada sebuah kapal besar yang kandas di Selat Bosphorus. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu dan mereka diselamatkan oleh seseorang yang tidak dikenal. Akulah orang itu, dan kalian akan mendengar mengenai hal itu.” Kemudian ia wafat. Keesokan harinya, putrinya dengan rasa takjub dan berurai air mata membaca berita itu di koran, mengenai sebuah kapal besar yang kandas dan seseorang yang tidak dikenal telah menyelamatkan semua orang di kapal itu. Koran itu masih disimpan oleh keturunannya.
Ia wafat pada tanggal 5 Syawal tahun 1285 H./1869 M. dalam usia 8o tahun. Ia dimakamkan di Uskudar, Istanbul, dekat dengan keluarga Imam Syamil.
Beberapa saat setelah wafatnya dan setelah pemakamannya, lokasi makamnya menjadi hilang, tidak ada orang yang dapat menemukannya. Ia tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun. Syekh Syarafuddin (q), yang muncul 40 tahun setelah wafatnya adalah orang yang menemukan kembali makamnya. Ketika ia tinggal di Rasyadiya, 150 mil dari Istanbul, ia mendapat suatu penglihatan di mana ia dibawa ke Uskudar. Ia dibawa ke sebuah makam dan seseorang muncul di hadapannya dengan memakai jubah hijau. Ia berkata, “Aku adalah Syekh Jamaluddin (q). Kau harus mengungkapkan kembali makamku.” Syekh Syarafuddin (q) bertanya, “Bagaimana aku dapat mengetahui makammu?” Ia berkata, “Ini adalah makam Karaja Ahmad, seorang wali yang dimakamkan di sini,” sambil menunjuk ke sebuah tempat tak jauh dari situ. Lalu ia berkata, “Anakku, lakukan yang terbaik untuk menemukan lokasi makamku.” Keesokan harinya Syekh Syarafuddin (q) menulis kepada orang-orang di Istanbul, dan mengatakan kepada mereka untuk menggali di tempat yang ia sebutkan. Mereka menggali di tempat itu dan mereka menemukan sebuah nisan bertuliskan nama Syekh Jamaluddin (q).
Syekh Jamaluddin (q) meneruskan Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi kepada Sayiddina Abu Ahmad as-Sughuri (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1gBf2BtwdS40V6ysOXBtU6NHhxyPeUiiOWjCFDMdavy8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
36. Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Sang ‘Pedang Agama’ adalah ia yang memasuki pertempuran demi agama dan yang seluruh upayanya adalah untuk Allah. Ia pisahkan yang benar dari yang tidak benar, dan kebenaran dari kebatilan. Namun terlebih dahulu ia memerangi dirinya sendiri dan ia bersihkan akhlaknya sendiri. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, ‘Mulailah dari dirimu sendiri!’”
Rumi, Fihi ma fihi.
Ia adalah Pewaris Ilmu dari Nabi (s) di zamannya, seorang Imam para Kutub, dan seorang Penasihat dari Kesultanan al-Irsyad. Ia memuaskan dahaga spiritualnya denga meminum dari sumber Ilmu Surgawi dan ia mencapai Maqamul Fana pada usia tiga puluh tahun. Ia adalah puncak bagi para Awliya yang zuhud. Kerajaan Langit menyebutnya sebagai Khalifahnya di bumi. Di dalam dirinya berpadu kedua macam ilmu dan ia memperoleh dan menguasai semua manfaat dari Tarekat dan Hakikat. Ia menjadi pusat dari semua Ilham Ilahiah. Ia adalah Rahasia dan Rahasia Allah dan Keajaiban dari Keajaiban Allah. Ia adalah Panji-Panji yang unik dari Ilmu Spiritualitas dan Ilmu Kalam. Ia bagaikan Bintang Kutub yang memberi arah dan menerangi jalan bagi orang-orang di zamannya. Ia membangkitkan kalbu-kalbu yang mati dan ia mengenakan jubah dari wali-wali besar. Ia tidak meninggalkan satu atom pun di dunia ini tanpa mendapat dukungan dari kekuatan spiritualnya.
Ia dilahirkan di Sughur, sebuah desa di Daghestan pada hari Rabu, tanggal 3 Rajab 1207 H./1789 M.
Ia berdiri di singgasana Kutub selama empat puluh tahun. Ketenarannya tersebar ke mana-mana. Ia melatih murid-muridnya dan mengangkat mereka melalui kekuatan spiritualnya. Jika seseorang muncul di dalam hadiratnya, bahkan selama satu jam, ia akan diangkat ke Maqam Pendengaran dan Maqam Penglihatan. Ia berkata, “Aku tidak bergantung pada upaya murid, tetapi aku bergantung kepada cahaya yang Allah berikan kepadaku untuk murid itu. Aku mengangkatnya melalui cahaya itu, karena aku tahu bahwa tidak mungkin bagi seseorang mencapai Maqam Tak Terhijab hanya dengan upayanya saja. Itulah makna dari doa Nabi (s), ‘Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan aku pada egoku walau hanya sekejap mata.’”
Berikut ini adalah di antara perkataannya:
“Allah telah menyediakan rezeki bagi setiap hamba-Nya. Barang siapa yang tidak mengetahui pengetahuan mengenai rezeki harian yang telah Allah berikan kepadanya, ia akan dianggap bodoh di dalam tarekat kita.”
“Orang-orang yang mencapai Hakikat dari tarekat ini sangat jarang. Dengan kekuatan dari Hakikat itu, seseorang dapat menjangkau seluruh wali di dunia ini, dan dengan Kekuatan Ilahiah yang diberikan ketika kalian mencapai Hakikat dari tarekat ini, kalian dapat menjangkau seluruh malaikat, satu per satu.”
“Cahaya spiritual yang Allah berikan kepadamu dalam perjalananmu di Tarekat ini adalah Mercu Suar yang menerangi Jalan menuju Hadirat Ilahiah-Nya tanpa takut.”
“Di dalam tarekat ini, memuliakan selain Allah adalah suatu kekufuran.”
Abu Ahmad as-Sughuri (q) menghabiskan sepanjang hidupnya dalam keadaan khalwat. Ia menyukai khalwat, ia senang mengasingkan diri dari orang-orang. Oleh sebab itu ia lumayan senang ketika Rusia menjadikannya sebagai tahanan rumah selama beberapa kali.
“Suatu hari ketika aku sedang berkhalwat dan ruangan itu dipenuhi dengan wangi semerbak. Aku tidak mengangkat pandanganku, tetapi tetap bertafakur dalam khalwatku. Lalu sebuah pedang spiritual yang bersinar dengan cahaya yang lebih terang daripada matahari turun ke arah kepalaku. Aku bertanya-tanya apakah yang kurasakan turun melalui kepalaku. Suatu penglihatan muncul di hadapanku, di mana Nabi (s) membungkusku dengan ruhnya, dan aku masuk ke dalam dirinya dan aku melihat diriku di dalamnya.”
“Suatu ketika aku memasuki hadirat Syekhkhu, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q). Ia berkata, ‘Wahai anakku, kau telah mencapai maqam tertinggi dari Kesempurnaan Muhammad.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, aku ingin mencapai silsilah dari maqam engkau.’ Segera setelah aku mengatakannya, aku melihatnya menghilang dari tempatnya dan muncul di dalam diriku, dan aku melihat diriku lenyap dan mencul di tempatnya lengkap dengan wujudnya.”
Dari Kekuatan Keramatnya
Ia dikaruniai keramat yang belum pernah diberikan kepada Awliya lainnya, berupa tersingkapnya hal-hal yang gaib di alam semesta ini, dan Ilmu Laduni mengenai keadaan-keadaan orang setelah mereka meninggal dunia, begitu luasnya hingga tidak ada buku yang dapat mencakup seluruh gambarannya.
Dikatakan bahwa ketika ia masih muda, ia biasa melihat Asma Allah tertulis dalam cahaya antara langit dan bumi. Hal itu membuatnya menjadi orang yang sederhana dan tawaduk. Tidak ada yang mampu mengambil fotonya. Ketika ada orang yang mencobanya, kameranya akan menjadi rusak. Setiap kali ada orang yang mencoba menggambarkannya pada sehelai kertas, penanya tidak mau menulis, atau keesokan harinya gambarnya akan hilang. Ia berkata, “Aku tidak ingin dikenal di dunia ini sepeninggalku karena aku tidak menginginkan suatu eksistensi apapun untuk diriku.”
Ia sering melakukan Salat Fajar dengan wudu yang sama dengan Salat Isya, menandakan bahwa ia tidak tidur.
Suatu hari ketika ia sedang bepergian bersama keluarganya, orang-orang mendapati mereka dalam keadaan tidak mempunyai air di gurun dalam perjalanan ke Hijaz. Keluarganya sangat kehausan. Ia berkata kepada pelayannya, “Pergilah, carikan air.” Ia berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana aku akan menemukan air di gurun seperti ini?” Ia bertanya kepada orang-orang dalam kafilah mereka apakah ada di antara mereka yang mempunyai air. Tetapi tidak ada yang mempunyai air dan semua kantong air pun sudah kering. Syekh lalu mengambil sebuah kantong air yang kosong dan pergi ke gurun selama sepuluh menit. Ketika ia kembali kantong itu sudah penuh dan dengan air itu ia membuat keluarganya dan juga orang-orang dalam kafilahnya menjadi terpuaskan dahaganya. Ia lalu memenuhi kantong-kantong air yang kosong dengan air dari satu kantong yang dibawanya itu, dan kemudian kembali kepada keluarganya dengan kantong air yang masih penuh, seolah-olah tidak pernah digunakan.
Dari Kata-Katanya
Ia mengatakan,
“Aku mencapai tiga level kewalian: Fana’, Baqa’, dan Makrifat. Aku menerimanya dari hadirat Cahaya Nabi, Sayyidina Muhammad (s), dan aku menerima Tiga Maqamul Ihsan dan Tujuh Hakikat dari guruku, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q).
“Kebanggaan tidak akan masuk ke dalam diri seseorang melainkan akalnya akan turun hingga ke derajat di mana kebanggaan itu meningkat di dalam kalbu.”
“Kesulitan boleh jadi menyentuh seorang Mukmin, tetapi kesulitan tidak akan mempengaruhi orang yang melakukan zikir.”
Jihadnya
Ia adalah orang yang menghidupkan Syariah dan Tarekat di zamannya dan ia menarik ribuan orang kembali kepada Islam dan Tarekat Naqsybandi.
Di Daghestan ia dianggap sebagai seorang Syekh spiritual yang membawa ajaran Tarekat Naqsybandi, dan sekaligus juga sebagai seorang kesatria, seperti Imam Syamil, lantaran ia berperang melawan Rusia. Ia adalah mufti utama setelah wafatnya Sayyid Jamaluddin (q). Tentara Rusia seringkali menahannya. Suatu saat ketika mereka menahannya, mereka ingin membawanya dengan sebuah kereta kuda. Semua orang di desanya datang untuk menyampaikan salam perpisahan. Mereka menangis seolah-olah mereka kehilangan jantung mereka. Ia duduk di dalam kereta kuda dengan tenang dan mencari seseorang di antara keramaian itu. Kusir kereta memecut kuda-kudanya agar mereka berjalan, tetapi mereka tidak mau bergerak. Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata, “Mengapa engkau memecut kuda-kuda itu?” Ia berkata, “Aku melakukannya agar kuda-kuda itu mau bergerak.” Syekh berkata, “Mereka tidak akan bergerak sampai aku memerintahkan mereka untuk bergerak. Mereka berada di bawah perintahku. Dan aku sedang menunggu seseorang.”
Mereka duduk seperti itu selama beberapa jam, sampai akhirnya ada seseorang yang datang dengan berlari di antara kerumunan orang. Ia adalah seorang tentara Rusia. Sayyidina Abu Ahmad (q) bertanya kepadanya, “Bukankah engkau putra temanku Ahmad? Mengapa kau bergabung dengan tentara Rusia? Kau adalah seorang Daghestani. Kau tidak boleh bergabung bersama tentara sementara mereka membunuh orang-orang Muslim.” Lalu ia berkata kepadanya, “Kau harus meninggalkan mereka dan mendengarkan kami.” Orang itu berkata, “Ya, wahai Syekhku, aku akan mendengarmu.” Syekh berkata, “Tentu saja kau akan mendengarkan kami, karena bahkan binatang-binatang liar di hutan pun mendengarkan kami ketika kami pergi ke sana untuk berzikir. Bahkan kuda-kuda ini mendengarkan kami dan mereka tidak akan bergerak kecuali atas perintah kami. Ayahmu adalah seorang Syekh besar dan aku katakan bahwa engkau harus meninggalkan mereka. Kau akan menjadi seorang wali. Wahai anakku, jangan tinggalkan orang-orang dengan ilmu eksoterik dan jangan tinggalkan orang-orang dengan ilmu esoterik/tersembunyi. Lihatlah makam itu, dan jangan lupa bahwa pada suatu hari kau dan aku akan dimakamkan di sana.” Dengan segera pemuda itu melepaskan seragamnya dan mengambil bay’at dari Syekh. Tentara Rusia juga menjadikannya tawanan. Kemudian Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata, “Sekarang kau mempunyai izin untuk berjalan,” dan kuda-kuda itu mulai berjalan.
Allah dan Nabi (s) mencintainya atas keikhlasan dan kesetiaannya. Syekhnya rida dengannya, dan penduduk desa menghargainya. Setiap kali ia dibebaskan dari penjara, rumahnya akan dipenuhi tamu-tamu dan berbagai sajian.
Mereka bertanya kepadanya, “Kau tidak bekerja, Rusia memerangimu dan kau berjuang melawannya, bagaimana rumahmu selalu penuh dengan berbagai rezeki? Ia berkata, “Setiap orang yang berjuang di Jalan Allah, Allah akan memberi rezeki untuknya. Dan itu adalah apa yang dikatakan oleh Allah di dalam Qur’an, “Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisinya.” [3:37].
Wafatnya
Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) wafat di Sughur pada tanggal 17 Rabi'ul-Awwal tahun 1299 H./1882 M. dalam usia 93 tahun.
Bertahun-tahun setelah wafatnya, putrinya melihatnya di dalam mimpi. Ia berkata, “Wahai putriku, batu di makamku telah jatuh menimpa dadaku. Batu itu menekan dadaku dan membuatku sakit.” Keesokan harinya putrinya pergi menemui para Syekh di kota itu dan menceritakan mimpinya. Ia juga menceritakan mimpinya kepada setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang percaya bahwa mimpi itu benar dan mereka segera membuka makamnya. Mereka mendapati bahwa batu yang menutupi jasadnya telah jatuh dan dinding makamnya telah runtuh di sekelilingnya. Mereka juga mendapati jasadnya masih utuh, bersih dan tidak berubah. Kain kafannya masih putih seolah-olah ia baru dimakamkan pada hari itu.
Mereka memindahkan jasadnya, menggali ulang makamnya dan kemudian menempatkan jasadnya kembali. Setiap orang terheran-heran bagaimana ia muncul dalam mimpi putrinya dan mengatakan tentang situasi di makamnya. Yang lebih mengejutkan adalah kondisi jasadnya yang masih sempurna. Setelah melihat hal ini, mereka semua mengambil bay’at melalui penerusnya, Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q).
Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) mempunyai dua orang khalifah, yaitu: Abu Muhammad al-Madani (q) dan Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q). Rahasia dari Silisah Emas Tarekat Naqsybandi diteruskan kepada khalifah pertamanya dan kemudian kepada khalifah keduanya.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1D7SN1QVtvT5koV4kYe9uGNoeMgegwAV7dl_jqh11rA8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
37. Syekh Abu Muhammad al-Madani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Seorang Ahlullah mabuk tanpa air,
Seorang Ahlullah merasa kenyang tanpa daging panggang.
Seorang Ahlullah semuanya membingungkan,
Seorang Ahlullah tidak memerlukan makanan dan tidur.
Seorang Ahlullah, ia adalah lautan yang tak bertepi,
Seorang Ahlullah menurunkan hujan mutiara tanpa awan.
Seorang Ahlullah tidak mengetahui kesalahan, melainkan hanya kebenaran.”
Rumi.
Berkahnya mencapai setiap orang di zamannya. Ia adalah seorang yang khas, yang membawa Rahasia dari Deskripsi Kenabian. Ia duduk di Singgasana Bimbingan, menyebarkan ilmu lahir dan batin, khususnya dari Hadirat Ilahi. Ia adalah seorang mursyid dari tarekat ini. Ia adalah seorang yang dihormati di antara orang-orang yang arif. Ia adalah pendukung bagi kaum yang lemah. Ia memiliki keramat yang besar, yang terlihat ke mana pun ia pergi.
Ia dilahirkan di Kikunu, sebuah desa di distrik Ghunib, di negeri Timurhansuro, Daghestan pada tahun 1251 H./1835 M. Bersama keluarganya ia hijrah dari Daghestan ke kota Rasyadiya, antara Bursa dan Istanbul pada tahun 1314 H./1896 M.
Ia merupakan seorang pewaris sejati dari penampilan fisik Nabi (s) dan pewaris spiritualnya. Ia sangat tampan, dan mirip dengan Nabi (s) sesuai dengan gambaran mengenai Nabi (s) di dalam Sirah Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi (s)). Ia menulis sebuah buku berjudul “Ya waladi”, “Wahai Anakku,” di dalam tradisi Imam Ghazali yang menulis “Ayyuha-l-walad”, “Wahai Anak-Anakku.”
Desa Kikunu, di mana ia dibesarkan, merupakan sebuah tempat spiritual. Para penduduk desa memelihara Syariah dan mereka semua menjadi pengikut Syekh. Satu hari sebelum kelahirannya, Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) melewati desa itu dan berkata, “Dari desa ini seorang anak yang tercerahkan akan muncul. Cahayanya akan bersinar dari bumi ke langit. Ia akan menjadi seorang wali besar.” Beliau meramalkan kelahiran dan maqam yang tinggi dari Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q).
Daghestan di zamannya dikenal sebagai “Negeri para Wali.” Di tahun-tahun pertamanya, dua Syekh besar tinggal di sana, yaitu Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q).
Ia menerima kekuatan irsyad dalam enam tarekat: Qadiri, Rufa`i, Syadzili, Chisyti, Khalwati dan Naqsybandi. Ia terkenal sebagai seorang Syekh dalam enam tarekat.
Dari Keramatnya
Suatu ketika, sebelum Syekh Muhammad al-Madani (q) mengambil Tarekat Naqsybandi, Haji Nuri dan Haji Murtaza melewati desanya dan berkata kepadanya, “Kami akan mengunjungi Ahmad as-Sughuri untuk mengambil bay’at darinya. Apakah kau ingin ikut bersama kami?” Ia menjawab, “Ya,” dan ketiganya berniat untuk mengikuti tarekat ini melalui Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q).
Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) memberi nasihat kepada mereka, lalu beliau memanggil Abu Muhammad al-Madani (q), memberinya bay`at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan memberi talqin zikir di lidahnya. Beliau tidak memberi apa-apa kepada Haji Murtaza dan Haji Nuri. Beliau berkata, “Aku memberikan rahasia kepada Abu Muhammad al-Madani. Tidak perlu mengambil rahasia dariku. Ambillah darinya. Siapapun yang ingin mengikuti tarekatku boleh mengambilnya melalui Abu Muhammad al-Madani.” Mereka mengeluh di dalam hati, “Mengapa Ahmad as-Sughuri (q) menjadikan Abu Muhammad al-Madani (q) sebagai perantara di antara kami?”
Suatu hari desa mereka dilanda kekeringan. Penduduk desa meminta mereka singgah di desanya Abu Muhammad al-Madani (q) untuk memintanya berdoa memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Dalam perjalanan mereka untuk menemuinya, mereka berbicara satu sama lain, “Kita akan mengetahui sekarang, apakah ia sungguh seorang wali dan mengapa Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) mengedepankan ia di antara kita.” Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah rumah, dan melihat seorang wanita cantik di dalamnya. Mereka sangat tertarik dengan kecantikan wanita itu sehingga mereka berdiri memandangnya untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya mereka tiba di rumah Abu Muhammad (q) dan mereka mengetuk pintunya.
Dari dalam, ia berkata, “Siapa itu?” Mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang pelan, mengatakan, “Bagaimana ia menjadi seorang Syekh bila ia tidak mengetahui siapa yang berada di pintunya?” Mereka mengetuk lagi, tetapi tidak ada jawaban. Lalu dari balik pintu terdengar suara, “Haji Murtaza dan Haji Nuri, adalah mudah bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid tanpa mengetahui siapa yang ada di balik pintu, tetapi sulit sekali bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid bila ia mengikuti hawa nafsunya di jalan yang tidak halal, dengan melihat seorang wanita telanjang.” Ia berkata kepada mereka, “Aku tidak bisa mempersilakan kalian untuk masuk ke dalam rumahku.”
Dalam ketergesaan mereka pergi, mereka sampai lupa untuk mengatakan kepadanya bahwa mereka datang untuk memintanya berdoa agar diturunkan hujan. Setelah lima menit, Syekh menyusul mereka dengan berlari dan mengatakan, “Sedangkan untuk maksud kedatangan kalian, segera setelah kalian tiba di desa kalian, hujan akan turun.” Setelah mereka tiba di desanya, awan berkumpul dan mulai menurunkan hujan.
Jihadnya
Rusia sangat takut kepadanya dan takut terhadap kekuatan yang dimilikinya sehingga mereka membawanya ke Siberia dengan niat untuk membunuhnya. Ia mampu membebaskan dirinya dan kemudian melarikan diri ke Turki. Penduduk Daghestan ingat betul bagaimana beratnya ia memerangi Rusia, baik secara fisik maupun spiritual. Bahkan tentara Rusia pun sering membicarakan keberaniannya dan keramat yang dimilikinya. Banyak peristiwa yang melibatkan dirinya dicacat oleh musuh-musuhnya.
Suatu ketika ia berperang dengan Rusia, sampai mereka menyerbu dengan kekuatan militer yang besar. Ia melarikan diri ke sebuah rumah, dan tidak ada orang yang tahu bahwa ia berada di sana. Seorang wanita melihatnya dari atap rumahnya dan ia berkata kepada tentara Rusia, “Muhammad al-Madani ada di rumah itu.” Mereka datang untuk menangkapnya. Mereka melihat bahwa rumah tempat persembunyiannya dikelilingi oleh rumput-rumput yang hijau dengan berkah dari kehadirannya, padahal di tempat lain tidak ada tanaman hijau yang dapat terlihat akibat cuaca yang sangat panas di musim panas itu. Berkat informasi wanita itu, mereka dapat menangkapnya. Pada malam harinya, wanita itu mengalami sakit parah, dan keesokan harinya ia meninggal dunia. Sebagaimana Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) di dalam Hadits Qudsi, “Barang siapa yang memerangi wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.”
Mereka menjadikannya sebagai tahanan rumah, dan mengatakan bahwa ia bisa pergi ke restoran terdekat untuk makan. Ia menolak untuk makan di restoran mereka dan ia tidak pernah memakan makanan mereka. Ia berkata, “Kalian adalah musuhku dan aku tidak akan memakan makananmu.” Ia tidak pernah memakan makanan mereka selama berbulan-bulan, dan mereka tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan. Akhirnya seseorang datang dari Negeri Sartar, dan berkata kepada gubernur, “Jika ia tidak mau memakan makananmu, serahkan ia kepadaku, aku akan membawanya ke negeriku untuk merawatnya.” Mereka lalu mengirimkannya ke sana.
Ada seorang pemuda dari Kikunu yang sedang menuntut ilmu di Bukhara dan ia bertunangan dengan seorang gadis dari Sartar. Ia mempelajari Syariah. Ia telah pergi selama bertahun-tahun dan belum pernah kembali. Sementara itu pasangannya telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Berita mengenai hal ini sampai ke Bukhara, dan pemuda itu pun mendengarnya. Ia menjadi gelisah. Malam itu, sebelum ia tertidur, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, “Kembalilah ke Sartar. Kembalilah ke Sartar.” Ia mendengar suara itu pada hari berikutnya dan berikutnya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Sartar. Ia menempuh perjalanan yang sangat panjang, mendekati Moskow, untuk sampai ke Sartar. Ia terus berjalan dan berjalan sampai akhirnya sampai di desa itu.
Ia mendapati semua orang berkumpul di suatu tempat, membawa makanan. Mereka berkata kepadanya, “Seorang Syekh besar dari Kikunu telah datang ke Sartar, dan ia menyembuhkan orang dan memberi makan fakir miskin. Kami sangat tertarik dengan kekuatan spiritualnya sehingga kami semua menjadi pengikutnya. Ikutlah bersama kami untuk menemuinya.” Pemuda itu bergabung bersama mereka. Penduduk desa berkata kepada Syekh, yang merupakan Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q), “Kau mungkin akan dibawa oleh Rusia. Mohon tinggalkan seseorang di sini yang mempunyai kewenangan untuk membimbing kami dalam tarekat.” Ketika pemuda itu tiba di rumah Syekh, Syekh berkata kepadanya, dengan suara yang sama yang pernah didengarnya di Bukhara, “Wahai anakku, kau telah mendengar pesan kami, kau mendengar suara kami. Datanglah! Kau akan menjadi khalifahku dan kau akan mengajarkan orang-orang ini apa yang mereka perlukan mengenai spiritualitas dan kewajiban-kewajiban dalam agama. Dan kau akan menikahi tunanganmu.” Pemuda itu sangat senang. Ia mengambil bay’at Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya dari Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Syekh lalu menikahkannya dengan tunangannya.
Ini merupakan sebuah anugerah yang ajaib dari Abu Muhammad al-Madani (q) bagi kota Sartar. Itu juga merupakan sebuah tanda bahwa hari-harinya di Sartar akan berakhir. Hari berikutnya, Rusia datang untuk membawanya ke Siberia. Ia dikunci di dalam sebuah penjara dengan tingkat keamanan yang tinggi. Walaupun mereka mengurungnya di dalam selnya, mereka sering melihatnya berada di halaman untuk salat, duduk atau membaca. Para penjaga sangat terkejut, mereka membawanya kembali. Beberapa jam kemudian mereka menemukannya kembali di luar. Mereka lalu merantainya ke dinding. Tetap saja mereka menemukannya berada di luar selnya, sedang berjalan dengan seseorang. Belakangan ia mengatakan bahwa ia sedang berjalan dengan Sayyidina Khidr (a). Mereka kembali merantainya tetapi lagi-lagi mereka melihatnya berada di luar selnya. Mereka sangat kesal sehingga mereka mengirimkan surat ke Moskow, meminta nasihat untuk menanganinya. Moskow mengatakan, “Masukkan dia ke dalam penjara bawah tanah yang sangat dalam.” Mereka berusaha melakukannya, tetapi tidak peduli berapa dalam mereka memasukkannya, ia selalu dapat ditemukan di luar selnya. Akhirnya mereka menjadi muak dengannya dan membiarkannya bebas untuk pergi dalam perbatasan Rusia. Syekh berniat untuk melarikan diri ke Turki.
Ketika mereka sudah membiarkannya bebas pergi di Siberia, ia bertemu dengan seorang petugas dan berkata kepadanya, “Anakku, aku akan bertemu denganmu di Istanbul, Turki. Kami akan bertemu denganmu di sana.” Belakangan pemuda itu menjadi muak bekerja untuk militer Rusia dan ia mengundurkan diri. Dengan keluarganya, ia pindah ke Turki dan berakhir di Istanbul. Di sana ia bertemu dengan Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), seperti yang pernah dikatakannya.
Dalam perjalanannya ke Turki, Sayyidina Muhammad al-Madani (q) memutuskan untuk melewati kampung halamannya di Kaukasus untuk mengunjungi orang tua dan keluarganya. Satu hari sebelum tiba, saudarinya bermimpi bahwa ia bertemu dengannya dan mengatakan bahwa ia akan datang. Keesokan harinya saudarinya berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, buatlah makanan yang lebih banyak karena saudaraku akan datang hari ini.” Ibunya berkata, “Apa katamu? Bahkan tidak ada orang yang mengetahui apakah ia masih hidup di Siberia dan kau katakan bahwa ia akan datang ke sini?” Saat itu pintu diketuk dan Sayyidina Muhammad al-Madani (q) muncul.
Hijrahnya
Ketika ia sedang makan bersama keluarganya, ia memberitahu mereka, “Aku harus bergegas, karena ada kapal yang menunggu untuk membawaku ke Trabzon melalui Laut Hitam.” Mereka terkejut dan berkata kepadanya, “Kita di Kaukasia dan kau mengatakan tentang Trabzon?”
Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengarahkan dirinya ke pesisir Laut Hitam di wilayah Rusia. Ketika ia tiba di sana, kapal telah menunggu untuk membawanya ke Turki. Ia mendatangi kapten dan berkata kepadanya, “Bawalah aku ke Turki dengan kapalmu.” Kapten itu menjawab, “Aku telah mencoba untuk melaut selama dua puluh empat hari, tetapi kapal ini tidak berjalan dengan baik.” Syekh berkata, “Sekarang ia akan berjalan dengan baik. Ambillah uang ini sebagai tiketku dan antarkan aku ke Turki.” Kapten itu membawanya dan menempatkannya di dekat kamar mesin. Kemudian kapten itu tidur, sementara anak buahnya mengemudikan kapal. Di dalam mimpinya, kapten itu melihat bahwa mesin kapalnya telah berubah bentuk menjadi sosok Syekh dan kapal itu mempunyai sayap dan terbang menuju Trabzon. Ia bangun dan berlari keluar. Anak buahnya berkata, “Kita telah sampai di Trabzon.” Ia turun ke kamar Syekh dan Syekh bertanya kepadanya, “Apakah kita sudah sampai?” Ia berkata, “Ya Syekhku, aku datang untuk memberitahumu bahwa aku ingin mengambil bay’at darimu. Perjalanan ini secara normal memakan waktu tiga hari, tetapi kita tiba dalam satu hari.” Kapten itu lalu berbay’at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya.
Syekh meninggalkan kapal dan pergi ke sebuah kedai kopi. Ia melihat seorang mantan tahanan di dalam kedai itu yang pernah bersamanya di Siberia. Namanya Muhammad at-Tawil. Ia berkata, “Alhamdulillah Syekhku, kau telah sampai di sini dengan selamat. Kau akan menjadi tamu di rumahku.”
Ketika Sultan Abdul Hamid mendengar bahwa Syekh Muhammad al-Madani (q) telah tiba dengan selamat di Trabzon, ia mengirimkan kapal untuk membawanya dari Trabzon ke Istanbul. Sementara itu, Syekh tetap tinggal sebagai tamu di rumah Muhammad at-Tawil. Selama Syekh Abu Muhammad al-Madani (q) berada di rumahnya, setiap hari ia menemukan dua koin emas di bawah kasurnya. Ia begitu terheran-heran sehingga setelah hari kelima, ia menemui Syekh yang mengatakan, “Selama aku berada di sini dan selama engkau menyimpan rahasia ini, kau akan menemukan koin-koin ini di bawah bantalmu setiap hari. Jika engkau tidak memberitahu orang-orang, koin-koin ini akan terus berdatangan.”
Suatu hari, beberapa saat setelah Syekh pergi ke Istanbul, istri dari Muhammad at-Tawil membersihkan tempat tidur dan ia menemukan dua koin emas. Ia mulai ribut menanyakan darimana asal koin-koin itu. Akhirnya Muhammad at-Tawil mengatakan bahwa itu adalah berkah dari Syekh. Segera setelah itu istrinya pergi dan mengabarkan kepada tetangganya. Setelah kejadian itu, keajaiban itu pun berhenti.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1308 H./1890 M. Namun demikian kisah itu tidak pernah diceritakan sampai putra Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengunjungi teman ayahnya, Muhammad at-Tawil beberapa waktu setelah ayahnya wafat. Muhammad at-Tawil menceritakan kisah itu dan memperlihatkan koin-koin yang ia dapatkan dengan begitu ajaibnya.
Sultan Abdul Hamid, Sultan dari Dinasti Utsmani adalah seorang pengikut Tarekat Naqsybandi, dan ia mengambil bay’at dari Sayyidina Muhammad al-Madani (q). Sultan memberinya pilihan lahan di Istanbul untuk dibangun zawiyah untuk tarekat ini dan rumah untuknya. Syekh menjawab, “Pilihan itu bukan terserah pada kami, tetapi itu terserah pada Hadirat Ilahi.” Jadi ia menunggu hingga keesokan harinya, dan Sultan Abdul Hamid sangat ingin mendengar jawabannya. Syekh Muhammad al-Madani berkata kepadanya, “Wahai anakku, Allah telah mengarahkan aku ke suatu tempat di mana Tarekat Naqsybandi akan berkembang. Di sanalah para pengikut Daghestani yang tulus akan berada dan di sanalah Tarekat Naqsybandi akan berkembang, dan di sanalah keponakanku akan mengambil kewenangan tarekat ini.” Sultan berkata, “Apapun keputusanmu, aku akan mematuhi keputusanmu.”
Hari berikutnya Abu Muhammad al-Madani (q) berkata kepada Sultan, “Kirimkan aku ke Yalova. Tempat yang kutuju berada di antara Yalova dan Bursa.” Sultan menyiapkan kereta kuda untuk membawanya ke mana pun yang ia inginkan. Ketika ia sampai di daerah Yalova, ia membiarkan kudanya pergi ke arah yang mereka inginkan. Mereka berhenti di sebuah tempat dekat Orhanghazi.
Di dalam hutan, ia membangun rumah pertama dari kayu. Dalam waktu singkat 680 rumah berdiri di hutan itu. Dan tempat itu diberi nama Rasyadiya, mengambil nama dari Sultan Rasyad, dan sekarang dikenal sebagai Gunekoy.
Semua imigran yang berasal dari Siberia dan dari Kaukasus pindah ke desa itu, di mana Syekh Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan Syekh `Abdullah (q) juga berada di sana. Suatu ketika orang-orang mendatangi Syekh Muhammad al-Madani (q) dengan mengeluh, “Bagaimana kami dapat makan? Tidak ada apa-apa di sini.” Ia menginjakkan kakinya di tanah, dan di tempat ia menginjakkan kakinya itu ditemukan sebuah tambang tanah liat dan besi. Pada saat yang sama, sebuah pohon tumbang. Dari tanda-tanda ini, ia memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan nafkahnya melalui pekerjaan tambang tanah liat dan besi serta menjual kayu. Berikutnya berdiri 750 rumah dan dua masjid serta satu sekolah yang terdiri atas 16 kelas untuk mengajari anak-anak.
Beberapa tahun kemudian, selama Perang Balkan, tentara Yunani dan Serbia yang berperang dengan Turki datang ke desa ini. Banyak rumah yang dihancurkan dan banyak warga desa yang melarikan diri, hingga tersisa 220 rumah setelah serbuan itu. Namun demikian tidak terjadi apa-apa pada masjidnya, dan semua salat tetap berlangsung di sana.
Di desa itu tidak ada kejahatan atau korupsi yang terjadi. Tidak ada minum-minuman keras, perjudian, tidak ada kemungkaran yang terjadi. Sejak kanak-kanak, setiap orang dibesarkan dengan melakukan zikir. Itu adalah setitik surga di bumi. Setiap orang hidup dalam keharmonisan, melakukan zikir setiap malam. Itu adalah sebuah desa yang ideal dan sebuah kota yang ideal. Itulah sebabnya mengapa Syekh berkata kepada Sultan Abdul Hamid bahwa, "Cahaya akan terpancar dari desa itu.”
Desa itu penuh dengan berkah. Mereka tidak memerlukan rezeki dari luar. Kayu-kayu ada di sana untuk bahan bakar di musim dingin. Mereka mempunyai hewan peliharaannya sendiri dan mereka mengolah sendiri makanannya. Orang-orang mengisi waktu dan perbuatan mereka dengan zikir. Ibu menyusui anak-anaknya dengan zikir. Kaum pria melakukan pekerjaannya dengan zikir. Seluruh desa dipenuhi zikir. Inilah bagaimana Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan berikutnya Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) memelihara orang-orang di desa itu. Desa itu menjadi terkenal di seluruh Turki dengan sebutan “Desa Zikir.”
Turki terlibat dalam perang Balkan. Suatu ketika tetangga Syekh Muhammad al-Madani (q) yang bernama Hasan Muhammad al-Effendi, mendatanginya dan berkata, “Aku ingin ikut dalam perang dan meninggal sebagai syuhada.” Syekh berkata kepadanya, “Tidak perlu bagimu untuk pergi keluar desa ini untuk menjadi seorang syuhada. Kau akan menjadi syuhada di sini.”
Tak lama tentara Yunani dan Serbia mendekati desa itu. Mereka melemparkan tembakan ke arah desa, dan salah satunya mengenai Hasan Muhammad al-Effendi dan menewaskan dirinya. Ia meninggal dunia sebagai syuhada sebagaimana yang diinginkannya, sesuai dengan jalan yang telah diramalkan oleh Syekh.
Syekh Abu Muhammad (q) telah menikah selama bertahun-tahun dan semua anaknya adalah perempuan. Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Suatu hari ia berkata kepada orang-orang di sana, “Aku melihat ada tiga anak laki-laki mendatangiku.” Orang-orang sangat terkejut, karena istrinya sudah berusia lanjut dan telah melewati usia suburnya. Tak lama kemudian istrinya jatuh sakit dan kemudian wafat. Berikutnya Syekh menikah lagi dan dengan istri barunya ia mempunyai tiga anak laki-laki.
Suatu saat pada tanggal 27 Ramadan, pada malam Laylat ul-Qadr, ia sedang memimpin zikir dengan seluruh penduduk desa. Ia berkata, “Setiap orang terlibat dalam zikir. Seluruh binatang turut berzikir bersama kita. Cacing-cacing berzikir bersama kita. Burung-burung berzikir. Setiap makhluk di desa ini berzikir bersama kita kecuali seekor binatang yang terpisah dari ayahnya dan ia mengalami depresi. Allah tidak rida. Nabi (s) tidak rida dan para awliya tidak rida. Dan ini semua disebabkan oleh lelucon kekanak-kanakan!”
Ia berbicara kepada pemilik rumah di mana mereka melakukan zikir. “Pergilah ke putramu dan tanyakan apa yang ia miliki di dalam kotak.” Ia mendatangi putranya dan bertanya, “Apa yang kau miliki di dalam kotak? Binatang apa yang telah kau tangkap?” Anak itu kebingungan, “Kotak apa? Aku hanya mempunyai sebuah kotak korek api, dan di dalamnya aku masukkan seekor cacing.” Ayahnya berkata, “Ambil cacing itu dan kembalikan ke tanah.” Dari situ, para penduduk desa menjadi mengerti dan mereka membesarkan anak-anak mereka dengan pemahaman bahwa menyakiti makhluk apapun, betapapun kecilnya, akan mengakibatkan Allah tidak rida, Nabi (s) dan para Awliya tidak rida. Karena ajaran yang mendalam itu, desa itu menjadi murni dan tidak terjadi suatu kemungkaran.
Ia wafat pada hari Ahad, tanggal 3 Rabi`u'l-Awwal 1331 H./1913 M. Ia dimakamkan di Rasyadiya (Gunekoy), dan makamnya banyak diziarahi oleh orang-orang dari Daghestan, khususnya dari keluarga Syekh Syamil hingga sekarang.
Ia mewariskan rahasia dari lima tarekat yang dipegangnya dan memberikan kewenangan tarekat itu kepada keponakannya, Syekh Syarafuddin Daghestani (q) bersama dengan apa yang telah diwariskan oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) kepadanya, yaitu rahasia dari Tarekat Naqsybandi.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1-ZQrznxy4zbeE9OB4xhso7_foA-mFoBOxivAmZ6pxoI/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
38. Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah seorang Arif yang sempurna di Hadirat Ilahi. Ia adalah kunci bagi Ilmu Ilahi yang paling sulit diperoleh. Ia adalah seorang Ulama Sejati yang dihiasi Cahaya-Cahaya dari Atribut Ilahi. Ia didukung dengan Iman Sejati. Ia adalah seorang Pejuang di Jalan Allah `Azza wa Jalla. Ia adalah Suara untuk Hadirat Ilahi di zamannya. Ia adalah Syekh dari para Syekh dalam ilmu-ilmu keislaman. Ia adalah pemegang otoritas terhadap segala persoalan yang khusus, rumit, dan paling sulit di segala bidang ilmu.
Ia adalah Samudra Ilmu, bagaikan Topan bagi Spiritualitas, Air Terjun bagi Wahyu, Gunung Berapi bagi Cinta Ilahi, Pusaran Air bagi Daya Tarik dan Pelangi bagi Atribut Ilahi. Ia dibanjiri dengan ilmu bagaikan Sungai Nil ketika dilanda banjir. Ia adalah Pembawa Rahasia dari Sulthan adz-Dzikir, yang sebelumnya tidak seorang pun bisa membawanya. Ia adalah orang yang menguasai hikmah di awal abad 20 dan merupakan orang yang menghidupkannya. Ia adalah seorang yang jenius dalam Ilmu Syariah, seorang mujtahid (pembaharu) dalam ilmu Fikih, dan seorang narator hadits Nabi (s). Ratusan ulama selalu menghadiri shuhbah-nya. Ia adalah seorang mufti di zamannya. Ia juga merupakan seorang kaligrafer terbaik dalam menulis ayat al-Qur’an.
Ia adalah penasihat bagi Sultan Abdul Hamid. Ia memegang posisi Syaykh ul-Islam, pemegang otoritas keagamaan tertinggi dalam Dinasti Utsmani. Ia sangat dihormati bahkan oleh pemerintah rezim baru Turki di masa Ataturk. Hanya Syekh Syarafuddin (q) dan khalifahnya, Syekh `Abdullah (q) yang diizinkan untuk memakai turbannya di seluruh Republik Turki sekuler pimpinan Ataturk. Yang lainnya dipenjara karena memakai penutup kepala Nabi (s) itu. Mempraktikkan Islam dalam bentuk luarnya sama sekali dilarang.
Syekh Syarafuddin (q) sering mengalami keadaan dengan Penglihatan Spiritual, di mana ia akan memperoleh Manifestasi Kemegahan Ilahi (Tajalli-l-Jalal); dan pada saat itu, tidak ada orang yang dapat melihat matanya. Jika seseorang memandangnya, ia akan jatuh pingsan dan tertarik dengan kuat kepadanya. Oleh sebab itu, ketika ia sedang mengalami keadaan seperti itu, ia selalu menutupi matanya dengan cadar (burqa').
Warna kulitnya terang. Matanya biru dan janggutnya hitam. Di masa tuanya, janggutnya sangat putih, seperti kapas.
Ia dilahirkan dengan mata dan kalbu yang terbuka. Ia adalah seorang arif yang wajahnya bersinar bagaikan berlian dan kalbunya transparan bagaikan kristal. Sufisme adalah rumahnya, sarangnya, dan kalbunya. Islam adalah tubuhnya, keyakinannya, dan kepercayaannya. Hakikat adalah jalurnya, jalannya dan tujuannya. Hadirat Ilahi adalah guanya, tempat pengasingannya. Spiritualitas adalah kendaraannya. Ia merupakan lidah bagi para pengikutnya, orang-orang di Daghestan.
Ia dilahirkan di Kikunu, Distrik Ganep, Negara Bagian Timurhansuru, Daghestan, pada hari Rabu, 3 Dzul-Qaidah 1292 H. bertepatan dengan 1 Desember 1875 M. Syekh Muhammad al-Madani (q) adalah paman dan sekaligus mertuanya. Beliau memberinya kekuatan dari 6 tarekat jauh sebelum beliau wafat, dan mewariskan semua muridnya kepadanya ketika beliau masih hidup. Syekh Muhammad al-Madani (q) sering menerima pendapat dari Syekh Syarafuddin (q) dalam berbagai hal.
Ia dilahirkan di masa yang sangat sulit, ketika praktik agama dilarang dan spiritualitas telah hilang. Namun demikian ibunya berkata, “Ketika aku melahirkannya, ia mengucapkan kalimat la ilaha ill-Allah, dan setiap kali aku menyusuinya ia selalu mengucapkan Allah, Allah.” Ia menjadi sangat terkenal di masa bayinya karena keajaibannya ini. Setiap wanita di distriknya sengaja datang untuk melihatnya mengucapkan Allah, Allah ketika sedang disusui. Jari telunjuk kanannya selalu menunjukkan posisi syahadat. Sejak masa kanak-kanak, ia bisa mendengar pepohonan berzikir, bebatuan berzikir, binatang berzikir, burung berzikir, dan pegunungan berzikir.
Ia dibesarkan dengan sangat baik oleh orang tuanya dan diawasi oleh pamannya. Doanya selalu dikabulkan. Ia selalu berada dalam kondisi berkhalwat.
Ia mulai mendatangi shuhba atau asosiasi yang diadakan oleh Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) ketika masih berusia enam atau tujuh tahun. Ia sangat pandai dan dengan segera ia dapat memahami ajaran Sufi yang disampaikan oleh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dari Hadirat Ilahi itu.
Pada usia tujuh tahun, ia berkata kepada ibunya, “Berikanlah aku anak sapi yang akan dilahirkan itu.” Ibunya berkata, “Jika anaknya betina, aku akan memeliharanya tetapi kalau jantan aku akan memberikannya kepadamu.” Ia berkata lagi, “Jangan repot-repot ibuku, karena sapi itu akan melahirkan sapi jantan.” Ibunya berkata,”Bagaimana kau mengetahuinya?” Ia berkata, “Aku dapat melihat apa yang ada di dalam rahimnya.” Satu jam kemudian, sapi itu melahirkan seekor sapi jantan. Ia membawa anak sapi itu dan menjualnya, lalu ia membeli sepasang domba dan berniat untuk menghadiahkannya kepada Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q). Dalam perjalanannya ke rumah Syekhnya, kedua domba itu melarikan diri. Ia terus melanjutkan perjalanannya ke rumah Syekhnya, lalu duduk di sampingnya, hatinya sedih karena kehilangan domba itu. Syekh bertanya kepadanya, “Ada apa?” Ia menjawab, “Aku mempunyai dua ekor domba yang akan kuhadiahkan untukmu, tetapi mereka hilang.” Beberapa waktu kemudian seorang pengembala datang dan berkata, “Aku menemukan dua ekor domba ini di antara hewan-hewan gembalaanku.” Itu adalah dua ekor domba yang melarikan diri darinya.
Ketika ia masih muda, ia sering pergi bersama teman-temannya untuk mengumpulkan kayu. Ia tidak memotong kayu dari pohon sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya, tetapi ia hanya mengumpulkan kayu-kayu kering di tanah. Hal ini sangat meresahkan ayahnya. Ia kemudian menemui Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dan mengeluh bahwa anaknya hanya mengumpulkan kayu-kayu kering yang tidak berguna. Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata kepadanya, “Mengapa kau tidak bertanya langsung kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Syarafuddin muda menjawab, “Bagaimana mungkin aku memotong pohon yang masih hijau ketika ia sedang berzikir, mengucapkan la ilaha ill-Allah? Aku lebih suka mengumpulkan ranting-ranting kering, dan tidak membakar ranting-ranting yang sedang berzikir.”
Ia meninggalkan Daghestan karena militer Rusia terus-menerus melakukan serangan ke kampung-kampung di distriknya. Ia pindah bersama keluarganya dan keluarga kakaknya ke Turki. Mereka menempuh perjalanan melewati beberapa daerah selama lima bulan di musim yang dingin. Mereka berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Mereka pertama pergi ke Bursa, lalu mereka pergi ke Yalova di tepi laut Marmara, kira-kira 150 km dari Istanbul. Di sana ia tinggal bersama kelurga dan kerabatnya di desa Rasyadiya, di mana pamannya telah lebih dulu tinggal di sana beberapa tahun sebelumnya dan membawa Tarekat Naqsybandi dari Daghestan ke Turki.
Di Daghestan ia dilatih oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), yang memberinya Tarekat Naqsybandi ketika ia masih sangat muda. Selanjutnya di Rasyadiya, Turki, ia dilatih oleh Sayyidina Muhammad al-Madani (q), pamannya yang kemudian menjadi mertuanya. Ia membantunya membangun madrasah dan masjid pertama serta khaniqah bagi desa itu. Pamannya menyambut semua imigran yang melarikan diri dari tirani penjajahan Rusia yang kejam. Selain itu banyak pula pelajar yang mendatangi sekolah pamannya itu dari berbagai daerah di Turki. Dengan cepat mereka membangun rumah-rumah baru di Rasyadiya dan daerah sekitarnya antara Bursa dan Yelova.
Selain Tarekat Naqsybandiya, pamannya juga menghubungkannya dengan lima tarekat lain yang dibawanya, yaitu: Qadiri, Rifai’i, Syadzili, Chisyti dan Khalwati. Ia menjadi seorang mursyid bagi keenam tarekat ini pada usia 27 tahun.
Ia menjadi sangat dihormati di Rasyadiya, terutama setelah ia menikahi putri Syekh Muhammad al-Madani (q). Ia dikenal sebagai orang yang memiliki keramat di antara para pengikutnya, dan cerita mengenai kelebihannya itu segera tersebar ke seluruh penjuru Turki. Selain itu, ia juga sangat terkenal memiliki ilmu eksternal dari agama sehingga banyak ulama besar yang datang untuk mendengar ceramahnya.
Ia telah melaksanakan beberapa khalwat di Daghestan, yang terlama adalah 3 tahun. Di pegunungan Rasyadiya ia melakukan khalwat selama enam bulan atas perintah Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Ia selalu berada dalam keadaan khalwat ketika sedang berada dalam keramaian.
Suatu hari di dalam masa 6 bulan khalwatnya, ketika ia berdiri dan hendak bersujud, ia menemukan seekor ular yang besar di tempat sujudnya, dengan posisi yang siap mematuknya. Ia berkata di dalam hati, “Aku tidak takut kepada siapapun kecuali Allah (swt),” lalu ia menempatkan kepalanya langsung di atas kepala ular itu. Ular itu pun segera menghilang.
Selama khalwatnya itu banyak maqam Cinta Ilahi yang diperlihatkan kepadanya. Segera setelah ia menyelesaikan khalwatnya, Syekhnya menarik diri untuk membimbing murid-muridnya dan menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada Syekh Syarafuddin (q). Syekh Abu Muhammad (q) kemudian selalu mengikuti shuhba menantunya sebagai muridnya. Ia adalah Syekh pertama yang menjadi murid dari muridnya. Karena kepatuhan terhadap desakan Syekhnya agar ia duduk di kursi tertinggi, Syekh Syarafuddin (q) kemudian menjadi orang yang memberikan ajaran Mata Rantai Emas walaupun berada dalam kehadiran Syekhnya.
Syekh Syarafuddin (q) mendapat dukungan spiritual dari Sayyidina Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) dan Sayyidina Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), Syekhnya di Daghestan. Ia mencapai maqam Cinta yang Murni bagi Allah (swt). Pada maqam itu ia merasakan tubuhnya seolah-olah terbakar dengan Cinta dari Hadirat Ilahi, dan ia akan berlari dari khalwatnya, menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam ke dalam air sungai yang dingin seperti es di musim dingin. Setiap kali ia melakukan hal itu, seluruh penduduk desa dapat mendengar suara gemuruh uap yang berasal dari sungai, seperti suara besi panas yang disiram air. Ada seorang murid Syekh Syarafuddin (q) yang masih hidup sampai sekarang (1994), yang ingat bahwa ia pernah mendengar suara gemuruh air dan uap dari jarak ratusan yard.
Syekh Syarafuddin (q) merupakan seorang pewaris spiritual Nabi (s). Melalui hubungan spiritual itu, ia mencapai maqam kesempurnaan. Ia adalah keturunan dari keluarga Miqdad bin al-Aswad (r), salah seorang Sahabat Utama Nabi (s), yang sering mewakili Nabi (s) ketika beliau (s) sedang bepergian dari Madinah. Beliau melaporkan 42 hadits Nabi (s), di antaranya adalah:
Rasulullah (s) bersabda, “Pada Hari Pembalasan matahari akan mendekati makhluk hingga berjarak kira-kira 1 mil dari mereka, manusia akan mengeluarkan keringat sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan, sebagian keringat mereka mencapai pergelangan kaki, sebagian lagi mencapai lutut, atau pinggang, sementara yang lain mendapati mulutnya penuh dengan keringat,” dan Rasulullah (s) menunjukkan tangannya ke mulutnya. (riwayat Muslim)
Syekh Syarafuddin (q) mempunyai tanda lahir berupa tapak tangan Nabi (s) di punggungnya. Tanda lahir ini ia dapatkan dari leluhurnya, Miqdad bin al-Aswad (r), di tempat di mana Nabi (s) meletakkan tangannya di punggungnya dan berdoa baginya dan untuk keturunannya. Tanda di punggung Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) selalu mengeluarkan cahaya, sama halnya dengan wajahnya yang selalu bercahaya. Ia menerima rahasia dari Nabi (s), yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di belakangnya sejelas apa yang berada di depannya.
Pamannya, Syekh Muhammad al-Madani (q), memberinya Khilafat (suksesi) tarekat ini, dan menjadikannya sebagai pemimpin di desanya. Ia mengembangkan desanya agar dapat menampung lebih banyak emigran, dengan memperluas jalan, dan membuat saluran air ke dalam kota. Ia selalu menyambut emigran yang datang dari Rusia, menawarkan apa yang mereka butuhkan baik berupa makanan maupun tempat tinggal dan ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Hasilnya, penduduk Daghestan merasa menemukan rumah yang baru menggantikan rumah yang telah mereka tinggalkan kepada Rusia, mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian di tanah yang baru. Para emigran merasa lebih bahagia untuk berkumpul bersama seorang Syekh yang masih hidup yang membawa ajaran yang telah berkembang di Daghestan, sebagaimana di Asia Tengah ratusan tahun sebelumnya. Bersamanya di desa mereka, dan diberkati dengan keberadaannya yang membawa Rahmat Ilahi, mereka menemukan cinta dan kebahagiaan yang telah hilang di bawah tirani tentara Rusia.
Dari Kata-Katanya
Mengenai Sulthan adz-Dzikr (Zikir Kalbu)
Ia berkata mengenai Maqam Zikir Kalbu:
“Siapapun yang memasuki maqam itu, ia akan mengalami dan mencapai Inti dari Asma Allah. Itu adalah Sultan dari seluruh Asma Allah, karena ia mencakup seluruh makna Asma-Asma itu dan kepadanyalah seluruh Sifat Ilahi kembali. Ia bagaikan Kata yang berlaku untuk semua Sifat ini dan itulah sebabnya mengapa ia disebut Ism al-Jalalah, Nama Yang Paling Mulia karena Dia Yang Mahatinggi, Mahasuci, dan Mahabesar.”
“Melalui pemahaman akal saja tidak mungkin bisa memanen buah dari rahasia-rahasia ini. Tubuh manusia tidak dapat mencakup Hakikat Makna mengenai Tuhan. Tubuh manusia mustahil mencapai Kerajaan yang Tersembunyi dari Yang Maha Unik. Karena bagi Ahlul Dzat, yang mereka miliki hanyalah rasa kagum dan takjub, sekali mereka memasuki Maqam Ilm al-Ghayb, mereka akan lenyap, mengembara. Lalu bagaimana dengan Ahlul Sifaat, yaitu orang-orang yang mempunyai kualitas tinggi dan pada diri mereka tampak suatu Sifat Allah yang disandangkan pada mereka? Tetap saja mereka tidak bisa dihiasi dengan Inti dari Asma yang mencakup seluruh Asma, kecuali dengan memasuki Rahasia Yang Tersembunyi dari 99 Asma tersebut. Pada saat itulah mereka baru diizinkan untuk mencapai Maqam Tersingkapnya Cahaya dari Asma yang mencakup seluruh Asma wal Sifaat, Asma Allah.”
“Jika seorang salik terus melakukan zikir dengan Asma Allah Yang Mahasuci, ia akan mulai berjalan dalam tahapan zikir itu, yang jumlahnya ada tujuh. Setiap salik yang terus melakukan zikir Allah dalam hati, dari 5000 sampai 48.000 kali sehari, akan mencapai tingkat kesempurnaan sehingga ia akan menjadi sempurna dalam zikir itu. Pada saat itu ia akan menemukan bahwa kalbunya terus mengucapkan Asma Allah, Allah; tanpa perlu menggerakkan lidahnya. Ia akan membangun kekuatan internal dengan membakar semua najis di dalamnya karena Api Zikir melalap semua najis itu. Tidak ada yang tersisa kecuali permata yang bersinar dengan kekuatan spiritualnya.
“Ketika zikir masuk dan menjadi kokoh dalam kalbunya, ia akan meningkat lagi sampai ia mencapai maqam di mana ia bisa mengetahui zikir yang dilakukan oleh seluruh ciptaan Allah. Ia akan mendengar seluruh makhluk mengucapkan kalimat zikir dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Ia mendengar setiap makhluk berzikir dengan nada masing-masing dan irama yang berbeda satu sama lain. Pendengarannya terhadap yang satu tidak mempengaruhi pendengarannya terhadap yang lain, ia mampu mendengar semuanya secara simultan dan ia bisa membedakan masing-masing jenis zikir.”
“Ketika salik melewati maqam itu, ia akan mengalami peningkatan lebih jauh dalam zikirnya, ia akan melihat bahwa setiap orang yang diciptakan oleh Allah melakukan zikir yang sama dengan dirinya. Pada saat itu ia akan menyadari bahwa ia telah mencapai Kesatuan Yang Unik dan Sempurna. Semua melakukan zikir yang sama dan menggunakan kata yang sama. Segala macam perbedaan akan dihapuskan dari pandangannya, dan ia akan melihat semua orang yang bersamanya mempunyai tingkatan yang sama dengan zikir yang sama pula. Ini adalah Maqam Penyatuan Setiap Orang dalam Satu Kesatuan. Di sini ia akan menarik semua bentuk syirik yang tersembunyi sampai ke akar-akarnya dan semua makhluk akan tampak sebagai Satu Kesatuan. Ini adalah langkah pertama dari tujuh langkah dalam perjalanannya.”
“Dari Maqam Kesatuan itu ia akan menuju ke Maqam Inti dari Kesatuan, di mana setiap orang yang Ada menjadi Tidak Ada (fana), dan hanya Kesatuan Allah saja yang muncul.”
“Kemudian ia akan menuju Maqam Primordial (paling dasar) dari Kesederhanaan Yang Sempurna, di mana ia bisa tampil dalam wujud apa saja.”
“Dari sana ia akan menuju Maqam Kunci dari Rahasia, yang dikenal dengan Maqam Nama-Nama, di mana tipe asli dari setiap makhluk ditunjukkan kepadanya dari alam gaib menuju dunia yang nyata. Ini akan membuatnya berenang dalam orbit Asma wal Sifat dan ia akan mengetahui semua Ilmu Yang Tersembunyi.”
“Selanjutnya ia akan menuju Maqam Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Inti dari semua Yang Tersembunyi. Ia akan mengatahui semua Yang Tersembunyi melalui Kesatuan yang Unik dari Inti. Ia akan melihat semua kekuatan dan bentuknya.”
“Dari sana ia menuju Maqam Hakikat Sempurna dari Inti Asma dan Perbuatan. Ia akan muncul di dalam mereka semua, dalam atom mereka dan dalam totalitas mereka. Ia akan disandangkan dengan Asma Yang Paling Agung dan ia akan diagungkan dan dimahkotai dengan Maqam Kebesaran.”
“Kemudian ia akan menuju ke Maqam Turunnya Allah (munazala) dari Maqam-Nya Yang Agung menuju Maqam Surga Duniawi. Ia sampai pada Maqam tersebut, yang terdekat dengan Maqam Duniawi, di luar itu para Pembaca Zikir tidak mempunyai maqam lain untuk dicapai melalui bacaannya. Fajar datang ke dalam dirinya dan Mentari Kesempurnaan tampak dalam diri dan tubuhnya, sebagaimana ia telah muncul melalui zikir, di dalam kalbu dan jiwanya. Sebagai hasilnya, ketika Mentari Kesempurnaan tampak pada tubuh dan seluruh anggota tubuhnya, ia akan berada pada maqam yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah (s), “Allah akan menjadi Telinga yang dipakainya untuk mendengar, Mata yang dipakainya untuk melihat, Lidah untuk berbicara, Tangan untuk menggenggam, dan Kaki untuk berjalan.” Kemudian ia akan mendapati dirinya berikrar pada dirinya sendiri bahwa, ‘Aku tidak berdaya dan sungguh lemah.’ Karena pada saat itu ia telah memahami makna Kekuatan Ilahi.”
Setiap kali ia dimintai nasihat jika ia mengatakan, “Lakukan apa yang kau inginkan,” orang itu tidak akan berhasil. Tetapi bila ia berkata, “Lakukan ini dan lakukan itu,” orang itu akan berhasil.
Dikatakan bahwa ia tidak pernah suka menyebutkan sesuatu yang telah berlalu. Ia tidak akan menerima suatu gunjingan dan ia akan mengusir orang-orang yang suka bergunjing dari asosiasinya.
Dilaporkan pula bahwa setiap kali orang-orang berkumpul dalam asosiasinya, kecintaan terhadap dunia akan lenyap dari kalbu mereka.
Ia sering mengatakan, “Janganlah engkau duduk tanpa berzikir, karena kematian selalu mengikutimu.”
Ia berkata, “Peristiwa yang paling membahagiakan bagi manusia adalah ketika ia meninggal dunia, karena pada saat itu dosanya juga ikut mati bersamanya.”
Ia berkata, “Setiap salik yang tidak membiasakan diri dan melatih dirinya untuk berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk beribadah dan melayani saudaranya, tidak akan memperoleh kebaikan dalam tarekat ini.”
Pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekh Syarafuddin (q)
Penerusnya yang merupakan Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q), menceritakan kisah berikut di dalam salah satu pertemuan dengannya:
“Suatu saat, di dalam salah satu khalwatku, Syekh Syarafuddin (q) mendatangiku dan mengatakan tentang kebesaran dan keistimewaan Syah Naqsyband (q). Ia memujinya dan mengatakan bagaimana Syah Naqsyband (q) akan memberikan pertolongan pada Hari Kiamat. Ia mengatakan, ‘Jika seseorang melihat mata Syah Naqsyband (q), ia akan melihat mata beliau berputar, bagian yang putih di bagian yang hitam dan yang hitam di yang putih. Beliau bermaksud menyimpan kekuatan spiritualnya untuk Hari Kiamat dan tidak menggunakannya di dunia ini.”
“Pada Hari Kiamat beliau akan mengeluarkan cahaya dari mata kanannya, cahaya itu lalu mengelilingi sejumlah besar manusia di dalam pertemuan itu dan masuk kembali ke mata kirinya. Siapapun yang masuk ke dalam lingkaran cahaya itu akan diselamatkan dari Neraka dan masuk ke Surga. Beliau akan memenuhi empat Surga dengan pertolongannya itu.”
“Ketika ia sedang menggambarkan peristiwa besar itu, aku mendapatkan penglihatan spiritual yang kuat di mana aku menyaksikan peristiwa di Hari Kiamat dan melihat Syah Naqsyband (q) mengeluarkan cahaya, dan menyelamatkan manusia. Ketika Aku sedang mengamati penglihatan itu, aku merasakan cinta yang sangat dalam kepada Syah Naqsyband (q), lalu aku berlari menuju beliau dan mencium tangannya. Kemudian penglihatan itu menghilang dan Syekhku pergi. Aku melanjutkan khalwatku pada hari itu dengan berzikir, membaca al-Qur’an dan melakukan salat. Di malam harinya, setelah melaksanakan salat ‘Isya, aku mengalami keadaan tidak sadarkan diri dan menyebabkan aku mengalami keadaan kasyaf (memperoleh penglihatan spiritual). Aku melihat Syah Naqsyband (q) memasuki ruangan. Beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, datanglah kepadaku.’ Kemudian rohku meninggalkan jasad dan aku melihat tubuhku berada di bawahku dan tidak bergerak. Aku lalu menemani Syah Naqsyband (q).”
“Kami menjelajahi ruang dan waktu, bukan dengan kekuatan melihat lalu mencapai tempat yang dilihat itu, tetapi dengan kekuatan di mana ketika kami baru memikirkan suatu tempat, kami sudah tiba di tempat itu. Selama tiga malam dan empat hari non-stop, kami melakukan perjalanan dengan cara ini.”
“Sudah menjadi kebiasaan dalam khalwatku, bahwa ketika aku menginginkan makanan dan minuman sehari-hari, aku tinggal mengetuk pintu. Mendengar ketukan dari lantai bawah, istriku akan membawakan makanan dan minuman untukku. Hari pertama ia tidak mendengar ketukan, hari kedua juga begitu. Akhirnya ia merasa sangat khawatir dan membuka pintu dan menemukan aku terbaring di sana tanpa gerakan. Ia berlari menghampiri Syekh Syarafuddin (q) dan berkata, ‘Lihatlah putramu. Ia terlihat seperti orang yang sudah meninggal dunia. Ia berkata kepadanya, ‘Ia tidak meninggal. Kembalilah, dan jangan berbicara kepada siapapun. Ia akan kembali.’
“Setelah tiga hari dan empat malam menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, Syah Naqsyband (q) berhenti. Beliau berkata, ‘Tahukah kau siapa yang tampak di cakrawala itu?’ Tentu saja aku tahu, tetapi untuk menghormatinya, aku berkata, ‘Wahai Guruku, kau yang lebih tahu.’ Lalu ketika orang itu mendekat beliau berkata, ‘Sekarang apakah kau mengenalinya?’ Aku berkata lagi, ‘Kau lebih tahu, wahai Guruku,’ walaupun Aku melihat itu adalah Syekhku. Beliau berkata, ‘Itu adalah Syekhmu, Syekh Syarafuddin (q).”
“Tahukah kau siapa makhluk yang berada di belakangnya?’ menunjuk kepada sosok makhluk raksasa yang lebih besar daripada gunung yang paling tinggi di bumi ini, yang ditariknya dengan sebuah tali. Untuk menghormatinya aku berkata lagi, ‘Kau yang paling tahu, wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Itu adalah Setan, dan Syekhmu diberi wewenang terhadapnya, dan belum ada orang yang diberi wewenang semacam itu sebelumnya. Sebagaimana setiap wali diberi kewenangan atas sesuatu yang khusus, begitu pula Syekhmu. Bidang khususnya adalah bahwa setiap hari dan setiap malam, atas nama seluruh orang yang telah melakukan dosa karena pengaruh Setan, Syekhmu diberi kewenangan untuk membersihkan orang-orang itu dari dosa-dosa mereka, dan mengembalikan dosa itu kepada Setan, dan membawa orang-orang itu dalam keadaan bersih kepada Rasulullah (s). Kemudian dengan kekuatan spiritualnya, ia mengangkat kalbu mereka, mempersiapkan mereka agar bisa masuk ke dalam lingkaran cahaya yang akan kusebarkan di Hari Kiamat nanti. Aku akan mengisi empat Surga dengan cara ini. Inilah yang menjadi spesialisasi Syekh Syarafuddin (q). Selain itu, orang-orang yang tidak termasuk di dalam keempat Surga itu akan memasuki Perantaraan Syekh Syarafuddin (q), dengan seizin Rasulullah (s) yang telah diberi kekuatan ini oleh Allah (swt). Ini adalah kewenangan yang luar biasa yang telah diberikan kepada Syekh Syarafuddin (q). Ketika ia membelenggu leher Setan, ia membatasi pengaruh dosa di bumi ini.”
“Kemudian beliau berkata, ‘Wahai anakku, kau menanam benih cinta di dalam kalbumu. Seperti halnya kincir air yang mengairi sepetak sawah tetapi tidak bisa mengairi dua petak sawah, cinta yang kau tumbuhkan terhadap Syekhmu seharusnya hanya untuk Syekhmu. Jika engkau membaginya untuk dua orang Syekh, mungkin cinta itu tidak akan mencukupi, seperti halnya kincir air yang tidak bisa mengairi dua petak sawah. Jangan berikan kalbumu kebebasan untuk pergi ke sana ke mari. Cintamu akan mencapaiku melalui Mata Rantai Emas dan akan berlanjut kepada Rasulullah (s). Jangan membagi dua cintamu untuk kami berdua. Sebelumnya tak seorang wali pun yang diberi kewenangan seperti yang diberikan kepada Syekhmu untuk umat Muhammad (s), untuk seluruh umat manusia.’”
“Kemudian Syah Naqsyband (q) membawaku kembali menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, selama empat hari dan tiga malam. Aku kembali ke tubuhku semula. Aku merasakan jiwaku memasuki tubuhku dan aku menyaksikan jiwaku masuk ke dalam tubuhku sedikit demi sedikit, sel demi sel, dan melalui penglihatan itu aku bisa mengerti fungsi dari setiap sel. Kemudian penglihatan spiritual itu berhenti dan aku mengetuk pintu agar istriku membawakan makanan dan minuman untuk memberi energi bagi tubuhku. Itulah pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekhku, Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu murid Syekh Syarafuddin (q) yang berusia 120 tahun dan tinggal di Bursa, Eskici Ali Usta melaporkan,
“Syekhku adalah seorang Syekh yang luar biasa. Suatu saat ketika aku masih muda, aku berada di Istanbul, dan baru saja mengambil bay’at tarekat ini dengan Syekh Syarafuddin (q). Kemudian aku bertemu dengan salah seorang teman dari Daghestan yang keras kepala dan tidak percaya dengan Sufisme. Aku bermaksud untuk berbicara dan melunakkan hatinya dengan menceritakan keramat yang dimiliki Syekhku. Ternyata ia lebih meyakinkan dan mampu mengubah keyakinanku. Aku menggantung tasbihku di dinding dan berhenti berzikir. Tak lama kemudian aku sudah dikuasai hawa nafsu dan melakukan dosa besar dua kali.”
“Seminggu kemudian, aku pergi ke Sirkici dan melihat Syekh dalam perjalanan. Ia juga sedang berjalan kaki di distrik itu, dalam perjalanannya menuju Rasyadiya. Ketika aku melihatnya datang dari satu sisi, aku pindah ke sisi yang lain, dan berusaha untuk menghindarinya. Ketika aku bersembunyi di ujung jalan, aku merasakan sebuah tangan menempel di bahuku dan Syekh berbicara kepadaku, ‘Mau kemana, wahai Ali?’ Aku kembali bersamanya dan di tengah perjalanan aku berpikir, ‘Aku tidak bisa menyembunyikan diriku lagi darinya, tetapi Syekh tidak dapat membawaku kembali lagi.”
“Kami melanjutkan perjalanan sampai bertemu dengan seseorang yang bernama Huseyyin Effendi. Syekh berkata kepadaku, ‘Ketika kau pertama kali datang kepadaku, Aku melihatmu dan menemukan akhlak buruk di dalam dirimu. Setiap orang mempunyai akhlak yang baik yang bercampur dengan akhlak yang buruk. Ketika kau mengambil bay’at seluruh perbuatan buruk yang telah kau lakukan sebelumnya, aku ganti dengan perbuatan yang baik. Kecuali dua hal, yaitu nafsu syahwat dan kemarahan. Minggu lalu kami hilangkan kedua akhlak buruk itu dari dirimu.’ Ketika ia mengucapkan hal itu, aku sadar bahwa ia telah duduk bersamaku dan melihat nafsu syahwat dan kemarahanku, aku mulai menangis, menangis, dan menangis. Ketika aku menangis, Syekh Syarafuddin (q) mulai berbicara dengan orang yang bernama Huseyyin dalam bahasa yang tidak pernah kudengar sebelumnya, padahal aku berasal dari Daghestan dan aku mengetahui semua bahasa di daerahku. Akhirnya aku tahu bahwa Syekh Syarafuddin (q) berbicara dalam bahasa Syriac, bahasa yang langka dan sangat jarang digunakan.”
“Setelah dua jam menangis, ia berkata, ‘Cukup! Allah (swt) telah mengampunimu, Rasulullah (s) juga telah mengampunimu.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, apakah engkau benar-benar mengampuniku? Apakah Rasulullah (s) telah mengampuniku? Apakah Allah (swt) telah mengampuniku? Apakah para Syekh yang matanya terbuka telah mengampuniku? Aku pikir aku melakukan perbuatan itu sendirian, tetapi sekarang aku tahu bahwa kalian semua melihatku.’ Ia berkata, ‘Wahai anakku, kita adalah hamba-hamba yang berada di pintu Rasulullah (s) dan di pintu Allah (swt). Apapun yang kita minta dari Mereka, Mereka akan menerima permintaan kita karena kita berada dalam hadirat mereka dan kita adalah Satu.’ Aku berkata, ‘Sebagai suatu itikad baik, karena aku telah diampuni, bagaimana aku bisa bersyukur kepada Allah (swt) dan memberi penghormatan kepadamu dan kepada Rasulullah (s)? Apakah dengan jalan merayakan mawlid Nabi (s), atau berkurban, atau mengeluarkan sedekah lainnya?’ Ia mengatakan, ‘Yang kami inginkan darimu adalah agar kau senantiasa melakukan zikir Tarekat Naqsybandi.’ Inilah yang terjadi pada diriku bersama Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu teman Eskici Ali Usta yang telah bermigrasi dengannya dari Daghestan menerima sepucuk surat dari Syekh Syarafuddin (q) ketika ia masih berada di Daghestan, isinya berbunyi, “Tinggalkan Daghestan. Tidak ada lagi spiritualitas di sana. Daghestan tidak lagi berada di bawah Perlindungan Ilahi karena di sana terlalu banyak penindasan. Datanglah ke sini, ke Turki, dan ke Rasyadiya.” Orang itu meletakkan surat dari Syekh, mengabaikannya dan berpikir, “Bagaimana Aku meninggalkan semua kekayaanku dan semua yang kumiliki di sini?” Beberapa saat kemudian Rusia menguasai kota itu dan menyita semua kekayaannya. Lalu ia teringat dengan surat yang dikirim oleh Syekh. Akhirnya ia segera menyusun rencana untuk melarikan diri ke Turki dan ke Rasyadiya. Namun ia telah kehilangan keluarga dan semua kekayaannya akibat penundaannya itu.
Suatu saat Syekh Syarafuddin (q) datang ke Istanbul dan tinggal di Hotel Massarat. Ia ditanya oleh seseorang yang bernama Syekh Zia, “Bagaimana engkau akan wafat?” Ia menjawab, “Apakah pertanyaan itu penting bagimu, bagaimana aku akan meninggal dunia?” Ia menjawab, “Pertanyaan itu datang begitu saja ke dalam hatiku.” Ia berkata, “Aku akan meninggal ketika kita mendapat serangan dari Armenia, dan pada saat itu banyak sekali orang-orang yang zalim.” Malam harinya Syekh Zia berwudu lalu salat 2 rakaat dan memohon kepada Allah, “Ya Allah, singkirkanlah kesulitan itu dari kami, serangan dari Armenia, dan panjangkanlah usia Syekh kami tercinta.” Hari berikutnya Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadanya, “Wahai Syekh Zia, apa yang telah kau lakukan sepanjang malam, berdoa? Doamu telah dikabulkan. Kesulitan itu telah dicabut dari diriku tetapi sebagai gantinya kau akan menderita dan wafat sebagai syuhada.” Delapan tahun setelah insiden di hotel itu, bangsa Armenia dan Yunani memasuki Rasyadiya. Zia Effendi tertembak mati, dan apa yang telah diprediksi oleh Syekh Syarafuddin (q) menjadi kenyataan.
Yusuf Effendi, seorang yang pada tahun 1994 berusia sekitar 100 tahun, menceritakan kisah berikut,
“Suatu ketika Syekh Syarafuddin (q) ditahan di Eskisehir, dan aku adalah penjaganya. Di penjara itu ada juga seorang yang terpandang, seorang Syekh yang terkenal, Sa`id Nursi. Syekh Syarafuddin (q) ditahan bersama khalifahnya, Syekh `Abdullah (q), dan murid-murid yang lain. Ketika Sa`id Nursi mengetahui bahwa Syekh Syarafuddin (q) ditahan dalam penjara yang sama, ia mengutus muridnya untuk bertanya apakah Syekh Syarafuddin (q) membutuhkan sesuatu dan juga menawarkan bantuan. Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Terima kasih, tetapi kami tidak memiliki apa-apa, dan kami tidak memerlukan apa-apa.’”
“Murid Sa`id Nursi tetap mendatangi Syekh Syarafuddin (q), bertanya apakah ia memerlukan sesuatu. Namun ia selalu menolaknya. Suatu hari Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada murid itu untuk menyampaikan pertanyaan kepada Syekhnya, ‘Mengapa kita berada di sini?’ Murid Sa`id Nursi itu pergi menemui gurunya. Ia menjawab, ‘Kita berada di sini untuk mencapai maqam Sayyidina Yusuf (q), Maqam Pilihan Diam.’ Setelah murid itu bertanya dan Syekh Sa`id Nursi memberi jawaban, pembicaraannya pun berakhir.”
“Perubahan ini membuatku bingung dan aku mulai merenungkannya secara mendalam. Kemudian aku bertanya kepada Syekh, ‘Apa rahasia keberadaanmu di sini?’ Akhirnya, atas desakanku, Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Aku dikirim ke sini untuk membawa rahasia orang banyak, orang-orang yang dipenjarakan tanpa sebab. Aku memberi dukungan kepada orang-orang ini. Allah (swt) mengutusku ke sini, karena kalian semua berkumpul di sini, dan sangat sulit untuk mengumpulkan kalian. Aku berada di sini untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kalian, karena kami akan segera akan meninggalkan dunia ini. Kami akan menyampaikan kepadamu mengenai rahasia-rahasiamu. Bagi kami tidak ada istilah penjara, kami selalu berada dalam Hadirat-Nya dan kami tidak pernah terpengaruh dengan penjara. Kalian semua akan meninggal dunia kelak, tetapi kalian akan bertemu lagi, ketika seorang tokoh penting akan wafat barulah kalian semua akan bertemu kembali.’ Murid-murid Sa`id Nursi mendengar hal ini sebagaimana para tahanan lain yang mendengarkan dengan penuh antusias.”
Mengenai Wafatnya
Setelah sekitar tiga bulan, ia dibebaskan dari penjara. Ia berkata kepada Syekh `Abdullah (q), “Aku akan segera pergi, karena aku terlalu menguras tenagaku untuk menyarikan rahasia Surat al-An'am.” Ia meninggalkan wasiat baginya, dan menunjuk Syekh `Abdullah (q) untuk menjadi penerusnya di Singgasana Pembimbing.
Tiga hari menjelang wafatnya, ia memanggil Sulthan ul-Awliya Mawlana Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) beserta beberapa pengikutnya, kemudian ia berkata, “Selama tiga bulan aku telah menyelami Samudra Surat al-An'am untuk mengeluarkan seluruh nama dari Tarekat Naqsybandi yang berjumlah 7007 dari salah satu ayatnya. Alhamdulillah, Aku berhasil mendapatkan nama-nama mereka beserta seluruh gelarnya dan aku telah mencatatnya pada catatan harianku yang kuberikan kepada penerusku, Syekh `Abdullah (q). Catatan itu berisi nama-nama berbagai kelompok wali yang berbeda-beda yang akan hadir pada masanya Imam Mahdi (a).”
Keesokan harinya ia memanggil khalifahnya, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) dan ia berkata, “Wahai anakku, inilah wasiatku. Aku akan pergi dalam dua hari ini. Atas perintah Rasulullah (s), aku menunjukmu sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi, bersama dengan lima tarekat lain yang telah kuterima dari pamanku. Seluruh rahasia yang pernah diberikan kepadaku dan seluruh kekuatan yang telah disandangkan kepadaku dari para pendahuluku di Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya, kini kusandangkan kepadamu. Seluruh murid yang kau bay’at dalam Tarekat Naqsybandi, juga dengan sendirinya akan di-bay’at dalam kelima tarekat lainnya dan akan menerima rahasia-rahasia mereka. Tak lama lagi akan ada suatu pembukaan bagimu untuk meninggalkan Turki dan pergi menuju Damaskus (Syam asy-Syarif) [yang pada saat itu amatlah sulit untuk dicapai karena peperangan yang hebat].”
Syekh `Abdullah (q) berkata, “Ia memberikan wasiat itu dan aku berusaha menyembunyikannya sebagaimana aku ingin menyembunyikan diriku sendiri.”
Ia wafat pada tanggal 27 Jumadil Awwal, Ahad, 1355 H./1936 M. di Rasyadiya. Ia dimakamkan di pemakaman Rasyadiya, di suatu puncak bukit. Hingga kini masjid dan zawiyahnya masih terbuka, dan banyak orang mengunjunginya untuk mendapatkan rahmat dan berkahnya. Awrad yang sama yang dulu dikerjakan oleh Syekh Syarafuddin (q), Khatam Khwajagan (Zikir para Khwaja, Guru) masih ada di sana, tergantung di dinding.
Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah (q), khalifah dan penerus Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) berkata, “Ketika berita wafatnya diketahui, semua orang datang ke rumahnya untuk mendapatkan berkahnya. Bahkan Ataturk, Presiden Republik Turki yang baru, mengirimkan delegasi kehormatannya. Kami memandikan jenazahnya. Ketika kami membaringkannya untuk dimandikan, ia menggerakkan kedua tangannya ke pahanya untuk menampung air yang tercurah darinya ketika kami memandikannya, sehingga semua muridnya dapat minum dari air pemandian tersebut. Ketika semua muridnya telah selesai minum, ia kembali menggerakkan tangannya ke tempat semula. Itulah keramat dari Samudra Keramatnya, dan itu terjadi bahkan setelah kematiannya.”
“Ketika kami menguburkan jenazahnya keesokan harinya, lebih dari 300.000 orang datang ke pemakamannya dan kota pun tidak mampu mengakomodasi kerumunan massa tersebut. Mereka datang dari Yalova, Bursa dan Istanbul. Sungguh merupakan kerumunan massa yang besar, semuanya berduka. Kaum pria menangis, kaum wanita menangis, anak-anak pun menangis juga. Semoga Allah (swt) mengangkat derajat para awliya-Nya di setiap abad.”
Salah satu muridnya, Yusuf Effendi mengatakan, “Memang benar bahwa kami tidak pernah bersama-sama dengan seluruh muridnya di suatu tempat yang sama—karena kami terlalu banyak—namun pada saat wafatnya, seluruh kota mendengar, Bursa, Adapazar, Yalova, Istanbul, Eskisehir, Orhanghazi, Izmir, dan seluruh penduduknya bergabung untuk menyelenggarakan Salat Jenazah.”
Syekh Syarafuddin (q) telah menulis banyak buku, namun semuanya hilang selama Perang Balkan. Namun demikian, banyak manuskrip yang masih tersisa pada keluarganya, yang berisi rahasia dari Tarekat Naqsybandi. Para pengikutnya mendatangi mereka untuk membaca buku-buku tersebut.
Ia mewariskan Rahasianya kepada penerusnya, Sulthan ul-Awliya, Mawlana wa Sayyidina Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1QAaA0FOci3REvT-iCFW55_-OOhr2a2DJysLNuuSvK1w/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
39. Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Engkau adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hati.
Kelopak mataku tidak pernah tertutup
Kecuali bahwa Engkau berada di antara mereka dan mataku.
Cinta-Mu adalah bagian dariku seperti pembicaraan internal jiwa.
Aku tidak dapat bernapas kecuali Engkau ada dalam napasku
Dan Aku menemukan-Mu berburu menembus setiap indraku.
Abul Hasan Sumnun
Ia dilahirkan di Daghestan pada tahun 1309 H./1891 M. dari sebuah keluarga dokter. Ayahnya adalah seorang dokter umum dan kakaknya adalah dokter bedah umum dalam Angkatan Bersenjata Rusia. Ia dibesarkan dan dididik oleh pamannya, Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q), mursyid Tarekat Naqsybandi pada masa itu, yang merawatnya dengan istimewa sejak awal kehidupannya.
Selama masa kehamilan saudarinya, Syekh Syarafuddin (q) mengatakan,
“Bayi lelaki yang kau kandung ini tidak mempunyai hijab di dalam kalbunya. Ia akan mampu melihat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Ia adalah salah satu di antara orang yang dapat membaca Ilmu Gaib dari Loh Mahfuz secara langsung. Ia akan menjadi seorang ‘Sulthan al-Awliya’ di zamannya. Di antara para awliya, ia akan dijuluki sebagai ‘Naqiib al-Ummah’, ‘Pemimpin Umat Muhammad’. Ia akan menyempurnakan kemampuan untuk bersama Tuhan dan pada saat yang sama bersama orang-orang. Ia akan mewarisi rahasia dari Nabi (s), di mana beliau (s) pernah bersabda, ‘Aku mempunyai satu wajah menghadap pada Sang Pencipta, dan satu wajah memandang pada ciptaan-Nya.’ Dan ‘Aku mempunyai satu jam dengan Sang Pencipta dan satu jam bersama ciptaan-Nya.’”
“Jika telah lahir, berilah ia nama `Abdullah, karena ia akan membawa rahasia penghambaan. Ia akan menyebarkan tarekat kembali ke negeri-negeri Arab, dan melalui dirinya, penerusnya akan menyebarkan tarekat ini di negeri-negeri Barat dan Timur Jauh. Jagalah ia baik-baik. Ketika ia sudah berusia tujuh tahun, serahkanlah ia padaku untuk dibesarkan dalam pengawasanku.”
Pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari Kamis, ibunya yang bernama Amina melahirkan bayi yang kemudian diberi nama `Abdullah. Pada saat persalinannya sekitar tengah malam tak seorang pun menemaninya. Suaminya sedang sibuk dan saudaranya sedang pergi. Ia mengatakan bahwa ketika ia melahirkan bayinya, ia mendapat suatu penglihatan di mana ada dua wanita mendatanginya. Yang pertama adalah Rabi’a al-Adawiyya (q) dan yang satunya lagi adalah Asiya (q) (istri Firaun yang beriman kepada Nabi Musa (a)). Mereka membantu persalinannya. Beberapa saat kemudian penglihatan itu berakhir, dan ia melihat bayinya mulai keluar. Pada saat itu suaminya datang dan membantu persalinannya.
Orang tuanya tidak pernah mendengarnya menangis. Di masa kanak-kanaknya, pada usia satu tahun, mereka sering melihatnya dengan kepala di lantai dalam posisi sujud. Ibunya, keluarga dan tetangganya heran melihat hal ini. Ia berbicara pada usia 7 bulan dan mampu membuat orang lain memahami perkataannya dengan jelas. Ia sungguh berbeda dengan anak-anak seusianya. Sering dijumpai kepalanya bergerak dari kanan ke kiri ketika mengucapkan Asma Allah. Pada usia tiga tahun, ia sering mengatakan tentang masa depan tamu-tamu yang datang. Ia mampu mengetahui nama-nama mereka tanpa perlu mengenalnya atau diberitahu sebelumnya. Ia membuat kagum orang-orang di negerinya. Banyak orang berdatangan untuk melihat anak yang istimewa ini dan mendengarkan apa yang dikatakannya.
Pada usia 7 tahun, ia telah membaca al-Qur’an. Ia biasa berkumpul dengan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Jawaban-jawabannya selalu sangat jelas dalam hal Syariah, meskipun ia belum pernah mempelajari fikih Islam. Ia akan membacakan bukti-bukti pendukung dari Qur’an dan hadits Nabi (s) tanpa pernah mempelajari ilmu hadits. Hal ini membuat orang-orang semakin tertarik dengannya.
Rumah ayahnya selalu penuh dikunjungi orang yang ingin menanyakan masalah-masalah, kesulitan dan urusan sehari-hari mereka. Ia akan menjawabnya dan memprediksikan hasilnya. Pada usia 7 tahun ia menjadi sangat terkenal, sehingga bila ada orang di desanya yang ingin menikah, mereka akan menanyakan dulu kepadanya apakah pernikahan mereka ditakdirkan untuk berhasil. Lebih dari itu, mereka bertanya apakah pernikahannya itu telah sesuai dengan Kehendak Allah sebagaimana yang dituliskan di dalam Loh Mahfuz.
Para ulama saat itu memverifikasi keputusan-keputusannya dan menerima yurisdiksinya. Orang-orang yang alim di masanya sangat mengagumi ilmu yang dimilikinya, walaupun ia baru berusia 7 tahun, mereka akan datang dari jauh untuk mendengarkan ilmu spiritual yang mengalir darinya bagaikan sebuah mata air. Pamannya bertanya bagaimana ia bisa berbicara terus-menerus dengan begitu mudahnya. Ia menjawab, “Wahai pamanku, hal itu datang kepadaku seperti kata-kata yang tertulis di hadapanku dari Hadirat Ilahi. Aku hanya tinggal melihat dan membaca apa yang tertulis.”
Ia sering membahas masalah-masalah dari ilmu yang dalam yang sebelumnya belum pernah dibicarakan. Pada usia 7 tahun ia bicara kepada orang-orang arif di masa itu, “Jika aku berbicara mengenai Ilmu Ilahi yang telah dimasukkan ke dalam kalbuku, bahkan para awliya pun akan memotong tenggorokanku.”
Ia sangat teliti dalam menjaga rambu-rambu Syariah. Ia yang pertama kali datang ke masjid ketika waktu salat tiba, 5 kali sehari. Ia yang pertama hadir untuk berzikir. Ia yang pertama hadir dalam pertemuan dengan para ulama. Ia yang pertama hadir dalam pertemuan-pertemuan spiritual.
Ia termasyhur dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan membacakan Surat al-Fatihah. Banyak orang dibawa kepadanya dengan berbagai macam penyakit dan ia akan membacakan Surat al-Fatihah dan meniupkannya kepada mereka dan mereka akan sembuh. Ia mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam menyembuhkan orang walaupun berada di tempat yang jauh. Banyak orang yang datang kepadanya meminta bantuannya untuk orang tua, istri, atau siapapun yang sakit namun tidak dapat mendatanginya. Ia akan membacakan Surat al-Fatihah sekali dan mengirimkannya untuk mereka, dan dalam waktu singkat mereka akan sembuh, di mana pun tempatnya. Penyembuhan adalah salah satu keistimewaan yang dimilikinya di antara keistimewaan-keistimewaan lainnya yang sangat banyak.
Berbicara tentang Dirinya
“Aku adalah seorang keturunan Miqdad bin al-Aswad (r), seseorang yang ditunjuk oleh Nabi (s) sebagai wakil beliau setiap kali beliau meninggalkan Madinah dalam suatu perjalanan. Seperti pamanku, aku mewarisi lima tanda dari Tangan Nabi (s) yang penuh berkah, di mana beliau pernah menempelkan tangannya di punggung kakekku yang diberkati, Miqdad bin al-Aswad (r). Dari tanda lahir ini memancar seberkas cahaya yang istimewa.”
Pada saat itu sekitar tahun 1890-an, Daghestan berada di bawah kezaliman dan tirani tentara Rusia. Pamannya yang merupakan mufti di desanya, dan ayahnya yang merupakan seorang dokter terkenal, memutuskan untuk pindah dari Daghestan ke Turki. Setelah mencapai keputusan itu, mereka meminta Syekh `Abdullah (q) untuk melakukan istikharah mengenai hijrah mereka saat itu. Syekh `Abdullah (q) mengisahkan peristiwa itu,
Malam itu aku melakukan Salat Isya, lalu aku perbarui wuduku dan aku salat dua rakaat. Lalu aku duduk bertafakur, menghubungkan diriku melalui Syekhku—pamanku, kepada Nabi (s). Aku melihat Nabi (s) mendatangiku bersama 124.000 Sahabatnya. Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, aku lepaskan seluruh kekuatanku dan kekuatan 124.000 Sahabatku dari kalbuku. Katakan kepada pamanmu dan para pemuka desa ini untuk segera pindah ke Turki.’
Kemudian aku melihat Nabi (s) memelukku dan aku melihat diriku lenyap di dalam dirinya. Segera setelah aku lenyap di dalam dirinya, aku melihat diriku naik dari Baitul Maqdis, sebagaimana Nabi (s) melakukan perjalanan malamnya (Isra’ Mi’raj). Aku melihat diriku menaiki Buraq yang sama yang mengantarkan Nabi (s). Aku juga melihat diriku dibawa dalam suatu penglihatan yang nyata ke Maqam Qaba Qawsayni Aw Adna, ‘Sejarak Dua Busur Panah atau yang lebih dekat lagi’ [53:9], di mana aku dapat melihat Nabi (s), tetapi bukan diriku.
Aku merasakan diriku menjadi bagian dari keseluruhan bagian Nabi (s). Melalui mi’raj itu, aku menerima Hakikat yang Nabi (s) tuangkan ke dalam kalbuku dari apa yang beliau terima pada Malam Isra’ Mi’raj. Segala macam ilmu yang berbeda ini masuk ke dalam kalbuku dalam kata-kata yang bercahaya, dimulai dari warna hijau kemudian ungu, dan pemahaman-pemahaman dituangkan ke dalam kalbuku dalam jumlah yang tidak terukur banyaknya.
Aku mendengar sebuah suara dari Hadirat Ilahi yang mengatakan, “Mendekatlah wahai hamba-Ku, ke Hadirat-Ku.” Ketika aku mendekat melalui Nabi (s), segalanya lenyap, bahkan hakikat spiritual dari Nabi (s) pun lenyap. Tidak ada yang hadir, kecuali Allah `azza wa jalla.’
Lalu aku mendengar sebuah suara dari seluruh Cahaya dan Sifat-Sifat-Nya yang bercahaya di dalam Hadirat-Nya, ‘Wahai hamba-Ku, sekarang datanglah ke Maqam Kehadiran di dalam Cahaya ini.’ Aku merasakan diriku hadir melalui Nabi (s), setelah lenyap, lalu muncul dan hadir di dalam Hadirat Ilahi, dihiasi dengan ke-99 Sifat. Lalu aku melihat diriku di dalam diri Nabi (s), dan di dalamnya muncul seluruh ciptaan yang tercipta dengan Kekuasaan Allah. Itu membawa kami ke suatu maqam di mana kami mampu menyadari bahwa ada alam semesta lain selain dari alam semesta ini, dan di sana ada berbagai ciptaan Allah (swt) yang tak terhingga. Lalu aku merasakan pamanku menepuk pundakku sambil mengatakan, ”Wahai anakku, sudah waktunya Salat Subuh.”
Aku salat Subuh di belakang beliau bersama 300 penduduk desa yang salat berjamaah bersama kami. Selesai salat, pamanku berdiri dan mengatakan, “Kami telah meminta keponakan kami untuk melakukan istikharah.” Setiap orang tidak sabar mendengar apa yang telah aku lihat. Namun kemudian pamanku segera berkata, “Ia dibawa ke hadirat Nabi (s) dengan kekuatanku. Nabi (s) telah memberi izin bagi setiap orang untuk hijrah ke Turki. Lalu beliau (s) membawanya dalam mi’raj menuju berbagai maqam hingga mencapai maqam Qaba Qawsayni Aw Adna [53:9]’. Nabi (s) juga membawanya menuju sebuah maqam di mana beliau membukakan baginya sebuah penglihatan mengenai ilmu yang belum pernah dibukakan kepada seorang wali mana pun, termasuk diriku. Mi’rajnya adalah merupakan sebuah petunjuk bagi awliya di masa lalu maupun di masa sekarang, dan merupakan sebuah kunci untuk membuka Samudra Ilmu dan Hikmah yang sangat luas.”
Aku berkata pada diriku sendiri, “Pamanku bersamaku dalam penglihatan itu, dan dengan kekuatannyalah aku menerima penglihatan itu.”
Setiap penduduk di desa itu mulai bersiap untuk hijrah. Kami bergerak dari Daghestan menuju Turki dalam sebuah perjalanan yang penuh kesulitan baik akibat tentara Rusia maupun adanya para perampok yang tak segan membunuh.
Mendekati perbatasan Turki, kami memasuki kawasan hutan yang dikenal penuh dengan tentara Rusia. Saat itu adalah waktu Salat Subuh. Pamanku mengatakan, ”Kita akan melakukan Salat Subuh dan setelah itu kita akan menyebrangi hutan itu.” Kami lalu salat dan setelah itu kami mulai bergerak. Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada semua orang, ”Berhenti!” lalu beliau meminta secangkir air. Seseorang membawakan air itu dan beliau membacakan ayat ke-9 dari Surat Yaa Siin, Wa ja`alnaa min bayni aydiihim saddan wa min khalfihim saddan fa aghsyaynaahum fahum laa yubshiruun. ‘Dan kami jadikan di depan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, lalu Kami tutup matanya sehingga tidak melihat [36:9]. Kemudian beliau membaca ayat Fa’l-Laahu khayrun haafizha, wa huwa arhamu ‘r-Raahimiin. Allah (swt) adalah sebaik-baik penjaga. Dia Maha Penyayang dari semua Penyayang [12:64].
Ketika beliau membacakan ayat-ayat ini, setiap orang merasakan sesuatu memasuki kalbu mereka, dan aku melihat mereka gemetar. Tuhan memberiku suatu penglihatan pada saat itu di mana aku dapat melihat bahwa kami telah dikelilingi oleh tentara Rusia dari segala penjuru. Aku melihat bahwa mereka menembaki apapun yang bergerak, bahkan seekor burung. Lalu aku melihat bahwa kami dapat melewati hutan itu dan kami selamat. Kami menyebrangi hutam itu dan mereka tidak mendengar jejak langkah kami dan juga hewan-hewan peliharaan kami sampai kami tiba di sisi sebrang perbatasan dengan selamat.
Penglihatan itu berakhir ketika Syekh Syarafuddin (q) selesai membaca. Beliau cipratkan air itu ke kepala kami sambil mengatakan, “Bergerak sekarang! Tetapi jangan menengok ke belakang.” Begitu kami berjalan, kami dapat melihat tentara Rusia di segala penjuru, namun seolah-olah kami tidak terlihat oleh mereka. Kami bergerak sekitar 20 mil menembus hutan itu. Diperlukan waktu dari pagi hingga lewat waktu Isya. Kami tidak berhenti kecuali untuk salat dan kami tidak terlihat oleh mereka. Kami mendengar tentara itu menembaki orang, burung-burung, binatang-binatang dan segala yang bergerak, namun kami dapat melewati mereka tanpa terdeteksi. Hanya rombongan kami yang selamat. Kami keluar dari hutan dan menyebrang menuju Turki.
Awalnya kami menuju Bursa, di mana Syekh Syarafuddin (q) mendirikan rumahnya selama setahun. Kemudian beliau pindah ke Rasyadiyya, di mana beliau mendirikan sebuah desa untuk para imigran dari Daghestan. Desa itu terletak 30 mil dari Yelova di Pesisir Marmara, sekitar 50 mil dari Bursa, atau 60 mil dari Adapazar. Di sana beliau membangun satu-satunya masjid di desa itu dan di sebelahnya beliau membangun rumahnya sendiri. Setiap orang sibuk membangun rumah-rumah mereka. Ayah ibuku membangun sebuah rumah bersebelahan dengan rumah Syekh Syarafuddin (q).
Ketika aku menginjak usia 13 tahun, Turki mendapat serangan dari pasukan Inggris, Perancis, dan Yunani. Angkatan Bersenjata Turki mengenakan wajib militer bagi warganya, termasuk anak-anak. Mereka menginginkan aku untuk bergabung dengan tentara, tetapi pamanku yang mempunyai hubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid, menolak untuk mengirimku. Ayahku telah wafat dan ibuku sendirian, sehingga aku harus membantunya. Ketika usiaku mencapai 15 tahun, Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadaku, “Anakku, sekarang kau sudah dewasa, menikahlah sekarang.” Aku pun menikah pada usia yang masih belia, 15 tahun dan tinggal bersama ibu dan istriku.
Khalwat Pertama dan Latihan Spiritual
Syekh Syarafuddin (q) membesarkan dan melatih Syekh `Abdullah (q) dengan disiplin spiritual yang intensif dan dengan zikir yang panjang waktunya. Enam bulan setelah pernikahannya ia diperintahkan untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ia mengatakan,
Aku masih pengantin baru, baru 6 bulan ketika Syekhku memerintahkan aku untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ibuku sangat kecewa, ia mengkomplain Syekhku, yang merupakan kakaknya sendiri. Istriku juga kecewa, tetapi kalbuku tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, aku sangat senang memasuki khalwat yang sangat aku idam-idamkan itu.
Aku memasuki khalwat, meskipun ibuku menangis dan mengatakan, “Tidak ada lagi yang kumiliki selain dirimu. Kakakmu masih di Rusia, dan ayahmu telah wafat.” Aku merasa kasihan melihat ibuku, tetapi aku tahu bahwa itu adalah perintah dari Syekhku dan itu langsung dari Nabi (s). Aku memasuki khalwat itu dengan perintah untuk mandi enam kali sehari dengan air dingin, serta menjaga semua kewajiban dan wirid harianku. Sebagai tambahan, aku diperintahkan untuk membaca tujuh sampai lima belas juz al-Qur’an dan mengulang Nama Allah 148.000 kali dan shalawat Nabi (s) 24.000 kali setiap harinya.
Banyak lagi latihan-latihan lainnya yang harus dilakukan dengan bertafakur dan fokus. Aku berada di sebuah gua, jauh di tengah hutan belantara, tinggi di atas gunung yang tertutup salju. Satu orang ditunjuk untuk melayaniku dengan 7 buah zaitun dan 2 ons roti setiap harinya. Aku memasuki khalwat itu saat berusia lima belas setengah tahun dengan badan yang agak gemuk. Ketika aku keluar dari khalwat itu pada usia dua puluh dua tahun, berat badanku hanya 100 pound (sekitar 45 kg), sangat kurus.
Penglihatan-penglihatan dan pengalaman-pengalaman yang telah disingkapkan untukku tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Ketika aku memasuki khalwat itu, aku mengatakan kepada egoku, “Wahai ego, ketahuilah, aku tidak akan meninggalkan khalwat ini, bahkan jika aku harus mati. Jangan coba-coba mengubah pikiranku atau menipuku.”
Ada sebuah celah di atas gua ke arah luar, namun ketika aku memasuki khalwat aku menutupnya dengan sehelai kain.
Aku hanya tidur sebentar dalam khalwat itu. Aku tidak merasa memerlukan tidur, karena aku mendapat dukungan surgawi yang sangat kuat. Suatu ketika aku mendapat penglihatan ketika Nabi (s) sedang berkhalwat di gua Hira. Selama 40 hari aku duduk di belakangnya dan beliau (s) tidak pernah tidur tetapi tetap terjaga dalam keadaan seperti itu.
Suatu hari ketika aku sedang berzikir di tengah malam, badai hebat mengamuk di pegunungan itu. Aku dapat mendengar badai itu merobohkan pepohonan, menurunkan hujan dan akhirnya turun salju. Saat itu sangat dingin dan tidak ada yang dapat menghangatkanku kecuali panasnya zikirku. Angin yang kencang menerbangkan kain penutup celah di atap gua. Aku membeku, dan salju mulai berjatuhan di tubuhku. Begitu dinginnya, sehingga aku tidak dapat menggerakkan jari-jemariku untuk menghitung zikirku. Jantungku hampir berhenti. Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk menutup lubang itu kembali. Segera setelah pikiran itu datang, aku melihat suatu penglihatan di mana Syekhku berteriak, “Wahai anakku! Apakah engkau sibuk dengan dirimu sendiri atau dengan Dia yang menciptakanmu?! Jika engkau mati kedinginan, itu lebih baik bagimu daripada membiarkan kalbumu sesaat dalam kelalaian.” Penglihatan itu memberikan kehangatan di dalam kalbuku dan tekad untuk segera memulai kembali zikirku. Ketika aku melanjutkan zikirku, angin bertiup lebih kencang dan membawa lebih banyak salju. Aku berjuang melawan diriku, dan akhirnya aku mengatakan pada diriku, “Biarlah aku mati, tetapi aku akan tetap melanjutkan zikirku.” Tiba-tiba, angin berhenti bertiup dan salju pun berhenti. Lalu sebuah pohon tumbang dan menutupi lubang di atap gua.
Suatu hari setelah melakukan salat terakhir pada malam itu, ketika aku sibuk berzikir dan kalbuku terhubung dengan Asalnya, aku mendapat penglihatan di mana diriku sedang berzikir di Hadirat Ilahi. Pada saat yang sama aku merasakan sesuatu membelitku, aku menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang bersifat surgawi, melainkan itu adalah susuatu yang bersifat fisik. Aku teringat dengan sabda Nabi (s), “Tidak ada yang dapat menyebabkan rasa takut di dalam kalbuku kecuali takut kepada Allah.” Meskipun aku merasa ada sesuatu yang membelit tubuhku, kalbuku tetap tidak terganggu di dalam Hadirat Ilahi.
Pada tingkatan itu aku mencapai Maqam Kesadaran akan Jumlah (Wuquf `Adadi) dari 777.777 kali pengulangan Asma Allah. Ketika akan melanjutkannya ke angka 777.778 aku mendengar suara dari Hadirat Ilahi, “Wahai hamba-Ku, malam ini engkau telah mencapai rahasia dari Wuquf `Adadi dan telah mendapat kunci untuk maqam tersebut. Masuklah ke dalam Hadirat Kami dalam Maqam Kalimullah (maqam seseorang yang mampu berbicara kepada Tuhannya), Maqamnya Nabi Musa (a) ketika beliau berbicara langsung dengan Allah.” Aku melihat bahwa aku berbicara dengan Hadirat Ilahi dan aku menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah dicapai oleh para awliya sebelumnya. Aku ambil kesempatan itu untuk bertanya kepada Allah (swt), “Ya Allah, apakah Nama-Mu Yang Teragung?” Dan aku mendengar, “Wahai hamba-Ku, kau akan diberi jawabannya nanti.” Lalu penglihatan itu lenyap bertepatan dengan waktunya untuk Salat Subuh.
Sebelum melakukan salat, aku diwajibkan untuk mandi dengan air dingin. Tentu saja di sana tidak ada air yang mengalir, oleh sebab itu aku harus menggunakan salju yang dicairkan untuk mandi. Ketika aku akan mandi untuk salat, aku melihat kepala seekor ular tepat menghadap ke wajahku, ternyata dialah yang telah membelit tubuhku. Kepalanya sangat tenang, bila ada sedikit gerakan saja karena takut, ia akan menyerangku. Aku tidak mempedulikan ular itu. Aku tahu jika aku merasa takut, ia akan menyerangku. Jadi di dalam pikiranku, aku membuatnya tidak ada. Aku tidak bisa mandi dengan ular yang membelitku, namun perintah Syekh harus kupatuhi. Jadi aku mengguyur air di sekujur pakaianku dan ular itu. Selama 40 hari, ular itu tetap membelitku. Ketika salat, ular itu menggerakkan kepalanya untuk memberi kesempatan aku bersujud. Selama 40 hari, ular itu terus menatapku, menungguku berbuat kesalahan atau ketakutan, untuk kemudian menyerangku. Itu adalah ujian dari Syekhku, untuk melihat apakah aku takut kepada sesuatu selain Allah (swt). Akhirnya hal itu berakhir, ular itu mulai melepaskan belitannya dari tubuhku. Ia berhenti sebentar di hadapanku dan kemudian menghilang.
Syekh `Abdullah (q) menghabiskan waktu 5 tahun dalam khalwat khusus itu, yang berakhir ketika usianya 22 tahun. Ketika ia kembali, ia sudah memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer. Kali ini ia pun bergabung dengan angkatan bersenjata.
Mi’rajnya
Syekh `Abdullah (q) bercerita mengenai sebuah insiden yang terjadi selama pengabdiannya dalam Angkatan Bersenjata Kekhalifahan Utsmani (Ottoman),
Aku berjumpa dengan ibuku hanya dalam waktu satu atau dua minggu. Mereka lalu membawaku ke sebuah pertempuran yang dikenal dengan Safar Barlik di Dardanelles. Suatu hari terjadi serangan dari musuh dan sekitar 100 orang dari kami ditinggalkan untuk mempertahankan wilayah perbatasan. Aku adalah seorang penembak jitu yang mampu mengenai sehelai benang dari jarak jauh. Kami mendapat serangan bertubi-tubi sehingga tidak mampu lagi mempertahankan posisi kami. Aku merasakan sebuah peluru menembus jantungku, aku pun tersungkur ke tanah dengan keadaan terluka parah.
Ketika aku terbaring sekarat, aku melihat Nabi (s) menghampiriku. Beliau (s) berkata, ”Wahai anakku, kau ditakdirkan untuk meninggal dunia di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun secara fisik. Aku datang padamu untuk menunjukkan bagaimana seorang manusia mengalami kematian dan bagaimana malaikat `Izra’il mencabut nyawa.” Beliau (s) memberiku suatu penglihatan di mana aku melihat rohku mulai meninggalkan tubuhku, sel demi sel, dimulai dari jari-jemari kakiku. Ketika kehidupan itu ditarik, aku dapat melihat berapa banyak sel di dalam tubuhku dan mengetahui fungsi-fungsi dari setiap sel, dan penyembuh bagi setiap penyakit masing-masing sel. Aku juga mendengar zikir dari setiap sel itu.
Begitu rohku mulai bergerak meninggalkan tubuhku, aku mengalami apa yang orang rasakan ketika meninggal dunia. Aku dibawa untuk melihat berbagai keadaan saat kematian: kematian yang menyakitkan, kematian yang mudah, dan kematian yang sangat membahagiakan. Nabi (s) mengatakan, “Engkau termasuk orang yang meninggal dengan keadaan bahagia.” Aku sangat menikmati kematian itu karena aku akan kembali ke tempat Asalku, yang membuatku memahami ayat Qur’an, ‘Inna lillaahi wa inna ilayhi raji`uun, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah (swt), dan kepada-Nya kami kembali‘ [2:156].
Penglihatan itu berlanjut sampai aku mengalami keadaan di mana rohku sampai pada napas terakhir. Aku melihat malaikat `Izra’il datang dan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Segala macam penglihatan mengenai orang yang sedang sekarat aku alami, namun demikian aku masih dalam keadaan hidup ketika mengalaminya dan hal ini membuatku dapat memahami rahasia dari maqam itu.
Kemudian dalam penglihatan itu aku melihat rohku memandang ke bawah pada tubuhku, dan Nabi (s) berkata padaku, “Datanglah padaku!” Aku menemani Nabi (s) dan beliau (s) membawaku ke dalam sebuah penglihatan mengenai Tujuh Surga. Aku melihat segala sesuatu yang Nabi (s) inginkan aku melihatnya di dalam Tujuh Surga itu, kemudian beliau mengangkatku ke Maqam Ash-Shiddiq di mana aku bertemu dengan seluruh nabi, para awliya, seluruh syuhada, dan orang-orang yang saleh.
Beliau (s) lalu mengatakan, “Wahai anakku, sekarang aku akan membawamu melihat siksaan di Neraka.” Di sana aku melihat semua yang pernah disebutkan oleh Nabi (s) di dalam hadits-hadits dan sabda beliau (s) tentang siksa Neraka. Aku pun berkata, “Wahai Nabi (s), engkaulah yang dikirim sebagai wasilah bagi umat manusia, adakah cara agar mereka dapat diselamatkan?” Beliau (s) berkata, “Ya, wahai anakku, dengan syafaatku mereka dapat diselamatkan. Aku akan menunjukkan padamu, takdir dari orang-orang itu bila aku tidak mempunyai kekuatan untuk memberi syafaat bagi mereka.”
Nabi (s) lalu berkata, “Anakku, kini aku akan mengembalikan dirimu ke dunia, ke dalam tubuhmu.” Begitu Nabi (s) mengatakan hal itu, aku melihat ke bawah dan aku melihat tubuhku yang sudah membengkak. Aku melihatnya dan berkata, “Wahai Nabi (s), lebih baik aku berada di sini bersamamu. Aku tidak ingin kembali. Aku bahagia bersamamu di Hadirat Ilahi. Lihatlah dunia itu. Aku sudah pernah berada di sana dan sekarang aku telah meninggalkannya. Mengapa aku harus kembali? Lihat, tubuhku sudah membengkak.”
Nabi (s) menjawab, “Wahai anakku, kau harus kembali. Itulah tugasmu.” Atas perintah Nabi (s), aku kembali pada tubuhku, meskipun aku tidak menginginkannya. Ketika aku memasuki tubuhku, aku melihat peluru di jantungku telah terbungkus dalam daging, dan pendarahan telah berhenti. Ketika aku memasuki tubuhku dengan lembut, penglihatan itu pun berakhir. Aku melihat tim medis di medan peperangan sedang mencari orang-orang yang masih hidup di antara mereka yang telah gugur. Salah seorang berteriak, “Orang itu masih hidup! Orang itu masih hidup!” Aku terlalu lemah untuk bergerak ataupun berbicara, dan aku menyadari bahwa tubuhku telah tergeletak di sana selama 7 hari.
Mereka membawaku dan merawatku, sampai kesehatanku kembali pulih. Mereka mengembalikan aku pada pamanku. Begitu aku bertemu, beliau mengatakan, “Wahai anakku, apakah kau menikmati kunjunganmu?” Aku tidak menjawab “Ya” ataupun “Tidak” karena aku tidak tahu mana yang dimaksud pamanku, kunjungan ke Angkatan Bersenjata atau kunjungan untuk bertemu Nabi (s). Beliau kembali bertanya, “Wahai anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu bersama Nabi (s)?” Barulah aku menyadari bahwa beliau mengetahui segala hal yang telah terjadi padaku. Aku pun langsung menghampirinya dan mencium tangannya sambil berkata, “Wahai Syekhku, aku pergi bersama Nabi (s) dan harus ku akui bahwa aku tidak ingin kembali. Tetapi beliau (s) berkata bahwa itu adalah tugasku.”
Kepasrahan Mutlak Syekh `Abdullah QS
Syekh `Abdullah (q) melanjutkan hidupnya di bawah pengawasan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) dan ia mengalami kemajuan yang lebih tinggi lagi dalam ilmu spiritual. Suatu hari Syekh Syarafuddin sedang duduk di dalam pertemuan dengan 300 ulama, termasuk para tokoh spiritual, dan mereka membahas masalah-masalah yang penting dalam kehidupan spiritual mereka. Mereka berkumpul di sebuah bukit di dekat masjidnya.
Syekh `Abdullah (q) pergi ke bukit menuju pertemuan itu. Beberapa di antara ulama itu berkata kepada Syekh Syarafuddin (q), ”Kami heran mengapa engkau begitu mementingkan anak itu.” Syekh Syarafuddin (q) menjawab,
“Lihatlah dia. Ia datang untuk menemuiku. Jika seorang anak berusia 7 tahun datang padanya dan mengatakan, ‘Syekhmu berpesan agar engkau pergi ke Mekah,’ bahkan jika aku tidak mengirimkan anak itu, `Abdullah akan segera menerimanya dan melakukan apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. Hal ini karena ia menghubungkan segala sesuatunya denganku, dan ia tahu bahwa apapun yang datang padanya adalah berasal dariku, terlepas bagaimanapun caranya. Ia paham bahwa jika itu berasal dariku, maka perintahnya adalah dari Nabi (s), karena kalbuku tersambung dengan kalbunya (s), dan itu asalnya dari Allah (swt). Sekarang, jika hal itu terjadi, ia akan segera pergi tanpa menemui istri atau ibunya untuk berpamitan dan tidak pula mempersiapkan segala sesuatu sebagai bekal. Ia akan langsung melangkahkan kakinya menuju ke Mekah. Itulah sebabnya mengapa aku menganggap dirinya penting, selain itu aku juga mengetahui pada maqam apa ia berada sekarang.
Maqamnya saat ini belum pernah mampu dimasuki atau bahkan dilihat oleh orang-orang sebelumnya, termasuk diriku. Ia telah mencapai maqam yang lebih tinggi daripada maqamku dan lebih tinggi daripada maqam syekhku dalam tarekat ini. Karena tarekat berlanjut dari satu Syekh kepada Syekh lainnya, ia bergerak semakin tinggi tingkatannya. Karena rahasia diteruskan dari satu Syekh kepada Syekh berikutnya, maka derajatnya akan semakin tinggi, yaitu dari rahasia yang diwarisinya ditambah rahasia yang ia terima. Pada saat yang sama, derajat Nabi (s) senantiasa meningkat dalam setiap saat, karena beliau (s) selalu dalam keadaan mi’raj, begitu pula para awliya umatnya. Inilah arti dari ayat wa fawqa kulli dzi `ilmin `aliim, “di atas orang-orang yang berilmu ada Yang Maha Tahu. [12:76].
Sebuah Pertemuan dengan Gurdjieff
Grandsyekh `Abdullah (q) sering berkhidmah di khaniqah pamannya. Setiap hari ratusan tamu datang mengunjungi Syekh, kebanyakan berasal dari Daghestan. Di antara tamu itu ada seorang guru dari Rusia, George Gurdjieff. Ia baru tiba di Turki setelah melewati sebuah perjalanan panjang dan sulit dalam pelariannya dari Rusia ketika terjadi revolusi komunis. Gurdjieff datang menemui Syekh Syarafuddin (q). Gurdjieff mempunyai hubungan dengan banyak pengikuti Sufi dari berbagai tarekat dan telah sering mengembara ke seluruh pelosok Kaukasus. Ia senang dapat bertemu dengan para pewaris silsilah Tarekat Mulia Naqsybandi Daghestani.
Syekh Syarafuddin (q) meminta Syekh `Abdullah (q) untuk menerima tamunya. Syekh `Abdullah (q) menceritakan peristiwa pertemuan itu dengan beberapa murid bertahun-tahun kemudian. Ketika keduanya bertemu, Syekh `Abdullah (q) mengatakan, “Engkau tertarik dengan ilmu mengenai Sembilan Titik. Kita dapat membicarakannya besok pagi setelah Salat Subuh. Sekarang silakan makan dan istirahat.” Pada waktu Subuh, Syekh `Abdullah (q) memanggil Gurdjieff untuk salat bersamanya. Segera setelah selesai, Syekh mulai membaca Surat Yaa Siin. Setelah Syekh selesai membaca, Gurdjieff mendekatinya dan bertanya apakah ia bisa berbicara mengenai apa yang baru saja dialaminya.
Gurdjieff berkata,
Begitu engkau selesai salat dan mulai membaca surat itu, aku melihat engkau mendatangiku dan meraih tanganku. Kita dipindahkan ke sebuah kebun mawar yang indah. Kau mengatakan bahwa kebun itu adalah milikmu dan mawar-mawar itu adalah murid-muridmu, masing-masing mempunyai warna dan wangi yang berbeda-beda. Kau mengantarkan aku pada salah satu mawar merah dan berkata, ”Ini adalah milikmu. Ciumlah.” Saat aku menciumnya, aku melihat mawar itu mekar dan aku lenyap di dalamnya dan menjadi mawar itu. Aku memasuki akarnya dan aku dibawa ke hadiratmu. Aku melihat diriku memasuki kalbumu dan menjadi bagian dirimu.
Melalui kekuatan spiritualmu, aku bisa naik menuju ilmu mengenai Sembilan Titik. Lalu sebuah suara yang memanggilku dengan `Abdan Nur, berkata, “Cahaya dan ilmu ini telah dianugerahkan kepadamu dari Hadirat Ilahi untuk memberi kedamaian dalam hatimu. Namun kau tidak boleh menggunakan kekuatan ilmu ini,” Suara itu mengucapkan selamat tinggal dan penglihatan berakhir saat engkau selesai membaca Yaa Siin.
Syekh `Abdullah (q) menjawabnya,
Surat Yaa Siin dinamakan “Kalbu al-Qur’an” oleh Nabi Suci (s) dan ilmu mengenai Sembilan Titik ini dibukakan padamu melalui surat ini. Penglihatan itu adalah berkah dari ayat Salaamun Qawlan min Rabbin Rahiim, “Salam! Sebagai ucapan dari Yang Maha Penyayang [36:58].
Setiap titik dari Sembilan Titik itu diwakili oleh satu dari 9 wali yang mempunyai tingkatan tertinggi di Hadirat Ilahi. Mereka adalah kunci-kunci menuju kekuatan yang tak terhingga di dalam manusia, tetapi belum ada izin untuk menggunakan kunci-kunci ini. Ini adalah sebuah rahasia yang secara umum tidak akan dibuka sampai Hari Kiamat ketika Imam Mahdi (a) telah muncul dan Nabi Isa (a) telah kembali.
Pertemuan kita ini telah diberkati. Jagalah itu sebagai rahasia di dalam hatimu dan jangan membicarakan hal itu dalam kehidupan ini. `Abdan Nur, itulah namamu bersama kami, kau bebas untuk tinggal di sini atau pergi karena tanggung jawabmu memungkinkan. Engkau selalu kami terima. Engkau telah mencapai keselamatan dalam Hadirat Ilahi. Semoga Allah memberkatimu dan memberimu kekuatan dalam pekerjaanmu.
Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) bersama murid-muridnya di Damaskus. Syekh Nazim (q) di sebelah kanan dan Syekh Hussein (q) di sebelah kirinya.
Maqam-Maqam dan Perkataannya setelah Khalwat Kedua
Pada usia 30 tahun, Syekh `Abdullah (q) diperintahkan untuk memasuki khalwat kedua selama 5 tahun. Selama khalwat itu, banyak penglihatan dan maqam-maqam yang dianugerahkan kepadanya, yang mustahil untuk dijabarkan di sini. Setelah ia menyelesaikan khalwat kedua, kekuatan Haqiqatul Jadzbah, Daya Tarik Spiritualnya semakin meningkat. Ia menjadi sangat terkenal bahkan semasa hidup Syekh Syarafuddin (q), orang-orang berdatangan untuk belajar darinya.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Aku tidak berbicara kepada kalian tentang suatu maqam atau tajali atau peringkat (rutbah) tertentu kecuali aku pernah memasuki maqam itu atau mengalami tajalinya. Aku tidak seperti yang lain. Aku tidak berbicara dengan memisahkan pandanganku dari kalbuku, menerangkan secara detail mengenai maqamat kepada kalian tanpa mengetahui hakikatnya. Tidak! Pertama-tama aku mengikuti jalurnya dan melihat apa itu. Aku mempelajari hakikat-hakikat dan rahasia-rahasia yang dapat ditemukan sepanjang jalur itu dan aku bekerja dengan caraku sepanjang jalur itu sampai aku mencapai `Ilm al-yaqiin, `Ayn al-yaqiin, dan Haqq al-yaqiin (tahapan penyaksian/musyahadah seseorang kepada Allah (swt)). Barulah setelah itu aku berbicara kepada kalian, memberi kalian sedikit rasa dari apa yang telah kurasakan sampai aku mampu membuat kalian mencapai maqam itu tanpa membuat kalian lelah dan memberi kalian kesulitan.
Ada lima maqam dalam kalbu, yaitu: Qalb, Sirr, Sirr as-Sirr, Khafa dan Akhfa. Qalb adalah kalbu, sirr adalah rahasia, sirr as-sirr adalah rahasia dari rahasia, khafa adalah yang tersembunyi, dan akhfa adalah yang paling tersembunyi. Rahasia tarekat ini berdasarkan pada kelima lathaif kalbu ini.
Lathifah al-Qalb, Latifah Kalbu, berada di bawah wewenang Sayyidina Adam (a), karena ini mewakili aspek fisik dari kalbu.
Lathifah as-Sirr, Latifah Rahasia, di bawah wewenang Sayyidina Nuh (a), karena ini melambangkan bahtera yang diselamatkan dari Samudra Kegelapan dan diselamatkan dari banjirnya kebodohan.
Lathifah Sirr as-Sirr, Latifah Rahasia dari Rahasia, berada di bawah wewenang dua orang Nabi, yaitu: Ibrahim (a) dan Musa (a), yang melambangkan Hadirat Ilahiah Allah di bumi. Tuhan menjadikan Ibrahim (a) sebagai simbol dari semua khalifah-Nya di bumi, sebagaimana disebutkan dalam ayat penciptaan manusia: Innii jaa`ilun fi ‘l-ardhi khaliifah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. [2:30]. Musa (a) telah diberkati dengan pendengaran dan berbicara kepada Allah yang merupakan dua 2 atribut penting dari ilmu.
Lathifah al-Khafa, Latifah Yang Tersembunyi, di bawah wewenang Sayyidina Isa (a), karena hubungannya dengan ilmu yang tersembunyi, beliau melambangkan pemahaman spiritual.
Lathifah al-Akhfa, Latifah Yang Paling Tersembunyi, berada di bawah Hakikat Sayyidina Muhammad (s), karena beliau dianugerahi sebuah maqam yang tinggi di atas semua Nabi dan Rasul-Nya. Beliau adalah yang diangkat pada malam Isra’ Mi’raj menuju Hadirat Ilahi. Ini dilambangkan oleh Kalimat Tauhid, karena tidak ada Laa ilaha illAllah tanpa Muhammadun Rasulullaah (s).
Cahaya-cahaya dari maqam-maqam ini telah ditunjukkan kepadaku. Cahaya dari kalbu adalah kuning, cahaya dari Sirr adalah merah, cahaya dari Sirr as-Sirr adalah putih, cahaya dari Khafa adalah hijau dan cahaya dari Akhfa adalah hitam.
Kelima Maqam itu merupakan pusat dari Sembilan Titik, yang melambangkan lokus bagi wahyu dan ilham dari Hadirat Ilahi di dalam kalbu manusia. Sembilan Titik ini terletak di dada setiap orang dan mereka melambangkan sembilan maqam tersembunyi yang berbeda-beda pada setiap orang. Setiap maqam terhubung dengan seorang wali, yang mempunyai wewenang untuk mengontrol titik itu.
Jika seorang pencari dalam Tarekat Naqsybandi dapat menyingkap hijab dan membuat kontak spiritual dengan awliya yang berwewenang atas titik-titik ini, ia dapat diberikan ilmu dan kekuatan untuk menggunakan kesembilan titik ini.
Persyaratan terkait untuk membuka kesembilan titik ini hanya dapat disinggung secara tak langsung. Maqam pertama, berkenaan dengan kekuataan untuk memenjarakan ego. Kunci dari maqam kedua adalah zikir dengan Laa ilaha ill-Allah. Maqam ketiga berisi penyaksian (musyahadah) ukiran Nama Allah (swt) di dalam kalbu (naqsy). Maqam keempat berhubungan dengan makna ukiran pada kalbu itu. Maqam kelima adalah menanamkan ukiran itu dengan zikir kalian. Pada maqam keenam kalbu atau jantung dibuat untuk berhenti berdetak atas perintahnya dan berdetak kembali atas perintahnya. Maqam ketujuh adalah menjadi awas atau menyadari berapa kali seseorang menghentikan jantungnya berdetak dan berapa kali ia membuat jantungnya kembali berdetak.
Pada maqam kedelapan seseorang menyebutkan kalimat Muhammadun Rasulullah (s) setiap kali menghentikan detak jantungnya dan setiap kali memulihkannya lagi. Maqam kesembilan adalah kembali ke dalam gua kalian, sebagaimana Allah berfirman di dalam Surat al-Kahfi, “Dan jika kamu menjauhkan diri dari mereka dan apa yang mereka sembah selain dari Allah (swt), maka bersembunyilah kamu ke dalam gua, niscaya Tuhan kamu akan mencurahkan kepada kamu rahmat-Nya... [18:16].”
Gua itu adalah Hadirat Ilahi. Di sini seseorang mengucapkan doa Nabi (s), “Ya Allah Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu yang kuinginkan (Ilahi Anta maqshuudi wa ridhaaka mathluubi).” Kalbu atau jantung, ketika melakukan siklusnya antara berhenti dan kembali memompa/berdetak, ia hadir pada tingkatan Inti dari Hadirat Ilahi. Karena Inti Ilahiah itu adalah sumber bagi seluruh makhluk, kalbu itu akan menyatu dengan seluruh makhluk terkecil di alam semesta ini. Kalbu yang telah mencapai rahasia-rahasia dari kesembilan titik ini akan mampu melihat segala sesuatu, mendengar segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, merasakan segala sesuatu dan menjadi peka terhadap segala sesuatu, “Sampai Dia (Allah) akan menjadi telinganya untuk mendengar, matanya untuk melihat, lidahnya untuk berbicara, tangannya untuk menggenggam, dan kakinya untuk berjalan. Ia menjadi ‘seperti Tuhan’, ia hanya perlu mengatakan, ‘Kun! Jadilah!’ dan itu akan terjadi.”
Surat Wasiat Syekh Syarafuddin (q)
Pada hari-hari terakhir beliau, Syekh Syarafuddin (q) menulis surat wasiatnya dan memberikannya kepada Syekh `Abdullah (q). Saat itu beliau meramalkan, “Sepeninggalku, sebuah kesempatan akan datang padamu untuk meninggalkan Turki. Ambillah kesempatan itu, karena tugasmu bukan di sini, tetapi di luar Turki.”
Syekh `Abdullah (q) mempunyai dua orang putri dari istrinya yang bernama Halima. Yang tertua bernama Rabia dan adiknya bernama Madiha. Sembilan anak lainnya tidak bertahan hidup. Begitu Syekh Syarafuddin (q) wafat, sebuah utusan Raja Faruq dari Mesir datang untuk menyampaikan belasungkawa dari Raja, karena Syekh Syarafuddin (q) mempunyai banyak pengikut dari Mesir. Salah satu pangeran yang ikut dalam delegasi itu tertarik pada putri Syekh `Abdullah (q), Madiha, dan ingin melamarnya.
Syekh `Abdullah (q) menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk meninggalkan Turki sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Syekhnya. Ia segera menerima lamaran itu, dan tanpa keberatan dari putrinya, pernikahan pun segera dilangsungkan. Tak lama kemudian ia menerima undangan dari menantunya untuk datang ke Mesir. Ia mengatakan,
Aku pergi ke Mesir dan tinggal bersama putriku. Hubungan antara putriku dengan suaminya tidak begitu baik. Tidak berapa lama pernikahan itu pun berakhir pada perceraian. Aku melaksanakan nasihat Syekhku untuk mengambil kesempatan itu. Bersama istri dan putri-putriku, aku berangkat dari Alexandria menuju Latakia dengan kapal. Dari Latakia, aku pergi ke Aleppo, di mana kami mendarat hanya dengan uang 10 piastres (10 sen) di dalam saku dan tidak ada perbekalan sama sekali. Kami menuju masjid untuk Salat Maghrib. Di sana ada seorang pria mendekati kami dan berkata, “Wahai Syekhku, jadilah tamuku.” Ia membawa kami ke rumahnya. Aku menganggap bahwa ini adalah salah satu keramat Syekhku, di mana Allah membukakan sebuah pintu bagi kami, dari Mesir ke Aleppo.
Untuk sementara Syekh `Abdullah (q) tinggal di Aleppo, orang-orang di sana merasa terhormat dengan keberadaannya. Para ulama berdatangan, mereka berkumpul dan mendengarkan nasihatnya, mereka kagum dengan perkataan dan ilmunya. Mereka menyebutnya sebagai Yang Membangkitkan Agama.
Dari sana ia kemudian pindah ke Homs dan sempat berziarah ke masjid dan makam sahabat Nabi (s), Khalid bin Walid (r). Ia hanya tinggal sebentar di Homs, selanjutnya ia pindah ke Damaskus, di distrik Maidan, dekat dengan makam Sa`ad ad-Din Jibawi (q), seorang wali dari keluarga Nabi (s). Di sana ia mendirikan zawiya pertamanya, sebagai cabang dari Tarekat Naqsybandi yang telah hilang dari Damaskus setelah dibawa oleh Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bersama khalifahnya Syekh Ismail (q) ke India, Baghdad, dan Daghestan. Sekarang tarekat ini dikembalikan lagi ke Damaskus.
Kedua putrinya kemudian menikah. Rabi’a mempunyai empat anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Madiha menikah dengan Syekh Tawfiq al-Hibri, salah satu ulama besar di Lebanon.
Dalam waktu singkat banyak orang memenuhi zawiyahnya. Mereka datang dari berbagai kota dan berbagai latar belakang: Sufi, orang-orang dari pemerintahan, pengusaha dan masyarakat umum. Murid-murid berdatangan setiap hari untuk duduk di pintu khaniqahnya. Setiap hari mereka menyajikan makanan untuk ratusan orang, dan banyak juga orang yang menginap di sana.
Kemudian ia menerima perintah spiritual untuk pindah ke Jabal Qasyun. Ini adalah tempat tertinggi di Damaskus, seluruh pemandangan kota dapat terlihat dari sana. Dengan bantuan dari dua murid seniornya, yaitu Syekh Muhammad Nazim `Adil (q) dan Syekh Husein `Ali (q), ia membangun sebuah rumah. Rumah dan masjid di sampingnya masih berdiri sampai sekarang, dan masjid itu juga merupakan tempatnya dimakamkan. Dalam suatu penglihatan ketika ia membangun masjid itu, ia melihat Nabi (s) bersama Abu Bakar ash-Shiddiq (r), `Ali (r), Syah Naqsyband (q) dan Ahmad al-Faruqi (q) datang dan meletakkan beberapa tiang penanda bentuk dan lokasi dinding masjid. Setelah penglihatan itu berakhir, tanda-tanda itu dapat terlihat dan orang-orang yang hadir pun bisa melihatnya. Selama bertahun-tahun, ratusan ribu orang telah mendatangi masjid itu untuk penyembuhan, salat, praktik-praktik ibadah dan mempelajari berbagai ilmu eksternal/lahir dan internal/batin.
Sering kali ia diperintahkan oleh Nabi (s) untuk melaksanakan khalwat-khalwat lainnya. Waktunya bervariasi antara 40 hari hingga setahun. Ia telah melakukan lebih dari dua puluh khalwat sepanjang hidupnya. Beberapa diantaranya dilaksanakan di Damaskus, Jordan, Baghdad di makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), dan banyak yang dilakukan di Madinah. Dalam setiap khalwat, kekuatan spiritual dan derajatnya semakin tinggi.
Suatu hari ia mengirimkan pesan melalui Syekh Nazim (q) untuk Syarif `Abdullah, Raja Yordania pada waktu itu. Ia adalah salah satu murid Syekh. Pesannya berbunyi, “Jangan melakukan salat berjamaah khususnya pada hari Jumat, karena aku mendapat penglihatan, bahwa kau akan terbunuh.” Namun Raja tidak mengindahkan peringatan itu, dan seminggu kemudian ia tewas ketika kembali dari Salat Jumat.
Bertahun-tahun kemudian, seorang sepupu kami mendapat kecelakaan karena terjadi penembakan di Beirut. Ia dibawa ke ruang gawat darurat untuk dioperasi. Kami menemui Grandsyekh, karena khawatir dengan keadaannya. Baru saja kami sampai dan hendak memberitahunya, ia sudah berkata, “Kembalilah! Sudah tertulis bahwa dia akan meninggal dunia, namun dengan doa-doaku dia akan hidup. Operasi yang dilakukan akan berhasil.” Ketika kami kembali, sepupu kami sudah dalam keadaan koma dan mereka membawanya untuk dioperasi. Kami memberi tahu ibunya tentang apa yang dikatakan oleh Grandsyekh untuk memberinya harapan. Besoknya, sepupu kami telah siuman. Ia mengatakan, “Aku melihat Grandsyekh datang dan mengoperasiku. Itulah yang telah menyelamatkan aku.”
Syekh `Abdullah (q) sering berbicara tentang qadhaa’ atau hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah (swt) sebelumnya. Ia mengatakan,
Telah diketahui bahwa ada dua macam qadhaa’, atau takdir Allah. Yang pertama adalah qadhaa’an mu`allaq, yaitu takdir yang bergantung kepada sesuatu atau dapat berubah. Hal ini sudah tertulis di Loh Mahfuz. Hal ini akan bervariasi tergantung pada kemauan dan perilaku, sebab dan akibat. Semua awliya dapat mengubah qadhaa’ semacam ini bagi murid-muridnya untuk melatih mereka dan mempengaruhi takdirnya dengan mengubah perilaku dan perbuatan mereka. Wewenang untuk mengubah qadhaa’an mu`allaq ini diberikan kepada Syekh untuk murid-muridnya karena mereka terhubung satu sama lain dengan Kehendak Ilahi.
Qadhaa yang kedua terkandung di dalam Ummul Kitab, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Allah (swt) menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan di Sisi-Nya Ummul Kitab [13:39], dan ini disebut qadhaa’an mubram, yang artinya takdir Allah yang pasti berlaku. Para awliya tidak pernah mencampuri qadhaa’an mubram yang berada di Tangan Sang Pencipta.
Allah memberi wewenang untuk mengubah qadhaa’an mubram ini hanya kepada sembilan awliya yang mempunyai posisi tertinggi dalam Hadirat Ilahi, dengan izin dari Nabi (s) yang merupakan orang pertama yang mendapat kekuatan itu dari Allah. Kesembilan awliya itu mengontrol Sembilan Titik kesadaran manusia yang berhubungan dengan maqam-maqam yang berbeda dalam kenaikan (mi’raj) seseorang dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi. Allah (swt) memberi kesembilan awliya ini, yang jumlahnya tidak pernah berubah dari zaman Nabi (s) sampai sekarang, kekuatan untuk menggunakan Sulthan adz-Dzikir.
Setiap orang tahu bahwa zikir terutama adalah pengulangan dari La ilaha ill-Allah dan itu adalah yang dipraktikkan oleh semua tarekat, termasuk Naqsybandi. Namun Sulthan adz-Dzikir adalah zikir yang sama sekali berbeda.
Allah berfirman, “Innaa nahnu nazzalnaa ‘dz-dzikra wa innaa lahuu la haafizhuun” “Sesungguhnya Kami yang menurunkan zikir dan sesungguhnya Kami memelihara zikir itu dalam dirimu” [15:9]. Zikir yang dimaksud di sini adalah kitab suci Al-Qur’an. Zikir kesembilan awliya ini di samping La ilaha ill-Allah, adalah Rahasia dari Al-Qur’an. Mereka membaca Al-Qur’an, tetapi bukan seperti kita membacanya dari awal sampai akhir, tetapi mereka membacanya dengan semua rahasianya dan hakikat di dalamnya karena Allah berfirman, “Wa laa rathbin wa laa yaabisin illaa fii kitaabin mubiin”, “Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering melainkan sudah tertulis di dalam sebuah kitab yang nyata.” [6:59]. Tidak ada satu pun ciptaan Allah di seluruh alam semesta ciptaan-Nya, dengan segala rahasia mereka yang belum pernah disebutkan sebelumnya di dalam Kitab Yang Nyata, Al-Qur’an.
Awliya yang membaca Qur’an dalam Sulthan adz-dzikir dengan demikian membacanya dengan seluruh rahasia dari setiap makhluk, dari awal sampai akhir. Allah memberikan setiap huruf Qur’an dua belas ribu ilmu, menurut Sembilan Wali Tertinggi dalam Tarekat Naqsybandi (inilah pertama kalinya Syekh membuka rahasia ini). Qur’an berisi sekitar 600.000 huruf, jadi untuk setiap huruf, para awliya ini mampu mengambil 12.000 ilmu!
Setiap wali dari kesembilan wali ini juga berbeda levelnya satu sama lain. Kita bisa melihat salah satu di antara mereka, misalnya ada yang mampu membaca Qur’an dengan kekuatan Sulthan adz-Dzikir, mampu menyerap 12.000 makna dalam setiap huruf, sekali dalam hidupnya. Yang lainnya mampu melakukannya tiga kali seumur hidupnya. Yang ketiga misalnya mampu melaksanakan sembilan kali seumur hidupnya. Dan yang lain lagi mampu melakukannya 99 kali dalam hidupnya.
Rahasia ini berbeda dari satu wali dengan wali lainnya. Syah Naqsyband (q) mampu melakukannya 999 kali sepanjang hidupnya. Grandsyekh kita, Syekh Ahmad al-Faruqi (q) mampu membacanya 9.999 kali. Dan Syekh Syarafuddin (q) mampu membacanya dalam 19.999 kali sepanjang hidupnya.
Di sini Syekh `Abdullah (q) berhenti. Namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “Dalam setiap napas, Grandsyekh `Abdullah Daghestani (q) menghembuskan napas dengan Sulthan adz-Dzikir dan menghirup napas dengan Sulthan adz-Dzikir. Ia biasa mengkhatamkan Qur’an dua kali dalam setiap napasnya.”
Sebuah Pertemuan dengan John Bennett
Di antara banyak pengunjung dan para pencari di pintu Grandsyekh ada seorang Inggris yang bernama John G. Bennett. Dalam beberapa bukunya, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Grandsyekh `Abdullah (q). Di bawah ini adalah bagian dari perkataannya yang dikumpulkan dari buku Concerning Subud dan Witness.
Di dalam buku Concerning Subud, Bennett menulis, ”Syekh `Abdullah (q) adalah seorang wali sejati di mana seseorang segera bisa merasa dapat mempercayainya sepenuhnya.” Selanjutnya dalam Witness ia menjelaskan lebih rinci mengenai pertemuannya:
Syekh menungguku di atas atap rumahnya. Rumah itu terletak di atas kota dengan panorama yang sangat-sangat indah… Sejak awal aku merasa nyaman, kemudian dalam waktu singkat aku mengalami perasaan yang sangat membahagiakan yang sepertinya memenuhi semua tempat itu. Aku menyadari bahwa aku sedang berada dalam hadirat orang yang sungguh-sungguh baik.
Setelah mengucapkan salam seperti biasa dan pujian terhadap bahasa Turkiku, ia mengejutkan aku dengan pertanyaannya, “Mengapa engkau tidak membawa saudara perempuan yang bersamamu? Aku mempunyai sebuah pesan untuknya juga, selain untukmu.” Tamapaknya tidak ada seorang pun yang pernah mengatakan kepadanya tentang saudariku, Elizabeth. Kami langsung datang ke rumahnya, dan Dadji, pemanduku telah pergi meninggalkan aku di pintunya tanpa berbicara dengan siapapun. Aku menjawabnya bahwa karena ia seorang Muslim, aku berpikir ia tidak berkenan untuk berbicara dengan seorang wanita. Ia berkata dengan sederhana, “Mengapa tidak? Peraturan dan adat istiadat adalah untuk perlindungan bagi orang yang bodoh; aku tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Lain kali, jika engkau melewati Damaskus, maukah engkau membawanya kepadaku?” Aku berjanji untuk melakukannya bila ada kesempatan.
Kami lama duduk terdiam, melihat pemandangan kota kuno di bawahnya. Ketika ia mulai berbicara, aku merasa sulit untuk bangkit dari lamunanku. Ia mengatakan, “Aku sedang menanti kedatangan seseorang pada hari ini, tetapi aku tidak tahu kalau itu adalah dirimu. Beberapa malam yang lalu, seorang malaikat datang ke kamarku, dan mengatakan bahwa engkau akan datang menemuiku dan aku akan memberikan tiga pesan kepadamu. Engkau telah memohon petunjuk Tuhan mengenai istrimu. Ia berada dalam penjagaan Tuhan. Engkau telah berusaha untuk menolongnya, tetapi ini adalah hal yang salah. Engkau telah mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukan Tuhan terhadap rohnya. Tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya, dan tidak ada gunanya bagimu untuk mencoba mengerti. Pesan kedua adalah tentang rumahmu. Engkau memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk, apakah harus mengikuti kata hatimu atau mengikuti orang lain. Kau harus percaya pada diri sendiri. Kau akan dianiaya oleh orang Armenia, tetapi jangan takut. Kau harus menarik banyak orang untuk mengikutimu, jangan ragu-ragu walaupun hal itu membuat orang lain marah.”
Ia kembali terdiam. Aku kagum dengan 2 hal yang disampaikan tadi; memang benar bahwa aku telah berdoa agar diberi petunjuk terhadap kedua pertanyaan itu.
Pesan terpenting adalah yang terakhir. Kau harus tahu bahwa ada kejahatan besar di dunia ini. Manusia telah menyerahkan diri mereka pada pemujaan materi, dan mereka telah kehilangan kemauan dan kekuatan untuk menyembah Tuhan. Tuhan selalu mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk menunjukkan jalan keluar dari situasi semacam itu, dan Dia telah melakukannya lagi pada zaman sekarang. Seorang utusan telah ada di bumi, dan identitasnya telah banyak diketahui orang. Tidak lama lagi ia akan datang ke Barat. Orang-orang telah dipilih untuk mempersiapkan jalan baginya... dan telah diperlihatkan kepadaku bahwa engkau adalah salah satu di antara orang-orang pilihan itu… Utusan itu akan datang ke negerimu dan bahkan ke rumahmu…”
“Jangan sampai kau berhenti menyembah Tuhan, hanya saja tidak perlu menunjukkannya. Di luar bersikaplah seperti yang lain. Tuhan telah menunjuk dua malaikat untuk menjagamu. Yang pertama akan membimbing dan mengarahkanmu sehingga engkau tidak membuat kesalahan seperti dulu lagi. Yang kedua akan melakukan kewajiban-kewajiban agama yang tidak dapat kau lakukan untuk dirimu.
Aku menyarankan agar engkau banyak mengucapkan La ilaha ill-Allah di dalam kalbumu, yang artinya tunduk hanya kepada Allah (swt) semata. Ketika aku mengatakan bahwa ini adalah pernyataan keimanan bagi seorang Muslim, ia menjawab bahwa pada prinsipnya ajaran umat Kristen dan Islam adalah sama, karena fondasi dari semua agama adalah bahwa manusia tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri, melainkan pada Kehendak Tuhan...”
Ketika Ia Meninggalkan Kehidupan ini
Kami mengalami berbagai peristiwa yang luar biasa bersama Grandsyekh kami. Kehidupannya penuh dengan aktifitas yang bermanfaat. Ia selalu tersenyum dan tak pernah marah. Ia tidak mempunyai penghasilan, namun demikian makanan selalu berlimpah di rumahnya. Bagaimana ia memperoleh tunjangan hidup, adalah pertanyaan di dalam pikiran semua orang. Orang-orang akan berdatangan secara mendadak, kadang-kadang jumlahnya mencapai 200 orang, tetapi mereka akan selalu mendapati makanan yang tersedia dan siap disantap bagi mereka. Kami sering bertanya-tanya, “Dari mana asal nasi, roti dan daging ini?”
Aku jarang melihatnya tidur di malam hari. Di siang hari, ia selalu menerima tamu-tamu dan malamnya duduk di kamar pribadinya membaca Qur’an, Dalail al-Khayrat, mengamalkan zikir pribadinya atau membaca shalawat Nabi (s). Ia sering melakukan salat setelah tengah malam hingga subuh. Ia membantu orang-orang yang membutuhkan semampunya dan ia menampung banyak orang yang tidak mempunyai rumah dalam masjidnya. Jiwa kemanusiaannya kuat. Lidah ini rasanya tidak mampu menggambarkan akhlak dan perilaku baiknya.
Hingga pada suatu hari di tahun 1973 ia mengatakan, “Nabi (s) memanggilku. Aku harus pergi dan menemuinya. Beliau (s) mengatakan, ‘Kau tidak dapat menemuiku sampai kau menjalani operasi pada matamu,’” mengacu pada mata kirinya yang tidak begitu baik. Ia memberi tanda pada kami bahwa ia akan meninggalkan kami, namun kami tidak mampu menangkapnya. Ia hidup di dalam sanubari kami dan hidup di dalam semua orang yang pernah mengenalnya, bahkan kucing-kucing yang selalu berada di sekitarnya.
Setelah ia menjalani operasi mata, ia tidak mau makan. Kami membujuknya agar ia mau makan, namun ia menolaknya dengan mengatakan, “Aku sedang berada dalam khalwat sepenuhnya, karena Nabi (s) memanggilku.” Ia hanya berkenan menerima roti kering yang dilembutkan dalam air, sekali sehari. Ia berkata, “Aku tak mau hidup lebih lama lagi. Aku ingin bergabung bersama Nabiku (s) dan berkumpul bersamanya. Beliau (s) memanggilku, Allah (swt) memanggilku.” Ini seperti petir yang menyambar bagi kami, tetapi kami masih belum bisa mempercayainya. Ia kemudian menulis sebuah wasiat yang menyatakan, “Hari Ahad depan aku akan wafat.” Berarti tanggal 30 September 1973 atau tanggal 4 Ramadan 1393 H. Semua orang merasa terkejut dan merasa takut menghadapi apa yang akan terjadi pada hari itu.
Saat itu pukul sepuluh, pada hari Ahad, tepat di saat yang telah diprediksikannya, kami semua duduk di kamarnya. Ia berkata kepada saya, ”Rasakan detak jantungku.” Saya merasakan detak jantungnya, dan itu lebih dari 150. Lalu ia berkata, “Wahai anakku, ini adalah detik-detik terakhir dalam hidupku. Aku tidak ingin ada orang yang berada di sini. Semua orang harus pergi ke aula pertemuan.” Di kamar itu hanya ada 10 orang. Pada saat itu, dua orang dokter datang, yang pertama adalah kakak saya dan yang satunya lagi seorang teman kami. Mereka berdua adalah ahli bedah. Grandsyekh tidak memperbolehkan orang lain berada di kamarnya, kecuali keluarganya.
Kami mendengar putrinya menjerit, “Ayahku telah wafat, ayahku telah wafat.” Kami semua berlari menuju kamarnya dan melihat Grandsyekh sudah tidak bergerak lagi. Segera kakak saya memeriksa denyut jantungnya dan tekanan darahnya, tetapi keduanya tidak terdeteksi. Ia berlari dengan histeris menuju mobil untuk mengambil suntikan dengan obatnya, dan beberapa menit kemudian ia kembali lagi. Ia kembali masuk ke kamar Grandsyekh dan ingin menyuntik di bagian jantungnya agar kembali berdenyut. Dokter yang lain mengatakan, “Apa yang kau lakukan? Syekh sudah wafat lebih dari 7 menit yang lalu. Hentikan kebodohanmu.” Namun kakak saya tidak mau berhenti dan bersikeras untuk menyuntiknya.
Kemudian Grandsyekh membuka matanya, mengangkat tangannya dan berkata dalam bahasa Turki, “Burak!” yang artinya, “Hentikan!”
Semua orang terkejut. Mereka tidak pernah mendengar ada jenazah yang bisa berbicara sebelumnya. Saya tidak akan melupakan hal ini sepanjang hidup saya. Semua yang hadir, profesor dan dokter, mereka pun tidak akan melupakannya. Kakak saya lalu meletakkan peralatannya kembali. Kami berdiri di sana dalam keadaan takjub, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Apakah ia sudah wafat atau belum? Apakah ia hanya menyembunyikan diri sementara lalu kemudian kembali lagi? Itulah rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada kekasih-kekasih-Nya dan wali-Nya yang menempuh perjalanan di dalam Kerajaan-Nya, di dalam Cinta-Nya, di dalam Rahasia-Rahasia-Nya. Itu adalah hari yang tak terlupakan.
Berita mengenai wafatnya Grandsyekh bagaikan tornado yang hebat, berputar ke seluruh Damaskus, Aleppo, Jordan, dan Beirut. Orang-orang datang dari berbagai penjuru untuk melihatnya terakhir kalinya. Kami memandikannya, dan dari jasad sucinya tercium wangi yang harum. Kami mempersiapkannya untuk salat janazah dan pemakaman keesokan harinya. Seluruh ulama Damaskus menghadiri pemakaman itu. 400 ribu orang turut dalam salat jenazah untuknya. Orang-orang berbaris dari rumah mereka hingga ke Masjid Ibnu Arabi, di mana jenazahnya dibaringkan.
Ketika kami kembali ke rumahnya setelah salat jenazah, kami melihat peti jenazah meluncur di antara kepala-kepala para pelayat tanpa ada bantuan siapapun, bergerak dari masjidnya menuju tempat pemakaman. Perlu waktu 3 jam untuk kembali dari Masjid Muhyiddin Ibnu Arabi (q) menuju Masjid Grandsyekh, padahal biasanya hanya ditempuh dalam waktu 20 menit karena padatnya kerumunan para pelayat di jalan.
Semua orang menangis, mereka tidak ingin Syekh dimakamkan. Tidak ada yang dapat mempercayainya dan tidak ada yang mau menerimanya. Hal itu membuat kami ingat dengan keadaan para Sahabat ketika ditinggalkan oleh Nabi (s). Kami memahami mengapa Sayyidina `Umar (r), Sayyidina `Utsman (r), dan Sayyidina `Ali (r) tidak menerima bahwa Nabi (s) telah wafat. Kami mengalami keadaan yang sama, bahkan kami membayangkan bagaimana bisa Sayyidina Abu Bakar (r) tidak merasakan hal yang sama.
Semua pejabat pemerintah dan para ulama datang ke masjid menunggu pemakamannya. Tiba-tiba ada sebuah pesan yang disampaikan kepada imam yang mengatakan, “Jangan menguburkan Grandsyekh sampai Syekh Nazim tiba.” Tak seorang pun dapat mempercayai pesan itu, karena tidak ada cara untuk mengontak Syekh Nazim (q) yang berada di Siprus. Tidak ada telepon, mesin faks, bahkan telegram pun memerlukan waktu 2 hari. Tidak ada yang percaya bahwa pesan itu adalah nyata. Namun karena cinta kami kepada Syekh, kami senang untuk menunda pemakamannya dan menunggu sampai Syekh Nazim (q) tiba.
Saat itu adalah Ramadan, semua orang berpuasa. Para ulama dan masa menjadi gelisah. Orang-orang berkata bahwa mereka ingin pergi. Kami mengatakan bahwa mereka bebas untuk pergi kalau mau, tetapi kami tetap akan menunggu. Setelah beberapa saat, sebagian besar orang lalu pergi, dan hanya pengikutnya yang paling setia yang masih berada di sana. Sebelum matahari terbenam, Syekh Nazim (q) terlihat menaiki tangga. Bagaimana ia bisa sampai dengan cepat, tidak ada yang tahu dan hal itu masih menjadi misteri sampai sekarang.
Syekh Nazim (q) membawa jenazah Grandsyekh kembali ke dalam masjid dan melakukan salat jenazah untuknya. Ia menguburkan jenazah Grandsyekh dengan tangannya sendiri. Ketika ia mengangkat kain kafan dari wajahnya, kami mencium wangi cendana, amber, dan musk yang tidak pernah kami dapati sebelumnya. Ia lalu memerintahkan kami semua untuk berbuka puasa. Syekh Nazim (q) meminta kami untuk keluar. Hanya saya dan saudara saya yang tetap berada di sana, menyaksikan dari dari jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam.
Ia berdiri di bagian kepala dari makam Grandsyekh, seperti sedang salat. Lalu dalam sekejap ia menghilang. Peristiwa ini menambah kejutan bagi kami setelah berbagai kejutan yang terjadi. Tidak ada kata yang mampu melukiskan apa yang kami rasakan. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba kami melihat Syekh Nazim (q) muncul kembali di tempat yang sama. Setelah Syekh Nazim (q) keluar, kami segera berlari ke pintu. Ia berkata, “Apa! Kalian masih di sini? Belum berbuka puasa? Baiklah, lebih baik bersamaku!” Kami pun turun dan berbuka puasa bersamanya. Syekh Nazim (q) kembali ke Beirut malam itu juga, kemudian naik pesawat menuju Siprus.
Ramalan Syekh `Abdullah (q)
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q), naqiib al-ummah, semoga Allah memberkahi ruhnya, meramalkan berbagai peristiwa, sebagian telah terjadi dan sebagian lagi masih kita tunggu.
Pada tahun 1966, ia mengatakan, “Tahun depan akan terjadi perang antara Israel dan Arab. Dan Arab akan mengalami kekalahan.” Ia meramalkan pula bahwa akan terjadi lagi perang antara keduanya. Sebelum wafat ia mengatakan, “Akan terjadi sebuah perang besar di bulan ini antara Arab dan Israel.” Hal ini menjadi kenyataan. Pada tanggal 3 Oktober, 3 hari setelah wafatnya, Arab dan Israel kembali berperang.
Suatu hari putri Grandsyekh, Madiha dan suaminya berpikir untuk membeli sebuah rumah di Beirut, tetapi Grandsyekh mengatakan, ”Jangan!” Ia tetap bersikukuh untuk membelinya, tetapi Grandsyekh tetap berkata, “Jangan!” Madiha tetap ingin membelinya, tetapi Grandsyekh tetap melarangnya sambil mengatakan, “Beirut akan dipenuhi dengan pertumpahan darah. Setiap rumah akan terkena imbas dari pertumpahan darah itu dan tidak akan ada yang bisa melarikan diri.” Ia mengatakan hal ini pada tahun 1972 dan peristiwa itu terjadi pada 1975. Sebelum wafat, ia mengatakan kepada kami, ”Aku melihat kalian di Tripoli, di utara Lebanon.” Inilah caranya menyarankan kami agar pindah dari Beirut.
Ia berkata, “Aku melihat Inggris memasuki Islam.” Ia meramalkan bahwa keluarga kerajaan di Eropa akan mendukung Islam, karena mereka masih mempunyai darah keturunan Arab.” Hal ini akan menarik mereka menuju spiritualitas dan menimbulkan berbagai jenis aliran spiritual, dan menarik mereka menuju Hadirat Tuhan.”
Pada masalah terkait, ia mengatakan, “Ketika John Bennett bertemu denganku dan mengucapkan syahadat, ia bertanya apa yang dapat dilakukannya. Aku mengatakan agar merahasiakan syahadatnya. Dengan demikian ia dapat membawa banyak orang di negerinya, Inggris untuk mengucapkan syahadat dan membuat mereka tertarik dengan spiritualitas.
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada usia lebih dari 85 tahun.
Cina berada di bawah wewenang seorang wali besar yang akan menjadi salah satu awliya besar di zaman Imam Mahdi (a) dan Nabi Isa (a). Namanya adalah `Abdur Ra’uf al-Yamani (q). Melalui pengaruhnya, Cina akan menandatangani kesepakatan dengan Barat untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya. Cina akan terpecah menjadi negara-negara kecil. Akan terjadi berbagai masalah di Timur Jauh, di Semenanjung Korea, dan sebuah kekuatan besar akan mengintervensi untuk meredakannya.
Sebuah negara non Arab di Timur Tengah akan menyerang wilayah Teluk Persia. Hal ini akan menyebabkan seluruh dunia ketakutan bahwa sumber minyak bumi akan terputus.
Ia mengatakan, “Kairo akan tenggelam di dalam air.” Beberapa waktu kemudian Rusia membangun Bendungan Aswan, berisi air berjumlah besar dan baru-baru ini ditemukan bahwa tiang fondasinya longgar karena terkikis. Ia mengatakan,
Siprus akan tenggelam di bawah laut, dan Gunung Olympus dekat Bursa akan meletus. Di bawahnya terdapat dua elemen, gas dan api yang sampai sekarang masih terpisah, dan para awliya selalu berdoa agar kedua elemen ini tidak tercampur. Dari letusannya, ratusan ribu orang akan terluka dan kehilangan tempat tinggalnya.
Akan terjadi perang di Wilayah Teluk, di mana api yang besar akan muncul dan melibatkan seluruh dunia.
Jerman dan Inggris akan memimpin seluruh Eropa. Di Jerman ada seorang wali, yang ditunjuk oleh Mahdi (a) dan Nabi Isa (a). Tugasnya adalah menghidupkan dan melatih orang-orang di dalam spiritualitas. Wali itu tersembunyi namun ia berada di antara mereka.
Akan terjadi suatu perubahan besar dalam pendekatan Arab di bidang politik, dan satu rezim yang kuat akan mengubah Arab menjadi pemerintahan yang lebih baik.
Sebelum ia wafat, di dalam sebuah pertemuan pribadi dengan beberapa murid terdekatnya, Syekh `Abdullah (q) mengatakan,
Akan terjadi perdamaian, dan Amerika akan menjadi pemimpin pembicaraan mengenai perdamaian, hal itu akan mengakhiri peperangan antara Arab dan Israel. Hal ini akan terjadi. Tandanya adalah runtuhnya Komunisme dan Rusia pecah menjadi banyak bagian. Tidak ada kekuatan di dunia, kecuali Amerika. Banyak negeri Arab yang akan berpihak ke Amerika. Konflik akan menjadi reda sepenuhnya, Arab dan Israel akan hidup damai. Lambat laun seluruh konflik di bumi akan berakhir dan perdamaian terjadi di mana-mana. Amerika akan memimpin hal itu. Semua orang menjadi bahagia dan tidak ada orang yang mengharapkan perang akan terjadi lagi.
Tiba-tiba, di tengah-tengah situasi damai itu, sebuah serangan terjadi di Turki oleh negara tetangganya dan perang akan dimulai lagi, disusul oleh sebuah invasi ke Turki oleh negara tetangganya itu. Ini membuat ancaman bagi pangkalan Amerika di Turki dan mengakibatkan perang yang lebih besar terjadi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan parah di muka bumi dan terjadi perang mengerikan. Selama perang itu, Mahdi (a) akan muncul dan Nabi Isa (a) akan kembali. Tujuannya adalah membawa spiritualitas, perdamaian dan keadilan untuk mengalahkan penindasan, ketakutan dan ancaman. Cinta dan kebahagiaan serta perdamaian akan memenuhi bumi, dengan kekuatan Mahdi (a) dan Nabi Isa (a) atas Kehendak Allah (swt).
Rahasia dari Rantai Emas diteruskan kepada Sang Matahari dari Matahari, Pemimpin bagi orang-orang yang didekatkan, Sang Penemu Rahasia-Rahasia, yaitu Syekh Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi ar-Rabbani an-Naqsybandi al-Haqqani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/12RctIIU-nwMg8c7eWLdbN5gasHDVXOiW7_vgM6bWpRE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
40. Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya`ban 1340 H. Dari sisi ayah, ia adalah keturunan Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, ia adalah keturunan Jalaluddin Rumi (q), pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Sayyidina Hasan (a) dan Hussein (a), cucu Nabi Muhammad (s). Selama masa kanak-kanak di Siprus, ia selalu berkumpul bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk mempelajari spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda yang luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim (q) kecil, perilakunya sempurna. Ia tidak pernah berselisih dengan siapapun, ia selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatihnya pada jalan spiritual.
Ketika remaja, Syekh Nazim (q) sangat diperhitungkan karena tingkat spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaka mengenalnya, karena dengan usia yang masih teramat muda ia mampu memberi nasihat kepada orang-orang, meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun ibunya sering mencarinya, dan mendapatinya sedang berada di dalam masjid atau di makam Ummu Hiram (r) yang berada di sebelah masjid. Ummu Hiram (r) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang makamnya terdapat di Siprus. Banyak sekali peziarah yang datang ke sana karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung di atas makam itu.
Ketika ibunya mengajaknya pulang, ia berkata, “Biarkan aku di sini dengan Ummu Hiram (r), beliau adalah leluhur kita.” Biasanya Syekh Nazim (q) terlihat sedang berbicara, mendengar atau menjawab seperti sedang berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, ia akan berkata, “Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang berada di makam ini.”
Ayahnya mengirimkannya ke sekolah umum di siang hari dan sore harinya ia mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia adalah seorang anak yang jenius di antara teman-temannya. Setelah menamatkan sekolahnya (setara SMU) Syekh Nazim (q) menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah. Ia mengikuti shuhba Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah pada hari Kamis dan Jumat.
Putra-putri keluarga Adil. Syekh Nazim muda berada paling kiri pada usia 16 tahun.
Ia mempelajari ilmu syariah, fikih, ilmu hadits, ilmu logika dan tafsir Qur’an. Ia mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-masalah Islam secara luas. Ia juga mampu berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkatan spiritual. Ia diberi kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang sederhana dan jelas.
Setelah tamat SMU di Siprus, Syekh Nazim (q) pindah ke Istanbul pada tahun 1359 H. /1940 M., Di sana ia tinggal bersama kedua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya. Ia menimba ilmu di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama ia memperdalam hukum Islam dan bahasa Arab pada gurunya, Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q), yang wafat pada tahun 1375 H./1955 M. Syekh Nazim (q) meraih gelar sarjana di bidang Teknik Kimia dengan hasil yang memuaskan dibandingkan teman-temannya. Ketika profesor di universitasnya memberi saran agar ia melanjutkan penelitiannya, ia mengatakan, ”Aku tidak tertarik dengan ilmu modern. Hatiku selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”
Sebagai seorang mahasiswa, Syekh Nazim muda meraih nilai yang sangat memuaskan di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul.
Pada tahun pertamanya di Istanbul, ia bertemu dengan guru spiritual pertamanya, Syekh Sulayman Arzurumi (q), seorang Syekh dari Tarekat Naqsybandi yang wafat pada tahun 1368 H./1948 M. Sambil kuliah Syekh Nazim (q) belajar dengannya sebagai tambahan dari ilmu tarekat yang telah dimilikinya, yaitu Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau akan terlihat di masjid Sultan Ahmad, bertafakur sepanjang malam.
Syekh Nazim (q) menuturkan,
“Di sana aku menerima berkah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku melakukan salat subuh bersama kedua guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) dan Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q). Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual di dalam kalbuku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi ke Damaskus, tetapi hal itu belum diizinkan. Aku sering melihat Nabi (s) memanggilku ke hadiratnya. Ada keinginan yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan pindah ke kota suci Nabi (s).
Suatu hari ketika keinginan hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu. Guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) datang dan menepuk pundakku seraya mengatakan, ’Sekarang izin sudah turun. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran spiritualmu bukan berada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q). Beliau adalah pemegang kunci-kuncimu. Temuilah beliau di Damaskus. Izin yang kuberikan ini berasal dari Nabi (s).’ (Syekh Sulayman Arzurumi (q) adalah salah satu dari 313 awliya Tarekat Naqsybandi yang merepresentasikan 313 rasul).
Penglihatan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat Syekh menuju masjid, aku berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata, ”Wahai anakku, apakah kau bahagia dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa beliau juga telah mengetahui semuanya. “Jangan tunda lagi, segeralah berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau informasi lainnya, kecuali sebuah nama: Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) di Damaskus.
Dari Istanbul ke Aleppo aku naik kereta. Selama di perjalanan aku pergi dari satu masjid ke masjid lainnya untuk salat, berkumpul dengan para ulama dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan tafakur.
Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri dari serangan Inggris. Jadi aku pergi ke Homs di mana terdapat makam Khalid bin Walid (r), Sahabat Nabi (s) di sana. Ketika aku masuk ke dalam masjid untuk salat, seorang pelayan mendatangiku dan berkata, ‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi (s) mendatangiku. Beliau (s) mengatakan, “Salah satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau (s) memberi petunjuk bagaimana ciri-ciri cucunya yang sekarang aku lihat semua tanda-tandanya pada dirimu.’
Ia memberiku sebuah kamar di dalam masjid itu. Aku tinggal selama setahun di sana. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk salat dan duduk ditemani oleh 2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir, fikih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Syekh Muhammad Ali Uyun as-Sud (q) dan Syekh `Abdul Aziz Uyun as-Sud (q). Di sana, aku juga mengikuti pelajaran-pelajaran dari dua orang Syekh Naqsybandi, yaitu Syekh `Abdul Jalil Murad (q) dan Syekh Said as-Suba’i (q). Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus lewat jalur yang lebih aman.
Pada tahun 1364 H./1944 M., Syekh Nazim (q) pergi ke Tripoli dengan bus. Bus ini membawanya sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tak seorang pun di sana yang dikenalinya. Ketika ia sedang berjalan mengelilingi pelabuhan, ia melihat seseorang yang datang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama Syekh Munir al-Malek (q). Beliau juga merupakan Syekh atas semua Tarekat Sufi di kota itu. Beliau bertanya, “Apakah engkau Syekh Nazim (q)? Aku bermimpi di mana Nabi (s) mengatakan, ‘Salah satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau (s) menunjukkan gambaran mengenai sosokmu dan menyuruhku mencarimu di daerah ini. Nabi (s) menyuruhku untuk menjagamu.”
Syekh Nazim (q) menuturkan hal ini,
Aku tinggal dengan Syekh Munir al-Malek (q) selama sebulan. Beliau mengatur perjalananku menuju Homs dan kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jumat tahun 1365 H./1945 awal tahun Hijriah. Aku tahu bahwa Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tinggal di wilayah Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habasyi (r) dan banyak keturunan dari keluarga Nabi (s). Sebuah daerah kuno yang penuh dengan monumen-monumen bersejarah.
Aku pun tidak tahu yang mana rumah Syekh `Abdullah (q). Sebuah penglihatan datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syekh keluar dari rumahnya dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan aku tetap tidak melihat seorang pun di jalan. Keadaan tampak senyap akibat invasi Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai bertafakur di dalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syekh` Abdullah (q). Sekilas gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang khas. Aku berusaha mencari sampai akhirnya aku menemukannya. Ketika akan kuketuk, Syekh membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”
Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku bertemu dengan Syekh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan menaiki tangga di dalam kamarnya dan berkata, “Kami sudah menunggumu.”
Di dalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada keinginan untuk mengunjungi kota Nabi (s). Aku bertanya kepadanya, “Apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan kuberi jawaban, sekarang waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami salat Isya berjamaah, dan kemudian tidur.
Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan salat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada di Hadirat Ilahi dan hatiku semakin tertarik padanya. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat salat kami menuju ke Bayt al-Ma`mur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan oleh Syekh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima ilmu di dalam kalbuku yang sebelumnya tidak pernah kudengar atau kupelajari. Kata-kata, kelompok kata, kalimat diletakkan sekaligus dalam tata cara yang indah, dialirkan ke dalam kalbuku, dari maqam yang satu ke maqam berikutnya sampai terangkat menuju Bayt al-Ma`mur. Di sana aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) nabi berbaris melakukan salat, dan Nabi Muhammad (s) bertindak sebagai imamnya.
Aku melihat 124.000 sahabat Nabi (s) yang berbaris di belakang beliau (s). Aku melihat 7007 awliya Tarekat Naqsybandi berdiri di belakang mereka mengerjakan salat. Aku juga melihat 124.000 awliya tarekat lain berbaris melaksanakan salat.
Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat di sebelah Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Grandsyekh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun melaksanakan Salat Subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi (s) memimpin salat itu, bacaan yang dilantunkannya sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang sifatnya Ilahiah.
Begitu salat selesai, penglihatan itu pun berakhir, tepat ketika Syekh menyuruhku untuk mengumandangkan azan subuh. Beliau menjadi imam dan aku di belakangnya. Dari luar aku mendengar suara peperangan antara 2 pihak tentara. Grandsyekh segera membay’at-ku dalam Tarekat Naqsybandi; beliau berkata, ‘Anakku, kami mempunyai kekuatan untuk bisa membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’ Sambil melihat ke arah kalbuku, kedua matanya berubah warna, dari kuning menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam. Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dipancarkan ke dalam kalbuku.
Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘kalbu’. Beliau mengalirkan segala jenis ilmu eksternal/lahir yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.
Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/sirr’, ilmu dari seluruh 40 Tarekat yang berasal dari `Ali bin Abi Thalib (r). Aku rasakan diriku menjadi ahli dalam seluruh tarekat ini. Mata beliau berubah warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah tingkatan ‘sirr as-sirr’ yang hanya diizinkan bagi para Syekh Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakar (r). Saat itu mata Grandsyekh telah berubah menjadi putih.
Maqam keempat yaitu ‘ilmu spiritual tersembunyi/khafa’ di mana saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau.
Dan terakhir adalah tahap akhfa, maqam yang paling rahasia di mana tak ada apapun yang tampak di sana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan di sinilah beliau mengantarku menuju Hadirat Allah (swt). Kemudian Grandsyekh mengembalikan aku pada kondisi semula.
Rasa cintaku pada Grandsyekh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali agar bisa berdekatan dan berkhidmah kepada beliau selamanya. Namun perasaan damai itu terasa bagaikan disambar petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan, ‘Anakku, orang-orang membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’
Aku telah menempuh perjalanan selama satu setengah tahun untuk bisa bertemu dengannya. Aku habiskan satu malam bersamanya dan kini beliau memintaku untuk kembali ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun. Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam Tarekat Sufi, seorang murid harus menyerah pada kehendak Syekhnya. Setelah mencium tangan dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju Siprus.
Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang menghampiriku, ‘Syekh, kau butuh tumpangan?’ ‘Ya! Ke mana tujuanmu?’ Aku balik bertanya. ‘Ke Tripoli,’ jawabnya. Kemudian setelah dua hari perjalanan dengan truknya, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan,’ kataku. ‘Untuk apa?’ ‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’ ‘Bagaimana bisa? Tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’ ‘Tidak apa-apa. Antarkan aku ke sana.’ Ketika ia menurunkan aku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syekh Munir al-Malek (q) menghampiriku. Beliau berkata, ‘Cinta macam apakah yang dimiliki kakekmu padamu? Nabi (s) datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan, ‘Cucuku Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’
Aku tinggal bersama Syekh Munir (q) selama 3 hari. Aku memintanya untuk mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar, maka hal itu sangat mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kau bisa pergi, tetapi amat berbahaya!’ kata Syekh Munir (q). ‘Tetapi aku harus pergi, ini adalah perintah Syekhku.’ Syekh Munir (q) membayar sejumlah uang kepada pemilik perahu untuk membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang biasanya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu bermotor. Segera setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam hatiku.
Aku merasa Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) mengatakan kepadaku, ‘Wahai anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat terlihat olehmu. Setiap kali kau arahkan kalbumu kepadaku, aku akan selalu berada di sana. Segala pertanyaan yang kau ajukan akan dijawab langsung dari Hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang ingin kau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena kepasrahan dirimu sepenuhnya. Semua awliya puas denganmu, Nabi (s) pun bahagia terhadap dirimu.’
Ketika hal itu terjadi, aku merasakan Syekh ada di sisiku dan sejak saat itu beliau tidak pernah meninggalkan aku. Beliau selalu berada di sampingku.
Syekh Nazim (q) mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus. Banyak murid yang mendatangi beliau dan menerima Tarekat Naqsybandi. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan mengumandangkan azan pun tidak diperbolehkan.
Langkahnya yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana; akibatnya ia segera dimasukkan ke dalam penjara selama seminggu. Setelah dibebaskan, Syekh Nazim (q) pergi ke masjid besar di Nikosia dan mengumandangkan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan ia dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syekh Nazim (q) terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggunya. Pengacara menasihatinya untuk berhenti melakukan azan, namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa berhenti. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk salat.”
Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, ia bisa dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang pria bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Itulah keajaiban Syekh kita.
Syekh Nazim (q) sebagai murid muda dari Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q)
Selama bertahun-tahun di sana, ia telah melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Siprus. Ia juga mengunjungi Libanon, Mesir, Saudi Arabia dan tempat-tempat lain untuk mengajar Tarekat Sufi. Syekh Nazim (q) kembali ke Damaskus pada tahun 1952, ketika ia menikahi salah satu murid Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu Hajah Amina Adil (q). Sejak saat itu ia tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama 3 bulan pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan.
Syekh Nazim (q) dan keluarganya tinggal di Damaskus. Keluarganya selalu menyertai bila Syekh Nazim (q) pergi ke Siprus. Syekh Nazim (q) mempunyai dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Perjalanan Syekh Nazim (q)
Syekh Nazim (q) menunaikan ibadah haji setiap tahunnya untuk memimpin jemaah haji dari Siprus. Ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali, baik untuk menjaga murid-muridnya atau mengikuti Grandsyekh `Abdullah (q).
Suatu saat Grandsyekh mengatakan agar ia pergi ke Aleppo dari Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, ajaran Sufisme dan ajaran Islam. Jarak antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Perlu waktu lebih dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syekh Nazim (q) berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa, ia tinggal di sana selama seminggu untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, memimpin zikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanannya sampai ke desa selanjutnya. Namanya pun mulai terdengar di setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai perbatasan Turki dekat Aleppo.
Hal yang sama juga diperintahkan dan dijalankan oleh Syekh Nazim (q), yaitu agar ia berjalan kaki ke Siprus. Dari desa yang satu ke desa lainnya, ia berdakwah, menyeru orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan kehidupan materialistik, sekularisme dan atheisme.
Ia amat dicintai di seluruh Siprus, dan masyhur dengan sebutan ‘Syekh Nazim (q) Yesilbas, atau Syekh Nazim yang berturban hijau’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau.
Syekh Nazim (q) di rumah beliau di Siprus
Ia sering mengunjungi Libanon, di mana kami bertemu dan mengenalnya. Pada tahun 1955, saya berada di kantor paman saya, yang menjabat sebagai sekjen urusan agama di Libanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Ketika itu tiba waktunya Salat Ashar dan paman saya, Syekh Mukhtar Alayli sering melakukan salat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Di sana ada juga gereja pada masa `Umar bin al-Khaththab (r), yang telah berubah menjadi masjid di masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja. Paman saya menjadi imam sementara saya bersama dua saudara saya menjadi makmumnya.
Seorang Syekh datang dan salat di sebelah kami. Kemudian ia memandang kedua saudara saya dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya ia menoleh ke arah saya dan menyebutkan nama saya. Kami amat terkejut, karena kami tidak saling mengenal sebelumnya. Paman saya juga tertarik padanya. Itulah pertama kali kami bertemu Syekh Nazim (q). Kakak tertua saya bersikeras untuk mengajak Syekh Nazim (q) dan paman untuk menginap di rumah kami.
Syekh Nazim (q) mengatakan, “Aku dikirim oleh Syekh `Abdullah (q). Beliau yang mengatakan, ‘Setelah Salat Ashar nanti, yang berada di sebelah kananmu bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk Tarekat Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.‘“ Kami masih amat muda dan kagum akan caranya mengetahui nama-nama kami.
Sejak saat itu ia mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke Damaskus setiap minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar diizinkan mengunjungi Grandsyekh. Saya dan saudara saya menerima banyak ilmu spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang dialirkan ke dalam kalbu kami.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus orang silih berganti mengunjungi rumahnya setiap harinya dan dilayani dengan baik. Rumahnya dekat dengan rumah Grandsyekh di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, di sebelah tenggara Damaskus. Rumah semen beliau sangat sederhana dengan perabotan dari kayu atau bahan-bahan alami lainnya yang dibuat dengan tangan.
Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London dengan pesawat dan kembalinya dengan mengendarai mobil lewat jalan darat. Ia melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan Tarekat Sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual darinya. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat.
Tahun-tahun selanjutnya, ia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki di wilayah negara Turki. Sejak tahun 1978, ia menghabiskan tiga sampai empat bulan di setiap daerah di Turki. Dalam setahun ia bepergian di daerah Istanbul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan ia mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian di tahun berikutnya ia bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid mensyiarkan kalamullah dan spiritualitas di mana pun ia berada.
Ke mana pun Syekh Nazim (q) pergi, ia selalu disambut oleh kerumunan massa dari yang sederhana hingga pejabat pemerintahan. Ia termasyhur dengan sebutan ‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syekh Nazim (q) merupakan Syekh dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormatinya. Akhir-akhir ini Syekh Nazim (q) terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Ia diwawancarai hampir setiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Ia mampu menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi (s) sehingga tercipta kedamaian di setiap hati dan pikiran kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekalipun.
Tahun 1986, ia terpanggil untuk mengadakan perjalanan ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Ia diterima dengan baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Ia disebut sebagai orang suci zaman ini di Brunei. Ia disambut dengan keramahan warga dan khususnya oleh Sultan Haji Hasan al-Bolkiah. Ia digolongkan sebagai salah satu Syekh terbesar Tarekat Naqsybandi di Malaysia. Di Pakistan, ia dikenal sebagai pembangkit Tarekat Sufi dan ia mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, muridnya lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) orang, dari kalangan pemerintahan maupun rakyat biasa. Di kalangan Muslim Singapura, ia juga amat dihormati.
Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya ia mengunjungi Amerika. Lebih dari 15 negara bagian dikunjunginya. Ia bertemu dengan banyak kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama: Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Kunjungan ini membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Kunjungan kedua pada tahun 1993, ia mendatangi berbagai daerah dan kota, masjid, gereja, sinagog, dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang di Amerika Utara telah masuk Islam dan ber-bay`at dalam Tarekat Naqsybandi.
Pada bulan Oktober 1993, ia menghadiri peresmian kembali masjid dan sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Ia adalah orang pertama di antara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah pusat para awliya di Asia Tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan ajarannya dalam tarekat ini.
Syekh Nazim (q) bersama istrinya (Hajah Amina (q), w.2004), dan kedua putrinya (di depan) di rumah beliau di Siprus. Sebagai seorang Syekh dari Tarekat Mawlawiyyah, Syekh Nazim (q) mengenakan turban tradisional yang merupakan ciri khasnya, dililitkan pada sikke Mawlawiyyah yang tinggi.
Sebagaimana Syah Naqsyband (q) sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi (q) pelopor di milenium ke-2, dan Khalid al-Baghdadi (q) pelopor kebangkitan Islam, syariat, dan tarekat di Timur Tengah; maka Syekh Nazim Adil al-Haqqani (q) adalah pelopor, pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhannya di abad ini, abad perkembangan teknologi dan materialisme.
Pada tahun 1991 ia memulai perjalanannya ke Amerika. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi lebih dari 15 negara bagian. Ia berjumpa dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan, mencakup umat Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu dan penganut New Age. Kunjungan ini memprakarsai berdirinya lebih dari 15 majelis Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Ia melakukan kunjungan keduanya pada tahun 1993. Ia bepergian ke berbagai kota, mengunjungi masjid, gereja, sinagoga dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang masuk Islam dan menjadi pengikut Tarekat Naqsybandi.
Syekh Nazim (q) bersama Sultan Brunei (kiri) dan Pengeran dari Malaysia, Raja Ashman (kanan).
Pada tahun 1986 ia terpanggil untuk berkunjung ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka. Ia mengunjungi kota-kota besar di negara-negara tersebut. Di sana ia disambut oleh Sultan, Presiden, anggota parlemen, para pejabat pemerintah dan tentu saja oleh masyarakat pada umumnya. Di Brunei, ia dianggap sebagai wali di zaman ini, ia mendapat sambutan yang hangat di negara itu, khususnya oleh Sultan, Haji Hasanal Bolkiah. Di Malaysia, ia dianggap sebagai salah satu dari wali besar dalam Tarekat Naqsybandi. Di Pakistan, ia dikenal sebagai Yang Membangkitkan Tarekat dan mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, ia memiliki lebih dari 20.000 murid, dari kalangan pejabat dan masyarakat umum. Ia sangat dihormati di Singapura dan mempunyai banyak murid di sana.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung. Sedikitnya 100 orang pengunjung datang setiap harinya. Ia melayani mereka semuanya.
Khalwat Syekh Nazim (q)
Khalwat pertamanya atas perintah Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada tahun 1955 di Sweileh, Yordania. Ia berkhalwat selama 6 bulan. Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadirannya mampu menarik ribuan murid di Sweileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadiannya.
Ketika ia baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, Syekh Nazim (q) dipanggil oleh Grandsyekh `Abdullah (q), “Aku menerima perintah dari Nabi (s) untukmu agar melakukan khalwat di masjid `Abdul Qadir Jailani (q) di Baghdad. Pergilah ke sana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”
Syekh Nazim (q) bercerita mengenai peristiwa ini,
Aku tidak bertanya apapun pada Grandsyekh. Aku bahkan tidak pulang ke rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya. Tidak pernah terlintas dalam benakku, ‘aku perlu pakaian, uang atau makanan.’ Ketika beliau berkata, ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku memang ingin melakukan khalwat bersama Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika sampai di kota, aku melihat seorang pria yang sedang menatapku. Ia mengenaliku. “Syekh Nazim (q), kau mau ke mana?“ “Ke Baghdad,” jawabku. Ternyata ia adalah murid Grandsyekh. “Aku juga mau ke sana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan barang untuk dikirim ke Baghdad.
Ketika memasuki masjid Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), ada seorang pria tinggi besar yang berdiri di pintu. Ia memanggilku, ”Syekh Nazim (q)!” “Ya,” jawabku. “Aku ditunjuk untuk melayanimu selama engkau tinggal di sini. Mari ikuti aku.” Sebenarnya aku terkejut dengan hal ini, namun di dalam tarekat segala hal telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang Ghawts. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’
Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan salat 5 waktu saja. Aku mencapai sebuah maqam di mana aku mampu khatam al-Qur’an dalam waktu 9 jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan shalawat 124.000 kali, ditambah membaca seluruh Dalail al-Khayrat, dan membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan kepadaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan mengantarku dari satu maqam ke maqam lainnya sampai akhirnya aku menjadi fana’ dalam Hadirat Allah.
Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) memanggilku menuju makamnya. Beliau berkata, ‘Wahai cucuku, aku sedang menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, salat 2 rakaat dan berjalan menuju makamnya yang hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampainya di sana, aku mulai melakukan muraqaba. “As-salam alayka ya jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, wahai kakekku).“ Segera aku melihat beliau keluar dari makam dan berdiri di sampingku. Di belakang beliau ada sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Beliau berkata, “Mendekatlah dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”
Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan, “Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam Syekhmu, `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) amat tinggi dalam Tarekat Naqsybandi. Aku ini kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang dipegang oleh Ghawts. Aku memberi bay’at untukmu dalam Tarekat Qadiriah sekarang.” Kemudian Grandsyekh nampak di hadapanku, Nabi (s) pun hadir, juga Syah Naqsyband (q). Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) berdiri memberi hormat pada Nabi (s) beserta para Syekh yang hadir, aku pun melakukannya.
Beliau berkata,
‘Wahai Nabi (s), ya Rasulullah (s), aku adalah kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan kemajuannya dalam Tarekat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan Tarekat Naqsybandi pada maqamku.‘
Nabi (s) tersenyum dan memandang Syah Naqsyband (q), selanjutnya Syah Naqsyband (q) memandang pada Grandsyekh `Abdullah (q). Inilah adab pimpinan yang baik, karena Syekh `Abdullah (q) yang masih hidup pada saat itu. Grandsyekh menerima rahasia Tarekat Naqsybandi yang diterima beliau dari Syah Naqsyband (q) melalui silsilah Nabi (s), dari Abu Bakar ash-Shiddiq (r), agar ditambahkan pada maqam Syekh Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika Syekh Nazim (q) menyelesaikan khalwatnya, dan akan segera meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) muncul dan memperbarui bay’at Syekh Nazim (q) dalam Tarekat Qadiriah. Beliau berkata, “Cucuku, aku akan memberimu kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syekh Nazim (q) dan memberinya 10 buah koin yang merupakan uang yang berlaku semasa beliau hidup. Koin itu masih disimpan oleh Syekh Nazim (q) sampai sekarang.
Sebelum pergi, Syekh Nazim (q) memberi tanda kenangan berupa jubah kepada Syekh yang telah melayaninya selama khalwat di sana. “Aku memakai jubah ini selama khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat salat dan zikir. Simpanlah, Allah (swt) dan Nabi (s) akan memberkatimu.” Syekh itu mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syekh Nazim (q) meninggalkan Baghdad dan kembali ke Damaskus, Suriah.
Pada tahun 1992, ketika Syekh Nazim (q) mengunjungi Lahore, Pakistan; ia berziarah ke makam Syekh Ali Hujwiri (q). Lalu salah seorang Syekh dari Tarekat Qadiriah mengundangnya ke rumahnya. Syekh Nazim (q) menginap di sana. Setelah Salat Subuh, tuan rumah itu berkata,
‘Wahai Syekh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan sebuah jubah berharga yang telah kami warisi sejak 27 tahun yang lalu. Jubah ini diwariskan dari seorang Syekh besar Tarekat Qadiriah dari Baqhdad sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua Syekh kami menyimpan dan menjaganya karena dulunya ini adalah jubah pribadi dari ‘Ghawts’ pada masa itu.
Seorang Syekh Turki dari Tarekat Naqsybandi berkhalwat di masjid dan makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Setelah selesai, ia memberikan jubah ini sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Menjelang wafatnya, Syekh Qadiriah pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya agar menjaga jubahnya, karena siapapun yang mengenakan jubahnya, semua penyakitnya akan hilang. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat kasyf.’
Ia membuka lemari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di kotak kaca. Ia keluarkan jubah itu. Syekh Nazim (q) tersenyum melihatnya. Syekh Qadiriah itu bertanya pada Syekh Nazim (q), ”Apakah sebenarnya ini, Syekh?“
Syekh Nazim (q) menjawab, “Ini membuatku bahagia. Jubah ini aku berikan pada Syekh Tarekat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”
Ketika mendengar hal ini, Syekh tersebut mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at di dalam Tarekat Naqsybandi.
Khalwat di Madinah
Sering kali Syekh Nazim (q) diperintahkan untuk melakukan khalwat dengan kurun waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda-beda, mulai diisolasi dari kontak dunia luar, salat, atau hanya diperkenankan adanya kontak saat melaksanakan zikir atau pertemuan karena memberi kajian. Ia sering melaksanakan khalwat di kota Nabi (s).
Ia mengatakan,
‘Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama Syekh mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan Syekh Abdullah (q) di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi Muhammad (s). Di sana terdapat satu pintu dan sebuah jendela. Segera setelah kami memasuki ruangan itu, Syekh menutup jendela rapat-rapat dan beliau mengizinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan salat 5 waktu di Masjid Nabi (s).
Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah/nazar bar qadam’ dalam perjalanan menuju tempat salat. Dengan disiplin dan mengontrol pandangan kita berarti memutuskan diri dari segala hal kecuali pada Allah (swt) `azza wa jalla beserta Nabi-Nya (s).
Syekh `Abdullah (q) tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan. Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.
Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyekh duduk membaca Qur’an hanya dengan penerangan lilin, berzikir dan mengangkat tangannya dalam doa. Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau menggunakan bahasa langit. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan penglihatan yang masuk ke dalam kalbuku.
Aku tidak tahu kapan saatnya malam ataupun siang kecuali saat salat. Grandsyekh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh, kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika pergi untuk salat.
Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan, ‘Ya Allah, berilah aku kekuatan “Ghawts”/perantara/penolong, dari kekuatan yang Engkau berikan pada Nabi-Mu (s) untuk meminta ampunan-Mu bagi seluruh umat manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ mengenai keadaan saat Hari Kiamat. Allah (swt) turun dari Arasy-Nya dan mengadili umat manusia. Nabi (s) berada di samping kanan-Nya. Grandsyekh berada di sebelah kanan Nabi (s), dan aku berada di sebelah kanan Grandsyekh.
Setelah Allah (swt) mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang pada Nabi (s) untuk menjadi perantara bagi ampunan-Nya. Ketika Nabi (s) selesai melakukannya, beliau (s) meminta Grandsyekh untuk memberi berkahnya dan mengangkat mereka dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir dan aku mendengar Grandsyekh mengatakan, ‘alhamdulillah, alhamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’
Suatu hari setelah selesai Salat Subuh Grandsyekh mengatakan, ‘Nazim Effendi, lihat!’ Ke mana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada di bagian kalbu beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan padaku, ’Wahai anakku, Syekh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dirinya sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau ke tempat lain di bumi ini.
‘Allah (swt) memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air memancar deras keluar dari batu itu. Beliau berkata, ‘Air itu akan terus memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah (swt) mengatakan padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia menciptakan satu malaikat bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’
Allah (swt) berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), tugasmu adalah memberi nama malaikat-malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh ada pengulangan. Hitunglah berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian bagikan pada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi. Itulah tanggung jawabmu.” Aku takjub terhadap beliau beserta tugas luar biasa yang diembannya.
Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir khalwat kami setelah Salat Subuh aku mendengar suara-suara dari arah luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis. Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung selama berjam-jam. Aku tidak tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya. Grandsyekh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang menangis?” Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, “Wahai Syekh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.” “Setan mengumumkan pada kelompoknya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya.”
Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati Syekh dan aku. Penglihatan itu berakhir. Grandsyekh meletakkan tangannya di dadaku sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi (s) bahagia terhadapmu, beliau (s) juga bahagia denganku.”
Lalu aku melihat Nabi Muhammad (s) beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000 sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5 Qutub dan Ghawts. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan ilmu spiritual mereka ke dalam kalbuku. Aku mewarisi dari mereka rahasia-rahasia Tarekat Naqsybandi dan 40 Tarekat-Tarekat lainnya.
Keramat Syekh Nazim (q)
Pada tahun 1971, Syekh Nazim (q) seperti biasa ia berada di Siprus selama 3 bulan; Rajab, Sya`ban, dan Ramadan. Suatu hari di bulan Sya`ban, kami mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syekh Nazim (q) yang meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira ia akan datang.
“Aku diminta oleh Nabi (s) untuk menemui kalian hari ini karena ayah kalian akan wafat. Aku yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu kembali ke Siprus.” “Oh Syekh, Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi padanya.” “Itulah yang dikatakan padaku,” jawabnya dengan amat yakin. Kami pun menyerah saja karena apapun yang dikatakan Syekh, kami harus menerimanya.
Ia meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakan permintaanya walaupun ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami menghubunginya. Ada yang hadir dan ada pula yang tidak. Ayah saya tidak mengetahui masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa. Pukul tujuh kurang seperempat. Syekh Nazim (q) berkata, “Aku harus naik ke apartemen ayahmu untuk membaca Surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.” Lalu ia naik dari flat kami di bawah. Ayah saya memberi salam pada Syekh Nazim (q), lalu mengatakan, ”Wahai Syekh Nazim (q), sudah lama kami tak mendengarmu membaca Qur’an. Maukah kau melakukannya untuk kami?” Syekh Nazim (q) pun mulai membaca Surat Ya Sin. Ketika ia selesai membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika ayahku berteriak, “Jantungku, jantungku...!!” Kami merebahkan beliau, kedua saudara saya yang sama-sama dokter memeriksanya. Jantungnya berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Semua orang melihat pada Syekh Nazim (q) dengan takjub dan keheranan. “Bagaimana ia mengetahuinya? Wali macam apakah dia? Bagaimana bisa dari Siprus, ia datang hanya untuk hal ini? Rahasia seperti apakah yang ada di dalam kalbunya?“
Rahasia yang disimpannya adalah berkat rahmat Allah (swt) pada beliau. Allah (swt) memberi wewenang untuk kekuatan dan ramalan karena ia memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan pada agama Allah. Ia menjaga kewajiban dan ibadahnya. Ia menghormati al-Quran. Ia sama dengan seluruh awliya Naqsybandi sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya tarekat lain dan para leluhurnya, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) dan Jalaluddin Rumi (q) dan Muhyiddin Ibn Arabi (q) yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan cinta Ilahi itu ia akan dianugerahi Ilmu Ilahiah, kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Ia akan menjadi orang yang mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan.
Kami merasa terperangkap di antara dua emosi. Pertama karena tangis kesedihan kami karena wafatnya ayah kami dan yang kedua bahagia atas apa yang dilakukan oleh guru kami pada almarhum ayah kami. Kedatangannya demi ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Ia memandikan jasad ayah dengan tangannya yang suci. Setelah semua tugas dijalankan, ia kembali lagi ke Siprus tanpa ditunda.
Syekh Nazim (q) memimpin zikir Tarekat Naqsybandi, Khatm Khwajagan di Masjid Peckham yang dulunya merupakan Gereja Katedral St. Mark di London.
Suatu hari Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon selama 2 bulan pada musim haji. Gubernur kota Tripoli, Libanon yang bernama Ashar ad-Danya merupakan pemimpin resmi subuah kelompok haji. Ia menawari Syekh Nazim (q) untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Syekh berkata, ”Aku tidak bisa pergi denganmu, tetapi insya Allah, kita akan bertemu di sana.”
Gubernur tetap memaksa. “Jika engkau pergi, pergilah denganku. Jangan pergi dengan orang lain.” Syekh Nazim (q) menjawab, “Aku tidak tahu apakah aku akan pergi atau tidak.”
Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, ia segera menuju ke rumah Syekh Nazim (q). Di hadapan sekitar 100 orang, kami mendengar ia mengatakan, “Wahai Syekh Nazim (q), mengapa engkau pergi dengan orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, “Syekh tidak pergi haji. Ia bersama kami di sini selama 2 bulan berkeliling Libanon.” Gubernur berkata lagi, “Tidak! Ia pergi haji, kami punya saksi-saksi. Waktu itu aku sedang tawaf dan Syekh Nazim (q) mendatangiku lalu mengatakan, ‘Oh Ashur, kau di sini?’ Aku mengiyakan dan kami melakukan tawaf bersama-sama. Ia menginap di hotel kami di Mekah. Dan menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Ia juga menginap bersamaku di Mina selama 3 hari. Lalu ia mengatakan, ‘Aku harus ke Madinah mengunjungi Nabi (s).’
Kemudian kami memandang Syekh Nazim (q) yang menampakkan senyum khasnya dan seakan-akan mengatakan, “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah (swt) kepada para awliya-Nya. Bila mereka berada di Jalan-Nya, meraih Cinta-Nya dan Hadirat-Nya, Allah (swt) akan menganugerahi segala hal.”
“Oh Syekhku, keramat yang kau tunjukkan kepada kami adalah sangat luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya sepanjang hidupku. Aku ini seorang politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui bahwa engkau bukanlah orang biasa. Engkau mempunyai kekuatan yang istimewa. Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan kepadamu!”
Gubernur itu mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Setiap kali Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon, gubernur dan perdana menteri Libanon akan hadir dalam majelis Syekh Nazim (q). Sampai saat ini, keluarga-keluarganya dan masyarakat Libanon menjadi pengikut Syekh Nazim (q).
Kata-Kata Syekh Nazim (q)
Tentang Keesaan Tuhan yang Khas (Wahdaniyyah), Syekh Nazim (q) mengatakan,
“Itu artinya mustahil adanya kemajemukan, dan ia terdiri dari tiga kategori:
Keesaan yang Khas dalam Dzat-Nya, artinya Dzat-Nya tidak berlipat ganda dan bukan merupakan gabungan dari dua bagian atau lebih, dan tidak ada yang mirip dengan Dzat Ilahiah-Nya.
Keesaan yang Khas dalam Sifat-Sifat-Nya, artinya Allah (swt) tidak memiliki dua macam Sifat yang mewakili hal yang sama. Sebagai contoh, Dia tidak mempunyai dua Kehendak dan tidak pula dua Niat. Dia adalah Satu dalam segala Sifat-Nya.
Keesaan yang Khas dalam segala Perbuatan-Nya, artinya Dia-lah Sang Pencipta, dengan Keinginan-Nya sendiri dan Kehendak-Nya sendiri atas segala yang muncul di alam semesta ini. Seluruh ciptaan-Nya baik itu suatu substansi, atau suatu deskripsi atau suatu perbuatan. Jadi, semua Perbuatan-Nya diciptakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.
“Jika cintanya benar, maka sang pecinta harus menjaga penghormatannya terhadap Sang Kekasih dan bertingkah laku yang semestinya terhadapnya.”
“Haqqul Yaqiin yang tertinggi adalah ketika Syekh memuji Hadirat-Nya di mata kalian dan mengecilkan segala sesuatu selain Allah (swt).”
“Ada 3 ular besar yang dapat merusak manusia: tidak toleransi dan tidak sabar dengan orang-orang di sekitar kalian, menjadi terbiasa dengan sesuatu yang tidak bisa kalian tinggalkan, dan terbelenggu oleh ego kalian.”
“Menggapai dunia adalah hina sedangkan menggapai akhirat adalah mulia. Aku heran dengan orang-orang yang lebih memilih menjadi hina daripada mulia.”
“Jika Allah (swt) membuka Intisari dari Cinta Ilahiah-Nya, semua orang di bumi ini akan mati karena cinta itu.”
“Kita harus selalu terlibat dalam hal-hal berikut: merenungkan ayat-ayat Allah di dalam kitab suci al-Qur’an dan tanda-tanda Kebesaran-Nya yang akan menyebabkan cinta berkembang di dalam hati kita; memikirkan Janji-Nya untuk memberi pahala bagi kita, yang akan melahirkan kerinduan di dalam diri kita; dan memikirkan tentang ancaman hukuman-Nya akan menimbulkan perasaan malu kepada-Nya di dalam diri kita.
“Allah (swt) berfirman, ‘Barang siapa yang bersabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.’”
“Jika takwa tertanam di dalam hati, lidah tidak akan berbicara hal-hal yang tidak ada manfaatnya.”
“Tasawuf adalah penyucian terus-menerus dalam menuju Hadirat Ilahiah Allah (swt) dan inti sarinya adalah meninggalkan kehidupan materialistik ini.”
“Suatu saat Junaid (q) melihat Iblis dalam suatu penglihatan, dan Iblis itu dalam keadaan telanjang. Junaid (q) berkata, ‘Wahai yang terkutuk, apakah kau tidak malu terlihat telanjang oleh manusia?’ Ia menjawab, ‘Oh Junaid, mengapa aku harus malu kepada orang-orang, sementara mereka sendiri tidak merasa malu pada dirinya sendiri.”
“Bila kalian bertemu dengan seorang pencari di jalan Allah (swt), dekatilah dia dengan ketulusan, kesetiaan dan kasih sayang. Jangan mendekatinya dengan ilmu. Ilmu akan membuatnya menjadi liar pada awalnya, tetapi kasih sayang akan cepat membawanya kepadamu.”
“Seorang pencari haruslah seseorang yang telah meninggalkan dirinya sendiri dan menghubungkan kalbunya kepada Hadirat Ilahi. Ia berdiri di Hadirat-Nya melakukan kewajiban-kewajibannya sambil membayangkan Hadirat Ilahi dengan kalbunya. Cahaya Ilahi telah membakar kalbunya yang membuatnya kehausan akan nektar mawar, dan menarik tirai dari matanya agar ia dapat melihat Tuhannya. Jika ia membuka mulutnya, itu adalah atas perintah dari Hadirat Ilahi. Jika ia bergerak, itu adalah atas perintah Allah, dan jika ia merasa damai, itu adalah atas perbuatan dari Atribut Ilahiah. Ia berada dalam Hadirat Ilahi dan bersama Allah.”
“Seorang Sufi adalah orang yang menjaga kewajiban-kewajiban yang telah Allah sampaikan kepada Nabi (s), dan berjuang untuk meningkatkan dirinya menuju Maqamul Ihsan, yang merupakan Makrifatullah, ilmu untuk mengenal Allah.”
“Tasawuf adalah sebuah ilmu di mana orang belajar mengenai keadaan jiwa manusia, apakah terpuji atau tercela. Jika keadaannya tercela, ia belajar bagaimana membersihkannya hingga menjadi terpuji dan menjadikannya mampu menempuh perjalanan menuju Hadirat Ilahiah Allah. Buahnya adalah perkembangan kalbu: Makrifatullah, melalui pengalaman langsung; keselamatan di akhirat; memperoleh kemenangan dengan meraih rida Allah; pencapaian kebahagiaan yang kekal; dan pencerahan dan penyucian sehingga hal-hal yang mulia menyingkapkan dirinya sendiri, maqam-maqam yang luar biasa menjadi terbuka dan ia dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata batin orang lain.”
“Tasawuf bukanlah semacam ibadah tertentu, tetapi lebih pada mengaitkan kalbu kepada Allah. Dalam pelaksanaannya bila ada sesuatu yang lebih disukai (mandub) menurut standard Syariah, bagi seseorang dalam situasi tertentu, maka orang itu dapat melakukannya. Inilah sebabnya mengapa kita melihat bahwa kaum Sufi telah berkhidmah di dalam Islam dalam kapasitas yang beragam. Para cendikiawan Muslim harus mendapat pendidikan mengenai Sufisme ini.”
Prediksi Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tentang Syekh Nazim (q)
Grandsyekh, sebelum beliau wafat, mengatakan dalam wasiatnya, “Atas perintah Nabi (s) aku telah melatih dan mengangkat penerusku, Nazim Effendi (q) dan memerintahkannya dalam berbagai khalwat dan melatihnya dalam latihan yang berat dan aku menunjuknya sebagai penerusku. Aku melihat bahwa di masa depan ia akan menyebarkan tarekat ini melalui Timur dan Barat. Allah akan membuat beragam orang, kaya dan miskin, para ulama dan politikus mendatanginya, belajar darinya dan masuk ke dalam Tarekat Naqsybandi, yaitu pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tarekat ini akan menyebar ke seluruh dunia, sehingga tidak ada satu benua pun yang tidak mendapatkan harum wanginya.
“Aku melihatnya membangun dan mendirikan markas yang besar di London dan dari sana ia akan menyebarkan tarekat ini ke Eropa, Timur Jauh dan Amerika. Ia akan menyebarkan keikhlasan, cinta, kesalehan, harmoni dan kebahagiaan di tengah masyarakat dan mereka akan meninggalkan kejahatan, terorisme dan politik. Ia akan menyebarkan ilmu tentang kedamaian dalam hati, ilmu tentang kedamaian dalam masyarakat, ilmu tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa, agar peperangan dan pergulatan dapat dihentikan dari dunia ini dan perdamaian menjadi faktor yang dominan. Aku melihat generasi muda mendatanginya dari berbagai penjuru dunia, meminta restu dan berkahnya. Ia akan memperlihatkan kepada mereka jalan untuk menjaga kewajiban-kewajiban mereka dalam tradisi Islam, menjadi moderat, hidup damai dengan setiap orang dengan agama-agama yang berbeda, meninggalkan kebencian dan permusuhan. Agama adalah bagi Allah (swt), dan Allah adalah Hakim bagi hamba-hamba-Nya.”
Prediksi itu telah terjadi, sebagaimana yang digambarkan oleh Grandsyekh `Abdullah (q). Setelah Grandsyekh wafat pada tahun 1973, Mawlana Syekh Nazim (q) melakukan perjalanan pulangnya yang pertama ke Turki, mengunjungi Bursa. Kemudian ia pergi ke London. Banyak generasi muda, terutama pengikut John Bennett datang menemuinya. Ketika mulai banyak orang yang berdatangan untuk mendengarnya, ia mendirikan pusat dakwah pertamanya di sana pada tahun 1974.
Setelah kunjungan pertamanya ia melanjutkan kunjungannya setiap tahun ke Inggris dan benua Eropa selama dan setelah Ramadan. Tarekat ini menyebar dengan cepat, menembus seluruh Eropa, juga Amerika, Kanada dan Amerika Selatan. Ia membuka tiga pusat dakwah di London untuk melatih orang-orang di jalan spiritualitas, menghilangkan depresi mereka dan mengangkat mereka ke dalam keadaan damai di hati mereka. Dakwahnya berlanjut ke seluruh bagian Eropa, Afrika Utara, Afrika Selatan, negara-negara Teluk, Amerika Utara dan Selatan serta sub benua India, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa daerah di China, Australia dan Selandia Baru.
Pada kunjungan pertamanya ke Amerika, Syekh Nazim (q) bertemu Pir Wilayat Khan di Pusat Spiritualnya di New York.
Anda mungkin tidak akan menemukan di negeri-negeri yang telah kami sebutkan atau negeri-negeri yang belum kami sebutkan, suatu tempat di mana sentuhan Syekh Nazim (q) tidak dirasakan. Inilah yang membedakannya dengan semua wali lainnya yang masih hidup sekarang dan semua wali yang hidup sebelumnya. Anda akan menemukan berbagai bahasa digunakan di dalam majelisnya. Setiap tahun di bulan Ramadan, sebuah pertemuan besar diadakan di London, lebih dari 5.000 orang dari seluruh dunia menghadirinya. Sebagaimana firman Allah (swt), “Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” [49:13]
Para pengikutnya berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Orang miskin, menengah, kaya, pengusaha, dokter, pengacara, psikiater, astronom, tukang pipa, tukang kayu, menteri, politikus, senator, anggota parlemen, perdana menteri, presiden, raja, sultan dan anggota keluarga kesultanan, semuanya tertarik dengan kesederhanaannya, dengan senyumnya, dengan cahayanya dan spiritualitasnya. Jadi, ia dikenal sebagai Syekh universal dengan beragam latar belakang.
Perkataan-perkataannya dan asosiasinya (shuhba) telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam banyak buku, termasuk serial Mercy Oceans dan lebih dari 35 judul lainnya. Ribuan rekaman video dan ribuan dan ribuan jam ceramahnya juga telah didokumentasikan.
Kehidupannya senantiasa aktif. Ia adalah seorang musafir di jalan Allah, jarang tinggal di rumah, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Satu hari ia berada di Timur, hari berikutnya sudah berada di Barat. Satu hari ia di Utara, hari berikutnya ia di Selatan. Anda tidak akan mengetahui ke mana ia akan pergi dari satu hari ke hari berikutnya. Ia selalu bertemu para pejabat untuk mendorong dilakukannya rekonsiliasi dan mendorong perdamaian, serta memelihara lingkungan. Ia selalu menanamkan benih-benih cinta, perdamaian dan keharmonisan dalam hati manusia. Kami berharap dengan semangat ajarannya, semua agama akan menemukan jalurnya menuju rekonsiliasi dan meninggalkan perbedaan-perbedaan untuk hidup secara damai dan harmonis.
Prediksi Syekh Nazim (q) tentang masa depan dunia merupakan kelanjutan dari prediksi Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu dengan mengungkapkan kejadian-kejadian sebelum mereka terjadi, memberi peringatan kepada orang-orang agar mereka memperhatikan apa yang akan terjadi. Seringkali ia mengatakan, “Komunisme akan berakhir, dan Uni Soviet akan terpecah menjadi negara-negara kecil.” Ia juga memprediksikan bahwa Tembok Berlin akan dihancurkan.
Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi berada di tangannya. Ia membawanya dengan kekuatan tertinggi. Rahasia itu bersinar ke mana-mana. Semoga Allah (swt) memberkatinya dan memberi kekuatan padanya dalam melaksanakan pekerjaan sucinya. Semoga Allah (swt) mengirimkan lebih banyak kedamaian, berkah, keselamatan dan cahaya kepada Nabi Tercinta Muhammad (s), keluarga dan sahabatnya. Juga kepada semua nabi, awliya khususnya hamba-hamba-Nya yang taat di dalam Tarekat Naqsybandi dan semua Tarekat Sufi khususnya kepada wali-Nya di masa kita, Syekh Nazim al-Haqqani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1wut5MKZYz5rnsbWEGzDQOxduDdJlPEH-zoGvEQEBk1c/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
Ia lahir di desa Shash pada bulan Ramadan tahun 806 H. Dilaporkan bahwa sebelum ia dilahirkan, ayahnya mulai menunjukkan keadaan penolakan yang luar biasa, yang membuatnya meninggalkan semua perbuatan duniawi dan membuatnya memasuki khalwat. Selama berkhalwat ia hampir meninggalkan makan dan tidur, memutuskan hubungan dengan orang-orang, dan menjalani praktik-praktik dalam tarekat. Dalam keadaan spiritual ini, istrinya hamil. Itulah salah satu alasan bahwa kemudian bayinya mempunyai maqam yang tinggi; di mana latihan spiritualnya telah dimulai ketika ia masih di dalam kandungan ibunya. Ketika ibunya mengandung, keadaan spiritual ayahnya yang tidak biasa ini berakhir dan kembali ke kehidupan normalnya.
Sebelum Ubaydullah dilahirkan, peristiwa berikut ini terjadi di mana maqam besarnya telah diramalkan. Syekh Muhammad as-Sirbili berkata, “Ketika Syekh Nizamuddin al-Khamush as-Samarqandi sedang duduk di rumah ayah saya, bertafakur, tiba-tiba ia berteriak dengan suara yang sangat keras; membuat semua orang ketakutan. Ia berkata, ‘Aku melihat sebuah visi di mana banyak orang yang datang kepadaku dari timur, dan aku tidak bisa melihat apa-apa di dunia kecuali dirinya. Orang itu bernama Ubaydullah dan ia akan menjadi Syekh terbesar di zamannya. Allah akan membuat seluruh dunia tunduk padanya, dan aku berharap bahwa aku dapat menjadi bagian dari pengikutnya.’”
Awal Mula Maqamnya dan Maqam Awalnya
Tanda-tanda kebahagiaan telah tampak pada dirinya ketika ia masih kanak-kanak. Cahaya al-Irsyad tampak di wajahnya. Salah satu kerabatnya mengatakan, “Ia tidak mau menyusu dari ibunya selama masa nifasnya.”
Ia berkata,
Aku masih ingat apa yang kudengar ketika aku berusia satu tahun. Sejak umur tiga tahun, aku sudah berada di Hadratillah. Ketika aku mempelajari Qur’an dengan guruku, kalbuku berada di Hadratillah. Aku dulu berpikir bahwa semua orang memang seperti itu.
Ia berkata,
Suatu hari di musim dingin, aku pergi keluar dan saat itu hujan turun sehingga sepatuku masuk ke dalam genangan lumpur. Cuaca sangat dingin. Aku berusaha menarik kakiku dari genangan lumpur itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa kalbuku berada dalam bahaya besar, karena pada saat itu aku telah lalai dalam mengingat Allah. Aku pun segera beristighfar.
Ia dibesarkan di rumah pamannya, Ibrahim asy-Syashi, yang merupakan ulama terbesar di zamannya. Beliau mengajarinya dengan sangat baik dan ketika ia telah menyelesaikan latihannya, pamannya mengirimnya dari Tashkent ke Samarqand.
Ia berkata kepada pamannya, “Setiap kali aku pergi belajar, aku merasa sakit.” Beliau menjawab, “Wahai anakku, aku tahu di mana maqammu sekarang, jadi aku tidak akan memaksamu untuk melakukan apapun. Lakukanlah apa yang kau inginkan. Kau bebas melakukannya.”
Ia meriwayatkan,
“Suatu hari ketika dalam keadaan itu, aku berziarah ke makam Syekh Abi Bakr al-Kaffal. Aku sempat tidur dan saat itu aku mendapat sebuah penglihatan spiritual. Aku melihat Nabi `Isa (a) di dalam penglihatan itu. Aku segera berlutut dan mencium kakinya. Beliau mengangkatku dan berkata, ‘Wahai anakku, jangan bersedih, aku bertangung jawab untuk membesarkanmu dan mendidikmu.’ Setelah itu penglihatan itu berakhir. Aku lalu menceritakan peristiwa itu kepada beberapa orang dan di antaranya adalah seorang yang ahli dalam menafsirkan keadaan spiritual. Ia menjelaskan, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat ahli dalam ilmu pengobatan.’ Aku tidak menyukai penjelasannya, dan aku berkata kepadanya, ‘Aku tahu lebih baik mengenai penglihatan itu, Nabi `Isa (a) dalam ilmu spiritualnya melambangkan maqam al-Hayat. Orang yang dapat mencapai maqam itu di antara para awliya akan mendapat predikat `Isawi, yang artinya Orang yang Hidup. Allah menyebutkannya di dalam kitab suci al-Qur’an sebuah ayat yang menggambarkan mereka, bal ahya’un `inda rabbihim yurzaqun (“Sesungguhnya mereka hidup di sisi Tuhannya, dan mendapatkan rezekinya”) [3:169]. Karena beliau berjanji untuk membesarkan aku di jalur tersebut, itu artinya aku akan mencapai maqam Kalbu yang Hidup. Tak lama kemudian aku menerima maqam itu dari Nabi `Isa (a) di kalbuku.”
“Aku melihat Nabi Muhammad (s), di dalam suatu penglihatan spiritual yang luar biasa. Beliau (s) ditemani oleh sejumlah besar orang, berdiri di kaki gunung. Beliau (s) melihatku dan berkata, ‘Ya Ubaydullah, angkat gunung ini dan bawa ke gunung lainnya.’ Aku tahu bahwa tidak ada orang yang mampu mengangkat gunung, tetapi itu adalah perintah langsung dari Nabi (s). Aku lalu mengangkat gunung itu dan aku membawanya ke tempat yang ditunjukkan beliau (s). Kemudian Nabi (s) memandangku dan berkata, ‘Aku tahu bahwa kekuatan itu ada padamu. Aku ingin agar orang mengetahuinya dan melihat kekuatan yang kau miliki.’ Hal itu membuatku tahu bahwa aku akan menjadi jalan untuk membimbing banyak orang di Jalan ini.”
“Suatu malam aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku dan melakukan sesuatu pada sisi batinku. Ketika beliau pergi, aku mengikutinya. Beliau berhenti dan memandangku. Beliau berkata, ‘Semoga Allah memberkatimu wahai anakku. Kau akan memiliki sebuah posisi yang sangat tinggi.’”
“Aku mengikuti Qutub Nizamuddin al-Khamush di Samarqand. Kemudian aku pergi ke Bukhara, saat usiaku 22 tahun, di mana aku bertemu dengan seorang ulama besar, Syekh Sirajuddin al-Birmisi. Beliau tinggal empat mil dari Bukhara. Ketika aku mengunjunginya, beliau memandangku dengan penuh perhatian dan beliau ingin agar aku tinggal bersamanya. Tetapi hatiku mengatakan agar aku melanjutkan perjalananku ke Bukhara. Aku hanya tinggal sebentar bersamanya. Beliau biasa membuat gerabah di siang hari dan pada malam harinya beliau akan duduk di ruang salatnya, di lantai. Setelah melakukan Salat ‘Isya, beliau akan duduk hingga Fajar. Aku tidak pernah melihatnya tidur baik siang maupun malam. Aku tinggal bersamanya selama tujuh hari, dan aku tidak pernah melihatnya tidur. Beliau termasuk salah seorang yang unggul di dalam ilmu lahir dan batin.”
“Kemudian aku pergi ke Bukhara, di sana aku bertemu dengan Syekh Amiduddin asy-Syashi dan Syekh `Alauddin al-Ghujdawani. Mereka adalah para pengikut Syah Naqsyband, `Alauddin al-Aththar dan Ya`qub al-Charkhi. Syekh `Alauddin al-Ghujdawani kadang-kadang menghilang begitu saja tanpa memberi pelajaran, kemudian beliau akan muncul kembali. Beliau memiliki gaya bicara yang baik sekali. Beliau tidak pernah berhenti dalam berzikir dan berjuang melawan egonya. Aku bertemu dengannya ketika beliau berusia 90 tahun dan sering menemaninya.
Suatu hari aku berjalan ke makam Syah Naqsyband. Ketika aku kembali, aku melihat Syekh `Alauddin al-Ghujdawani menghampiriku. Beliau berkata, ‘Aku pikir sebaiknya engkau tinggal bersama kami malam ini.’ Kami melakukan Salat `Isya, beliau menawariku makan malam, beliau lalu berkata, ‘Wahai anakku, mari kita hidupkan malam ini.’ Beliau duduk bersila dan aku duduk di belakangnya. Beliau duduk dalam meditasi dan zikir yang sempurna dan beliau tidak pernah bergerak ke kiri atau ke kanan. Melalui ilmu spiritualku, aku tahu bahwa orang yang berada dalam keadaan seperti itu pasti berada dalam Hadratillah sepenuhnya. Aku terkejut bahwa di usianya yang mencapai 90 tahun, beliau tidak merasa lelah. Aku sendiri mulai merasa kelelahan ketika mencapai tengah malam. Jadi aku mulai mengeluarkan sedikit suara, berharap beliau akan mengizinkan aku untuk berhenti. Ternyata beliau mengabaikan aku. Kemudian aku berdiri untuk menarik perhatiannya, tetapi beliau tetap mengabaikan aku. Aku merasa malu dan kemudian aku kembali ke tempatku dan duduk kembali. Pada saat itu aku mengalami suatu penglihatan spiritual di mana beliau mencurahkan Ilmu tentang Keteguhan dan Ketabahan Hati (at-tamkin) ke dalam kalbuku. Sejak saat itu, setiap kali menghadapi kesulitan aku merasa mampu menjalaninya tanpa ada gangguan. Aku menyadari bahwa Tarekat ini sepenuhnya berdasarkan pada dukungan yang diberikan oleh Syekh kepada murid. Beliau mengajari aku bahwa seseorang harus berusaha untuk tetap teguh dan istikamah dalam zikir, karena apapun yang dapat diraih dengan mudah, tanpa kesulitan, ia tidak akan bertahan lama bersamamu. Sedangkan apapun yang kau raih dengan keringatmu maka ia akan tinggal bersamamu.”
“Suatu hari aku mengunjungi Syekh Sayyid Qassim at-Tabrizi di Herat. Di sana aku mengikuti gaya hidup zuhud dan meninggalkan semua urusan duniawi. Ketika beliau makan, beliau akan memberiku sisa makanannya, dan aku akan memakannya tanpa mengatakan apa-apa. Suatu hari beliau memandangku dan berkata, ‘Kau akan menjadi orang yang sangat kaya. Aku memprediksikan hal ini untukmu.’ Pada saat itu aku tidak mempunyai apa-apa. Ketika aku kembali ke negeriku, aku menjadi seorang petani. Aku mempunyai satu hektar tanah dan di sana aku memelihara beberapa ekor sapi. Dalam waktu singkat prediksinya menjadi kenyataan, tanahku semakin bertambah hingga aku mempunyai pertanian dan peternakan yang besar. Semua kekayaan ini tidak mempengaruhi kalbuku. Aku mendedikasikannya untuk Allah.”
Keunggulan dalam Khidmah
Kebaikannya secara pribadi maupun di depan umum menjadikan ciri bagi jalannya.
Ia berkata,
Suatu hari aku pergi ke Madrasah Qutb ad-Din as-Sadr di daerah Samar. Aku melihat ada empat orang di sana yang menderita demam tinggi. Aku mulai berkhidmah untuk mereka, membersihkan pakaian mereka dan memberi makan mereka sampai aku juga terinfeksi demam yang sama. Hal ini tidak membuatku berhenti berkhidmah untuk mereka. Demamku semakin parah sampai aku merasa bahwa aku akan meninggal dunia. Aku bersumpah pada diriku sendiri, ‘Biarkan aku mati, tetapi biarkan keempat orang ini kulayani dulu.’ Aku terus melayani mereka. Keesokan harinya aku mendapati diriku sudah sembuh sepenuhnya, sementara keempat orang itu masih tetap sakit.
Ia berkata,
Menolong dan melayani orang, dalam pemahaman Tarekat ini lebih baik daripada zikir dan tafakur. Sebagian orang berpikir bahwa melakukan ibadah sunnah adalah lebih baik daripada berkhidmah dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Namun dalam pandangan kami, membantu orang dan menolong mereka dan menunjukan cinta kepada mereka adalah lebih baik daripada yang lainnya.
Terkait dengan hal ini, Syah Naqsyband (q) biasa berkata, “Kami senang untuk melayani bukan untuk dilayani. Ketika kami melayani, Allah rida dengan kami, dan ini membuat kami lebih dekat ke Hadirat Ilahi dan Allah membukakan lebih banyak bagi kami. Di lain pihak, dilayani dapat menimbulkan kebanggaan dan kalbu menjadi lemah dan menyebabkan kami menjauh dari Hadirat Ilahi.”
Syekh Ubaydullah (q) berkata,
“Aku tidak mengambil tarekat ini dari buku-buku, tetapi aku menjalani tarekat ini dengan berkhidmah pada orang lain.” “Setiap orang masuk melalui pintu yang berbeda-beda; aku memasuki tarekat ini melalui pintu khidmah.”
Beliau sangat ketat dalam menjaga adab baik eksternal maupun internal, baik di dalam khalwatnya maupun di antara masyarakat. Abu Sa`ad al-Awbahi berkata, “Aku menemaninya selama 35 tahun terus-menerus. Selama itu, aku tidak pernah melihatnya membuang kulit atau biji buah dari mulutnya, dan beliau tidak pernah membuka mulutnya ketika ada makanan di dalamnya. Ketika beliau mengantuk, beliau tidak pernah menguap. Aku tidak pernah melihatnya meludah. Aku tidak pernah melihatnya melalukan sesuatu yang membuat orang merasa jijik. Aku tidak pernah melihatnya duduk dengan menyilangkan kakinya. Beliau hanya duduk dengan posisi berlutut dalam adab yang sempurna.”
Perkataannya yang Luar Biasa mengenai Kebesaran Al-Qur’an
Ia berkata,
Aku akan mengatakan kepada kalian mengenai banyak rahasia dari Alhamdulillahi Rabbi-l-`alamiin (‘Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam’) [1:2]. Pujian yang sempurna adalah pujian dari Allah kepada Allah. Kesempurnaan dalam pujian itu terjadi ketika hamba yang memuji-Nya tahu bahwa ia bukan apa-apa. Hamba itu harus tahu bahwa ia benar-benar kosong, tidak ada tubuh atau bentuk yang terwujud untuknya, tidak ada nama, tidak ada perbuatan yang merupakan miliknya, tetapi ia bahagia karena Allah (swt) membuat Sifat-Nya muncul pada dirinya.
Apakah makna dari firman Allah di dalam al-Qur’an, wa qaliilan min `ibadi asy-syakur (‘Hanya sedikit di antara hamba-hamba-Ku yang bersyukur’) [34:13]? Hamba yang sungguh ‘bersyukur’ adalah orang yang dapat melihat Sang Pemberi Nikmat kepada manusia.
Apakah makna dari ayat, f’a`rid `an man tawalla `an dzikrinaa (‘Dan tinggalkanlah orang yang berpaling dari Mengingat Kami‘) [53:29]? Itu menunjukkan bahwa bagi orang yang melakukan kontemplasi mendalam terhadap Hadirat Ilahiah Kami, dan telah mencapai maqam tidak melihat apa-apa kecuali Kami, maka tidak perlu lagi tindakan mengingat itu. Jika ia berada dalam maqam penglihatan sepenuhnya, jangan memerintahkannya untuk melafalkan zikir karena itu mungkin akan menyebabkan kedinginan di dalam kalbunya. Ketika ia sepenuhnya sibuk dengan maqam musyahadah, segala sesuatu yang lain merupakan gangguan dan dapat mengganggu maqam tersebut.
Muhyiddin Ibn `Arabi (q) berkata, mengenai hal ini, ‘Dengan zikrullah, Mengingat Allah, dosa-dosa meningkat, dan penglihatan dan kalbu akan terhijab. Meninggalkan zikir adalah keadaan yang lebih baik karena matahari tidak pernah terbenam.’ Apa yang beliau maksudkan di sini adalah bahwa ketika seorang Arif berada di Hadirat Ilahi dan dalam keadaan Penglihatan Mutlak terhadap Keesaan Allah, pada saat itu segala sesuatu fana fillaah. Baginya zikir menjadi sesuatu yang dapat mengganggu. Seorang Arif hadir dalam Eksistensi-Nya. Ia berada dalam keadaan Fana dalam Hadratillah, sedangkan dalam zikrullah ia berada dalam keadaan absen, yaitu perlu mengingatkan dirinya sendiri bahwa ada Allah di sana.
Apakah makna dari ayat, kunu ma`a-sh-shadiqiin (‘Bersamalah dengan orang-orang yang benar’) [9:119]? Ini artinya menjaga pertemanan baik secara fisik maupun spiritual. Seorang salik dapat duduk dalam suatu majelis bersama para shadiqin, melihat sosok mereka, mendengar mereka dan Allah akan menerangi kalbu mereka dan akan mengajari mereka agar menjadi seperti para shadiqin itu. Untuk menjaga hubungan secara spiritual dengan para shadiqin, seorang salik harus mengarahkan kalbunya menuju kalbu spiritual mereka. Seorang salik harus menjaga hubungan itu dalam kalbunya hingga mereka dapat merefleksikan semua rahasia mereka dan maqam-maqam mereka kepadanya. Ia tidak boleh memalingkan wajahnya kepada yang lain di dunia ini kecuali kepada gurunya yang akan membawanya ke Hadratillah.
Cintai dan ikuti para pecinta. Dengan demikian, kalian akan menjadi seperti mereka dan cinta mereka akan tercermin pada kalian.
Mereka bertanya tentang zikir dengan LA ILAHA ILLALLAH. Ia berkata,
Beberapa guru mengatakan, LA ILAHA ILLALLAH adalah zikirnya orang awam, sedangkan ALLAH adalah zikirnya orang-orang pilihan (al-Khawas), dan HUWA adalah zikirnya orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan. Tetapi bagiku LA ILAHA ILLALLAH adalah zikir dari orang-orang terpilih dari orang-orang pilihan karena ia tidak ada akhirnya. Sama seperti Allah adalah Sang Pencipta setiap saat, sehingga setiap saat ilmu akan meningkat untuk orang-orang Arif. Bagi seorang Arif, maqam sebelumnya bukan apa-apa ketika ia telah memasuki maqam baru yang lebih tinggi. Seorang Arif menyangkal suatu maqam ketika ia meninggalkannya dan mengafirmasi maqam yang baru ketika ia memasukinya. Ini adalah tajali dari LA ILAHA ILLALLAH pada diri hamba Allah.
Yang dimaksud dengan ayat Ya ayyuha-l-ladziina amanu, aminu (‘Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah!’) [4:136] adalah, ‘Wahai orang-orang beriman, kalian selamat’. Kalian selamat karena kalian telah menghubungkan kalbu kalian dengan Allah `Azza wa Jalla, dan setiap orang yang menghubungkan kalbunya dengan Allah akan dijamin keselamatannya.
Mengenaia ayat, limani-l-Mulku-l-yawm, lillahi-l-Wahidi-l-Qahhar (‘kepada siapa pemilik Kerajaan sekarang? [40:16], iaberkata,
Ayat ini mempunyai banyak penjelasan, tetapi kunci unut memahami bahwa kerajaan yang di maksud di sini adalah Kalbu Sang Saik. Jika Allah melihat kalbu sang salik dengan cahaya Penglihatan-Nya dan kemudian Dia menghapus eksistensi segala sesuatu kecuali Allah (swt) di dalam kalbunya. Itulah sebabnya mengapa Bayazid sering mengucapkan subhanii ma a`zhama sya’nii (‘Mahasuci aku untuk Kebesaranku!’) dan Hallaj, ana-l-haqq (‘Aku adalah Sang Kebenaran’). Pada maqam itu kalbu yang berbicara, kalbu di mana Allah telah menghapus segalanya kecuali Dia Sendiri.
Apa makna dari ayat kulla yawmin Huwa fi sya’n (‘Setiap hari (waktu) Dia dalam kesibukan (memanifestasikan Diri-Nya dalam berbagai cara yang menakjubkan)’ [55:29]? Ayat ini terkait dengan dua aspek Baqa setelah Fana.
Pertama, seorang salik, setelah ia menyadari Kebenaran dalam kalbunya dan mapan dalam penglihatannya tentang Dzat Allah `Azza wa Jalla yang Khas, kembali dari Maqamul Fana’ menuju Maqam Hadir Sepenuhnya. Inderanya menjadi tempat munculnya Asma dan Perbuatan Allah. Di dalam dirinya, ia menemukan jejak-jejak Atribut Duniawi dan Surgawi. Ia kini mampu membedakan antara kedua level atribut tersebut, dan mampu meraih manfaat dari setiap Atribut dan Ilmu.
Makna kedua dari ayat tersebut adalah bahwa seorang salik menemukan di dalam dirinya, pada setiap saat dan setiap partikel terkecil dari waktu, sebuah Jejak dari Dzat Allah Yang Khas, yang tidak dapat ditemui di luar Maqamul Fana’ dalam Penglihatan terhadap Yang Maha Esa. Dari satu fraksi waktu menuju fraksi lainnya, ia akan memvisualisasikan bagian-bagian dari Maqam Dzat Allah Yang Khas dan mampu memahami ‘keterkaitkan’ segala sesuatu dalam Kesatuan Ilahiah. Keterkaitan ini bervariasi dalam warna dan pengaruhnya terhadap seseorang, karena itu akan dapat dibedakan sesuai dengan waktu kemunculannya. Maqam ini adalah maqam yang sangat langka dan hanya beberapa wali yang mampu mencapainya. Beberapa wali yang mencapainya tersebut pada setiap abad berada pada maqam yang sangat mulia, dan mereka sadar akan makna dari ayat, kulla yawmin Huwa fi sya’n.
Apakah makna dari hadits, ‘Tutuplah semua pintu yang menghadap ke masjidku kecuali pintu Abu Bakar?’ Abu Bakar ash-Shiddiq (r) hidup dalam maqam cinta yang sempurna terhadap Nabi (s). Seluruh pintu menuju Nabi (s) tertutup kecuali pintu cinta, sebagaimana yang direpresentasikan oleh pintu Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Jalan guru-guru Tarekat Naqsybandi terhubung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq (r) menuju Nabi (s). Cinta kepada guru akan membawa seorang salik menuju pintu Abu Bakar (r) yang akan mengantarkannya menuju cinta pada Nabi (s), dan dari sana menuju cinta pada Allah `Azza wa Jalla.
Makna dari Shiddiq
Jika seorang Shiddiqin yang menempuh perjalanan di Jalan Allah mengalami kelalaian dalam waktu sesaat, ia telah kehilangan lebih dari apa yang telah dicapainya selama ribuan tahun. Jalan kita adalah jalan di mana seluruh maqam dilipatgandakan dengan cepat dalam setiap saat. Satu detik dapat dilipatgandakan dengan nilai seribu tahun.
Ada sekelompok orang di antara para pengikutku yang dilaporkan kepada sang khalifah sebagai orang-orang yang munafik. Khalifah diberi masukan bahwa jika ia membunuh mereka, maka ia akan dihargai, karena orang-orang akan selamat dari kesesatan mereka. Ketika mereka dibawa ke hadapan sang khalifah, ia memerintahkan agar mereka dibunuh. Sang eksekutor mendekat untuk membunuh orang pertama, tetapi sahabatnya menyela dan mengatakan, ‘Tinggalkan ia dan bunuh aku dulu.’ Ketika eksekutor itu mendekati orang kedua, orang ketika memanggilnya dan berkata, ‘Bunuh aku dulu.’ Hal ini terjadi berulang kali terhadap mereka berempat.
Sang eksekutor sangat terkejut. Ia bertanya, ‘Dari kelompok mana kalian ini? Seolah-olah kalian mencintai kematian.’ Mereka berkata, ‘Kami adalah kelompok yang mengutamakan orang lain daripada diri kami sendiri. Kami telah mencapai suatu maqam di mana untuk setiap perbuatan yang kami lakukan, pahala kami digandakan dan kami mengalami peningkatan dalam ilmu spiritual. Masing-masing dari kami berusaha melakukan yang terbaik untuk orang lain, bahkan jika hanya untuk sesaat, agar diangkat lebih tinggi dalam pandangan Allah.’ Sang eksekutor mulai gemetar untuk tidak dapat mengeksekusi mereka. Ia pergi menghadap khalifah dan menjelaskan kondisinya. Sang khalifah segera melepaskan mereka dan berkata, ‘Jika orang-orang seperti mereka dikatakan munafik, maka tidak ada lagi orang-orang shiddiqiin yang tersisa di bumi.’
Adab Syekh dan Murid
Ia berkata,
Sufisme mengharuskan kalian untuk membawa beban semua orang dan tidak menempatkan beban kalian pada seseorang.
Ia berkata,
Waktu terbaik dalam suatu hari adalah satu jam setelah salat `Ahsar. Pada saat itu murid harus meningkatkan ibadahnya. Salah satu bentuk ibadah terbaik pada saat ini adalah duduk dan mengevaluasi perbuatan yang dilakukan pada hari itu. Jika seorang salik menemukan bahwa apa yang telah dilakukannya baik, ia harus bersyukur kepada Allah. Jika ia menemukan sesuatu yang salah, ia harus memohon pengampunan.
Salah satu perbuatan terbaik adalah mengikuti seorang Syekh yang kamil (sempurna). Mengikuti dan berkumpul bersamanya akan membuat salik mencapai Hadratillah Allah ‘Azza wa Jalla. Berkumpul dengan orang-orang dengan kondisi mental yang berbeda-beda menyebabkan orang mengalami kondisi yang berbeda-beda.
Suatu hari Bayazid al-Bisthami (q) sedang duduk di suatu majelis dan beliau mendapati adanya ketidaksetujuan di dalam kelompok itu. Beliau berkata, ‘Lihatlah dengan cermat di antara kalian. Adakah orang yang tidak berasal dari kelompok kita?’ Mereka saling memandang tetapi tidak dapat menemukannya. Beliau berkata, ‘Lihat lagi, apakah ada seseorang yang bukan dari kita.’ Mereka melihat lagi dan menemukan sebuah tongkat yang bukan milik seseorang di antara mereka. Beliau berkata, ‘Buang tongkat itu segera, karena itu mencerminkan pemiliknya dan cerminan itu menyebabkan ketidaksetujuan.’
Syekh harus muncul dalam kehadiran murid-muridnya dengan mengenakan busana terbaik dan rapi. Melalui rabithah (koneksi kalbu) murid menghubungkan diri mereka dengan Syekh. Jika ia kotor atau berantakan, akan sulit bagi murid-murid untuk mempertahankan kualitas rabithah mereka. Untuk itulah Nabi (s) memerintahkan para pengikutnya untuk menyisir rambut mereka dan mengenakan busana terbaik selama beribadah.
Allah memberiku kekuatan untuk mempengaruhi orang lain. Bahkan jika aku mengirimkan surat ke Raja Khata, yang mengklaim bahwa ia adalah Tuhan, ia akan datang dengan merangkat tanpa alas kaki untuk menemuiku. Namun demikian, aku tidak pernah menggunakan kekuatan itu, karena di dalam tarekat ini keinginan kita harus mengikuti Kehendak Allah `Azza wa Jalla.
Salah seorang pengikut Ubaydullah (q) berkata, “Kami duduk dalam hadiratnya dan beliau meminta tinta, kertas dan kalam. Beliau menulis banyak nama. Kemudian beliau menulis sebuah nama pada potongan kertas lainnya, dan nama itu adalah Abu Sa`id. Beliau mengambil kertas itu dan meletakkannya di dalam turbannya. Kami bertanya padanya, “Siapakah orang yang namanya kau letakkan di dalam turban itu?” Beliau berkata, ‘Itu adalah orang yang akan diikuti oleh orang-orang di Tashkent, Samarqand dan Bukhara.’ Setelah satu bulan kami mendengar bahwa Raja Sa`id datang untuk mengambil alih Samarqand. Tidak ada seorang pun yang pernah mendengar namanya sebelemnya.”
Diriwayatkan bahwa, “Pada suatu hari Raja Abu Sa`id bermimpi di mana beliau bertemu dengan Imam Besar Ahmad al-Yasawi, salah seorang khalifah dari Syekh Yusuf al-Hamadani (q). Beliau meminta Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk membaca al-Fatiha dengan niat bahwa Allah akan memberi dukungan kepada Abu Sa’id. Di dalam mimpinya Abu Sa`id bertanya, ‘Siapakah Syekh itu?’ dan dijawab bahwa itu adalah ‘Ubaydullah al-Ahrar (q).’ Ketika beliau bangun, masih terbayang-bayang wajah Syekh di pikirannya. Beliau lalu memanggil penasihatnya di Tashkent dan bertanya padanya, ‘Adakah orang yang bernama Ubaydullah?’ Ia berkata, ‘Ya’, maka Sultan kemudian berangkat menuju Tashkent untuk bertemu dengannya dan beliau menemukannya di desa Farqa.
“Syekh keluar untuk menemuinya dan Sultan langsung mengenalinya. Dengan segera hatinya tertarik. Beliau turun dari kudanya dan berlari menemui Syekh, mencium tangan dan kakinya. Beliau meminta Syekh untuk membacakan al-Fatihah untuknya. Syekh berkata, ‘Wahai anakku, ketika kita memerlukan sesuatu, kita membaca al-Fatihah sekali dan itu sudah cukup. Kita sudah melakukannya sebagaimana yang kau lihat di dalam mimpimu.’ Sultan terkejut karena Syekh mengetahui mimpinya. Beliau lalu meminta izin untuk pindah ke Samarqand dan Syekh berkata, ‘Jika niatmu adalah untuk mendukung Syari`ah Nabi (s0 maka aku bersamamu dan Allah akan mendukungmu.’ Sultan menjawab, ‘Ini adalah niatku.’ Syekh berkata, ‘Ketika kau melihat musuh datang menentangmu, bersabarlah dan jangan langsung menyerang. Tunggu hingga kau melihat burung-burung gagak datang dari belakangmu, barulah kau menyerang.’ Ketika hal ini terjadi dan kedua pasukan saling berhadapan, Abu Sa`id menunggu sementara pasukan `Abdullah Mirza yang lebih besar menyerang. Para jenderal mendesak agar Abu Sa`id membalas serangannya. Beliau berkata, ‘Tidak. Tunggu hingga burung-burung hitam datang, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Syekhku. Barulah kita akan menyerang.’ Ketika beliau melihat burung-burung gagak berdatangan, beliau memerintahkan pasukan untuk menyerang. Kuda `Abdullah Mirza menjadi terperangkap di dalam lumpur, dan ia dapat ditangkap dan ditawan. Kemudian Abu Sa`id mampu menguasai seluruh wilayah itu.
“Beliau lalu memanggil Syekh Ubaydullah al-Ahrar (q) untuk pindah dari Samarqand ke Tashkent. Syekh Ubaydullah (q) menerimanya dan pindah ke sana dengan seluruh pengikutnya. Beliau menjadi penasihat Sultan. Setelah beberapa tahun Sultan Abu Sa`id menerima kabar bahwa Mirza Babar, keponakan dari `Abdullah Mirza, bergerak menuju Khorasan dengan 100,000 pasukan untuk membalas kekalahan pamannya dan menguasai kembali kerajaannya. Sultan Abu Sa`id menemui Syekh Ubaydullah (q) dan menceritakan hal ini dengan berkata, ‘Kami tidak mempunyai tentara yang cukup.’ Syekh Ahrar (q) berkata, ‘Jangan khawatir.’ Ketika Mirza Babar tiba di Samarqand, Sultan Abu Sa`id berkonsultasi dengan para penasihatnya. Mereka menyarankannya untuk mundur ke Turkestan. Beliau lalu mempersiapkan diri untuk kembali ke Turkestan. Syekh datang menemuinya dan berkata, ‘Mengapa engkau mengabaikan perintahku? Aku berkata agar kau tidak perlu takut. Dengan diriku sendiri, sudah cukup untuk menghadapi 100,000 pasukan.’
Pada hari berikutnya, wabah penyakit menyerang pasukan Sultan Mirza Babar, menyebabkan ribuan dari mereka tewas. Sultan Mirza Babar membuat perjanjian damai dengan Abu Sa`id. Kemudian Mirza Babar meninggalkan Samarqand dalam kekalahan dengan sisa pasukannya.”
Syekh Ubaydullah (q) wafat setelah salat `Isya pada hari Sabtu, 12 Rab’i ul-Awwal, 895 H./1489 M. di kota Kaman Kashan, di Samarqand. Beliau meninggalkan banyak kitab, termasuk Anas as-Salikin fit-Tasawwuf, dan al-`Urwatu-l-wutsqa li Arbaba-l-i`tiqad. Beliau mendirikan sebuah madrasah dan masjid besar yang sampai sekarang masih digunakan.
Putranya Muhammad Yahya dan banyak orang yang hadir pada saat wafatnya melihat seberkas cahaya yang sangat terang yang bersinar dari matanya yang membuat semua lilin terlihat remang-remang. Seluruh Samarqand, termasuk Sultan, terguncang dan berduka atas wafatnya. Sultan Ahmad dan seluruh pasukannya menghadiri pemakamannya. Sultan turut menganggkat kerandanya menuju tempat peristirahatan terakhirnya di dunia fana ini.
Beliau meneruskan rahasianya kepada Syekh Muhammad az-Zahid al-Qadi as-Samarqandi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1yy-aR0D4hf9e5WUC7K3W9riCpt-J9st1-N0UpFCK0uE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
21. Muhammad az-Zahid, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Kesempurnaannya Orang-Orang yang Saleh, Kejeniusannya para Mursyid dan Intinya Kewalian. Padanya tercurah al-Khilafa al-Rabbaniyyah, dan Kerajaan Spiritual adalah naungannya. Ia menggabungkan Ilmu Surgawi dengan Ilmu Syari`ah di dalam dirinya, dan ia menggenggam tarekat dan hakikat terbaik, sampai ia menjadi lokus bagi semua Wahyu dan Ilham Spiritual. Di dalam dirinya muncul Ilmu dari para Arifiin. Ia terkenal sebagai Orang yang Unik dalam Ilmunya dan dalam Menggunakan Kalam. Di dalam kalbunya ia membawa rahasia yang mempunyai daya tarik bagi kalbu manusia. Segala puji bagi Allah yang telah menanamkan Wahyu Surgawi di dalam dirinya, dan Yang memberikan Keramat di dalam setiap masalah yang penting. Dia menghiasi dirinya dengan Cahaya Sempurna Sayyidina Muhammad (s) pada awal kenaikannya menuju Maqam Ilmu Spiritual. Ia adalah Rahasia Syekhnya, Qiblat bagi para pengikut Syekhnya, dan Pewaris Ilmu Syekhnya.
Ia menulis sebuah kitab yang dinamakan Silsilat al-`Arifiin wa Tadzkirat ash- Shiddiqiin yang mengenai penanda spiritual Syekhnya, Syekh `Ubaydullah (q). Di dalamnya ia mengatakan,
“Aku berkhidmah pada Syekhku selama 12 tahun sampai beliau wafat, yaitu sejak 883 hingga 895 H. Latar belakang hubungan dan bay’atku kepadanya berawal dari suatu hari di mana aku pergi dengan sahabatku, Syekh Ni`matullah dari Samarqand menuju Herat untuk melanjutkan sekolah kami. Ketika kami sampai di desa Syadiman, kami tinggal selama beberapa hari di sana untuk beristirahat karena saat itu sedang musim panas. Suatu hari Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q) datang ke kota yang sama, dan kami menemuinya pada saat `Ashar.
Beliau bertanya kepadaku darimana aku berasal. Aku berkata, ‘Dari Samarqand.’ Beliau berbicara kepada kami dengan penuh adab. Melalui ucapannya, beliau membuka masalah-masalah pribadi yang ada di dalam hatiku, satu demi satu, hingga beliau mengatakan mengapa aku pergi ke Herat. Itu sangat luar biasa sehingga membuat hatiku tersambung kepadanya. Beliau berkata kepadaku, ‘Jika tujuanmu adalah untuk menuntut ilmu, kau dapat menemukannya di sini, tidak perlu pergi ke Herat.’ Aku akui bahwa setiap gosip kecil dan inspirasi yang ada di dalam kalbuku terbuka baginya bagaikan halaman-halaman sebuah buku; namun demikian aku masih berniat untuk pergi ke Herat.
Salah satu pengikutnya yang tidak senang dengan niatku berkata, ‘Syekh sedang sibuk menulis, kau boleh pergi.’ Aku tidak pergi, tetapi menunggu sampai Syekh kembali muncul. Akhirnya Syekh kembali dan berkata kepadaku, ‘Sekarang ceritakan kisahmu yang sebenaranya. Mengapa kau ingin pergi ke Herat? Apakah kau ingin mencari jalur spiritual atau kau ingin menuntut ilmu eksternal (ilmu duniawi)’ Temanku menjawab mewakiliku, ‘Ia mencari ilmu spiritual, tetapi ia mengejar ilmu eksternal sebagai pembungkusnya.’ Beliau berkata, ‘Jika seperti itu, bagus.’ Kemudian beliau membawaku ke sebuah taman pribadi dan kami berjalan bersama sampai kami lenyap dari pandangan orang-orang. Beliau menggandeng tanganku dan aku segera mengalami keadaan fana’ yang panjang. Aku memahami bahwa beliau menghubungkan aku dengan Syekhnya dan dari Syekhnya kepada Syekh seterusnya hingga kepada Nabi (s) dan dari Nabi (s) kepada Allah (swt).
Ia lalu mengatakan kepadaku bahwa aku akan mampu membaca dan mamahami tulisannya. Beliau membungkusnya dan memberikannya kepadaku sambil mengatakan bahwa di dalamnya teradapat hakikat ibadah melalui ketaatan, kesalehan dan ketawadukan. Melalui manuskrip ini, jika engkau mengikutinya, kau akan menyadari suatu penglihatan Allah (swt).
Jalan ini adalah berdasarkan cinta kepada Allah, yang berdasarkan pada Sunnah Nabi (s), yaitu mengikuti jejaknya. Nabi (s) bersabda, ‘Kalian harus mengikuti jalanku dan jalan para khalifah setelahku.’ Untuk ini kau harus berkumpul bersama ulama-ulama yang saleh yang merupakan para pewaris Ilmu Agama dan Pewaris Ilmu Surgawi; Pewaris Ilmu Gaib dan Ilmu Sifatullah; Pewaris Cinta Hadratillah. Dengan berkumpul bersama mereka kau akan dibimbing untuk mewujudkan Ilmu Ilahi dan untuk mengikuti jalan Nabi (s) yang murni.
Kau harus menjauhi ulama yang korup, yang menggunakan agama sebagai jalan untuk mengumpulkan kesenangan duniawi dan mendapatkan ketenaran dan jabatan. Hindari Sufi-Sufi yang Menari; mereka bagaikan anak-anak, tidak bertanggung jawab. Jangan dengarkan orang yang berbicara tanpa pemahaman mengenai segala hal yang tidak masuk akal, mengenai halal dan haram tanpa pernah berbicara mengenai pentingnya tidak menyimpang dari Akidah Ahl as-Sunnah wal-Jama`ah.
Jangan dengarkan argumen para filsuf dan orang-orang yang tidak mengerti tentang tasawuf kecuali hanya namanya saja, namun berpura-pura sebagai Sufi. Wahai anakku, semoga Allah menyambutmu dengan salam Islam.
Beliau kemudian kembali ke majelisnya, membacakan Fatihah untukku dan mengizinkan aku untuk pergi ke Herat. Aku lalu meninggalkan hadiratnya dan mengarahkan langkahku ke Bukhara. Beliau mengutus seseorang kepadaku, membawakan sebuah surat untuk Syekh Kallan, putra Mawlana Sa`d ad-din al-Kashgari. Di dalam surat itu tertulis, ‘Kau harus merawat putraku yang membawa suratku ini dan menjaganya dari ulama-ulama yang buruk.’ Ketika aku melihat isyarat baik darinya, cintaku terhadapnya tertanam dalam kalbuku. Tetapi aku tidak kembali kepadanya, namun tetap melanjutkan perjalan ke Herat.
Jalan menuju Bukhara memakan waktu yang lama, karena tungganganku lemah. Aku harus berhenti setiap satu atau dua mil. Aku telah menempuh perjalanan dengan enam keledai ketika akhirnya tiba di Bukhara. Ketika aku tiba mataku sakit sehingga aku tidak dapat melihat selama beberapa hari. Ketika kondisiku membaik dan aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke Herat, aku mengalami demam yang tinggi. Aku merasa sangat sakit sampai terpikir olehku bahwa jika aku melanjutkan perjalananku, mungkin aku akan mati. Aku memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan kemudian kembali untuk berkhidmah kepada Syekh.
Setelah aku sampai di Tashkent, aku memutuskan untuk mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi. Aku meninggalkan buku-bukuku, pakaianku, dan tungganganku pada seseorang. Salah satu pembantu Syekh `Ubaydullah (q) melihatku di jalan. Aku berkata, ‘Mari kita mengunjungi Syekh.’ Ia berkata, ‘Di mana tungganganmu? Bawalah ke rumahku setelah itu baru kita pergi.’ Ketika aku akan mengambil tungganganku itu sebuah suara datang kepadaku, ‘Hewan tungganganmu sudah mati dan semua barang yang ada di sana sudah hilang.’ Aku menjadi sangat bingung. Aku menyadari bahwa Syekh tidak senang dengan rencanaku mengunjungi Syekh Ilyas. Suatu pikiran terlintas di dalam hatiku, ‘Lihatlah bagaimana Syekh telah mengarahkan semua kekuatannya untuk mengangkatku sementara aku memutuskan untuk mendatangi orang lain.’ Aku memutuskan untuk tidak mengunjungi Syekh Ilyas al-`Asyaqi tetapi langsung mendatangi Syekh `Ubaidullah al-Ahrar. Ketika hal ini masuk ke dalam hatiku, seorang pria mendatangiku dan berkata, ‘Kami menemukan hewan tungganganmu beserta barang-barangmu di sana.’ Aku mendatangi orang yang kutitipkan hewan dan barang-barangku padanya dan ia berkata kepadaku, ‘Aku mengikat hewan tungganganmu di sini, tetapi ketika aku melihatnya kembali ia telah lenyap. Aku lalu mencarinya ke mana-mana. Seolah-olah bumi telah menelannya. Kemudian aku kembali lagi, ternyata aku menemukannya di sana, tepat di tempat aku mengikatnya semula.’ Aku lalu mengambil hewan itu dan pergi menuju Samarqand untuk menemui Syekh `Ubaidullah al-Ahrar (q). Ketika aku tiba, beliau keluar menyambutku, ‘Selamat datang, selamat datang.’ Aku tinggal bersama Syekh dan tidak pernah meninggalkannya lagi sampai akhir hayatnya.
Ia mempunyai keyakinan yang sempurna. Ia menerima apapun yang dikatakan oleh Syekhnya dan tidak ada yang dapat mengubah keyakinannya itu. Ia berkata,
Syekhku sering berbicara mengenai spiritualitas dan ilmu rahasia. Beliau selalu mengarahkan bicaranya kepadaku dan bertanya kepadaku, ‘Ketika kau mendengarku berbicara tentang Hakikat Ilahiah, apakah hal itu menimbulkan konflik terkait dengan keyakinan yang kau dapat dari orang tuamu atau gurumu?’ Aku berkata, ‘Tidak wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu engkau adalah orang yang dapat kami ajak bicara.’
Suatu hari Syekhku sakit dan beliau memintaku untuk memanggil seorang dokter dari Herat. Mawlana Qassim datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, lakukan perjalananmu dengan cepat karena Syekh tidak tahan untuk sakit yang lama.’ Aku lalu menempuh perjalanan dengan cepat dan kembali dengan seorang dokter tetapi aku mendapati Syekh dalam keadaan sehat, sementara Mawlana Qassim telah wafat. Perjalananku memakan waktu tiga puluh lima hari. Aku bertanya kepada Syekhku, ‘Bagaimana Mawlana Qassim wafat padahal beliau masih muda?’ Beliau berkata, ‘Ketika kau pergi Mawlana Qassim mendatangiku dan berkata, ‘Aku memberikan hidupku untukmu.’ Aku berkata padanya, ‘Wahai anakku, jangan lakukan itu, karena begitu banyak orang yang mencintaimu.’ Ia berkata, ‘Wahai Syekhku, aku datang ke sini bukan untuk berkonsultasi padamu. Aku telah mengambil keputusan dan Allah telah menerimanya dariku.’ Apapun yang kukatakan, aku tidak bisa mengubah keputusannya. Hari berikutnya ia menjadi sakit dan penyakit yang sama denganku, yang terefleksi padanya. Ia wafat pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal dan dengan cepat aku menjadi pulih tanpa memerlukan seorang dokter.’”
Syekh Muhammad az-Zahid wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 926 H/1520 M. di Samarqand. Ia meneruskan rahasianya kepada keponakannya, Syekh Darwisy Muhammad as-Samarqandi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1i6qAE4l2eQg1lryyLC8WsOdkFj4HjkYeFj8d3V9Jb0A/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
22. Darwisy Muhammad, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang Ghawts dari para Awliya yang termasyhur dan Berkah dari para Ulama Islam. Ia adalah Fajar dan Cahaya bagi Timur dan Barat. Ia adalah Master bagi Kerajaan Bimbingan. Ia dibesarkan di rumah pamannya yang mengajarinya akhlak terpuji, mendidiknya dengan ilmu agama dan spiritualitas, dan merawatnya dari keran moralitas dan etika. Ia memuaskan dahaganya dengan Hakikat Surgawi dan Ilmu Gaib, sampai kalbunya menjadi Rumah bagi Wahyu Ilahi, sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Langit dan bumi tidak bisa menampung Aku, tetapi kalbu hamba-Ku yang Mukmin dapat menampung-Ku.”
Ia dikenal di zamannya sebagai Wali Darwisy. Ia memahami semua pemahaman tentang agama dan ia mampu untuk menghapus kejahatan dan kesesatan dari guru-guru palsu di zamannya. Ia membangkitkan kembali kalbu-kalbu yang telah layu dan ia mengobati kalbu yang terluka, sampai ia menjadi keberkahan bagi zamannya dan menjadi Bimbingan bagi Esensi Manusia. Ia mempunyai banyak pengikut di seluruh negeri. Rumah dan masjidnya senantiasa penuh dengan orang yang ingin meminta dan mencari nasihatnya.
Suatu ketika setelah shuhba yang diadakan Syekhnya bersama murid-murid lainnya, Syekh Muhammad az-Zahid (q) memintanya untuk naik ke atas sebuah bukit di kejauhan dan memintanya untuk menunggu kedatangannya. Syekh mengatakan bahwa ia akan datang kemudian. Darwisy Muhammad begitu mematuhi Syekhnya sehingga ia menyerahkan dirinya sepenuhnya. Adabnya sempurna. Ia pergi ke bukit itu dan menunggu Syekhnya di sana, tanpa menggunakan pikirannya untuk bertanya, “Bagaimana aku akan pergi ke sana, apa yang harus aku lakukan setibanya di sana, dan seterusnya.” Ia segera pergi dan ketika tiba, ia mulai menunggu. Waktu salat `Ashar tiba dan Syekh belum muncul. Kemudian matahari terbenam. Egonya berkata kepadanya, “Syekhmu tidak akan datang. Kau harus pulang. Mungkin Syekh lupa.” Namun demikian keyakinannya yang tulus berkata, “Wahai Darwisy Muhammad, percayalah pada Syekhmu dan percayalah bahwa beliau akan datang, sebagaimana yang dikatakannya. Kau harus menunggu.”
Bagaimana kalbu Darwisy Muhammad bisa mempercayai egonya ketika kalbunya telah diangkat untuk bersama Syekhnya? Ia menunggu dan bersiap-siap. Malam pun tiba dan sangat dingin di sana. Ia membeku. Ia terjaga sepanjang malam dan satu-satunya sumber kehangatan adalah zikirnya “la ilaha illallah”. Hingga Subuh Syekh masih belum muncul juga. Ia merasa lapar dan mulai mencari sesuatu untuk dimakan. Ia menemukan beberapa pohon buah, makan, dan kembali menunggu
Syekhnya. Satu hari berlalu, kemudian hari berikutnya. Ia kembali berjuang melawan egonya, tetapi ia tetap teguh dengan pikirannya, “Jika Syekhku adalah seorang Syekh sejati, beliau tahu apa yang dilakukannya.”
Satu minggu berlalu kemudian satu bulan. Syekh belum datang juga. Satu-satunya selingan dalam menunggu Syekhnya adalah melakukan zikrullah, dan salat-salat hariannya adalah kegiatan lainnya sehari-harinya. Ia terus melakukannya hingga kekuatan dari zikirnya membuat binatang-binatang berdatangan dan duduk di sekitarnya untuk berzikir bersamanya. Ia menyadari bahwa kekuatan istimewa itu berasal dari Syekhnya.
Musim dingin tiba dan Syekh belum datang juga. Salju mulai turun. Suhu sangat dingin dan tidak ada makanan lagi di sana. Ia mulai memotong kulit kayu dan memakan lapisan yang lembab di dalamnya, begitu pula dari akar dan daun-daunan yang dapat ia temukan. Rusa-rusa mendatanginya dan ia mulai mengambil susu dari biri-biri betina. Ini adalah keajaiban lain yang muncul darinya. Biri-biri itu tidak bergerak ketika ia memerahnya, kemudian biri-biri lainnya pun datang. Ia telah diangkat dari satu level spiritual ke level yang lebih tinggi, dan gurunya mengirimkan ilmu spiritual melalui keajaiban dan penglihatan ini. Khidr (a) mendatanginya dan mengajarinya.
Satu tahun lewat, lalu tahun berikutnya, lalu tahun ketiga dan tahun keempat. Syekh belum datang juga dan Darwisy Muhammad terus naik ke level kesabaran yang lebih tinggi. Ia terus berpikir, “Syekhku tahu.” Pada akhir tahun ketujuh ia mulai mencium wangi Syekhnya memenuhi udara di sekitarnya. Ia berlari untuk menemui Syekhnya bersama semua binatang liar yang menemaninya selama ini. Saat itu rambutnya sudah menutupi seluruh tubuhnya.
Syekh Muhammad az-Zahid (q) tiba. Ketika Darwisy Muhammad melihatnya, kalbunya diliputi kebahagiaan dan kecintaan yang sangat kuat. Ia berlari padanya dan mencium tangan Syekhnya dengan terharu, sambil berkata, “Salamu `alaykum, wahai Syekhku! Betapa aku mencintaimu wahai Syekhku!”
Syekhnya berkata, “Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak turun?” Ia berkata, “Wahai Syekhku, kau memintaku untuk datang ke sini dan menunggumu, jadi aku menunggumu di sini.” Syekh berkata, “Bagaimana jika aku mati atau mungkin aku lupa?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana mungkin kau akan lupa sementara engkau adalah wakil dari Nabi (s)?” Beliau berkata, “Bagaimana jika terjadi sesuatu pada diriku?” Darwisy Muhammad berkata, “Wahai Syekhku, wahai Syekhku, jika aku tidak datang ke sini, menunggumu dan mematuhimu, kau tidak akan datang kepadaku atas izin Nabi (s)!” Darwisy Muhammad telah mendeteksi di dalam kalbunya bahwa Syekhnya datang atas perintah Nabi (s).
Syekhnya tertawa dan berkata, “Ayo ikut aku.” Saat itu beliau menuangkan kepadanya rahasia dari Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi yang ada di dalam kalbunya. Kemudian beliau memerintahkannya untuk menjadi Syekh bagi murid-muridnya. Darwisy Muhammad tetap berkhidmah pada Syekhnya hingga Syekh Muhammad az-Zahid wafat.
Darwisy Muhammad sendiri wafat pada tanggal 19 Muharram 970 H. Ia meneruskan rahasia Tarekat ini pada putranya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1Y6gcWmYyY13ESgsuYm90G7MkKXaiJR-Ltr3lsyxTaVs/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
23. Muhammad Khwaja al-Amkanaki, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Pewaris Rahasia-Rahasia Nabi (s) dan yang Utama di antara para Awliya Terpilih. Ia adalah seorang Imam yang kemegahannya diketahui oleh semua orang dan yang keberkahannya menjangkau tempat yang luas.
Ia dilahirkan di daerah Amkana, sebuah desa di Bukhara. Ia dibesarkan oleh ayah dan pamannya. Selama masa kanak-kanaknya ia mendapat bimbingan yang sangat baik, sampai ia menjadi seperti orang yang berada di bawah sebuah kubah mulia, yang melindunginya dari segala noda. Ia tidak pernah menemukan suatu karakteristik yang baik kecuali kemudian ia mendapatkannya. Kesalahan apapun, bahkan yang terkecil akan dibuangnya. Ia tidak pernah menjumpai suatu maqam yang tinggi tanpa mencakupnya, begitu pula dengan rahasia yang berharga tanpa ia menjaganya, dan juga rasa spiritual yang lezat tanpa menikmatinya. Ia mengikuti ayahnya seperti matahari di hari yang cerah dan bagaikan bulan purnama di malam yang gelap. Ia duduk di Singgasana Penerus dan ia berusaha melakukan yang terbaik untuk mengangkat kalbu para pengikutnya. Ia mengenakan Burdah (Mantel) Qutub dan setiap atom di dunia ini, termasuk pada manusia atau binatang, tumbuhan atau benda-benda tak bergerak mendapat dukungan dari spiritualitasnya. Cahaya dari kekuatannya menerangi Jalan dari Tarekat ini, sehingga kemasyhurannya tersebar luas, dan orang-orang berdatangan untuk menimba ilmunya, mendapat bimbingan melalui cahayanya dan mendapat pencerahan melalui bimbingannya. Pintunya menjadi tujuan bagi setiap Arifin dan Qiblat bagi kalbu para Shalihin. Ia dibusanai dan dihiasi dengan Atribut Ilahi, membuktikan posisinya yang tinggi di Dimensi Surgawi.
Berikut ini adalah beberapa ucapannya yang diberkati,
“Setiap orang harus tahu bahwa agar seorang salik mengalami kemajuan di dalam Tarekat ini, pertama ia harus memanaskan gambaran Syekhnya ke dalam kalbunya, sampai jejak-jejak panas dari koneksi itu menjadi dapat terlihat. Ia harus mengarahkan panas itu menuju Kalbu yang Mendasar (Hakiki, Esensial) dan Universal. Ini adalah level kalbu di mana terdapat hakikat gabungan dari seluruh manusia dan seluruh makhluk, baik duniawi maupun surgawi. Meskipun tidak ada inkarnasi fisik, semua leluhur dan pada akhirnya seluruh makhluk hadir di dalam kalbu Esensial. Sorang salik tidak boleh terganggu oleh detail-detail pada makhluk, tetapi haru mengarahkan kekuatan kalbunya menuju Dzat yang Hakikat-Nya mencakup segala sesuatu. Ia harus terbebas dari segala keraguan terkait manifestasi Dzat yang selalu Hadir, dan harus tahu bahwa tidak ada yang benar-benar ada kecuali Allah (swt). Ia harus melihat dengan Mata Kebenaran bahwa semua makhluk muncul dan menjadi nyata semata-mata hanya melalui Allah.”
“Yang diminta dari Tarekat ini adalah mengarahkan diri kalian menuju Maqam Pengikisan Diri dan Maqamul Fana, yang merupakan Maqam Pertama dari Kebingungan. Ini akan mengantarkan kalian menuju Maqam Penerimaan Cahaya Murni dari Esens. Pada maqam itu tidak ada elemen lain yang ada kecuali Esens yang Murni tersebut. Bahkan Nama dan Sifat tidak bisa muncul di dalam Maqam Esens yang Murni tersebut. Orang yang dapat mencapai Maqam Esens yang Murni lebih tinggi daripada orang yang berada pada Maqam Asma wal Sifat.”
Ia wafat pada tahun 1016 H. Ia meneruskan rahasianya kepada Syekh Muayyidu-d-Din Muhammad al-Baqi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1waI1yZqix2X8aj89uHEQQEwEgDDZS80yzG_Fa0YU9y4/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
24. Muhammad al-Baqi bi-l-Lah, qaddasa-l-Lahu sirrah
Semoga Allah Mensucikan Rahasianya
Ia adalah seorang Arif, seorang yang fana billah dan baqa billah, yang telah diangkat ke Maqam Penglihatan tertinggi. Ia adalah Rahasia (sirr) dari Rahasia-Rahasia Allah dan Keramat dari Keramat-Keramat Allah. Di dalam dirinya ia menggabungkan dua tipe ilmu, yaitu ilmu lahir dan ilmu batin. Allah mengaruniainya dari dua Samudra, dan memberinya Otoritas dari dua alam, yaitu alam manusia dan jin.
Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi (q) mengatakan, “Muhammad al-Baqi adalah orang yang duduk di Singgasana seluruh Syekh, dan ia adalah Deputi dari seluruh Syekh di dalam Silsilah Keemasan Tarekat Naqsybandi, yang telah mencapai batas Tak Hingga, yang telah mencapai Maqam-Maqam Kewalian tertinggi. Ia adalah seorang Qutub yang menyokong setiap makhluk di bumi ini. Ia menyingkap rahasia-rahasia yang hakiki. Ia adalah yang membenarkan Maqam Hakikat dari Nabi Muhammad (s). Ia adalah Pilar bagi Ahlul Irsyad. Ia adalah Esens dari Orang-Orang Arif dan seorang Muhaqqiqin.”
Ia lahir pada tahun 972 H. di kota Kabul, di negeri `Ajam yang merupakan daerah koloni Kesultanan India. Ayahnya adalah seorang hakim bernama, Abdu-s-Salam. Ia pergi ke India pertama kalinya dalam urusan pribadi. Di sana ia tertarik oleh suatu Daya Tarik Ilahiah. Ia lalu meninggalkan kehidupan duniawi dan mengejar ilmu spiritual dari Syekh di zamannya. Ia terus berkumpul dengan para syekh dan awliya sampai ia sendiri menjadi sebuah samudra keilmuan dan menjadi seorang wali. Ia kemudian sering bepergian sampai ia tiba di kota Samarqand. Di sana ia menghubungkan diri dengan Syekh di zamannya, yaitu Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). Dari beliau ia menerima Tarekat Naqsybandi.
Dalam waktu yang sangat singkat ia menerima apa yang memerlukan waktu seumur hidup bagi seorang salik untuk dapat menerimanya. Ia juga diangkat melalui bimbingan spiritual dari Syekh Ubaidullah al-Ahrar (q). Kehormatannya menjadi terkenal di mana-mana. Syekhnya, Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q), memberinya otoritas untuk membimbing para pengikutnya dan melatih mereka untuk menjalankan tarekatnya. Beliau memerintahkannya untuk kembali ke India. Beliau memprediksikan, “Kau akan mempunyai seorang murid yang akan menjadi seperti matahari.” Kelak murid yang dimaksud adalah Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi (q).
Ia kembali ke India dan tinggal di kota Delhi-Jahanabad, yang diisinya dengan iman, ilmu, rahasia-rahasia dan cahaya. Melaluinya Tarekat Naqsybandi tersebar ke seluruh penjuru Sub Benua India dan jutaan orang terhubung kepadanya melalui para deputinya. Seluruh bangsa di Sub Benua India tertarik terhadap ilmu dan kekuatan Surgawinya dan mereka tertarik terhadap akhlak kenabian yang disandangnya. Menjadi termasyhur di seluruh Sub Benua India bahwa setiap orang yang datang kepadanya lalu memandang matanya, atau duduk di dalam majelisnya, melakukan zikir, ia akan memasuki suatu keadaan peniadaan diri (gaib) yang dengannya ia akan mencapai keadaan fana, melalui sekali pertemuan. Dengan keramatnya ini, ia menarik jutaan orang hingga Tarekat Naqsybandi menjadi buah bibir setiap orang di zamannya.
Ia wafat pada hari Rabu, 14 Jumadil-Akhir 1014 H. di kota Delhi dalam usia 40 tahun dan empat bulan. Makamnya berada di sebelah barat kota Delhi.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1RzPgNj8BqDyUpDErl6o6vggk-nAym9cU6_LDkI1rgE0/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
25. Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Mutiara dari Mahkotanya para Awliya yang Berilmu. Ia adalah Harta bagi mereka yang Muncul Sebelumnya dan yang Lahir Setelahnya. Di dalam dirinya tergabung seluruh nikmat dan kemurahan mereka. Ia adalah Bukit Sinainya dari Tajali Ilahi, Pohon Lotus Terjauh dari Ilmu yang Khas, dan Mata Air dari Ilmu Kenabian yang Tersembunyi. Ia adalah Sang Jenius di antara para Ulama, dan ia adalah Sultan bagi bumi, yang tersenyum ketika ia dilahirkan dan dimuliakan dengan kehadirannya. Ia adalah seorang Mursyid Kamil Mukammil. Ia adalah Sang Penyeru menuju Hadirat Allah, seorang Qutub dan Imam yang Unik. Ia adalah Sang Mujahid bagi Milenium Kedua, Sayyidina wa Mawlana (Junjungan dan Guru kami) asy-Syekh Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, ibn asy-Syekh `Abdul Ahad, ibn Zainu-l-`Abidin, ibn `Abdulhayy, ibn Muhammad, ibn Habibullah, ibn Rafi`uddin, ibn Nur, ibn Sulayman, ibn Yusuf, ibn `Abdullah, ibn Ishaq, ibn `Abdullah, ibn Syu`ayb, ibn Aad, ibn Yusuf, ibn Syihabuddin, yang dikenal sebagai Farq Syah al-Qabidi, ibn Nairuddin, ibn Mahmud, ibn Sulayman, ibn Mas`ud, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Asghari, ibn `Abdullah al-Wa`i al-Akbar, ibn Abdu-l-Fattah, ibn Ishaq, ibn Ibrahim, ibn Nair, ibn Sayyidina `Abdullah (r), ibn Amir al-Mu’minin, Khalifah Nabi (s), Sayyidina `Umar al-Faruq (r).
Ia dilahirkan pada hari `Asyura, 10 Muharram tahun 971 H., di desa Sihar Nidbasin. Dalam beberapa terjemahan desa itu disebut Sirhind di kota Lahore, India. Ia menerima ilmu dan pendidikannya melalui ayahnya dan melalui banyak syekh di zamannya. Ia mengalami kemajuan di dalam tiga tarekat: Suhrawardiyya, Qadiriyya, dan Chistiyya. Ia diberi izin untuk melatih para pengikutnya di dalam ketiga tarekat itu pada usia 17 tahun. Ia sibuk dalam menyebarkan ajaran tarekat ini dan dalam membimbing para pengikutnya, namun ia merasa bahwa masih ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya dan ia terus-menerus mencarinya. Ia merasa tertarik dengan Tarekat Naqsybandi, karena melalui rahasia dari ketiga tarekat yang dijalaninya ia dapat melihat bahwa Tarekat Naqsybandi adalah yang terbaik dan tertinggi. Kemajuan spiritualnya akahirnya membawanya ke hadirat Ghawts dan Qutub di zamannya, yaitu asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q), yang telah diutus dari Samarqand ke India atas perintah Syekhnya, yaitu Syekh Muhammad al-Amkanaki (q). Ia lalu mengambil Tarekat Naqsybandi dari asy-Syekh Muhammad al-Baqi (q) dan tinggal bersamanya selama dua bulan dan beberapa hari, hingga Sayyidina Muhammad al-Baqi (q) membukakan bagi kalbunya rahasia dari tarekat ini dan memberinya otoritas untuk melatih murid-murid dalam tarekat ini. Beliau berkata mengenai Syekh Ahmad al-Faruqi (q), “Ia adalah Qutub tertinggi di zaman ini.”
Nabi (s) memprediksikan kemunculannya di dalam salah satu haditsnya, di mana beliau (s) bersabda, “Akan ada di antara umatku, seorang pria yang dipanggil Silah. Melalui syafaatnya banyak orang yang akan diselamatkan.” Hal ini disebutkan di dalam koleksi Suyuti, Jam`ul-Jawami`. Yang menegaskan mengenai kebenaran dari hadits ini adalah apa yang ditulis oleh Imam Rabbani mengenai dirinya sendiri, “Allah telah menjadikan aku sebagai Silah di antara dua Samudra.” Silah artinya “hubungan.” Jadi yang ia maksudkan adalah bahwa Allah menjadikannya sebagai penghubung antara dua samudra--dua ilmu, yaitu ilmu lahir dan batin. Syekh Mir Husamuddin berkata, “Aku melihat Nabi (s) di dalam sebuah mimpi di mana beliau (s) berdiri di atas minbar dan memuji Syekh Ahmad as-Sirhindi. Nabi (s) bersabda, ‘Aku bangga dan senang dengan kehadirannya di antara umatku. Allah menjadikannya sebagai seorang mujahid, yang membangkitkan agama.’”
Banyak awliya yang memprediksikan kemunculannya. Salah satu di antara mereka adalah Syekh Ahmad al-Jami (q). Beliau berkata, “Setelah aku akan muncul tujuh belas orang Ahlullah, semuanya bernama Ahmad dan yang terakhir di antara mereka akan menjadi kepala dari mileniumnya. Ia akan menjadi yang tertinggi di antara mereka semua dan ia akan menerima Maqamul Kasyf. Ia akan membangkitkan agama ini.”
Selain itu yang memprediksikan kedatangannya adalah Mawlana Khwaja al-Amkanaki (q). Beliau berkata kepada khalifahnya, “Seorang pria dari India akan muncul. Ia akan menjadi imam bagi abad ini. Ia akan dilatih olehmu, jadi bergegaslah untuk bertemu dengannya, karena para Ahlullah menanti kedatangannya.” Muhammad al-Baqi (q) berkata, “Itulah sebabnya aku pindah dari Bukhara ke India.” Ketika mereka bertemu beliau berkata kepadanya, “Kau adalah orang yang kemunculannya telah diprediksikan oleh Syekh Muhammad Khwaja al-Amkanaki (q). Ketika aku melihatmu, aku tahu bahwa engkau adalah Qutub di zamanmu. Ketika aku memasuki daerah Sirhindi di India, aku menemukan sebuah lampu yang sangat besar dan sangat terang hingga cahayanya sampai ke langit. Setiap orang mengambil dari cahaya lampu itu. Dan engkau adalah lampu itu.”
Dikatakan bahwa Syekh ayahnya, yaitu Syekh `Abdul Ahad, yang merupakan seorang syekh dari Tarekat Qadiri telah memberikan sebuah jubah dari syekhnya yang diwariskan dari Ghawts al-Azham, Sayyidina `Abdul Qadir al-Jilani (q). Sayyidina `Abdul Qadir mengatakan kepada penerusnya, “Simpanlah untuk seseorang yang akan muncul pada akhir dari milenium pertama. Namanya adalah Ahmad. Ia akan membangkitkan agama ini. Aku telah membusanainya dengan seluruh rahasiaku. Di dalam dirinya terpadu ilmu lahir dan batin.”
Pencarian Raja-Raja dan Raja-Raja Pencari
Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) berkata,
“Ketahuilah bahwa Penjaga Langit menarikku karena mereka ingin agar aku tertarik, dan mereka memfasilitasiku dengan jalan untuk melintasi ruang dan waktu (at-tayy) dalam berbagai maqam salik yang berbeda-beda. Aku mendapati bahwa Allah adalah Inti bagi semua hal, sebagaimana yang telah dikatakan oleh para Ahli Tasawuf. Kemudian aku mendapati Allah di dalam semua hal tanpa inkarnasi (hulul). Lalu aku mendapati Allah bersama semua hal. Kemudian aku melihat-Nya di depan semua hal dan kemudian aku melihat-Nya mengikuti semua hal. Akhirnya aku sampai pada maqam di mana aku melihat-Nya dan aku tidak melihat yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan istilah Musyahadah, yang juga merupakan Maqamul Fana’. Itu adalah tahap pertama dalam Kewalian, dan merupakan maqam tertinggi dalam Memulai Tarekat ini. Penglihatan ini pertama muncul di cakrawala, kemudian yang keduanya di dalam Diri. Kemudian aku diangkat ke Maqamul Baqa’ yang merupakan tahap kedua dalam Kewalian.
“Ini adalah sebuah maqam yang jarang dibicarakan oleh para Awliya, karena mereka tidak mencapainya. Mereka semua berbicara mengenai Maqamul Fana’, tetapi maqam berikutnya adalah Maqamul Baqa’. Pada maqam itu sekali lagi aku mendapati semua makhluk tetapi aku melihat bahwa inti dari semua makhluk ini adalah Allah, dan Dzat Allah adalah Inti dari diriku. Lalu aku mendapati Allah di dalam semua hal, tetapi pada hakikatnya di dalam diriku. Aku diangkat ke maqam yang lebih tinggi, untuk melihat bahwa Allah bersama segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia bersama dengan diriku. Lalu aku diangkat untuk melihat bahwa Dia mendahului segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mendahului diriku. Lalu aku diangkat ke suatu maqam di mana Dia mengikuti segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia mengikuti diriku. Lalu aku melihat-Nya di dalam segala hal, tetapi pada hakikatnya Dia berada di dalam diriku. Lalu aku melihat segala hal tetapi aku tidak melihat Allah. Dan ini adalah akhir dari semua maqam di mana mereka telah membawaku sejak awal. Singkatnya, mereka mengangkatku ke Maqamul Fana’, lalu ke Maqamul Baqa’ dan mereka membawaku kembali bersama orang-orang, pada Maqam orang-orang awam. Ini adalah maqam tertinggi dalam membimbing orang ke Hadratillah. Itu adalah Maqamul Irsyad yang sempurna, karena cocok dengan pemahaman manusia.”
Ia berkata, “Hari ini aku menemani orang yang telah mencapai Ujung dari Ujung, Qutub bagi seluruh makhuk, seorang Insan Kamil, Syekh Muhammad al-Baqi (q). Melalui dirinya aku menerima berkah yang luar biasa, dan dengan berkahnya aku dikaruniai Haqiqatul Jadzbah, kekuatan daya tarik yang membuatku dapat mencapai setiap manusia yang telah diciptakan Allah. Aku diberi kehormatan untuk mencapai suatu maqam yang menggabungkan Maqamul Awwal dengan Maqamul Akhir. Aku mencapai semua maqam Pencarian dan aku mencapai Maqamul Akhr, yang merupakan makna dari ‘Mencapai Nama ar-Rabb’, melalui dukungan Sang Singa Allah, Asadullah, `Ali ibn Abi Thalib karamallaahu wajhah, semoga Allah memuliakan wajahnya. Aku diangkat ke Maqamul Arasy, yang merupakan Hakikat dari Kebenaran Muhammad (s), dengan dukungan (madad) dari Syah Baha’uddin Naqsyband. Kemudian aku diangkat lebih tinggi lagi, ke Maqamul Jamaal, yang merupakan maqam Kebenaran dari Qutub-Qutub Muhammad (s) dengan dukungan dari Ruh Nabi yang suci.
“Aku mendapat dukungan dari Syekh `Ala’uddin al-`Aththaar, yang darinya aku menerima Maqam-Maqam Qutub Spiritual Terbesar (al-qutubiyyati-l-`uzhma) dari Hadirat Nabi Muhammad (s). Kemudian Perhatian Ilahiah Allah menarikku dan aku naik menuju ke suatu Maqam di atas Qutub-Qutub itu, suatu Maqam Asal yang Istimewa. Di sini dukungan dari al-Ghawts al-A`zham, `Abdul Qadir Jilani (q) mendorongku ke atas menuju Maqam Asal dari Asal. Kemudian aku diperintahkan untuk turun kembali, dan ketika aku kembali aku melewati ke-39 tarekat selain Naqsybandiyyah dan Qadiriyyah. Aku melihat maqam-maqam dari syekh mereka dan mereka menyapa dan menyalamiku dan mereka memberikan semua harta perbendaharaan mereka dan semua ilmu pribadi mereka yang membuatku dapat menyingkap hakikat yang belum pernah tersingkap bagi orang lain di zamanku.
“Kemudian dalam perjalanan turunku, aku bertemu dengan Khidr (a), dan beliau menghiasi diriku dengan Ilmu Surgawi (`ilmu-l-ladunni) sebelum aku mencapai maqam para Qutub.”
“Abu Dawud mengatakan di dalam sebuah hadits autentik bahwa Nabi (s) bersabda, ‘Pada setiap awal abad Allah akan mengirimkan seseorang yang akan membangkitkan agama,’ tetapi ada perbedaan antara Mujahid bagi suatu abad dengan Mujahid bagi suatu milenium. Hal itu seperti perbedaan antara seratus dengan seribu.”
“Di dalam suatu penglihatan spiritual, Nabi (s) memberiku kabar gembira, ‘Kau akan menjadi pewaris spiritual dan Allah akan memberimu otoritas untuk memberi syafaat atas nama ratusan ribu orang pada Yawmil Hisab.’ Dengan tangan sucinya beliau (s) memberiku otoritas untuk membimbing orang dan beliau (s) berkata kepadaku, ‘Aku tidak pernah memberi otoritas itu sebelumnya.’”
“Ilmu yang muncul dariku berasal dari maqam Kewalian, tetapi aku menerimanya dari Cahaya Nabi Muhammad (s). Para Wali tidak dapat membawa ilmu semacam itu, karena itu di luar ilmu mereka. Itu adalah Ilmu dari Inti Agama ini dan Inti dari Ilmu tentang Dzat Allah wal Sifat. Tidak ada orang yang membicarakan hal semacam itu sebelumnya dan Allah telah mengaruniaiku untuk membangkitkan agama ini pada milenium kedua.”
“Allah menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia dari Tauhid yang Unik dan Dia mencurahkan ke dalam kalbuku segala macam Ilmu Spiritual dan pemurniannya. Dia menyingkapkan bagiku Rahasia-Rahasia ayat-ayat suci al-Qur’an sehingga aku dapat menemukan samudra ilmu di bawah setiap huruf dari al-Qur’an yang semua menunjukkan Maha Tingginya Dzat Allah (swt). Jika aku mengungkapkan satu kata dari rahasia tersebut, mereka akan memenggal leherku, sebagaimana yang mereka lakukan kepada Hallaj dan Ibn `Arabi. Ini adalah makna dari hadits Nabi (s) di dalam Bukhari yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah (r), “Nabi (s) mencurahkan dua macam ilmu ke dalam kalbuku, yang pertama aku ungkapkan kepada orang, tetapi yang kedua jika aku mengungkapkannya mereka akan menggorok leherku.”
“Allah (swt) telah menunjukkan kepadaku semua nama yang masuk ke dalam tarekat kita, sejak zaman Sayyidina Abu Bakr (r) hingga Yawmil Hisab, baik pria maupun wanita, dan mereka semua akan masuk ke dalam Surga, dengan syafaat dari para syuyukh dalam tarekat ini.”
“Al-Mahdi (a) akan menjadi salah satu pengikut tarekat ini.”
“Suatu hari aku sedang berzikir bersama para pengikutku, kemudian suatu inspirasi masuk ke dalam kalbuku bahwa aku telah melakukan suatu hal yang salah. Kemudian Allah membukakannya kepada mataku, ‘Aku telah mengampuni orang yang duduk bersamamu dan orang yang meminta syafaat melalui dirimu.’”
“Allah telah menciptakan aku dari residu Nabi-Nya (s).”
“Ka`bah selalu datang dan melakukan tawaf di sekelilingku.”
“Allah (swt) berkata kepadaku, ‘Siapapun orang yang kau salati jenazahnya, ia akan diampuni, dan jika orang mencampurkan tanah dari makammu dengan tanah dari makam mereka, mereka pun akan diampuni.”
“Allah berkata, ‘Aku telah memberimu karunia dan kesempurnaan yang istimewa yang tidak pernah diterima oleh seseorang sampai zamannya Mahdi (a).’”
“Allah memberiku kekuatan irsyad (memberi bimbingan) yang luar biasa. Bahkan jika aku mengarahkan bimbinganku kepada sebuah pohon yang mati, ia akan menghijau kembali.”
Seorang syekh besar menulis surat kepadanya, “Maqam-maqam yang telah kau raih dan kau bicarakan, apakah para Sahabat mendapatkannya, dan jika ya, apakah mereka menerimanya pada sekali waktu atau dalam waktu yang terpisah?” Ia menjawab, “Aku tidak dapat memberimu jawaban kecuali jika engkau datang ke hadiratku.” Ketika syekh itu datang, dengan segera ia menyingkapkan hakikat spiritualnya dan membersihkan kegelapan dari kalbunya sampai syekh itu berlutut dan berkata, “Aku percaya, aku percaya! Sekarang aku melihat bahwa maqam-maqam ini semunya tersingkap kepada para Sahabat hanya dengan melihat Rasulullah (s).”
Suatu ketika di bulan Ramadan, ia diundang oleh sepuluh orang muridnya untuk berbuka puasa bersama mereka. Ia menerima undangan mereka satu per satu. Ketika waktu berbuka puasa tiba, ia hadir di setiap rumah, berbuka puasa, dan mereka melihatnya bersama mereka di rumah mereka masing-masing pada saat yang bersamaan.
Suatu saat ia melihat ke langit yang saat itu sedang hujan. Ia berkata, “Wahai hujan, berhentilah sampai jam anu dan anu.” Hujan itu lalu berhenti tepat sampai waktu yang ia sebutkan, setelah itu hujan kembali turun.
Suatu ketika Raja memerintahkan seorang pria untuk dieksekusi. Orang itu mendatangi Syekh Ahmad dan berkata, “Mohon tulislah surat untuk menghentikan eksekusiku.” Ia lalu menulis surat kepada Sultan, “Jangan eksekusi orang ini.” Sultan merasa takut terhadap Sayyidina Ahmad al-Faruqi dan mengampuni orang itu.
Suatu ketika seorang murid berniat untuk mengunjungi Syekh Ahmad al-Faruqi (q). Dalam perjalanan ia diundang untuk menjadi tamu seseorang yang tidak menyukai syekh. Namun demikian murid itu tidak mengetahui hal ini. Setelah makan malam, tuan rumah mulai mencaci Syekh. Menjelang tidur pada malam itu, dalam hatinya ia berkata, “Ya Allah, aku datang untuk mengunjungi Syekh, bukannya mendengar seseorang yang mengutuk Syekh. Ampunilah aku.” Ia lalu tidur dan ketika ia bangun ia mendapati bahwa orang itu sudah meninggal dunia. Ia lalu segera pergi menemui Syekh dan menceritakan semuanya. Sayyidina Ahmad al-Faruqi mengangkat tangannya dan berkata, “Berhenti! Tidak perlu menceritakan apa yang terjadi. Akulah yang menyebabkan kejadian itu.”
Ia berkata,
“Aku diberi otoritas untuk memberi tarekat dalam tiga tarekat yang berbeda: Naqsybandi, Suhrawardi dan Chistiyyah.”
Ia begitu terkenal hingga membuat iri para ulama ilmu lahiriah di zamannya. Mereka datang kepada Raja dan berkata, “Ia mengatakan hal-hal yang tidak dapat diterima dalam agama.” Mereka mendesak Raja untuk memasukannya ke dalam penjara. Akhirnya ia dimasukkan ke dalam penjara selama tiga tahun. Putranya, Syekh Sayyid berkata, “Ia berada dalam pengawasan yang sangat ketat di penjara. Para penjaga ditempatkan di sekeliling selnya. Namun demikian setiap hari Jumat ia akan terlihat di masjid jami. Tidak peduli pengawasan seketat apapun yang diberikan, ia tetap dapat meloloskan diri dari penjara dan muncul di masjid.” Dari sini mereka tahu bahwa mereka tidak bisa menempatkannya di dalam penjara dan akhirnya mereka pun membebaskannya.
Ia menuliskan banyak buku, salah satu yang paling terkenal adalah Maktubat.
Di dalamnya ia berkata,
“Harus diketahui bahwa Allah telah menempatkan kita di bawah Perintah dan Larangan-Nya. Allah berfirman, ‘Apapun yang diberikan oleh Nabi kepadamu, ambillah, apapun yang telah dilarangnya, tinggalkanlah.’ [59:7] Jika kita ikhlas dalam hal ini, kita harus mencapai Fana’ dan cinta pada Dzat-Nya. Tanpa ini kita tidak bisa meraih derajat kepatuhan. Jadi, kita berada di bawah kewajiban lainnya, yaitu mencari Jalan Sufisme, karena Jalan ini akan membimbing kita menuju Maqamul Fana’ dan Cinta pada Dzat-Nya. Setiap tarekat berbeda satu sama lain dalam hal maqam-maqam kesempurnaannya, begitu pula dalam hal menjaga Sunnah Nabi (s) dan memiliki definisi sendiri mengenai apa yang diperlukan. Setiap tarekat mempunyai jalan masing-masing dalam menjaga Sunnah Nabi (s). Tarekat kita, melalui para syuyukh meminta kita untuk menjaga seluruh perintah Nabi (s) dan meninggalkan hal-hal yang dilarangnya. Syekh kita tidak mengikuti jalan yang mudah (rukshah) tetapi berusaha keras menjaga jalan yang sulit (azimah). Dalam semua langkah mereka, mereka selalu ingat ayat Qur’an, ‘Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan atau jual beli dari Mengingat Allah’ [24:37].
“Dalam perjalanan menuju penyingkapan Hakikat Ilahiah, seorang salik bergerak melalui tahapan-tahapan ilmu dan kedekatan yang beragam terhadap Tuhannya:
- “Bergerak menuju Allah adalah gerakan vertikal dari maqam-maqam yang lebih rendah menuju maqam-maqam yang lebih tinggi; sampai gerakannya melampaui ruang dan waktu dan seluruh maqam melebur menjadi apa yang disebut `Ilm ul-
wajib Allah. Ini juga disebut Fana’.
- “Bergerak di dalam Allah adalah tahapan di mana seorang salik bergerak dari maqam Asma wal Sifat menuju sebuah maqam yang tidak dapat digambarkan oleh kata ataupun tanda. Ini adalah Maqam Baqa bi’l-Lah.
- “Bergerak dari Allah adalah tahapan di mana seorang salik kembali dari alam surgawi ke dunia sebab dan akibat, turun dari maqam ilmu tertinggi ke maqam terendah. Di sini ia melupakan Allah oleh Allah, dan ia mengenal Allah dengan Allah dan ia kembali dari Allah kepada Allah. Ini disebut Maqam Yang Terjauh dan Terdekat.
- “Bergerak di dalam sesuatu adalah bergerak di dalam makhluk. Ini melibatkan pengetahuan yang erat semua elemen dan maqam-maqam di dunia ini setelah lenyap dalam Maqamul Fana’. Di sini seorang salik dapat mencapai Maqamul Irsyad, Maqam Bimbingan, yang merupakan maqam para Nabi dan orang-orang yang mengikuti jejak Nabi (s). Ia membawa Ilmu Ilahi ke dunia makhluk untuk membangun Bimbingan.
“Seluruh proses bagaikan memasukkan benang ke dalam jarum. Benang mencari lubang jarum, melewatinya kemudian kembali lagi ke asalnya. Ada dua ujung yang bertemu, membentuk sebuah simpul dan mengamankan benang itu seluruhnya. Mereka membentuk satu keseluruhan, benang, lubang dan jarumnya, dan benda-benda lainnya yang mereka tangkap dijahit dalam satu kesatuan pada kain.”
“Harus diketahui oleh setiap orang bahwa para Syekh Naqsybandi memilih untuk membimbing murid-muridnya pertama melalui gerakan dari Allah, berjalan dari maqam tertinggi ke maqam terendah. Atas alasan ini mereka mempertahankan hijab-hijab awam murid-muridnya dari penglihatan spiritual dan hanya menghilangkan hijab-hijab itu pada tahap terakhir. Tarekat yang lain memulainya dengan pegerakan menuju Allah, bergerak dari maqam terendah menuju maqam tertinggi dan mereka menghilangkan hijab-hijab awam terlebih dahulu.”
“Disebutkan di dalam Hadits Nabi (s) bahwa ‘Para ulama adalah pewaris Nabi-Nabi.’ Ilmu para Nabi ada dua macam: ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia. Seorang ulama tidak bisa disebut sebagai seorang pewaris bila ia tidak mewarisi kedua ilmu tersebut. Jika ia hanya mengambil satu macam ilmu, maka ia belum lengkap. Oleh sebab itu para pewaris sejati adalah orang-orang yang mengambil ilmu mengenai hukum-hukum dan ilmu mengenai rahasia-rahasia, dan hanya para Awliya yang sungguh menerima dan menjaga warisan ini.”
Ia meninggalkan banyak buku lainnya. Ia wafat pada tanggal 17 Shafar 1034 H. dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di desa Sirhind. Ia adalah seorang syekh dalam empat tarekat: Naqsybandi, Qadiri, Chisti dan Suhrawardi. Ia lebih menyukai Naqsybandi karena ia berkata, “Ia adalah induk bagi semua tarekat.”
Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Syekh Muhammad Ma`shum (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/13DpyyOo5SaG5HE7SJYm0iwmjvwy3t_xbPzm_J1YB5Mk/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
26. Muhammad al-Ma`shum, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Tali Allah (`Urwat-il-Wutsqa), seorang Mursyid yang Saleh yang menggabungkan Syari`ah dan Hakikat di dalam dirinya dan yang menunjukan perbedaan antara Kebodohan dengan Bimbingan Sejati. Ia dilahirkan pada tahun 1007 H. Ia dididik oleh ayahnya dengan ilmu para Awliya yang istimewa. Ia menduduki Singgasana al-Irsyad di dalam Tarekat Naqsybandi dalam usia 26 tahun setelah Syekhnya wafat. Ia menjadi terkenal di mana-mana. Namanya menjadi buah bibir, bahkan raja-raja pun mengakui kebesarannya di zamannya. Orang-orang datang dari segala penjuru untuk bertemu dengannya.
Sejak kecil ia sudah menjadi seorang wali. Ia tidak pernah mau disusui di bulan Ramadan. Ia berbicara mengenai Ilmu Tauhid pada usia tiga tahun, dengan mengatakan, “Aku adalah tanah, aku adalah langit, aku adalah Tuhan… Aku adalah ini, aku adalah itu.” Ia menghafal Qur’an dalam waktu tiga bulan ketika berumur enam tahun. Ia berusaha untuk mempelajari ilmu sejati, Syari`at dan Hakikat melalui kalbunya dan ia mencapai maqam yang tinggi dari ilmu-ilmu ini. Pada usia 17 tahun ia sudah dianggap sebagai ulama terbesar di zamannya. Fatwanya sangat terpercaya. Ia tidak menerima bid’ah maupun penyimpangan.
Ketika ia masih muda, ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q) menyatakan bahwa akan muncul kekuatan besar dalam dirinya. Suatu ketika ia berkata kepada ayahnya, Sayiddina Ahmad al-Faruqi (q), “Aku melihat diriku sebagai kehidupan yang bergerak di setiap atom dari alam semesta ini. Dan alam semesta ini mengambil cahaya darinya sebagaimana bumi mendapatkan cahaya dari matahari.” Ayahnya berkata, “Wahai anakku, itu artinya engkau akan menjadi seorang Qutub di zamanmu. Ingatlah itu dariku.”
Suatu saat ayahnya berkata kepadanya, “Kau telah dicetak dari residu dari residuku, yang merupakan residu dari tanahnya Nabi (s).”
Ayahnya berkata, “Aku telah menuangkan kepada putraku, Muhammad Ma`shum segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku.”
Ia berkata, “Seorang Arif yang sempurna yang dimulikan untuk berada di dalam Maqamul Wujud Sepenuhnya akan menyaksikan dan mengamati Keindahan Allah dalam cermin alam semesta ini dan ia akan melihat dirinya dalam segala hal. Alam semesta ini akan menjadi dirinya dan ia akan menjadi alam semesta ini. Ia akan melihat dirinya bergerak di dalam setiap individu dari alam semesta ini, mencakup Keseluruhan dari Bagian dan Bagian dari Keseluruhan.”
Dari Keramatnya
Suatu ketika salah satu wakilnya, Khwaja Muhammad ash-Shiddiq sedang berjalan dengan menunggangi kuda. Kakinya terpeleset dari kudanya dan ia tergantung pada salah satu pijakan kaki kudanya. Kuda itu berlari hingga ia berpikir bahwa ia akan mati, tetapi ia teringat untuk mengatakan, ‘Wahai Syekhku, madad, tolonglah aku.’ Ia melihat Syekhnya muncul, mengambil tali kekang kuda itu dan menghentikannya.
Salah satu muridnya berkata, “Aku tenggelam ke dalam laut dan aku tidak bisa berenang. Aku memanggil namanya dan beliau muncul dan mengeluarkan aku.”
Suatu saat ia sedang duduk bersama para pengikutnya di khaniqah (pondok untuk salat, berdoa dan bertafakur) dan mereka mulai melihat air keluar dari tangan dan lengannya. Mereka terkejut dan bertanya padanya, “Apakah itu wahai Syekh kami?” Ia berkata, “Tadi salah seorang muridku berada di kapal dan kapal itu dihantam badai dan tenggelam. Ia memanggilku dan aku segera menarik tangannya dan menyelamatkannya dari tenggelam.” Kami mencacat waktu kejadian itu dan beberapa bulan kemudian seorang pedagang datang kepada kami. Kami bertanya tentang peristiwa itu dan ia berkata, “Ya, pada saat itu Syekhku datang dan menyelamatkan aku.”
Pernah terjadi di mana seorang pesulap biasa membuat api, lalu ia akan memasuki api itu dan api itu tidak mengenainya. Hal itu menimbulkan fitnah dan kebingungan di antara masyarakat. Kemudian Syekh membuat api yang sangat besar di tengah kota dan ia berkata kepada pesulap itu, “Masuklah ke dalam apiku!” Pesulap itu ketakutan. Kemudian ia menarik salah satu muridnya, “Masuklah ke dalam api itu, dan ketika kau berjalan, ucapkan, “LA ILAHA ILLALLAH.” Murid itu masuk ke dalam api itu dan api itu menjadi dingin dan menyelamatkan dirinya, sebagaimana yang terjadi pada Sayyidina Ibrahim [21:69] ketika ia dilemparkan ke dalam api. Ketika pesulap itu melihat hal ini, ia segera mengucapkan Syahadat: asy-hadu an la ilaha illa-l-Lah, wa asy-hadu anna Muhammadan rasulu-l-Lah dan masuk Islam.
Suatu ketika Syekh `Abdur Rahman at-Tirmidzi berkata, “Aku datang bersama saudaraku untuk mengunjungi Syekh Muhammad Ma`shum (q). Ia menghadiahkan baju-bajunya kepada setiap orang kecuali kepadaku. Ketika kami kembali ke negeri kami, aku merasa sangat sedih karena aku tidak mendapatkan apa-apa darinya. Tak lama beredar kabar bahwa Syekh akan berkunjung ke kota kami. Semua orang menyambutnya dan aku pun bergabung dengan mereka. Aku melihat Syekh datang dengan seekor kuda putih. Ia memandang padaku dan berkata, ‘`Abdur Rahman, jangan sedih. Aku mengujimu dan aku menyimpan jubah istimewaku yang aku warisi dari ayahku, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) untukmu.’ Aku lalu mengambil jubah itu darinya dan memakainya. Dengan segera segala sesuatu lenyap dan Syekhku muncul di hadapanku: dalam setiap atom, dalam setiap partikel, beliau muncul. Aku mengalami keadaan yang sangat membahagiakan dan aku memasuki Hadirat Ilahi.”
Suatu hari seorang tuna netra datang kepadanya dan memohon, “Mohon doakan aku agar Allah mengembalikan penglihatanku.” Ia lalu menggosokkan air ludahnya ke mata orang itu dan berkata, Pulanglah ke rumahmu dan jangan membuka matamu sampai kau tiba di sana.’ Ketika orang itu tiba di rumahnya dan membuka matanya, ia dapat melihat.
Orang-orang berkata kepadanya, “Ada seseorang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Ia menjadi resah dan di tangannya ia memegang sebuah pisau untuk memotong semangka. Ketika ia memotong semangka itu, ia berkata, “Sebagaimana aku memotong semangka ini, aku memotong leher orang yang mengutuk khalifah Rasulullah (s).” Tiba-tiba orang itu pun mati.
Ia berkata,
“Ketika aku menunaikan Haji, aku melihat Ka`bah memeluk dan menciumku dengan penuh semangat dan penuh emosi. Kemudian Allah menyingkapkan suatu penglihatan spiritual bagiku, cahaya dan keberkahan memancara dariku, dan jumlahnya semakin bertambah dan bertambah; sampai ia memenuhi gurun; lalu semua pegunungan dan semua samudra; kemudian ia memenuhi alam semesta dan memasuki setiap atom di alam ini. Kemudian semua atom ini ditarik kembali menuju cinta pada Inti Ka`bah. Aku melihat banyak makhluk spiritual, di antara mereka adalah para malaikat dan awliya, mereka semua berdiri di hadiratku seolah-olah aku adalah Sultan mereka. Kemudian aku menerima surat tertulis yang disampaikan oleh malaikat, dan di sana tertulis, ‘dari Tuhan Surgawi, Alam Semesta dan Seluruh Makhluk, Aku menerima Hajimu.’”
“Kemudian aku melanjutkan perjalananku untuk mengunjungi Madinati’l- Munawwarah, kotanya Nabi (s). Aku memasuki kota Nabi (s) dan aku pergi mengunjungi makam beliau (s). Ketika aku mengarahkan wajahku kepada wajahnya, aku melihat Nabi (s) keluar dari makamnya, dan beliau (s) memeluk dan menciumku. Kemudian aku melihat diriku dalam suatu keadaan di mana kalbuku seolah-olah berpadu dengan kalbunya, lidahku dengan lidahnya, telingaku dengan telinganya, sampai aku melihat diriku sendiri, aku melihat Nabi (s) dan ketika aku melihat Nabi (s) aku melihat diriku sendiri. Penglihatan itu membawaku ke Maqam Kenaikan (Mi’raj) menuju ke tempat di mana Nabi (s) mengalami kenaikan pada malam Isra Mi’raj. Aku menerima semua ilmu yang Nabi (s) ingin aku menerimanya.
“Kemudian aku menuju kedua khalifah Nabi (s). segera setelah aku berada di hadirat Sayyidina Abu Bakr (r), aku melihat sebuah jubah merah di pundakku. Kemudian aku berpindah ke makam Sayyidina `Umar (r) dan aku melihat jubah kuning di pundakku. Ketika aku meninggalkan mereka, aku melihat jubah hijau disandangkan di pundakku, yang aku tahu bahwa itu adalah jubah Nabi (s). Kemudian aku melihat suatu penglihatan di mana Allah menyingkapkan semua hijab dari kalbuku, dan aku melihat bahwa semua yang telah diciptakan oleh Allah dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, semuanya memerlukan Habibullah Sayyidina Muhammad (s), dan beliau (s) adalah pusat dari semua cahaya yang bergerak di dalam setiap atom.”
“Apa yang diberikan oleh Nabi (s) kepadaku pada saat itu, jika aku mengatakannya, orang-orang akan memotong leherku. Kemudian aku melihat bahwa setiap shalawat atas Nabi (s), setiap pujian pada Nabi (s) dan setiap puisi yang ditulis atas nama Nabi (s), seolah-olah itu untukku. Kemudian aku melihat bahwa semua alam semesta, dari Maqamul `Arasy hingga Maqam ad-Dunya, telah diterangi dan bersinar dengan cahayaku. Ketika saatnya tiba untuk kembali ke negeriku, aku kembali mengunjungi Nabi (s) untuk terakhir kalinya dan aku menangis pada saat perpisahan itu dan aku melihat Nabi (s) keluar dari maqamnya. Beliau (s) membusanaiku dengan busana yang belum pernah kulihat sebelumnya dan beliau (s) memberikan sebuah mahkota di kepalaku. Mahkota itu berasal dari Raja Diraja, dari Hadirat Ilahi, yang dihiasi dengan berbagai macam batu permata yang tidak bisa digambarkan di dunia ini. Dan aku tahu bahwa Mahkota itu dan Busana-Busana itu telah diberikan kepadaku dari Busana-Busana Allah (swt), yang Dia berikan kepada Nabi-Nya (s) pada malam Isra Mi’raj dan yang telah disimpan oleh Nabi (s) untukku dan kemudian diberikan kepadaku pada malam itu.”
Syekh Muhammad Ma`shum (q) merupakan Keramat dari Keramat-Nya allah dan Cahaya yang Allah curahkan ke dunia ini untuk membimbing manusia. Dikatakan bahwa ia telah memberi bay’at kepada lebih dari 900.000 orang ke dalam tarekat ini dan ia mempunyai 7.000 wakil, dan mereka semua adalah wali. Hal itu disebabkan karena dalam seminggu shuhbah (asosiasinya), ia dapat membawa para pengikutnya ke Maqamul Fana’, dan dalam satu bulan ke Maqamul Baqa’. Dikatakan pula bahwa ia dapat membawa para pengikutnya menuju Maqamul Wujud dengan sekali duduk di dalam majelisnya.
Ia wafat pada tanggal 9 Rabiul Awal 1079/1668 M. Ia meneruskan rahasia dari Tarekat ini kepada Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1QY0KjV28qbJvAgX9GWJ-azAqtSD0AC58LKgyl85jdOE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
27. Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang Mujahid bagi tarekat ini dan Mujahid bagi jalur sejati dari Sunnah Nabi (s). Ia mendapat manfaat spiritual yang besar dari leluhurnya, yaitu Sayyidina `Umar al-Faruq (r), dan dari kakeknya, Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q). Dengan berkah dari Nabi (s), ia mampu menyebarkan tarekat ini lebih jauh dan lebih luas.
Ia dilahirkan pada tahun 1055 H./1645 M. Ia dibesarkan di rumah ayahnya, Muhammad Ma`shum (q), dan ia disusui dengan susu dari ilmu ayahnya, kakeknya dan leluhurnya yang diberkati. Semasa ayahnya masih hidup ia duduk di Singgasana Bimbingan dan ia mengikuti jejak para pendahulunya. Rumahnya menjadi cahaya bagi para ulama yang datang bagaikan ngengat dari segala penjuru. Ketika ilmu halusnya berkembang, ia menjadi semakin terkenal bahkan di langit, mencapai orbit dari orang-orang yang arif sampai ia mampu menguraikan Simbol-Simbol dari Ilmu yang tersembunyi dan membuka Perbendaharaan dari Urusan-Urusan Surgawi. Ia menyebarkan ilmu lahir dan batin, dan ia memadukan para pemula dengan orang-orang yang sudah ahli dan ia mengajarkan Ilmu tentang Rasa (dzawq).
Atas perintah ayahnya ia pindah ke kota Delhi untuk menyebarkan ilmu Syari`ah dan cahaya Hakikat. Sultan sendiri, Muhammad Alamagir, menjadi muridnya, sehingga orang-orang di Dewan, menteri-menteri, dan semua pangeran menjadi muridnya. Dengan dukungan Sultan, tak lama seluruh kerajaan pun menerimanya. Ia mewujudkan Sunnah Nabi (s) dan menginspirasikan cinta untuk Syari`ah ke seluruh bangsa. Dengan ilmu yang mendalam yang memenuhi kalbunya, ia mengangkat bendera Islam dan menghilangkan jejak-jejak kebodohan dan tirani dari kerajaan.
Melalui berkah dari pertemanan dengan Syekh Sayfuddin (q), Allah menjadikan Sultan berhasil dalam segala urusannya dan mencegah terjadinya hal-hal yang berbahaya dan melanggar hukum di wilayahnya. Sultan membasmi para penindas dan orang-orang yang berbuat zalim. Ia terus menjaga hubungannya dengan Syekh, mengikutinya sebagai murid. Melalui dorongan Syekh, ia mampu menghafal kitab suci al-Qur’an. Ia mengisi waktu-waktu malamnya dengan melakukan amalan tarekatnya, dengan berzikir, sementara siang harinya ia mengurusi urusan-urusan di kerajaannya.
Syekh berusaha untuk menghapuskan segala bentuk penderitaan dan penindasan dari kerajaan melalui Sultan, dan usahanya berhasil dengan gemilang, hingga seluruh India hidup dalam damai. Syekh mendapat posisi yang begitu terhormat di mana seluruh sultan dan pangeran akan berdiri untuk menghormatinya.
Suatu hari seseorang berdiri bersama pangeran-pangeran lain dan sultan dalam hadirat Syekh, kemudian sebuah bisikan menyindir masuk ke dalam kalbunya, mengatakan, “Sombong sekali Syekh ini.” Syekh lalu memandangnya dan berkata, “Kau benar, karena Keangkuhanku berasal dari Keangkuhan Allah.”
Suatu ketika seorang pria menyangkal kata-kata Syekh. Malamnya ia bermimpi di mana sekelompok orang datang dan menyerangnya. Mereka memukulinya berkali-kali dan bertanya, “Beraninya kau menyangkal ucapan Syekh, padahal ia adalah Pecinta Allah?” Orang itu bangun dan mendapati dirinya luka-luka, ia segera mendatangi Syekh dan memohon ampun.
Di dalam khaniqahnya (pondok untuk berkhalwat), setiap hari sekitar 6000 salik tinggal di sana dan mereka makan makanan yang disediakannya.
Suatu hari ia mendengar suara ney (flute dari bambu) dari rumah tetangganya. Ia begitu terpesona dengan alunan suaranya sehingga membuatnya jatuh pingsan. Setelah sadar ia berkata, “Apakah menurut kalian aku hampa dengan gairah dan emosi? Tidak, mereka yang mendengar ney tetapi tidak merasakan gairah dan emosilah yang hampa. Tetapi ketika kita mendengar sesuatu yang indah, kita begitu tersentuh sehingga kita segera ditransfer menuju Hadirat Ilahi.”
Bagi para Awliya, panggilan Allah terdengar tanpa ada campuran dari “debu kesengsaraan” dan itulah sebabnya mereka jatuh pingsan ketika mereka mendengarnya.
Suatu hari seorang penderita kusta datang dan meminta doanya agar ia bisa disembuhkan. Syekh lalu meniupnya dan dalam waktu singkat penyakitnya lenyap.
Syekh Muhammad Sayfuddin wafat pada tahun 1095 H./1684 M. dan ia dimakamkan di kota Sirhind. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada Grandsyekh Nur Muhammad al-Badawani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1_vVnqFoMssDgxzYEXA17gp1mw-gpbEE57M2Q7cACbSQ/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
28. as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah seorang keturunan Nabi (s). Cahayanya bersumber dari Maqam Surgawi. Ia menuangkan kedamaian dan kebahagiaan ke dalam kalbu-kalbu yang bingung dan menjadikannya sebagai Sosok bagi setiap nikmat dan jalan menuju Allah (swt) bagi semua orang di zamannya. Melalui dirinya Allah telah memperbarui Syari`ah dan Hakikat seperti bulan purnama di gelapnya malam. Berapa banyak Sunnah yang telah dilupakan kemudian dihidupkan kembali dan berapa banyak bid’ah yang telah menghasut kemudian dihilangkannya?
Ia dilahirkan pada tahun 1075 H./1664 M. Ia dibesarkan di sebuah rumah yang diberkati, memuaskan dahaganya terhadap ilmu lahir dan batin di mata air Tarekat Naqsybandi sejak masa kanak-kanaknya. Ia menerima berkah dari Syekhnya, dan mereka bangga dengan kemajuannya. Ia terus mengalami kemajuan hingga di negeri India ia menjadi Lampu yang bersinar. Orang-orang berdatangan menemuinya dari segala penjuru, mereka mendapatkan berkah dari rahasianya dan berkah dari para leluhurnya. Ia menduduki Singgasana Tarekat ini mengikuti Syekhnya dan ia bagaikan mercusuar yang membimbing dengan cahayanya bagi mereka yang mencari di Jalannya. Ia meninggalkan nama yang termasyhur, dan bagaimana tidak, bila Nabi Muhammad (s) adalah leluhurnya? Ia adalah Cabang dari Pohon Ilmu Kenabian dan Keturunan Murni dari Keluarga Nabi (s). Tidak heran bila ia menjadi kiblat bagi para Awliya dan gerbangnya menjadi tujuan bagi semua orang di Jalan Allah.
Ia begitu saleh hingga ia menghabiskan waktunya dalam membaca dan mempelajari adab Nabi (s) dan para Awliya. Ketaatannya yang ketat terhadap Bentuk dan Niat mengikuti Nabi (s) dalam semua perbuatannya diilustrasikan dalam peristiwa berikut. Suatu hari ia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kanannya, yang bertentangan dengan kebiasan Nabi (s). Hal itu mengakibatkan ia mengalami sembelit selama tiga hari, karena ia telah menyimpang dari kepatutan mengikuti Sunnah dengan satu langkahnya itu. Ia memohon ampun kepada Allah dan Allah melepaskannya dari kesulitannya itu.
Ia memulai hidupnya dalam keadaan meniadakan diri. Ia tetap dalam keadaan itu selama lima belas tahun. Dalam periode itu ia selalu berada dalam keadaan fana ini, dan tidak pernah keluar dari keadaan tersebut kecuali ketika melakukan ritual salat. Ketika salat ia akan kembali ke dalam keadaan sadar diri. Setelah selesai ia akan kembali ke keadaannya semula. Ia berhati-hati untuk makan hanya dari pendapatan yang diperoleh dari keringat di dahinya. Ia hanya makan roti yang dipanggangnya sendiri, dan ia memakannya hanya dalam potongan-potongan yang sangat kecil. Ia menghabiskan seluruh waktunya dalam bertafakur dan kontemplasi. Ketika rotinya habis, ia akan kembali untuk mempersiapkannya, setelah itu ia akan kembali pada tafakur dan kontemplasinya. Akibat seringnya berkontemplasi, punggungnya menjadi bungkuk. Ia berkhidmah terhadap Syekhnya selama bertahun-tahun. Ia juga berkhidmah pada Syekh Muhammad Muhsin, putra dari narator hadits besar di zamannya, Syekh `Abdul Haqq, salah satu khalifah dari Syekh Muhammad Ma`shum (q), hingga melalui khidmahnya ia mencapai maqam kesempurnaan yang tinggi.
Ia pernah berkata, “Selama tiga puluh tahun terakhir bertafakur, ‘Bagaimana aku akan mendapatkan penghasilan’ tidak pernah terlintas di dalam kalbuku. Subjek mengenai rezeki tidak pernah masuk ke dalam kalbuku, tetapi aku makan ketika aku merasa perlu.” Ia tidak pernah makan dari makanan yang disediakan oleh orang yang sombong. Ia berkata, “Makanan dari orang kaya yang sombong berisi kegelapan.”
Jika ia meminjam sebuah buku, ia akan membacanya dalam tiga hari, karena ia berkata, “Refleksi dari kegelapan dan kelalaian dari pemilik buku akan tercermin kepadaku.” Ia sangat berhati-hati dalam hal itu. Khalifahnya, Sayyidina Habibullah (q) akan menangis bila mengingatnya, dan ia akan mengatakan kepada para pengikutnya, “Kalian tidak melihatnya. Jika kalian hidup di zamannya, kalian akan memperbarui iman kalian atas Kekuasaan Allah yang telah menciptakan manusia sepertinya.”
Sayyidina Habibullah (q) juga mengatakan, “Penglihatan Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) sangat detail dan akurat. Ia dapat melihat lebih baik dengan kalbunya dibandingkan dengan apa yang bisa dilihat orang dengan matanya. Ketika aku berada di hadiratnya, beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku melihat jejak-jejak perzinaan dalam dirimu. Apa yang telah kau lakukan pada hari ini?’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, ketika aku mendatangimu mataku melihat seorang wanita di jalan.’ Beliau berkata, ‘Lain kali berhati-hatilah dalam melindungi matamu.’”
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu ketika aku sedang dalam perjalanan menemui Syekh, aku melihat seorang pecandu alkohol di jalan. Ketika aku bertemu dengan Syekh, beliau berkata kepadaku, ‘Aku melihatmu dalam jejak-jejak alkohol.’ Dari sini aku menyadari bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini memantul dari satu orang kepada orang yang lain, dan karakter seseorang memantul kepada orang lain. Itulah sebabnya kita harus menjaga diri kita agar senantiasa bersih sepanjang waktu, dan selalu berkumpul dengan orang-orang di Jalan Allah.
Syekh Habibullah (q) berkata, “Suatu hari seorang wanita datang kepadanya dan berkata, ‘Wahai Syekhku, jin menculik putriku dan aku telah mencoba berbagai cara untuk mendapatkannya kembali, tetapi tidak membantu.’ Beliau lalu bertafakur mengenai hal itu selama hampir satu jam. Kemudian beliau berkata, ‘Putrimu akan kembali besok sekitar waktu Ashar, jadi sekarang pulanglah dan istirahat.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sangat menanti-nantikan datangnya waktu itu, dan menantikan putriku kembali sehingga sulit sekali aku beristirahat. Tepat pada waktu yang dikatakan oleh Syekh, aku mendengar ada ketukan di pintu dan ternyata itu adalah putriku. Aku bertanya apa yang terjadi. Ia berkata, ‘Aku telah diculik dan dibawa ke gurun oleh seorang jin. Ketika aku berada di sana, kemudian seorang Syekh datang dan membawaku ke sini.’”
Syekh Nur Muhammad al-Badawani (q) wafat pada tahun 1135 H./1722-23 M. Ia meneruskan rahasia Silsilah Keemasan kepada penerusnya, Syekh Syamsuddin Habib Allah Jan-i-Janan al-Mazhar (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1g-X_IcdCywG7fYEyJckpoyAKT2T0XW3ByC4L0WpOwNg/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
29. Syamsuddin Habib Allah, qaddasa-l-Lahu sirrah
Ia adalah Matahari dari Kebahagiaan Abadi. Ia adalah Kekasih Allah (swt). Ia adalah Ruh bagi Ahlul Haqq, dan ia adalah Inti dari Ruh Ahlul Dzawq. Ia adalah salah satu Panji dari Rasul yang Mulia. Ia mengangkat Agama Nabi Muhammad (s). Ia membangkitkan Tarekat Naqsybandi.
Ia dilahirkan pada tahun 1113 H./1701 M. di India. Sejak kanak-kanak cahaya Bimbingan dan jejak Kesalehan bersinar dari keningnya. Karakternya dicetak dengan Tajali Keindahan Ilahiah (tajalli-l-jamal). Ia terkenal akan ketampanannya, seperti Nabi Yusuf (a), dan setiap orang mencintainya karena ia melambangkan keindahan. Itu adalah Sifat Allah, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi (s), “Allah itu indah dan Dia mencintai keindahan,” dan itu juga merupakan sifat Nabi (s), sebagaimana Anas (r) berkata, “Nabimu (s) adalah sosok yang paling indah penampilannya dan suaranya adalah yang terindah di antara semua Nabi.” Karena hal ini, Syekh `Abdur-Ra’uf al-Munawi berkata, “Nabi (s) tidak ada duanya dalam hal keindahannya.”
Ketika Syekh Mazhar (q) berusia sembilan tahun, ia melihat Sayyidina Ibrahim (a) yang memberikan kekuatan keramat melalui transmisi spiritual. Pada usianya ini, jika seseorang menyebutkan Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dalam kehadirannya, ia akan melihatnya muncul dengan mata fisiknya. Ia juga mampu melihat Nabi (s) dan seluruh Sahabat Nabi (s) dan para Syekh Tarekat Naqsybandi, khususnya Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q).
Ayahnya membesarkannya dan mendidiknya dalam semua cabang ilmu agama. Pada usia yang masih muda kalbunya tertarik dengan cahaya spiritual yang muncul dari Syekhnya, yaitu as-Sayyid Nur Muhammad (q). Syekhnya membukakan mata kalbunya dan menyuapinya dengan nektar dari bunga Ilmu yang tersembunyi. Syekh membawanya keluar dari Maqam Kesadaran Diri dan mengangkatnya ke Maqam-Maqam yang lebih tinggi yang membuatnya sangat takjub dan akhirnya jatuh pingsan. Ketika ia sadar, ia menemani Syekh Nur Muhammad (q) dalam mi’raj berikutnya. Syekh mengizinkannya untuk mengamati Misteri dari Dunia yang Tersembunyi dan memberinya hadiah-hadiah berupa Kekuatan Keramat dan Maqam-Maqam yang Tinggi.
Seseorang melihat Syekhnya membukakan Sembilan Titik, yang merupakan lokus dari Rahasia-Rahasia Naqsybandi pada dirinya. Dari ilmu sembilan titik ini, ia menyelami rahasia-rahasia yang terkandung dalam lima titik yang lebih kuat, hingga Syekhnya memberinya otoritas untuk “mengaktifkan” Kesembilan Titik itu setiap saat dan untuk menggunakannya. Kemudian Syekh membawanya kembali ke hadiratnya dan hanya hadiratnya. Beliau membawanya naik-turun, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dan membungkusnya dengan cahayanya dan melindunginya dengan pandangannya, sampai ia mencapai kesempurnaan tertinggi dan membangkitkan dirinya dari Kebodohan.
Dengan teguh dan tulus ia berkhidmah kepada Syekhnya. Ia terus mengalami kemajuan dengan melaksanakan khalwat di gurun dan hutan atas perintah Syekhnya. Dalam khalwat ini makanannya hanya rumput dan dedaunan dan yang dipakainya hanyalah apa yang menutupi auratnya. Suatu hari setelah berkali-kali khalwat, ia memandang cermin tetapi ia tidak melihat dirinya, yang dilihat adalah Syekhnya.
Pada tahap ini Syekh memberinya otoritas untuk membimbing hamba Allah menuju tujuan mereka, membimbingnya ke Jalan yang Lurus, dan beliau menempatkannya pada Singgasana Penerus, dan melalui dirinya Matahari Bimbingan naik ke Menara Kebahagiaan.
Ketika gurunya wafat, ia terus berziarah ke makamnya selama dua tahun dan ia menerima cahaya dan ilmu yang dapat ditransmisikan oleh Syekhnya dari makamnya. Kemudian melalui hubungan spiritual ia diperintahkan untuk terhubung dengan seorang syekh yang masih hidup.
Ia sampai di Pintu seorang Mursyid Kamil di zamannya, Syekh Muhammad Afzal, Syekh Safi Sa`dullah, dan Syekh Muhammad `Abid. Ia merapatkan diri kepada Syekh Syah Kalsyan dan kepada syekh lain yang bernama Muhammad az-Zubair. Ia sering menghadiri sesi Syekh Muhammad Afzal, salah satu khalifah dari putra Syekh Muhammad Ma`sum (q). Ia datang dan belajar dari Syekh `Abdul Ahad dan menerima ilmu hadits Nabi (s) darinya. Selama di kelas, setiap kali Syekh menyebutkan sebuah hadits, ia akan lenyap melalui mahuwa dzat (menarik diri), dan sebuah penglihatan akan muncul kepadanya di mana ia akan mendapati dirinya sedang duduk bersama Nabi (s) dan mendengar hadits itu secara langsung dari Nabi (s). Ia akan mengoreksi setiap kesalahan yang mungkin terjadi dalam narasi hadits yang disampaikan, sehingga ia dikenal sebagai seorang yang jenius di dalam ilmu hadits.
Ia terus menemani Syekh-Syekh ini selama dua puluh tahun. Ia terus mengalami kemajuan dalam Maqam Kesempurnaan, sampai ia menjadi Samudra Ilmu. Ia diangkat menuju Cakrawala Qutub sampai ia menjadi Qutub di zamannya, bersinar seperti matahari di siang hari. Syekh Muhammad Afzal berkata, “Syekh Mazhar Habibullah diberi Maqam Qutub dan ia adalah poros tengah dari tarekat ini di masa kini.”
Kesempurnaan spiritualnya menarik orang dari segala penjuru di Sub Benua India. Dalam hadiratnya, setiap salik akan menemukan apa yang ia perlukan, sampai-sampai dengan berkahnya Sub Benua India menjadi seperti Ka`bah yang dikelilingi oleh kumpulan malaikat.
Di dalam dirinya yang mulia berpadu kekuatan dari empat tarekat. Ia adalah mursyid bagi Tarekat Naqsybandi, Qadiri, Suhrawardi dan Chisti. Ia sering berkata, “Aku menerima rahasia-rahasia dan ilmu dari tarekat-tarekat ini dari Syekhku, Sayyid Nur Muhammad Badawani (q), sampai aku menerima kekuatan yang istimewa dalam tarekat-tarekat ini. Beliau mengangkatku dari Tahap Ibrahimiah ke Tahap Muhammadiah, yang membuatku dapat melihat Nabi (s) duduk di tempatku sementara aku duduk di tempat beliau. Kemudian aku menghilang dan aku melihatnya duduk di kedua tempat itu. Kemudian aku melihatnya menghilang dan aku melihat diriku sendiri duduk di kedua tempat itu.”
Berikut ini adalah beberapa perkataan dari Syekh Mazhar (q):
“Suatu ketika aku sedang duduk dalam hadirat Syekh Muhammad `Abid dan Syekh berkata, “Kedua matahari pada kedua ujung bertemu, dan jika cahaya keduanya dipadukan dan dipancarkan ke seluruh alam semesta ini, ia akan membakar segala sesuatu.”
“Syekh Muhammad Afzal lebih tua dariku tetapi beliau biasa berdiri ketika aku masuk ke ruangan, dan beliau berkata kepadaku, ‘Aku berdiri untuk menghormati silsilah mulia yang kau miliki.’”
“Dunia dan segala isinya serta alam semesta dan segala isinya ada dalam genggamanku, dan aku dapat melihat mereka sejelas aku dapat melihat tanganku.”
Ia mempunyai pengalaman ajaib yang tak terhitung dan penglihatan spiritual yang sangat banyak tentang alam Surgawi begitu juga dengan dunia yang lebih rendah.
Suatu ketika ia berjalan dengan beberapa pengikutnya tanpa membawa perbekalan. Mereka berjalan dan setiap mereka merasa lelah, mereka akan beristirahat. Syekh akan memanggil mereka dan berkata, “Makanan ini untuk kalian,” dan semeja makanan muncul di hadapan mereka.
Suatu hari dalam perjalanan terjadi badai yang sangat mengerikan, angin menerbangkan semua yang ditemuinya. Cuaca sangat dingin dan orang-orang menggigil karena kedinginan. Situasi mereka bertambah buruk hingga seolah-olah mereka akan mati di gurun yang membeku itu. Kemudian Syekh Mazhar mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, jadikanlah ia mengelillingi kami tetapi tidak mengenai kami.” Dengan segera awan diangkat dari mereka, dan meskipun hujan yang dingin terus berlangsung selama satu mil ke depan, di sekeliling mereka suhunya meningkat hingga ke suhu yang nyaman bagi mereka.
Ia berkata, “Suatu ketika aku berziarah ke makam Syekh Muhammad Hafiz Muhsin. Aku mengalami keadaan fana dan dalam penglihatan spiritualku aku melihat tubuhnya. Tubuhnya utuh, tidak terurai, dan kain kafannya masih utuh dan bersih, hanya sedikit kotor di bagian kakinya. Melalui kekuatan spiritualku, aku bertanya mengenai hal itu. Beliau berkata, ‘Wahai anakku, aku akan menceritakan sebuah kisah kepadamu. Suatu hari aku mengambil sebuah batu dari halaman tetanggaku dan meletakkannya pada sebuah lubang di halamanku, dan aku berkata kepada diriku, ‘Besok pagi akan kukembalikan padanya,’ tetapi aku lupa. Akibatnya muncul kotoran di kafanku. Perbuatan tadi mencemari kafanku.’”
Ia berkata, “Sepanjang kalian diangkat dalam kesalehan, kalian akan diangkat dalam kewalian.”
Suatu hari ia menjadi marah pada seorang tiran, dan ia berkata, “Sebuah penglihatan spiritual datang kepadaku di aman aku melihat semua Syekh, dari Abu Bakr ash-Shiddiq (r) hingga Syekh yang sekarang, mereka semua tidak senang dengan tiran itu.” Hari berikutnya tiran itu meninggal dunia.
Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, saudaraku telah dipenjara di desa sebelah. Mohon doanya agar Allah menyelamatkannya.” Ia berkata, “Wahai anakku, saudaramu tidak dipenjara, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang salah dan besok kau akan menerima surat darinya.” Apa yang dikatakannya menjadi kenyataan.
Ia menginformasikan kepada para pengikutnya mengenai kabar gembira dan beberapa orang yang iri menolak untuk menerima apa yang ia katakan. Ia berkata, “Jika kalian tidak percaya, mari kita bawa seorang hakim. Kita akan menyampaikan sudut pandang kita masing-masing dan biarkan ia menilai di antara kita.” Mereka berkata, “Kami tidak menerima hakim lain kecuali Nabi (s) dan di Yawmil Hisab kami akan meminta penilaiannya mengenai hal ini.” Kemudian ia berkata, “Tidak perlu menunggu sampai Hari Kiamat. Kita akan meminta Nabi (s) memberikan penilaiannya sekarang.” Ia kemudian bertafakur secara mendalam dan ia diminta untuk membaca Surat al-Fatihah. Setelah ia melakukannya, tiba-tiba Nabi (s) muncul ke hadapan semua orang dan beliau (s) berkata, “Al-Mazhar Habibullah adalah benar dan kalian semua salah.”
Mengenai Penciptaan
Ia berkata, “Wujud hanyalah Sifat Allah sendiri. Dunia ini semata-mata hanyalah bayangan dari hakikat yang wujudnya ada di Hadriat Ilahi. Hakikat dari semua makhluk yang mungkin (haqa’iq al-mumkinat) adalah hasil dari perbuatan Sifat dan Kualitas Ilahiah pada Sesuatu yang Hampa (`adm). Wujud Sejati dari semua yang termanifestasi dalam makhluk fisik yang ditegaskan dalam bentuk cahaya dalam Hadirat Ilahi.
“Segala sesuatu yang muncul dalam penciptaan fisik semata-mata hanyalah bayangan dari hakikatnya yang bercahaya yang diproyeksikan oleh Kualitas Ilahiah terhadap kekosongan dari yang tak berwujud. Alam dari Sifat Ilahiah merupakan Asal dari Mata Air bagi Alam Semesta yang tercipta (mabadi’ ta`ayyunat al-a`lam). Karena semua makhluk fisik muncul dari kombinasi Kualitas Ilahiah Allah dengan Kekosongan, dengan demikian makhluk mempunyai bagian dari dua asal yang sifatnya berbeda. Dari sifat kehampaan yang tak berwujud dan bukan apa-apa muncul kualitas yang kental dari substansi fisik di mana dalam lingkup perbuatan manusia ia menghasilkan kegelapan, kebodohan dan kejahatan. Dari Sifat Ilahiah muncul Cahaya, Ilmu, dan Kebaikan. Dengan demikian seorang Sufi ketika ia melihat pada dirinya sendiri, melihat semua kebaikan di dalam dirinya sebagai cahaya dari Sifat Ilahi yang terrefleksikan padanya, tetapi itu bukan berasal darinya. Sebuah perumpamaan mengenai hal itu bisa berupa sebuah setelan bagus yang dipinjam membuat orang terlihat menawan, tetapi sesungguhnya itu bukan miliknya dan untuk itu ia tidak patut menerima pujian. Sebaliknya, ia melihat dirinya sebagai substansi dasar, penuh kegelapan dan kebodohan, dengan sifat yang lebih buruk daripada binatang. Dengan persepsi ganda ini, ia melepaskan keterikatannya dari tarikan ego dan tidak menonjolkan dirinya, dan berpaling ke arah tobat terhadap Sumber Ilahiah untuk semua Kebaikan. Dengan berpalingnya ini, Allah mengisi kalbunya dengan cinta dan rindu terhadap Hadirat Ilahi. Sebagaimana Allah berfirman di dalam Hadits Suci, “Jika hamba-Ku mendekati-Ku satu hasta, Aku akan mendekatinya sedepa; dan jika ia mendatangi-Ku berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.”
Menjelang wafatnya, Syekh Mazhar (q) berada dalam keadaan beremosi tinggi dan dalam cinta yang intens kepada Allah. Ia mengalami perasaan yang sangat tidak membahagiaan karena begitu lama berada di dunia yang fana ini. Ia menghabiskan hari-hari terakhirnya dengan bertafakur, dan ketika ditanya, ia akan selalu mengatakan bahwa ia berada dalam Maqamul Fana dan Wujud dalam Allah (swt). Ia meningkatkan zikirnya pada hari-hari terakhirnya, dan sebagai hasilnya muncul cahaya yang mempunyai daya tarik yang kuat sehingga ribuan salik masuk ke dalam tarekat. Setiap hari ada tiga ribu orang yang datang ke pintunya, dan ia tidak akan membiarkan seorang pun di antara mereka yang tidak bertemu dengannya. Akhirnya, ia menjadi begitu kelelahan sehingga ia dijadwalkan hanya 2 kali sehari bertemu dengan orang-orang.
Suatu hari, salah seorang pengikutnya, yaitu Syekh Mullah Nasim, meminta izin untuk melakukan perjalanan dan mengunjungi orang tuanya di kampung halamannya. Ia berkata, “Wahai anakku, jika engkau ingin pergi, silakan. Tetapi mungkin aku tidak ada di sini ketika engkau kembali.” Jawaban ini beredar dari mulut ke mulut, dan mengguncangkan hati orang-orang, karena itu menandakan bahwa eranya akan berakhir. Dengan tetesan air mata dan hati yang luka, orang-orang di sekitar Punjab mulai bersedih. Rumahnya penuh dan tidak seorang pun yang tahu apa yang terjadi bila ia wafat. Kemudian ia mengambil sehelai kertas dan menulis kepada salah seorang penerusnya, Mullah Abdur-Razzaq, “Wahai anakku, kini aku sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun, dan ajalku sudah dekat. Ingatlah aku di dalam doamu.” Ia mengirim surat itu padanya dan ia juga mengirim surat yang sama kepada banyak orang lainnya.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya, ia berkata, “Tidak ada yang tersisa di dalam hatiku apapun yang ingin kuraih atau sesuatu yang belum tercapai. Tidak ada sesuatu yang kuminta kepada Allah yang belum kuterima. Keinginanku sekarang hanyalah meninggalkan dunia ini dan berada dalam Hadirat-Nya seterusnya. Allah telah memberiku segala sesuatu, kecuali izin untuk bertemu dengan-Nya. Aku memohon kepada Allah untuk membawku kepada-Nya pada hari ini, sebelum besok. Tetapi aku tidak ingin menemui-Nya sebagai orang biasa. Aku ingin menemui-Nya sebagaimana yang digambarkan Allah di dalam kitab suci al-Qur’an, sebagai seorang syahid yang selalu hidup. Jadi, ya Allah, jadikanlah aku seorang syahid di dunia ini dan bawalah aku kepada-Mu sebagai seorang syahid. Kematian semacam ini akan memberi kebahagiaan bagi hatiku dan akan menjadikan aku berada di hadirat Nabi-Mu (s) dan Ibrahim (a) dan Musa (a) bersama 124.000 Nabi-Mu; dan bersama semua Sahabat Nabi (s), dan bersama dengan al-Junayd (q) dan mursyid tarekat ini, Syah Naqshband (q), dan bersama mursyid seluruh tarekat. Ya Allah, aku ingin menggabungkan antara menyaksikan kesyahidan fisik dengan kematian spiritual dalam Maqam Penyaksian, dalam Maqamul Fana’.”
Sore harinya, pada hari Rabu, tanggal tujuh Muharram 1195 H/1780 M. seorang pelayannya mendatanginya dan berkata, “Ada tiga orang di pintumu. Mereka ingin bertemu denganmu.” Ia berkata, “Biarkan mereka masuk.” Ketika mereka masuk, ia keluar dari kamarnya dan menyalami mereka. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apakah engkau Mirza Jan Janan Habibullah?” Ia menjawab, “Ya.” Kemudian orang kedua berkata kepada orang ketiga, “Ya, ini orangnya.” Salah seorang di antara mereka mengambil pisau dari kantongnya dan menikamnya dari belakang, menusuk ginjalnya. Karena usianya, ia tidak mampu menahan beratnya tusukan itu sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Ketika waktunya salat Subuh, Raja mengirim seorang dokter. Ia meminta dokter itu untuk pulang dan berkata, “Aku tidak memerlukannya. Dan untuk orang yang telah menikamku, aku memaafkannya, karena aku senang untuk mati sebagai seorang syahid dan mereka datang sebagai jawaban atas doaku.”
Ia wafat pada hari Jumat. Ketika sampai pada tengah hari, ia membaca Surat al-Fatihah dan Ya Sin sampai waktu `Ashar. Ia bertanya pada muridnya, berapa jam lagi sampai matahari terbenam. Mereka berkata, “Empat jam.” Ia menjawab, “Masih lama sampai aku bertemu Tuhanku.” Ia berkata, “Aku telah melewatkan 10 salat dalam hidupku, semuanya terjadi dalam dua hari terakhir ini, karena tubuhku penuh dengan darah dan aku tidak dapat mengangkat kepalaku.” Mereka bertanya kepadanya, “Jika seorang yang sakit dalam kondisi yang lemah seperti itu, apakah ia wajib untuk salat dengan gerakan matanya dan dahinya atau menunda salatnya?” Ia menjawab, “Keduanya benar.” Ia menunggu dengan sabar hingga matahari terbenam, kemudian ia wafat. Saat itu adalah malam `Asyura, 1195 H./1781 M.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1QRffZieABBnorKEu2cbp1FNh0hlG9D40Ol1FzSSxYUA/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
30. Abd Allah ad-Dahlawi (Syah Ghulam Ali)
Semoga Allah mensucikan Ruhnya
Ia adalah Puncak bagi orang-orang Arif dan Raja bagi Mursyid al-Kamil, Sang Penyingkap Ilmu Agama dan Penyingkap Rahasia Keyakinan; Yang Membenarkan Maqam Kesempurnaan, Syekh dari semua Syekh di Sub Benua India, Pewaris Ilmu dan Rahasia Tarekat Naqsybandi. Ia dikenal sebagai seorang Penyelam dan Perenang yang Unik dalam Samudra Keesaan; seorang Musafir di Gurun Maqamul Zuhud; Qutub bagi semua tarekat dan Qibrit al-Ahmar (Belerang Merah “Yang Paling Langka di antara yang langka) bagi semua kebenaran.
Ia menyempurnakan dirinya sendiri dan menghiasi dirinya dengan adab terbaik. Ia mengangkat dirinya hingga ke Langit Ilmu Spiritual yang Tinggi dan menghiasi dirinya dengan bintang-bintangnya. Ia menjadi bintang dalam segala ilmu. Ia tumbuh menjadi bulan purnama dan ia melihat cahaya muncul dari Matahari gurunya, sampai gurunya menerimanya untuk melatihnya secara formal dan merawatnya.
Syekh mendukungnya dengan kekuatan spiritualnya dan mengangkatnya menuju tingkat keberkahan tertinggi yang telah diraihnya, sampai ia mencapai maqam Haqqul Yaqiin dan maqam dari Pohon Lotus Terjauh. Kemudian ia mengirimnya kembali ke dunia ini, sampai ia menjadi mursyid bagi setiap umat manusia. Ia diberi izin untuk memberi bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Ia mendukung Syari`ah dan menegakkan Sunnah, dan membangkitkan Kebenaran dari lima tarekat: Qadiri, Suhrawardi, Kubrawi, Chishti dan Naqsybandi. Ia meneruskan rahasia-rahasia dari lima tarekat kepada para penerusnya, dan melaluinya kepada semua Syekh dalam Silsilah Keemasan. Ia mengangkat semua muridnya ke maqam-maqam yang terpuji dari Wali Abdal (Wali Pengganti) dan Awtad (Wali Pasak atau Tiang).
Ia dilahirkan pada tahun 1158 H./1745 M. di desa Bitala di Punjab. Ia adalah seorang keturunan dari Ahlul Bait. Ayahnya adalah seorang ulama besar dan zuhud, yang mendapat pelatihan dalam Tarekat Qadiri melalui Syekh Nasir ad-Din al-Qadiri, yang dilatih oleh Khidr (a). Sebelum ia dilahirkan, ayahnya melihat di dalam mimpi di mana Sayyidina `Ali, khalifah keempat, mengatakan kepadanya, “Panggilah ia dengan namaku.” Ibunya bermimpi bertemu dengan seorang yang saleh yang berkata, “Kau akan mempunyai seorang anak laki-laki. Panggillah ia dengan nama `Abdul Qadir.” Kemudian ayah dan ibunya mempunyai mimpi yang sama di mana Nabi (s) mengatakan kepada mereka untuk menamai anaknya dengan nama `Abdullah. Karena perintah Nabi (s) lebih utama untuk didahulukan, maka beliau menamai anaknya `Abdullah Syah Ghulam `Ali.
Ia mampu menghafal al-Qur’an dalam satu bulan karena kejeniusannya. Ia mendidik dirinya sendiri dalam ilmu lahir dan batin, sampai ia menjadi yang tertinggi di antara para ulama. Ketika masa kanak-kanak, ia sering pergi ke gurun, berzikir di sana selama berbulan-bulan sekaligus; dengan memakan apapun yang bisa didapatkannya. Suatu ketika ia tinggal selama 40 hari tanpa tidur dan tanpa memakan apapun. Zikirnya tidak berhenti. Syekh ayahnya memerintahkan ayahnya untuk membawa anaknya kepadanya untuk diberi bay’at dalam Tarekat Qadiri. Malam di mana ia tiba di rumah Syekh itu, ternyata ia sudah wafat. Ayahnya berkata, “Kami ingin memberimu Tarekat Qadiri, tetapi sekarang kau bebas untuk menempuh jalan apapun yang cocok bagimu.”
Ia terus menemani Syekh dari Tarekat Chisti di Delhi, di antaranya adalah Syekh Dia'ullah, Syekh `Abdul `Addad, khalifah dari Syekh Muhammad Zubair, Syekh Mirdad, Mawlana Fakhruddin, dan banyak lagi lainnya, sampai ia berusia dua puluh dua. Ia datang sendiri ke Khaniqah Syekh Jan Janan Habibullah (q). Ia meminta izinnya untuk memasuki Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Syekh Habibullah berkata kepadanya, “Lebih baik bagimu untuk berada dalam tarekat-tarekat itu yang mempunyai cita rasa dan gairah, karena di dalam tarekat kami tidak ada yang lain kecuali menjilati batu tanpa garam.” Ia berkata, “Itulah tujuan tertinggiku.” Syekh Habibullah menerimanya dan berkata, “Semoga Allah memberkatimu. Tinggallah di sini.”
Ia berkata, “Setelah aku menerima ilmu hadits dan menghafal Qur’an dan mempelajari tafsirnya, aku berdiri di hadapan Syekhku. Beliau memberi bay’at dalam Tarekat Qadiri melalui tangan sucinya. Beliau juga memberiku bay’at dalam Tarekat Naqsybandi-Mujaddidi. Aku sedang berada di hadirat majelis zikir dan dalam asosiasinya selama 15 tahun. Kemudian beliau memberiku otoritas untuk membimbing dan melatih murid-murid. Pada awalnya aku merasa ragu karena aku takut bahwa Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) tidak akan memberiku izin untuk mengajar dalam Tarekat Naqsybandi. Suatu hari aku melihatnya dalam penglihatan spritual selama masa-masa keraguanku, beliau duduk di sebuah singgasana. Syah Naqsyband (q) lalu masuk. Sayyidina `Abdul Qadir Jilani (q) segera berdiri dan mempersilakan Syah Naqsyband (q) untuk duduk di singgasana itu dan beliau tetap berdiri dalam hadiratnya. Dalam hatiku terlintas pikiran bahwa ini adalah sebuah tanda untuk menghormati Syah Naqsyband (q). Beliau berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Syah Naqsyband (q). Yang menjadi tujuan adalah Allah. Jalur apapun yang kau pilih, kau dapat mencapai-Nya.’”
Ia berkata, “Aku hidup dengan pendapatan dari sebuah properti yang aku miliki. Tetapi kemudian aku melepaskannya demi Allah. Setelah itu aku mengalami banyak kesulitan karena tidak mempunyai pendapatan. Aku hanya memiliki sebuah tikar tua untuk tidur dalam cuaca yang dingin dan sebuah bantal kecil untuk menyangga kepalaku. Aku menjadi sangat lemah. Aku mengunci diriku di kamarku dan berkata kepada diriku sendiri, ‘Wahai diriku, ini adalah kuburanmu. Aku tidak akan membuka pintu itu untukmu. Apapun yang Allah sediakan untukmu, kau boleh mengambilnya. Kau akan tinggal di sini tanpa makanan dan tanpa apa-apa kecuali tikar dan bantal itu. Air akan menjadi makananmu. Wahai ruhku, zikrullah akan menjadi makanan untukmu.’ Aku tinggal dalam kondisi seperti itu selama 40 hari, aku menjadi sangat lemah, sampai Allah mengirimkan seseorang mengetuk pintuku. Ia melayaniku dengan memberi makanan dan pakaian selama 50 tahun.”
Ia berkata, “Ketika aku mengunci pintu kamarku dan aku mengatakan apa yang kukatakan, Perlindungan Allah datang kepadaku. Suatu hari seseorang datang dan berkata, ‘Buka pintunya.’ Aku berkata, ‘Aku tidak ingin membukanya.’ Ia berkata, ‘Bukankah engkau memerlukan aku?’ Aku berkata, ‘Tidak, aku memerlukan Allah (swt).’ Pada saat itu aku mengalami penglihatan spiritual di mana aku diangkat ke Hadratillah dan seolah-olah aku telah menghabiskan waktu seribu tahun di Hadirat-Nya. Kemudian aku kembali dan Dia berkata, ‘Bukalah pintu itu.’ Setelah itu aku tidak pernah mengalami kesulitan lagi.”
Orang-orang berdatangan dari mana-mana. Kemasyhurannya sampai ke Byzantium, Iraq, Khorasan, Transoxiana, dan Suriah. Ketenaranny juga mencapai Afrika Utara. Ia mengirimkan khalifah dan deputinya ke mana-mana atas perintah Sayyidina Muhammad (s). Di antara mereka adalah Sayyidina Khalid Baghdadi (q). Ia mencapai orang-orang melalui mimpi dan membimbing orang-orang di negeri-negeri yang jauh. Orang-orang menempuh perjalanan jauh untuk menemuinya, mengatakan kepadanya, “Kau memanggilku melalui mimpiku.”
Khaniqahnya biasanya memberi makanan untuk 2000 orang setiap hari dan selalu penuh. Ia tidak pernah menyimpan makanan untuk keesokan hari. Karena kesederhanaannya ia tidak pernah berselonjor, karena ia takut kalau-kalau itu akan terarah kepada Nabi (s) atau kepada Wali tertentu yang berada di Hadratillah. Ia tidak pernah melihat pada cermin. Jika seekor anjing memasuki rumahnya untuk mencari makan, ia akan berkata, “Ya Allah, siapakah aku menjadi wasilah bagi-Mu dengan Pecinta-Mu? Dan siapakah aku hingga memberi makan mereka ketika Engkau memberiku makan dan memberi mereka makan? Ya Allah, aku berdoa demi makhluk-Mu, makhluk yang ini, dan semua orang yang datang padaku meminta kasih sayang, kirimkanlah aku Rahmat demi mereka dan bawalah aku lebih dekat dengan-Mu dan tolonglah aku untuk memegang Sunnah Nabi (s) dan menerima apa yang telah Kau tetapkan dan meninggalkan apa yang Kau larang.”
Ia berkata, “Suatu ketika Isma`il al-Madani datang mengunjungiku, atas perintah Nabi (s). Dari negerinya, Hijaz, ia telah menempuh ribuan mil. Beliau membawa beberapa relik peninggalan Nabi (s) sebagai hadiah untukku. Aku meletakkannya di Masjid Jami di Delhi.”
Ia berkata, “Suatu ketika Raja Nabdilkahand mendatangiku dan beliau memakai busana orang-orang kafir. Ketika aku melihatnya, aku marah terhadapnya dan aku katakan, ‘Kau tidak bisa duduk di hadiratku dengan pakaian semacam itu.’ Raja itu menjawab, ‘Jika kau mengecamku sedemikian rupa, aku tidak akan datang ke majelismu.’” Syekh berkata, “Itu lebih baik.” Raja itu lalu berdiri dengan marah dan kemudian pergi. Ketika ia sampai di pintu, sesuatu terjadi padanya, tidak ada yang tahu apa itu. Ia lalu melemparkan busana ala kafir itu dan segera kembali dan mencium tangan Syekh lalu mengambil bay’at darinya. Raja itu kemudian menjadi salah satu pengikutnya yang paling setia. Orang-orang bertanya apa yang terjadi padanya dan ia menjawab, “Ketika aku pergi keluar, aku melihat Syekh datang ke pintu bersama Nabi (s), padahal beliau berada di dalam! Itulah yang membuatku kembali kepadanya.”
Ia sangat jarang tidur. Ketika ia bangun untuk melakukan salat Tahajud, ia akan membangunkan setiap orang untuk duduk bertafakur bersamanya dan membaca al-Qur’an. Yang menjadi amalannya setiap hari adalah membaca sepertiga al-Qur’an kemudian salat Fajar bersama jemaahnya. Kemudian ia akan duduk dalam majelis zikir dan tafakur hingga matahari terbit. Ia akan salat Isyraq kemudian memberikan shuhba. Ia akan duduk membaca Hadits dan membaca tafsir Qur’an. Ia lalu salat Duha kemudian duduk untuk makan bersama para pengikutnya. Ia makan sedikit dan setelah makan ia akan membaca buku religius atau buku-buku spiritual dan menulis beberapa surat. Setelah Zhuhur ia akan duduk dan membaca tafsir dan hadits sampai waktu `Ashar. Setelah `Ashar ia akan berbicara mengenai Sufisme dan tokoh-tokoh terkemuka, seperti: al-Qusyayri, atau Ibn 'Arabi atau Syah Naqsyband (q). Kemudian ia akan duduk di dalam majelis zikir sampai Maghrib. Setelah Maghrib ia akan duduk dalam majelis privat bersama pengikutnya. Kemudian ia akan makan malam dan salat `Isya. Setelah `Isya ia akan mengisi waktu dengan zikir dan tafakur. Ia akan tidur selama satu atau dua jam, lalu ia akan bangun untuk melakukan Tahajud.
Masjidnya terlalu kecil untuk para pengikutnya, karena ia hanya bisa menampung 2.000 orang. Jadi, ia biasa membaca zikir untuk para pengikutnya secara bergiliran, setiap giliran, masjidnya penuh.
Siapapun yang memberinya donasi, pertama ia akan membayarkan zakat dari donasi itu. Menurut Mazhab dari Imam Abu Hanifa, tanpa menunggu waktu berjalan selama setahun, karena memberi zakat segera lebih baik daripada memberi sedekah. Ia akan menggunakan sisa dari donasi itu untuk mempersiapkan makanan dan manisan untuk fakir miskin dan membelanjakan untuk kebutuhan zawiyah dan kebutuhan pribadinya.
Beberapa orang pernah mencuri uang itu, tetapi ia tidak menegur mereka, tetapi akan menyerahkan urusannya kepada Allah. Suatu hari seseorang mencuri sebuah buku darinya kemudian mengembalikannya dengan menjualnya. Ia memuji orang itu dan memberinya sejumlah uang. Seorang muridnya berkata, “Wahai guruku, buku ini adalah buku yang dicuri dari perpustakaanmu sendiri dan di dalamnya ada tanda tanganmu.” Ia berkata, “Jangan menggunjing, urusan itu adalah antara dia dengan Allah.”
Ia selalu duduk dengan posisi berlutut, tidak pernah bersila atau berselonjor, tetapi dengan posisi menghormati Nabi (s) dan ia wafat dalam posisi seperti ini. Ia menyembunyikan apa yang ia berikan sebagai sedekah. Ia tidak pernah melihat berapa banyak yang ia berikan dan kepada siapa ia memberikannya. Ia memakai pakaian lama. Jika ia diberi pakaian baru, ia akan menjualnya dan membeli banyak pakaian tua dari hasil penjualannya. Ia berkata, “Lebih baik bagi orang banyak mempunyai beberapa baju daripada hanya seorang mempunyai baju yang bagus.”
Asosiasinya seperti asosiasi Sufyan ats-Tsawri, seorang Sahabat Nabi (s): tidak pernah bersuara keras, tidak ada gunjingan, dan tidak ada urusan duniawi yang didiskusikan. Tidak ada yang terdengar di sana kecuali tentang spiritualitas dan agama.
Suatu hari Syekh berpuasa dan salah seorang pengikutnya berbicara kasar tentang Raja India. Ia berkata kepadanya, “Sayang sekali bagiku, aku kehilangan puasaku.” Mereka berkata kepadanya, “Wahai guru kami, kau tidak melakukan apa-apa; orang yang bicaralah yang bertanggung jawab.” Ia berkata, “Tidak, orang yang bicara dan yang mendengar membagi dosa itu bersama.”
Ia sangat mencintai Nabi (s) sehingga setiap kali nama sucinya disebutkan ia akan terguncang dan pingsan. Ia sangat teliti dalam mengikuti Nabi (s) dalam perbuatan dan menjaga Sunnahnya.
Kata-Kata mengenai Kesempurnaannya dan Kesempurnaan dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Tarekat Naqsybandi dibangun atas empat prinsip, yaitu: menjaga Hadirat Allah; ilham Ilahiah, daya tarik dan mengabaikan bisikan-bisikan.”
“Siapa pun yang meminta Rasa dan Kerinduan, ia tidak benar-benar meminta Hakikat dari Hadratillah.”
“Seorang salik harus sangat waspada bagaimana ia melewati setiap momen hidupnya. Ia harus tahu bagaimana ia salat; ia harus tahu bagaimana ia membaca Qur’an; ia harus tahu bagaimana ia membaca Hadits; ia harus tahu bagaimana ia melantunkan Zikir; ia harus tahu berapa banyak kegelapan yang ia dapatkan dari makanan yang meragukan.”
"Makanan ada dua macam; yang pertama adalah untuk memuaskan diri dan yang kedua untuk memelihara diri. Yang pertama tidak dapat diterima, tetapi yang kedua dapat diterima karena ia memberikan kekuatan yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban kalian dan menjaga Sunnah Nabi (s).”
“Sebagaimana meminta yang halal (hal-hal yang dibolehkan) adalah kewajiban bagi setiap Mukmin; menolak yang halal juga merupakan kewajiban bagi setiap Arif, Seorang yang Arif, seorang Sufi adalah orang yang menolak dunia dan akhirat, meskipun keduanya adalah halal. Ia tidak menerima yang lain kecuali Allah (swt).”
“Harus dimengerti oleh setiap orang bahwa semua kesempurnaan berpadu pada diri Nabi (s). Penampilan kesempurnaannya pada setiap abad dan waktu yang berbeda adalah berdasarkan pada kesiapan dan keadaan dari abad dan waktu pada saat itu. Itulah sebabnya penampilan dari kesempurnaannya di masa hidupnya dan di masa para Sahabat berada dalam bentuk Jihad dan perjuagan dalam berdakwah. Penampilannya kepada para awliya di abad berikutnya melalui hadirat sucinya adalah dalam bentuk Gaib (Peniadaan Diri), Fana, Cita Rasa, Gairah, Emosi, Rahasia Tauhid dan keadaan spiritual lainnya. Itulah yang telah muncul ke dalam kalbu dan pada lidah para Awliya.”
“Bagi kita malam yang lapar adalah malam Mi’raj. Malam yang lapar adalah malam yang menginginkan Allah.”
“Bay`ah (Inisiasi) ada tiga kategori: yang pertama adalah untuk perantaraan Syekh; kedua untuk tobat dari dosa-dosa; dan yang ketiga untuk terpaut atau terhubung dengan dan menerima silsilah.”
“Semua kesempurnaan manusia kecuali Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q), sementara Kesempurnaan Nabawi muncul pada Sayyidina Syah Naqsyband (q)."
“Manusia ada empat kategori: mereka yang tidak seperti manusia, karena semua yang mereka minta hanyalah dunia; lalu mereka yang meminta Akhirat; manusia yang matang yang meminta Akhirat dan Allah; dan manusia istimewa yang hanya meminta Allah.”
“Ruh manusia akan diambil oleh Malaikat Maut, tetapi ruh orang yang terpilih tidak dapat didekati oelh malaikat; Allah sendiri yang mengambilnya dengan Tangan Suci-Nya.”
“Pikiran Ilahi adalah pikiran yang tahu tujuannya tanpa sebuah mediator, sedangkah Pikiran Duniawi adalah pikiran yang perlu melihat jalannya melalui seorang pemandu dan seorang wali.”
“Barang siapa yang ingin berkhidmah, ia harus berkhidmah pada Syekhnya.”
Dari Penglihatan Spiritualnya
Mengenai penglihatan spiritualnya, ia berkata,
“Suatu ketika aku mempunyai sebuah penglihatan spiritual di mana aku melihat al-Mir Ruhullah, salah satu pengikut Jan Janan Habibullah (q), yang berkata kepadaku, ‘Nabi (s) sedang menantimu.’ Di dalam penglihatan itu aku bergerak ke tempat di mana Nabi (s) menunggu. Beliau memelukku dan dengan pelukan itu aku berubah seperti dirinya. Kemudian aku berubah seperti sosok Syekhku, Jan Janan Habibullah (q). Kemudian aku berubah seperti Syekh Amar Kulal (q). Kemudian aku berubah seperti Syah Naqsyband (q), dan kemudian aku berubah seperti `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q). Kemudian aku berubah seperti Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r), Sahabat Nabi (s).”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual mendekati waktu salat `Isya di mana aku melihat Nabi (s) mendatangiku dan berkata, ‘Aku mempunyai nasihat untukmu dan murid-muridmu; jangan tidur sebelum `Isya.’”
“Suatu ketika aku mendapat penglihatan spiritual di mana aku bertanya kepada Nabi (s), ‘Kau bersabda bahwa ‘Barang siapa yang melihatku, maka ia telah melihat Kebenaran.’ Beliau (s) berkata, ‘Ya, dan ia akan melihat Allah (swt).”
“Suatu hari aku mempunyai penglihatan spiritual di mana aku melihat Nabi (s) datang kepadaku dan beliau (s) berkata kepadaku, “Jangan melewatkan membaca Qur’an dan melakukan zikir, kau dan murid-muridmu, dan kirimkanlah selalu pahalanya sebagai hadiah untukku; dengan begini kau akan memperolah pahala yang besar.”
“Suatu ketika aku mempunyai penglihatan spiritual dan aku berkata kepada Nabi (s), ‘Aku sungguh takut dengan api neraka.’ Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Siapapun yang mencintai kami, ia tidak akan masuk neraka.’”
“Suatu ketika aku mempunyai suatu penglihatan spiritual dan aku melihat Allah (swt) berbicara padaku. Dia berkata, “Wahajahmu adalah wajah Sulthan al-Awliya, dan engkaulah orangnya.’”
“Di dalam penglihatan spiritualku aku melihat Syah Naqsyband (q) mendatangiku, memelukku, dan memasuki pakaianku. Kami menjadi satu. Aku bertanya padanya, ‘Siapakah engkau?’ Beliau menjawab, ‘Syah Bahauddin Naqsyband, dan kau adalah aku dan aku adalah engkau.’”
Suatu ketika ia berada di tepi laut dan ombak sedang mengamuk dan ia melihat sebuah kapal sedang berlayar. Kapal itu terancam tenggelam, tetapi segera setelah ia memandangnya, kapal itu berhenti terombang-ambing dan laut menjadi tenang.
Suatu ketika salah seorang pengikutnya, Syekh Ahmad Yar, sedang menempuh perjalanan dagang dalam sebuah karavan. Karavan itu berhenti untuk beristirahat. Ia tertidur dan di dalam mimpinya ia melihat Syekhnya berkata, “Pergilah segera dari sini, ada perampok yang akan menyerang.” Ia terbangun dan bercerita kepada orang-orang, tetapi mereka tidak mau percaya. Akhirnya ia pergi sediri dan perampok itu datang dan membunuh semua orang.
Suatu hari Syekh Zul Syah bersiap-siap untuk mengunjungi Syekh `Abdullah dari tempat yang sangat jauh. Ia tersesat di jalan. Seorang pria mendatanginya dan menunjukkan arah yang benar. Ia bertanya kepadanya siapa dia. Ia menjawab, “Aku adalah orang yang akan kau datangi.”
Syekh Ahmad Yar berkata, “Suatu ketika Syekh `Abdullah pergi untuk melayat seorang wanita salehah yang putrinya meninggal dunia. Wanita itu dan suaminya menjamunya. Syekh berkata kepada wanita itu dan suaminya, ‘Allah akan memberi kalian seorang anak laki-laki menggantikan putri kalian.’ Wanita itu berkata, ‘Aku sudah berusia enam puluh tahun dan aku telah melewati masa usia suburku, dan suamiku sudah berusia 80 tahun. Bagaimana mungkin kami bisa mempunyai anak?’ Beliau berkata, ‘Jangan bertanya bagaimana Allah dapat melakukannya! Itu adalah suatu keberkahan untuk kalian dan restuku untuk kalian.’ Kemudian beliau pergi keluar, mengambil wudu dan salat dua rakaat di masjid. Kemudian beliau mengangkat tangannya untuk berdoa, ‘Ya Allah karuniakan seorang anak kepada mereka sebagaimana yang telah Kau janjikan kepadaku.’ Kemudian beliau memandangku dan berkata, ‘Doa itu telah diterima.’ Berikutnya, wanita itu melahirkan seorang anak laki-laki.”
Suatu hari seorang wanita yang merupakan saudara dari Mir Akbar `Ali dan seorang murid dari Syekh jatuh sakit. Mir Akbar `Ali mendatangi Syekh dan memintanya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan penyakitnya, tetapi Syekh menolak untuk memberikan doa. Mir Akbar`Ali tetap bersikeras. Syekh berkata, “Itu mustahil, karena wanita itu akan meninggal dunia dalam lima belas hari.” Mir `Ali pulang ke rumah dan dua minggu kemudian wanita itu meninggal dunia.
Suatu ketika di daerah sekitar Delhi terjadi kekeringan dan tidak ada tanaman yang bisa tumbuh. Orang-orang menjadi putus asa. Pada suatu hari yang sangat panas Syekh `Abdullah pergi keluar halaman masjid dan di bawah matahari yang menyengat, ia berkata, ‘Ya Allah, aku tidak akan bergerak dari sini sampai Engkau menurunkan hujan kepada kami.’ Belum lagi doanya selesai, langit dipenuhi awan dan hujan mulai turun. Hujan itu terus berlangsung selama 40 hari.
Ia berkata, “Aku ingin mati seperti Syekhku, Mirza Jan Janan Habibullah, sebagai seorang syahid. Tetapi aku ingat bahwa setelah beliau wafat orang-orang menderita kekeringan selama tiga tahun dan banyak terjadi pembunuhan dan masalah karena Allah murka dengan orang yang membunuhnya. Oleh sebab itu ya Allah, aku tidak ingin mati seperti itu, tetapi aku meminta-Mu untuk membawaku kepada-Mu.”
Ia wafat pada tanggal 12 Shafar 1241 H./1825 M. Ia wafat dengan buku Hadits Nabi (s), Jami` at-Tirmidzi, di tangannya. Ia dimakamkan di sebelah makam Syekhnya di Khaniqah Jan Janan Habibullah di Delhi.
Ia meninggalkan banyak buku, termasuk Maqamat an-Naqsybandiyya, Risalat al-Isytighal bi Ismi-l-Jalal, Manahij at-Tahqiq, dan Minatu-r-Rahman.
Ia meneruskan rahasianya kepada Mawlana Syekh Khalid al-Baghdadi al-`Utsmani as-Sulaymani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1h0exglbf4krvuYv_4Non5D2j2o-7U0Jcg2uRBExDWP0/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
31. Khalid al-Baghdadi
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah Ulama dari para Ulama dan Wali dari para Wali dan Arif dari para Arifin dan Cahaya dan Bulan Purnama dari Tarekat ini di zamannya. Ia adalah Pemegang Rahasia dari Hakikat dan Hakikat dari Rahasia. Rahasianya bergerak ke dalam setiap manusia sebagaimana ruh bergerak ke dalam tubuh. Jika Nabi Muhammad (s) bukanlah Khatamul Anbiya, mungkin saja kata-katanya merupakan wahyu Ilahi. Ia menyebarkan ilmu Syari`ah dan Tasawuf. Ia adalah seorang mujtahid (penguasa) dalam Syari`ah dan Hakikat. Ia adalah Ulama dari Mursyid Kamil dan Wali dari Ulama Kamil. Ia mencapai semua ilmu spiritual dan ilmu duniawi. Ia mempelajari batang dan cabang-cabangnya. Ia adalah Pusat dari Lingkaran Qutub di zamannya dan ia merupakan jalan untuk menggabungkan akhir dengan awal dan awal dengan akhir.
Ia adalah seorang Mujaddid, Pembangkit Nilai-Nilai Agama dari abad ke-13 Hijriah. Alam semesta bangga akan kehadirannya. Ia dilahirkan pada tahun 1193 H./1779 M. di desa Karada, di kota Sulaymaniyyah, Iraq. Ia dibesarkan dan dilatih di kota itu, di mana ada banyak sekolah dan masjid di sana. Bahkan kotanya dianggap sebagai kota pendidikan utama pada masa itu. Kakeknya adalah Pir Mika'il Chis Anchit, yang artinya Mika'il, Wali dengan enam jari. Gelarnya adalah `Utsmani karena ia adalah keturunan Sayyidina `Utsman ibn `Affan (r), khalifah ketiga Rasulullah (s). Ia mempelajari Qur’an dan penjelasan dari Imam Rifai menurut Mazhab Syafi’ii. Ia terkenal akan puisinya. Ketika ia berusia lima belas tahun ia menganut zuhud sebagai akidahnya, lapar sebagai tunggangannya, keterjagaan sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi sebagai cahayanya.
Ia adalah seorang salik di Dunia Allah dan ia mencapai berbagai jenis ilmu yang ada di zamannya. Ia belajar dari dua ulama besar di zamannya, yaitu Syekh `Abdul Karam al-Barzinji dan Syekh Abdur al-Barzinji, dan ia membaca bersama Mullah Muhammad `Ali. Ia kembali ke Sulaymaniyyah dan di sana ia mempelajari ilmu matematika, filosofi, dan logika. Kemudian ia datang ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia mengenai Prinsip-Prinsip Fikih.
Kemudian ia mempelajari karya Ibn Hajar, Suyuti, dan Haythami. Ia mampu menghafal tafsir Qur’an dari Baydhawi. Ia mampu menemukan pemecahan bahkan bagi pertanyaan-pertanyaan tersulit di bidang fikih. Ia mampu menghafal Qur’an dalam empat belas Qiraat yang berbeda, dan ia menjadi sangat terkenal di mana-mana karena kemampuannya ini. Pangeran Ihsan Ibrahim Pasha, yang merupakan gubernur daerah Baban berusaha membujuknya untuk mengurus sekolah di kerajaannya. Namun ia menolaknya dan ia pindah ke kota Sanandaj, di mana ia mempelajari ilmu matematika, teknik, astronomi dan kimia. Gurunya dalam disiplin ini adalah Muhammad al-Qasim as-Sanandaji. Setelah menyelesaikan studi ilmu-ilmu sekuler ia kembali ke kota Sulaymaniyyah. Menyusul terjadinya wabah penyakit pada tahun 1213 H/1798 M. ia mengambil alih madrasah Syekh `Abdul Karam Barzinji. Ia mengajarkan ilmu-ilmu modern, dan memverifikasi persamaan-persamaan yang rumit dalam astronomi dan kimia.
Ia kemudian melaksanakan khalwat, meninggalkan semua yang telah dipelajarinya, dan datang ke pintu Allah dengan segala ibadah dan banyak zikir, baik zikir jahar maupun khafi. Ia tidak lagi mengunjungi sultan, tetapi ia tetap berkumpul bersama murid-muridnya sampai tahun 1220 H./1806 M. ketika ia memutuskan untuk menunaikan ibadah Haji dan mengunjungi Nabi (s). Ia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz melalui kota Mosul dan Yarbikir dan ar-Raha dan Aleppo dan Damaskus, di mana ia bertemu para ulama di sana dan mengikuti Syekh di sana, yang merupakan syekh bagi ilmu qadim dan modern, serta guru ilmu hadits, asy-Syekh Muhammad al-Kuzbara. Ia menerima otoritas dalam Tarekat Qadiri dari Syekh al-Kuzbari dan deputinya, Syekh Mustafa al-Kurdi, yang turut menemaninya pergi hingga sampai di kota Nabi (s).
Ia memuji Nabi (s) dalam puisi Persia sedemikian rupa sehingga orang-orang merasa takjub akan kefasihannya. Ia menghabiskan waktu yang panjang di Kota Nabi (s). Ia melaporkan:
“Aku sedang mencari seorang saleh yang langka untuk mendengarkan nasihat darinya ketika aku melihat seorang Syekh di sebelah kanan dari Rawdhatu-sy-Syarifa. Aku memintanya untuk memberikan nasihat, dari seorang ulama yang bijak kepada seorang yang bodoh. Beliau menasihatiku agar tidak merasa keberatan ketika aku memasuki Mekah, terhadap masalah-masalah yang mungkin muncul dan bertentangan dengan Syari`ah. Beliau menasihati agar aku tetap diam. Aku lalu mencapai Mekah dan aku menjaga nasihat itu di dalam hatiku. Aku pergi ke Masjidil Haram dini hari pada hari Jumat. Aku duduk di dekat Ka’bah membaca Dala'il al-Khayrat, ketika aku melihat seorang pria dengan janggut hitam bersandar pada sebuah tiang dan memandangku. Dalam hatiku terlintas bahwa orang itu kurang memperlihatkan penghormatan kepada Ka’bah, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa mengenainya dan mengenai persoalan itu.
“Ia memandangku dan memarahiku dengan berkata, ‘Hei bodoh, tidakkah kau tahu bahwa kemuliaan hati orang beriman lebih berharga daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa engkau mengkritikku di dalam hatimu karena aku berdiri membelakangi Ka’bah dan wajahku mengarah padamu. Apakah kau tidak mendengar nasihat Syekh di Madinah yang mengatakan kepadamu untuk tidak mengkritik?’ Aku mengejarnya dan meminta maaf, mencium tangan dan kakinya dan memohon bimbingannya menuju Allah. Ia berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, hartamu dan kunci untuk kalbumu bukan di daerah ini, tetapi di India. Syekhmu berada di sana. Pergilah ke sana dan beliau akan menunjukkan apa yang harus kau lakukan.’ Aku tidak menjumpai seseorang yang lebih baik darinya di seluruh Masjidil Haram. Ia tidak mengatakan kepadaku India mana yang harus kutuju, sehingga aku kembali ke Syam dan berkumpul bersama ulama-ulama di sana.”
Ia kemudian kembali ke Sulaymaniyyah dan melanjutkan ajarannya mengenai penyangkalan diri. Ia selalu mencari orang yang dapat menunjukkan jalan baginya. Akhirnya, ada seseorang yang datang ke Sulaymaniyyah. Beliau adalah Syekh Mawlana Mirza Rahimullah Beg al-M`aruf, yang dikenal dengan nama Muhammad ad-Darwish `Abdul `Azim al-Abadi, salah seorang khalifah dari Qutub al-A`zham, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berjumpa dengannya dan memberinya penghormatan dan bertanya mengenai mursyid kamil yang dapat menunjukkan jalan baginya. Beliau mengatakan, “Ada seorang Syekh kamil, seorang Ulama dan Arifin, yang menunjukkan jalan pada salik menuju Raja Diraja, seorang yang ahli dalam urusan-urusan pelik, mengikuti Tarekat Naqsybandi, membawa akhlak Nabi (s), seorang mursyid dalam Ilmu Spiritual. Ikutlah denganku untuk berkhidmah kepadanya di Jehanabad. Sebelum aku berangkat, beliau berkata kepadaku, ‘Kau akan bertemu seseorang, ajaklah ia bersamamu.’”
Syekh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H./1809 M. melalui kota Ray, kemudian Tehran, dan beberapa provinsi di Iran di mana ia bertemu dengan seorang ulama besar Isma`il al-Kashi. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke Kharqan, Samnan, dan Nisapur. Ia mengunjungi Master dari semua induk Tarekat di Bistham, Syekh Bayazid al-Bisthami, dan ia memujinya di makamnya dengan puisi Persia yang sangat fasih. Kemudian ia bergerak ke Tus, di mana ia mengunjungi as-Sayyid al-Jalal al-Ma'nas al-Imam `Ali Rida, dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya yang membuat semua penyair di Tus menerimanya. Kemudian ia memasuki kota Jam dan ia mengunjungi asy-Syekh Ahmad an-Namiqi al-Jami dan ia memujinya dengan puisi Persia lainnya. Kemudian ia memasuki kota Herat di Afghanistan, kemudian Kandahar, Kabul, dan Peshawar. Di semua kota ini, ulama-ulama besar yang ditemuinya akan menguji pengetahuannya mengenai Syari`ah dan Makrifat, begitu pula di bidang logika, matematika, dan astronomi. Mereka mendapati bahwa ia bagaikan sungai yang luas, yang mengalir dengan ilmu, atau seperti samudra tak bertepi.
Kemudian ia pindah ke Lahore, di mana ia bertemu dengan Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi dan meminta doa restunya.
Ia mengingat,
“Malam itu aku tidur di Lahore dan aku bermimpi di mana Syekh Tsana'ullah an-Naqsybandi menarikku dengan giginya. Ketika aku bangun, aku ingin menceritakan mimpi itu padanya, tetapi beliau berkata, ‘Jangan menceritakan mimpimu kepadaku. Kami sudah mengetahuinya. Itu adalah tanda untuk melanjutkan perjalanan menuju saudaraku dan Syekhku, Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q). Pembukaan kalbumu ada di tangannya. Kau akan mengambil bay’at dalam Tarekat Naqsybandi.’ Kemudian aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syekh. Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi gunung dan lembah dan gurun sampai aku sampai di Kesultanan Delhi yang dikenal dengan Jehanabad. Perlu satu tahun untuk mencapai kota ini. Empat puluh hari sebelum aku sampai, beliau mengatakan kepada murid-muridnya, ‘Penerusku akan datang.’”
Malam ketika ia memasuki kota Jehanabad ia menulis puisi dalam bahasa Arab, menelusuri tahun-tahun perjalanannya dan memuji Syekhnya. Kemudian ia memujinya dengan puisi dalam bahasa Persia yang memukau orang-orang karena kefasihannya. Ia memberikan segala yang dibawanya dan semua yang ada di sakunya kepada fakir miskin. Kemudian ia dibay’at oleh Syekhnya, `Abdullah ad-Dahlawi (q). Ia berkhidmah di zawiyahnya dan membuat perkembangan pesat dalam berjuang melawan diri (nafs). Lima bulan belum berlalu ketika ia menjadi salah seorang di antara orang-orang dari Hadratillah dan yang mempunyai Visi Ilahiah.
Ia memohon izin dari Syekh `Abdullah untuk kembali ke Iraq. Syekh kemudian memberinya otoritas tertulis terhadap lima tarekat.
Yang pertama adalah Tarekat Naqsybandi, atau Silsilah Keemasan, yang menjadi subjek dari buku ini.
Yang kedua adalah Tarekat Qadiri melalui Syekh dari Sayyidina Ahmad al-Faruqi, Syah as-Sakandar dan dari sana kepada Sayyidina `Abdul Qadir Jilani, al-Junayd, as-Sirra as-Saqati, Musa al-Kazim, Ja`far ash-Shadiq (a), Imam al-Baqir (a), Zain al-`Abidiin (a), al-Husayn (a), al-Hasan (a), `Ali ibn Abi Thalib (r), dan Sayyidina Muhammad (s).
Tarekat ketiga adalah as-Suhrawardiyya, mata rantai silsilahnya serupa dengan Silsilah Qadiriyyah sampai al-Junayd, yang kembali kepada Hasan al-Basri dan setelah itu kepada Sayyidina `Ali (r) dan Nabi (s).
Beliau juga memberinya otoritas dalam Tarekat Kubrawiyyah, yang mempunyai jalur yang sama seperti Qadiriyyah, tetapi melalui Syekh Najmuddin al-Kubra.
Terakhir, ia diberi otoritas dalam Tarekat Chisti melalui suatu jalur dari `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan Jan Janan (q) kepada Sayyidina Ahmad al-Faruqi (q) dan kemudian melalui banyak syekh kepada Syekh Mawrad Chishti, Nasir Chishti, Muhammad Chishti, dan Ahmad Chishti kepada Ibraham ibn Adham, Fudayl ibn al-`Iyad, Hasan al-Basri, Sayyidina `Ali (r), dan Nabi (s).
Beliau memberinya otoritas untuk mengajar semua Ilmu Hadits, Tafsir, Sufisme, dan Awrad. Ia mampu menghafal Kitab Itsna `Asyari (Dua Belas Imam), yang merupakan sumber rujukan mengenai ilmu dari keturunan Sayyidina `Ali (r).
Ia lalu pindah ke Baghdad pada tahun 1228 H./1813 M. untuk kedua kalinya dan ia tinggal di Madrasah Ahsa'iyya Isfahaniyyah. Ia mengisi waktunya dengan memperdalam ilmu-ilmu Allah dan memperbanyak Zikrullah. Kemudian beberapa orang yang iri menulis surat berisi kritikan kepadanya dan mengirimkannya kepada Sultan, Sa`id Pasha, gubernur Baghdad. Mereka menuduhnya kufur dan mengkritiknya dengan tuduhan-tuduhan lain yang tidak dapat diulangi. Ketika gubernur membaca surat itu, ia berkata, “Jika Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bukan seorang yang beriman, lalu siapa yang beriman?” Ia lalu mengusir musuh-musuh yang iri tersebut dari hadapannya dan memenjarakan mereka.
Syekh meninggalkan Baghdad untuk beberapa waktu dan kemudian kembali lagi untuk ketiga kalianya. Ia kembali ke madrasah yang sama yang saat itu telah direnovasi untuk menyambutnya. Ia mulai menyebarkan berbagai ilmu spiritual dan ilmu surgawi. Ia menyingkap rahasia-rahasia Hadratillah, menerangi kalbu manusia dengan cahaya yang Allah berikan ke dalam kalbunya, sampai gubernur, para ulama, guru-guru, para pekerja dan orang-orang dari berbagai latar belakang menjadi pengikutnya. Baghdad pada zamannya sangat terkenal akan ilmunya, sehingga kota itu disebut “Tempat bagi Dua Macam Ilmu,” dan “Tempat bagi Dua Matahari.” Serupa dengan hal itu, ia juga dikenal sebagai “Yang Mempunyai Dua Sayap” (dzu-l-janahayn), sebuah kiasan bagi penguasaan ilmu lahir dan batin yang dimilikinya. Ia mengirimkan khalifah-khalifahnya ke mana-mana, dari Hijaz ke Iraq, dari Syam (Suriah) ke Turki, dari Iran ke India, dan Transoxania (wilayah sekitar Uzbekistan sekarang), untuk menyebarkan jalan para pendahulunya di Tarekat Naqsybandi.
Ke mana pun ia pergi, orang-orang akan mengundangnya ke rumah-rumah mereka, dan rumah mana pun yang ia masuki, rumah itu menjadi makmur. Suatu hari ia mengunjungi Kubah Batu (Qubbat ash-Shakhrah) di Yerusalem bersama banyak pengikutnya. Ia sampai di Kubah Batu dan khalifahnya, `Abdullah al-Fardi, keluar untuk bertemu dengannya bersama sekelompok orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke dalam Gereja Kumama untuk memberkatinya dengan kehadirannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya ke al-Khalil (Hebron), kotanya Nabi Ibrahim (a), ayah dari semua Nabi, dan ia disambut oleh orang-orang di sana. Ia masuk ke dalam Masjid Ibrahim al-Khalil dan ia mengambil keberkahan dari dindingnya.
Ia pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah (Ka`bah suci) pada tahun 1241 H/1826 M. Sekelompok besar khalifah dan murid-muridnya turut menemaninya. Kotanya Masjidil Haram beserta para ulama dan Awliyanya keluar untuk menemuinya dan semuanya mengambil bay’at darinya. Mereka memberinya kunci-kunci kedua Kota Suci dan mereka menganggapnya sebagai Syekh Spiritual bagi Dua Kota Suci. Ia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah, tetapi pada hakikatnya Ka’bah yang memutarinya.
Setelah hajinya dan berziarah ke makam Nabi (s), ia kembali ke Syam asy-Syarif (Suriah yang diberkati). Ia diterima dengan hangat oleh Sultan Ottoman, Mahmud Khan, di mana ketika ia memasuki Syam, sebuah parade yang sangat besar diadakan dan 250.000 orang menyambutnya di gerbang kota. Semua ulama, menteri, Syekh, orang kaya dan miskin datang untuk turut mengambil keberkahan dan meminta doanya. Itu bagaikan sebuah hari raya. Para penyair melantunkan puisi mereka dan orang-orang kaya memberi makan pada fakir miskin. Semua orang sama di hadapannya ketika ia memasuki kota. Ia membangkitkan ilmu Spiritual dan ilmu lahir dan menyebarkan cahaya itu sehingga orang-orang, baik Arab dan non-Arab menerima Tarekat Naqsybandi dari tangannya.
Pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tahun 1242 H./1827 M. ia memutuskan untuk mengunjungi Quds (Yerusalem) dari Damaskus. Murid-muridnya sangat senang dan ia berkata, “Alhamdulillah, kita akan melakukannya jika Allah memanjangkan umur kita, setelah Ramadan, pada awal Syawal.” Itu merupakan tanda bahwa ia mungkin akan meninggalkan dunia fana ini.
Pada hari pertama di bulan Syawal, wabah penyakit mulai menyebar dengan cepat di kota Syam (Damaskus). Salah satu muridnya memintanya untuk mendoakan dirinya agar selamat dari wabah itu, dan ia menambahkan, “Dan untukmu juga Syekhku.” Ia berkata, “Aku merasa malu di hadapan Tuhanku, karena niatku ketika datang ke Syam adalah untuk mati di Tahan Suci ini.”
Yang pertama meninggal dunia adalah putranya, Bahauddin, pada malam Jumat dan ia berkata, “Alhamdulillah, ini adalah jalan kami,” dan ia menguburkannya di Jabal Qasiyun. Putranya berumur lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu fasih dalam tiga bahasa: Persia, Arab, dan Kurdi, dan ia biasa membaca Qur’an.
Kemudian, pada tanggal 9 Dzul-Qaidah, putrnya yang lain, Abdur Rahman juga meninggal dunia. Ia lebih tua setahun dari adiknya. Mawlana Khalid (q) memerintahkan murid-muridnya untuk menggali makam untuk menguburkan putra keduanya. Ia berkata, “Di antara murid-muridku, banyak yang akan meninggal dunia.” Ia memerintahkan mereka untuk menggali lebih banyak untuk murid-muridnya, termasuk istri dan putrinya, dan ia memerintahkan mereka untuk mengairi daerah itu. Kemudian ia berkata, “Aku memberi otoritas sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi kepada Syekh Isma`il asy-Syirwani.” Ia mengatakan hal ini pada tahun kematiannya, 1242 H./1827 M.
Suatu hari ia berkata, “Aku mendapat suatu penglihatan spiritual yang luar biasa kemarin: aku melihat Sayyidina `Utsman Dzun-Nurayn (r) seolah-olah beliau wafat dan aku melakukan salat untuknya. Beliau membuka matanya dan berkata, ‘Ini adalah dari keturunanku.’ Beliau menggandeng tanganku dan membawanya kepada Nabi (s), dan berkata kepadaku agar membawa seluruh murid Naqsybandi di zamanku dan di zaman setelahku hingga zamannya Mahdi (a), dan beliau memberkati mereka. Kemudian aku keluar dari penglihatan itu, dan aku melakukan salat Maghrib bersama anak-anak dan murid-muridku.
“Rahasia apapun yang kumiliki telah kuberikan kepada deputiku, Isma`il asy-Syirwani. Siapa yang tidak menerimanya, berarti ia bukan bagian dariku. Jangan berdebat, jadilah satu pikira dan ikuti pendapatnya Syekh Isma`il. Aku menjamin siapapun di antara kalian yang menerima dan mengikutinya, ia akan bersamaku dan bersama Nabi (s).”
Ia memerintahkan mereka agar tidak menangisinya, dan ia meminta mereka untuk menyembelih hewan dan memberi makan fakir miskin demi kecintaan kepada Allah dan demi kehormatan Syekh. Ia kemudian meminta mereka untuk mengirimkan bacaan Qur’an dan doa. Ia memerintahkan mereka untuk tidak menulis apa-apa di makamnya, kecuali “Ini adalah makam Sang Ghariib (orang asing) Khalid.”
Setelah `Isya' ia masuk ke dalam rumahnya, memanggil semua keluarganya, dan menasihati mereka, “Aku akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka tinggal bersamanya sepanjang malam. Sebelum Fajr, ia bangun, berwudu dan salat sebentar. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan berkata, “Tidak ada yang boleh memasuki kamar ini kecuali atas perintahku.” Ia berbaring di sisi kanan, menghadap Qiblah, dan berkata, “Aku telah terkena wabah dan aku akan menanggung semua wabah yang diturunkan di Damaskus.” Ia mengangkat tangannya dan berdoa, “Siapapun yang terkena wabah, biarkan wabah itu mengenaiku dan selamatkan semua orang di Syam.”
Hari Kamis tiba, dan semua Khalifahnya masuk ke kamarnya. Sayyidina Isma`il asy-Syirwani bertanya, “Bagaimana perasaanmu?” Ia berkata, “Allah telah mengabulkan doaku. Aku akan membawa semua wabah dari semua orang di Syam dan aku sendiri akan meninggal dunia pada hari Jumat.” Mereka menawarinya air, tetapi ia menolak, dan berkata, “Aku meninggalkan dunia untuk bertemu Tuhanku. Aku telah menerima untuk membawa semua wabah dan membebaskan orang-orang yang terinfeksi di Syam. Aku akan meninggal pada hari Jumat.”
Ia membuka matanya dan berkata, “Allahu haqq, Allahu haqq, Allahu haqq,” ikrar yang dibaca dalam bay’at Tarekat Naqsybandi, dan ia membaca ayat 27-30 dari Surat al-Fajr: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya! Maka masuklah ke dalam jemaah hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam Surga-Ku!” Kemudian ia menyerahkan jiwanya kepada Tuhannya dan ia pun wafat, seperti yang telah diprediksikannya, pada tanggal 13 Dzul Qaidah, 1242 H./1827 M. Mereka membawanya ke madrasahnya dan memandikannya dengan air yang penuh cahaya. Mereka mengkafaninya sambil berzikir, khususnya Syekh Isma`il asy-Syirwani, Syekh Muhammad, dan Syekh Aman. Mereka membaca Qur’an di sekelilingnya dan di pagi harinya, mereka membawanya ke sebuah masjid di Yulbagha.
Syekh Isma`il asy-Syirwani meminta Syekh Aman `Abdin untuk melakukan salat jenazah untuknya. Masjid tidak mampu mengakomodasi semua orang yang hadir. Dikatakan bahwa lebih dari 300.000 orang melakukan salat di belakangnya. Syekh Isma`il berjanji kepada orang-orang yang tidak bisa melakukan salat di masjid bahwa ia akan melakukan salat jenazah kedua kalinya di makam. Orang-orang yang memandikannya membawa jenazahnya ke kuburnya. Hari berikutnya, Sabtu, seolah-olah suatu keajaiban terjadi di Syam, wabah itu tiba-tiba menghilang dan tidak ada lagi orang yang meninggal dunia.
Mawlana Khalid meneruskan Rahasianya kepada penerusnya Syekh Isma`il asy-Syirwani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1E-Tiwi0eWN_P5kF2xR-y4GgDbMAsGsRscmmup48GgUw/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
32. Ismail asy-Syirwani
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah seorang Imam bagi Kekuatan Batin. Ia adalah salah satu dari Master Sufisme. Ia adalah Pemilik Singgasana Irsyad (Bimbingan), dan Fokus bagi Curahan Berkah Ilahi. Ia adalah Menara bagi Rahasia Gaib dari Esensi Ilahiah. Melalui dirinya manusia terbimbing menuju jalur Ilmu Surgawi dan melalui dirinya mereka menjadi terpandang. Ia adalah mercusuar di zamannya. Ia adalah Imam bagi orang-orang yang berilmu tinggi, orang-orang yang bermusyahadah. Di zamannya ia adalah seorang Sufi di mana semua mata tertuju kepadanya.
Syekh Isma`il asy-Syirwani (q) adalah orang yang membawa Tarekat Naqsybandi ke Daghestan. Ia adalah orang yang membangun jihad menentang penjajahan Rusia yang kejam dan yang menghidupkan agama Islam di negerinya setelah ia hampir di berantas.
Ia dilahirkan pada hari Selasa, tanggal 7 Dzul-Qai`da 1201 H./1787 M. di desa Kurdemir, di Distrik Syirwan, Daghestan, di Kaukasia. Ia mempunyai tubuh yang tinggi kekar dengan kulit yang putih. Mata dan janggutnya hitam dan nada suaranya tinggi.
Ia mendapatkan pendidikannya di Dagestan melalui ayahnya yang merupakan salah seorang ulama terbesar di zamannya, yaitu asy-Syekh Anwar asy-Syirwani. Beliau mendidik Isma`il muda dalam menghafal Qur’an, di mana Isma`il dapat menghafal seluruh juz pada usia tujuh tahun. Kemudian ia mengisi waktunya dengan menghafal tujuh bacaan yang berbeda. Pada usia sembilan tahun ia mulai mempelajari ilmu Fiqih dan Ilmu Hadits dari Syekh Abdur Rahman ad-Daghestani. Pada usia muda, ia mampu memberi bukti-bukti dari Qur’an dan Hadits untuk hampir semua pertanyaan menyangkut Fiqih.
Suatu hari ia terhantam oleh suatu pengarus Surgawi yang sangat kuat yang membuatnya kehilangan kesadaran sepenuhnya dan membawanya ke dalam Keadaan Merendahkan Diri. Keadaan ini, di mana ia lenyap di dalam dirinya, mendorongnya untuk mencari Hakikat yang ia temui di dalam kalbunya. Kemudian pada suatu hari, ia mendapatkan sebuah penglihatan, di mana sebuah suara berkata kepadanya, “Kau harus mengarahkan dirimu menuju ke Delhi, di mana kau akan belajar dari para ulama dan syekh di sana. Semoga Allah memberi keberuntungan kepadamu untuk bertemu dengan penerus dari Syekh `Abdullah ad-Dahlawi.”
Penglihatan itu terus muncul kepadanya, hingga ia mencapai usia tujuh belas tahun. Ia berkata kepada ayahnya, “Aku ingin pergi untuk menjadi salah seorang pengikut `Abdullah ad-Dahlawi.” Ayahnya sangat takut untuk membiarkannya pergi ke negeri yang jauh seperti itu, tetapi akhirnya beliau menyerah dan merestuinya putranya untuk pergi. Isma`il mulai melangkahkan kakinya menuju Delhi, berjalan siang dan malam tanpa sarana angkutan. Ia menempuh perjalanan selama satu tahun untuk mencapai Sayyidina `Abdullah ad-Dahlawi (q) di Delhi.
Ia tinggal di Khaniqah Syekh dan belajar darinya. Ia berkhidmah selama beberapa tahun. Pada tahun 1224 H./1809 M. ia bertemu Mawlana Khalid (q) ketika beliau datang ke India untuk bertemu dengan Syekh `Abdullah ad-Dahlawi (q) dan untuk mengikuti tarekat melalui beliau. Syekh Isma`il biasa mengamati perilaku Mawlana Khalid dan Syekh `Abdullah dengan seksama. Ia sangat terkesan dengan perilaku dan ketulusan Mawlana Khalid ketika berkhidmah terhadap Syekh `Abdullah. Suatu ketika Syekh `Abdullah memandang Sayyidina Isma`il dan berkata, “Rahasiamu ada pada Syekh Khalid. Ketika ia kembali ke negerinya, kau akan mengikutinya.”
Ketika Mawlana Khalid kembali ke negerinya di Syam pada tahun 1225 H., Syekh Isma`il asy-Syirwani kembali ke Daghestan untuk berpamitan kepada orang tuanya. Dalam perjalanan pulang ke Daghestan, ia berhenti di sebuah kota di mana ia melihat orang-orang sedang berdiri di tengah gurun, berdoa dengan mengangkat tangannya, memohon agar Allah menurunkan hujan. Sepanjang tahun hujan tidak pernah turun. Ketika mereka melihatnya dan terpancar kesalehan di wajahnya, mereka memohon padanya agar ia berdoa kepada Allah untuk menurunkan hujan bagi mereka. Ia lalu mengangkat tangannya dan berdoa. Awan mulai terkumpul dan angin mulai bertiup. Hujan pun mulai turun dan terus berlangsung selama tujuh hari tanpa henti.
Ketika ia sampai di Daghestan, ia meminta izin pada orang tuanya untuk pindah ke Suriah (Syam asy-Syarif). Namun demikian, ia tinggal dulu di Daghestan selama beberapa tahun dan ketika ia berada di sana, orang-orang berdatangan untuk belajar darinya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Jika seseorang mengabdikan dirinya kepada Allah (swt), manfaat pertama yang akan ia terima adalah bahwa ia tidak lagi memerlukan bantuan orang lain.”
“Manisnya wangi para pecinta Tuhan akan muncul dan menyebar dari dirinya. Bahkan jika mereka berusaha untuk menutupinya, mereka tidak akan mampu menutupnya, dari manapun mereka berasal dan ke manapun mereka pergi.”
“Barang siapa yang mendengar hikmah dan tidak menerapkannya, itu adalah suatu kemunafikan.”
“Berteman dengan orang-orang munafik adalah suatu penyakit dan obatnya adalah dengan meninggalkan mereka.”
“Allah (swt) berfirman bahwa barang siapa yang sabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.”
“Allah memberi hamba-hamba-Nya dengan rasa manis dari zikirnya. Jika ia bersyukur kepada Allah dan senang dengan hal itu, Dia akan memberikan Kedekatan terhadap-Nya. Jika ia tidak bersyukur dan tidak senang dengannya, Dia akan mencabut rasa manis dari zikir itu dan meninggalkannya pada lidahnya saja.”
“Allah mengekspresikan Keakraban dengan hamba-hamba-Nya dengan jalan menunjukkan para Awliya-Nya kepada mereka.”
“Sufisme adalah Kemurnian, bukannya deskripsi. Ia adalah Kebenaran tanpa akhir, seperti sungai mawar merah.”
“Tasawwuf adalah berjalan dengan Rahasia-Rahasia Allah.”
“Barang siapa yang lebih memilih berteman dengan orang-orang kaya daripada dengan orang-orang miskin, Allah akan membuat kalbunya menjadi mati.”
“Bagi orang yang arif, ada waktu di mana ketika Cahaya Ilmu akan bersinar padanya. Itu membuatnya melihat Keajaiban-Keajaiban dari Alam Gaib.”
“Siapapun yang mengaku bahwa ia mampu “Mendengar”, namun ia tidak dapat mendengar zikir burung-burung dan suara-suara kayu dan tiupan angin, maka ia adalah seorang pembohong.”
Ketika ditanya mengenai manusia, ia mengatakan, “Ada empat jenis manusia dan hantu. Pada mereka Kehendak Allah mengalir seterusnya.”
Ia menghabiskan tahun-tahunnya di Daghestan. Kemudian ia mendapatkan suatu penglihatan di mana Syekh `Abdullah ad-Dahlawi (q) memerintahkannya untuk pindah ke Syam dan tinggal di sana dan berkhidmah kepada Syekh Khalid al-Baghdadi (q). Ia menempuh perjalanan ke Syam dengan berjalan kaki dari Daghestan ke Kuman, dari Kuman ke Azerbaijan dan ke Tiflis. Dari sana ia melanjutkan perjalanannya menuju Tabriz, lalu Amad, Aleppo, Hama, dan Hom. Akhirnya ia tiba di Damaskus, ibu kota Suriah, setelah menempuh perjalanan selama setahun.
Di Suriah ia segera menemui Syekhnya. Dari Marja di pusat kota di mana ia telah tiba, tidak ada cara yang mudah untuk pergi ke gunung yang menghadap ke seluruh Damaskus, di mana Khaniqah Syekhnya berada. Ia berjalan dari Marja ke gunung itu dalam dua jam, hingga akhirnya ia tiba di pintu Syekhnya. Ketika ia masuk, Syekhnya telah menunggunya. Beliau berkata, “Kami mendapat kabar mengenai kedatanganmu. Selamat datang!”
Syekh Khalid (q) segera menempatkannya ke dalam khalwat yang panjang. Di dalam khalwat itu beliau mengajari apa yang diperlukannya untuk mencapai kesempurnaan, kemudian beliau memberikan kekuatan dari tarekat ini. Beliau memerintahkan seluruh pengikutnya untuk mendengarkannya.
Beliau berkata,
“Ini adalah Khalifahku. Ia bagaikan kubah masjid, kubah Masjid Nabawi. Melalui dirinya, rahasia-rahasia tarekat ini akan mengalir kembali ke Daghestan. Dari sana aku dapat melihat cahayanya terpancar hingga mencapai tujuh generasi Syekh. Setiap orang dari ketujuh Syekh ini akan melambangkan kekuatan tertinggi dari Hadratillah. Melalui mereka akan terdapat dukungan besar untuk menentang pasukan Jahiliah yang akan memenuhi wilayah Daghestan.”
“Di antara orang-orang Daghestan akan muncul seorang kesatria yang akan hidup di zaman tiga Syekh besar dari Tarekat ini dan ia akan mendapat dukungan mereka. Ia akan memimpin pertempuran melawan pasukan Jahiliah ini.” Kemudian beliau berkata kepada murid-muridnya, “Syekh Isma`il asy-Syirwani adalah yang terbaik di antara seluruh ulama di zamannya, dan aku membesarkannya untuk menjadi salah satu Wali yang sempurna. Ia akan membimbing kalian dan membimbing semua orang setelahku. Ia akan menjadi seorang Arif yang akan menyebarkan rahasia tarekat ini kembali di daerah Kaukasia. Imam ini akan menjadi Yang Pertama yang duduk di Singgasanaku dan ia akan menjadi Pemegang perbendaharaan apapun yang kumiliki, untuk digunakan di Jalan Allah. Dan tugasnya adalah untuk menjaga anak-anakku.”
Syekh Isma`il berkhidmah kepada Syekhnya dan terus menemaninya. Ia melakukan perjalanan bersamanya dan tinggal bersamanya di rumahnya selama lima belas tahun. Ia diberi Khilafah Mutlak dan ia diberi izin untuk membimbing murid-muridnya. Ia mengarahkan orang-orang dengan ilmu terbaiknya hingga namanya menjadi termasyhur di seluruh Syam, Iraq, Persia, Armenia, Turki, dan sampai di tanah Daghestan.
Syekh Khalid menugaskannya untuk mengajar dan melatih orang-orang di Masjid Al-Addas di Damaskus. Ia biasa menghitung dan mengevaluasi perbuatan dari setiap salik, satu per satu, dan mempersembahkannya kepada Syekhnya, Mawlana Khalid. Apapun pertanyaan yang ditanyakan oleh muridnya, ia akan membawanya kepada Syekh. Kemudian Syekh akan memberi jawaban atau meminta Syekh Isma`il memberikan fatwanya.
Syekh Majid al-Khani melaporkan, “Syekh Ismail sering berkata kepada kami, ‘Aku adalah sebuah cermin pemoles. Apapun yang telah diukirkan oleh Hazrat Mawlana Khalid pada diriku, aku pantulkan kepada kalian.’ Dan ia tidak pernah menunjukkan dirinya lebih tinggi daripada kami.”
Syekh Majid al-Khani berkata, “Ketika Syekh Khalid (q) wafat, Syekh Isma`il menangis. Ia terguncang, namun demikian ia tetap tegar, bagaikan gunung yang kokoh. Ia membuat semua pengikut Syekh untuk bersatu dan bersaksi bersama-sama bahwa mereka akan memegang teguh Tali Allah. Ia memperbarui energi mereka dan mengambil kesedihan dari hati mereka. Ia memberi penghormatan pada mereka dan ia memuji mereka dan memberkati mereka. Ia mengajari mereka jalan peribadatan terbaik dan mempersiapkan diri mereka untuk menerima Ilmu Spiritual yang lebih tinggi. Ia mengambil alih kontrol untuk membimbing para salik menggantikan Syekhnya dan ia tetap mempertahankan apa yang telah dilakukan oleh Syekhnya. Ia berkata, ‘Tidakkah kalian tahu bahwa Hazrat Mawlana Khalid (q) adalah seorang Ahlillah dan orang-orang seperti itu tidak pernah mati. Mereka bersama kita setiap saat dan setiap detik.”
Setelah beberapa waktu ia pergi menuju Daghestan dan sampai di sana dengan sangat cepat. Di zawiyahnya di Daghestan ia bertemu dengan Syekh Khas Muhammad. Melihat cahaya tarekat ini pada dirinya, ia berkata, “Kau akan menjadi penerusku.” Akhirnya ia meneruskan rahasia tarekat ini kepadanya, sebagaimana dua Awliya besar Daghestan lainnya, yaitu Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Selama ia tinggal di kampung halamannya, Syekh Isma`il menyebarkan tarekat ke seluruh Daghestan dan mendorong warga untuk berjuang melawan Rusia yang menentang agama dan kehidupan spiritual. Dalam waktu singkat pengikutnya muncul di mana-mana, dan banyak di antara mereka yang aktif dalam memerangi Rusia. Mereka tak kenal lelah dalam menyebarkan Tarekat Naqsybandi ke seluruh Daghestan sampai semua kota dan rumah-rumah dikenal sebagai pengikut Naqsybandi.
Imam Syamil ad-Daghestani asy-Syasyani dan Mullah Fawzi Muhammad, pemimpin gerakan melawan Rusia termasuk pengikutnya. Selama 36 tahun, di bawah kepemimpinannya dan kepemimpinan penerusnya, mereka mempertahankan negeri mereka dari agresi Rusia yang menindas mereka.
Keramatnya
Dikatakan bahwa suatu hari Syekh Isma`il (q) sedang berada di sebuah masjid dan ia mengamati seorang miskin yang tidak makan, tidak minum dan tidak tidur. Ia mendekati orang itu dan bertanya, “Apa keinginanmu?” Ia berkata, “Aku menginginkan roti hangat dan beberapa makanan.” Syekh Isma`il mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu yang belum makan selama tiga hari. Aku mohon berikanlah makanan baginya dengan apapun yang Kau inginkan.” Belum lagi ia menyelesaikan doanya, tiba-tiba ada seseorang yang masuk ke dalam masjid dan berkata, “Istriku sakit dan aku bersumpah bahwa aku akan memberi makan fakir miskin agar istriku mendapat berkahnya. Ini aku bawakan beberapa roti hangat dan makanan untuk diberikan kepada orang yang kelaparan.”
Salah satu muridnya di Daghestan menceritakan, “Suatu hari Syekh Isma`il berkata kepada dirinya, ‘Wahai egoku, aku marah denganmu. Aku akan melemparmu ke dalam kesulitan.’ Ia lalu pergi ke pegunungan di Daghestan dan berbaring di mulut sebuah gua di mana ada dua ekor singa di sana. Singa-singa itu tidak bergerak, sementara kami--yang mengikutinya menjadi sangat terkejut. Kemudian singa jantan mendekatinya dengan sepotong daging di mulutnya, kemudian duduk, jauh darinya, tidak mendekatinya tetapi hanya memperhatikannya. Kemudian singa betina mendekati dengan daging di mulutnya. Ia mulai menangis dan mengaum. Singa jantan mendekati singa betina dan membuatnya berhenti menangis. Mereka duduk sebentar sambil memperhatikan Syekh. Kemudian singa jantan mengambil kedua anaknya dan menyerahkan kepada ibunya, setelah itu ia mendekati Syekh Isma'il. Ia duduk di sebelahnya, tinggal di sana sampai Syekh pergi.”
Suatu hari Syekh Isma`il melewati sebuah desa. Ketika beberapa penduduk desa melihat dan mengenalinya, semua orang berdatangan untuk bertemu dengannya. Syekh di desa itu datang dan berkata, “Wahai Syekh Isma`il, selamat datang dan ajarilah kami.” Ia berkata, “Wahai Abu Said, Allah mempunyai dua cara pengajaran: jalan yang umum dan jalan yang khusus. Jalan yang umum adalah jalan di mana engkau dan sahabat-sahabatmu berada. Sedangkan untuk jalan khusus, ikutlah denganku dan akan kutunjukkan padamu.” Mereka mengikutinya sampai ia tiba di tepi sungai. Ia berkata, “Ini adalah Jalan Allah,” kemudian ia menyeberangi sungai itu dengan berjalan kaki ke seberangnya lalu menghilang.
Syekh `Abdur Rahman ad-Daghestani meriwayatkan,
“Suatu hari aku duduk di antara banyak orang. Kami melihat Syekh Isma`il mendekat dengan mengenakan jubah wol dan ia memakai sepatu baru. Aku berkata pada diriku sendiri, ‘Syekh Isma`il itu seorang Syekh Sufi sejati. Aku akan datang padanya dan menyakan hal-hal yang sulit, dan kita lihat apakah beliau bisa menjawabnya atau tidak.’ Aku mendekatinya dan beliau melihatku. Ketika aku semakin dekat, beliau berkata, ‘Wahai Abdur Rahman, Allah berfirman di dalam kitab suci al-Qur’an untuk menghindari prasangka. Jangan coba-coba untuk bertanya padaku. Itu bukan adab yang baik.’ Aku berkata dalam hatiku, ‘Sungguh suatu keajaiban! Itu adalah keajaiban yang besar! Bagaimana beliau mengetahui pertanyaanku dan bagaimana beliau tahu namaku? Aku harus mengikutinya dan bertanya lebih jauh lagi.’ Aku berlari mengejarnya, tetapi aku tidak dapat menemukannya.
“Suatu hari aku melihatnya di sebuah desa. Beliau sedang berdiri dan salat dan matanya penuh dengan air mata. Ketika beliau sudah selesai, aku berlari padanya dan terlitas di dalam hatiku untuk meminta maaf terhadap apa yang telah kulakukan sebelumnya. Beliau memandangku dan berkata, ‘Bacakan aku ayat Quran, wa innii la-Ghaffarun liman taaba wa amana wa `amila shalihan tsumma-htada [20:82] (‘Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.’) Kemudian beliau pergi. Aku berpikir pada diriku sendiri, ‘Sesungguhnya beliau adalah seorang abdal (“Wali Pengganti”); untuk kedua kalinya beliau membicarakan apa yang terlintas di dalam hatiku.’
“Kemudian pada hari yang sama, dalam perjalananku pulang, aku melewati desa itu lagi dan aku melihatnya berdiri di samping sumur dengan sebuah cangkir di tangannya. Beliau ingin minum dari sumur itu. Ketika aku melihatnya, cangkir itu jatuh ke dalam sumur. Kemudian aku melihat beliau mengangkat tangannya dan berdoa, ‘Ya Allah, aku haus dan air adalah makananku satu-satunya. Ya Allah, Kau tahu mengenai isi hatiku dan Kau tahu bahwa aku haus.’ Demi Allah, dalam sekejap air di dalam sumur itu naik ke permukaan bahkan sampai luber ke luar sumur, termasuk cangkirnya. Beliau lalu mengambil cangkir itu dan minum, kemudian beliau berwudu dan salat empat rakaat. Kemudian beliau memasukkan pasir ke dalam cangkir itu, lalu menambahkan sedikit air dan mengaduknya dengan jarinya. Beliau kemudian duduk dan makan dari campuran itu. Aku lalu mendatanginya dan berkata, ‘Wahai Syekh Isma`il, izinkanlah aku makan bersamamu. Apakah yang kau makan? Tanah?’ Beliau berkata, ‘Wahai Abdur Rahman, berbaiksangkalah kepada Allah.’ Beliau lalu memberiku cangkir itu, aku angkat ke mulutku dan ternyata itu adalah air dan madu. Aku bersumpah demi Allah bahwa selama hidupku, belum pernah aku minum seenak itu. Setelah peristiwa itu, hari-hari berlalu tanpa pergi bagiku untuk makan atau minum, aku merasakan kepuasan dari manis yang kudapatkan dari cangkir itu.”
Syekh Muhammad ad-Daghestani berkata, “Suatu ketika aku pergi untuk menemui Syekh Isma`il asy-Syirwani (q). Aku mencium tangannya dan aku meminta izin untuk menemaninya dalam perjalanannya. Aku pergi bersamanya selama dua hari. Selama itu aku tidak pernah melihatnya makan atau minum. Aku menjadi sangat lapar dan haus dan aku menjadi sangat lemah untuk melanjutkan perjalanan tanpa makanan atau minuman. Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, aku sangat lemah.’ Beliau berkata, ‘Apakah engkau lapar atau haus?’ Aku berkata, ‘Ya, dua-duanya.’ Beliau berkata, ‘Jadi kau belum siap untuk menemaniku. Tutuplah matamu.’ Aku menutup mataku dan ketika aku membukanya aku mendapati diriku berada di rumahku.”
Ia wafat pada hari Rabu, tanggal 10 Dzul-Hijjah 1255 H. /1839 M. Ia dimakamkan di Amasya.
Ia mewariskan rahasianya kepada tiga khalifahnya yang semuanya merupakan murid-muridnya. Suksesi multipel ini serupa dengan yang terjadi semasa Sayyidina Syah Naqsyband (q), ketika beliau meneruskan rahasia tarekat ini kepada banyak khalifah; yang membedakan adalah bahwa pada saat itu Syah Naqsyband meneruskan rahasia utamanya kepada seorang penerus, yaitu Sayyidina `Ala'uddin al-Aththar, sedangkan Syekh Isma`il meneruskannya kepada tiga orang, yaitu Syekh Khas Muhammad asy-Syirwani, Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi al-Kurali, dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Sayyidina Isma`il Syirwani (q) memberi informasi kepada ketiga khalifahnya mengenai prediksi masa depan mereka, “Aku mewarisi rahasia tarekat kepada kalian bertiga sekaligus atas perintah Nabi (s), dan perintah Sayyidina `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), dan Imam Tarekat, Syah Naqsyband, dan Syekhku, Khalid al-Baghdadi (q), dan melalui hadirat spiritual Sayyidina Uwais al-Qarani (r). Masing-masing dari kalian akan mengemban rahasia dari Silsilah Keemasan ini dengan kekuatan yang sama, tetapi kenaikan kalian menuju Singgasana al-Irsyad akan berurutan, dan masing-masing dari kalian akan menjaga hubungan dengan satu sama lain sebagaimana yang aku katakan sekarang: setelah diriku otoritas dari rahasia itu akan berada di tangan Syekh Khas Muhammad asy-Syirwani (q); selanjutnya di tangan Muhammad Effendi al-Yaragi al-Kurali (q); kemudian di tangan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/196WLRvfgvyC2iPqZWf4oWlbYbB2bUdUBcpeA3rP7qZ8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
33. Syekh Khas Muhammad Shirwani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Aku menangis tetapi Dia membuatku bahagia.
Aku menjadi sadar tetapi Dia membuatku mabuk.
Aku diselamatkan tetapi Dia menenggelamkan aku.
Satu waktu Dia bersahabat denganku,
Di waktu yang lain Dia mengangkatku
Di waktu yang lain lagi, Dia memerangi aku
hingga aku menjadi marah.
Satu waktu aku bermain dengan-Nya,
Satu waktu aku menemani-Nya,
Di waktu yang lain aku menghindari-Nya,
Di waktu yang lain aku berbicara dengan-Nya
Jika engkau mengatakan bahwa Dia senang,
Kau akan mendapati Dia murka,
atau jika kau katakan Dia mempunyai kewajiban,
kau akan mendapati Dia memutuskan.”
Abdul Karim Jili
Ia adalah ulama yang paling bijaksana di zamannya, dihiasi dengan keindahan ilmu, dibusanai dengan kesalehan dan kesabaran, dicerahkan dengan inti dari keyakinan dan didukung dengan keteguhan imannya. Ia dapat membedakan yang haqq dari yang batil. Ia tidak tertandingi dalam keelokan dan klarifikasinya. Ia adalah master dari tarekat ini dan yang pertama dalam jemaah. Ia adalah sang pemenang di antara orang-orang yang arif dan sang penunjuk arah bagi para salik.
Bicaranya menjadi teladan dan indah dalam kefasihannya. Bukti-bukti dan contoh-contoh yang diberikannya merupakan metafora yang menjelaskan suatu konsep agar dapat diterima dan dipahami oleh orang-orang. Semua orang kagum akan kefasihannya. Jika ia melewati sebuah kota di Daghestan, orang-orang akan berbaris di jalan untuk melihatnya. Para penulis biasa mendatangi majelisnya untuk mendengar kefasihan tutur katanya, sementara para ahli fiqh datang untuk mendengar uraian fiqhnya, para filsuf untuk logika yang disampaikannya, para pembicara untuk kejelasan ceramahnya, dan para Sufi untuk Tajali Kebenarannya.
Ia dilahirkan di Kulal, sebuah distrik di Shirwan, di selatan Daghestan pada hari Senin, tanggal 1 Muharram 1201 H./1786 C.E.
Ia berperawakan tinggi dan kulitnya sangat putih. Janggutnya berwarna antara hitam dan putih. Matanya hitam. Nada suaranya tinggi.
Ia adalah salah satu fuqaha yang saleh dan banyak berdoa. Ia mengikuti dan mengajarkan Mazhab Syafi’i. Ia hafal "Kitab ul-Umm" dari Imam Syafi’i. Ia mampu memberi fatwa pada usia dua puluh tahun. Ia sangat dihormati oleh semua orang di kotanya. Ia memperoleh pelajaran Tasawuf pertamanya dari keluarganya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata, “Jalan kita dikontrol dengan al-Qur’an dan Sunnah.”
“Aku telah berjumpa dengan empat tipe awliya dari Tarekat Naqsybandi, dan dari masing-masing tipe ada tiga puluh contoh; tetapi pada akhirnya aku mengikuti Syekh Isma`il ash-Shirwani (q).”
“Allah tidak mengirim segala sesuatu ke bumi ini kecuali sebagai pelajaran bagi hamba- hamba-Nya.”
Orang-orang bertanya kepadanya, “Siapakah orang yang arif?” Ia menjawab, “Seorang arif adalah orang yang mengetahui rahasia kalian tanpa kalian mengatakannya.”
Ia berkata, “Kami tidak mengambil Sufisme melalui pembicaraan atau kata-kata yang menyolok atau dengan mengatakan, ‘Syekh kami mengatakan ini dan itu.’ Kami mengambil Sufisme dengan lapar dan meninggalkan dunia dan dengan mengasingkan diri dari semua orang.”
Ia pernah ditanya, “Apa perbedaan antara murid dan murad?” Ia menjawab, “Murid adalah orang yang memperoleh ilmunya melalui aktivitas dan kegiatan belajarnya, sedangkan murad adalah orang yang menerima ilmunya melalui ilham dan inspirasi. Murid bergerak dan berjalan, tetapi murad terbang, dan sangat berbeda antara orang yang berjalan dengan orang yang terbang.”
“Keikhlasan antara Allah dan hamba-hamba-Nya tidak disaksikan oleh seseorang, tidak pula malaikat mencatatnya, dan tidak pula Setan merusaknya serta tidak pula nafsu menghancurkannya.”
“Bahkan para shiddiqin pun dapat mengubah pendapatnya lebih dari empat puluh kali dalam semalam, meskipun ia dapat dipercaya. Sementara al-Musyahid (orang yang menyaksikan) pandangannya teguh selama empat puluh tahun.”
Orang yang berada pada “Maqam Musyahada” dari Hadratillah, ia melihat Hakikat. Ia akan mencapai tiga tahap penyaksian: `ilm al-yaqin; `ayn al-yaqin; dan haqq al-yaqin. Ilmu yang ia peroleh akan diterima secara langsung dari Hadratillah, yang tidak pernah berubah. Oleh sebab itu orang-orang pada maqam ini keputusannya teguh, dan itu berasal dari Hakikat, bukannya dari buah pikiran akalnya.
Ia berkata, “Seseorang tidak bisa disebut sebagai hamba yang bijaksana sampai tidak tampak lagi pada dirinya hal-hal yang tidak disukai Allah.”
“Tarekat Sufi Naqsybandi adalah berdasarkan empat karakteristik perilaku, yaitu: tidak bicara kecuali jika ditanya atau diminta, tidak makan kecuali jika lemah karena lapar; tidak tidur kecuali ketika lelah; dan tidak tinggal diam ketika berada di Hadirat-Nya (yakni bermunajat terus kepada Allah).”
“Kemurnian kalbu tergantung pada kemurnian zikir dan kemurnian zikir tergantung pada tidak adanya syirik khafi (syirik yang tersembunyi).”
“Bicaranya Nabi (s) adalah dari Hadratillah, sedangkan bicaranya Sufi adalah dari Musyahadah (Penyaksian).”
“Jalan bagi Sufi kepada Allah adalah dengan berjuang melawan diri mereka sendiri.”
“Ilmu Tauhid telah terhijab dari mata ulama lahir (ulama dengan ilmu eksternal) sejak dulu kala. Mereka hanya bisa membicarakan bagian luarnya saja.”
“Apa yang menyebabkan kalbu merasa gembira dan damai ketika ia mendengar suara yang indah? Itu adalah suatu konsekuensi dari peristiwa di mana Allah telah berbicara kepada ruh ketika mereka masih berupa atom di Hadirat-Nya; Allah bertanya kepada mereka, ‘Bukankah Aku adalah Tuhanmu?’ Manisnya Kalamullah menjadi terpatri pada mereka. Sehingga di dunia ini, ketika kalbu mendengar suatu zikir atau musik, ia mengalami kegembiraan dan kedamaian, karena ini adalah refleksi dari manisnya Kalamullah tadi.”
Mengenai Keramatnya
Selama dua puluh tahun ia tidak makan kecuali hanya sekali seminggu. Wirid hariannya terdiri dari salat 350 rakaat.
Syekh Ahmad al-Kawkasi berkata, “Suatu ketika aku sedang menempuh perjalanan dari suatu kota ke kota lain dengan menembus hutan untuk suatu urusan yang penting. Di tengah perjalanan salju turun dengan lebatnya, dan angin bertiup kencang. Setelah salju berhenti, hujan mulai turun, membuat semua jalan seperti sungai. Aku tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melewati hutan itu. Aku masuk ke hutan itu menjelang malam, tetapi aku tersesat di tengah hutan. Langit menumpahkan hujan dan malam menyelimutiku, banjir semakin tinggi dan aku tidak tahu ke mana aku harus pergi. Aku sampai pada sebuah sungai yang mengalir melewati pepohonan. Banjir membuat sungai itu seperti samudra, penuh dengan gelombang. Jembatan di atasnya telah hancur, tetapi aku harus menyebranginya. Air sungai semakin tinggi hingga mencapai kakiku dan kemudian mencapai kaki kudaku. Aku takut akan tenggelam bersama kudaku. Aku lalu mengangkat kedua tanganku dan berdoa kepada Tuhanku, “Ya Allah, tolonglah aku dalam kesulitan ini.” Dengan segera aku mendengar sebuah suara di belakangku yang mengatakan, ‘Wahai Ahmad, mengapa engkau memanggilku dan membuatku keluar dari rumahku? Aku menoleh dan aku melihat Syekh Khas Muhammad di belakangku, tetapi beliau sangat besar. Beliau berkata, ‘Peganglah tanganku dan mari kita sebrangi sungai ini.’ Aku merasa ketakutan. Beliau berkata, “Bila engkau bersama kami, kau tidak perlu takut.’ Lalu kami menyebrangi sungai dan beliau berjalan di atas air dan aku berjalan bersamanya di atas air hingga ke sebrang. Beliau berkata, ‘Sekang kau sudah aman,’ lalu beliau menghilang. Ketika aku sampai di tempat tujuanku dan pergi ke masjid, aku melihat beliau sedang duduk di sana. Aku bertanya kepadanya, ‘Bagaimana engkau bisa sampai ke sini?’ Beliau berkata, ‘Wahai Ahmad, bagi kami tidak ada batas. Kami bisa berada di mana saja dan kapan saja.’”
Jihadnya
Benningsen dan Wimbush menggambarkan tentang pengaruh Syekh Isma`il ash-Shirwani (q) dan khalifahnya di Daghestan, “Tarekat Naqsybandiyyah memainkan peranan penting dalam sejarah bangsa Kaukasia. Disiplinnya kuat, dedikasi mereka total bagi cita-citanya, dan mempunyai hierarki yang ketat, hal itu dapat terlihat dari epik perlawanan orang-orang gunung di Kaukasia terhadap penaklukan Rusia. Suatu perlawanan yang berlangsung sejak 1824 hingga 1855, di mana bukan hanya pemimpin gerakan mereka tetapi juga para penguasa setempat (na'ib) dan mayoritas para pejuangnya adalah para pengikut Naqsybandi. Dapat dikatakan bahwa hampir selama lima puluh tahun perang Kaukasia memberikan kontribusi yang penting bagi kehancuran Kekaisaran Tsar baik secara moral maupun material dan mempercepat kejatuhan monarki Rusia. “Persaudaraan itu juga meraih hasil lain yang mendalam dan bertahan lama, yaitu mengubah orang-orang setengah kafir di daerah pegunungan itu menjadi penganut Muslim ortodoks yang kuat, dan mereka berhasil memperkenalkan Islam ke daerah di atas Chechnya dan suku-suku di Kirkasia, di bagian barat Kaukasus yang menganut paham animisme.”... “Migrasi besar-besaran Muslim Kaukasus ke Turki tidak menghancurkan Tarekat Naqsybandiyyah di Daghestan dan Chechnya; karena akarnya telah menyebar begitu luas dan mendalam.”
Khas Muhammad (q) wafat pada hari Minggu, tanggal 3 Ramadan 1260 H./1844 M. ketika kembali ke Daghestan setelah menunaikan ibadah haji. Ia dimakamkan di Damaskus. Ia meneruskan otoritas tarekat ini kepada penerusnya, yaitu Sayyiddina asy-Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q), sesuai dengan kehendak Syekh mereka sebelumnya, Sayyidina Isma`il ash-Shirwani (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1oNrz_iib7gNwmK_b9CMuWNtuVyXmotJFWtwEgGH7s80/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
34. Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Aku tidak pernah berhenti untuk berdiri, karena Cinta-Mu,
di tempat di mana akal kebingungan.”
Abul-Hasan an-Nuri.
Ia adalah seorang Imam yang saleh dan dihormati oleh setiap orang. Ia mengeluarkan perbendaharaan ilmu dengan adabnya yang tinggi. Perkataannya merupakan pedoman bagi perjalanan sang salik. Cahaya Ilmu Surgawi bersinar dari keningnya. Ia gagah berani dalam pertempurannya melawan penjajahan Rusia pada masanya. Ia mempunyai Kesalehan sejati dan Iman yang sangat murni. Ia tawaduk terhadap semua orang. Tanda-tanda kesempurnaan ada padanya, egonya berada pada kendalinya. Ia menganjurkan orang-orang untuk mengikuti Tarekat Naqsybandi dan mendukungnya, baik dengan lidah (kata-kata), perbuatan dan dalam hati mereka. Ia bagaikan sebuah Taman Mawar di mana lebah akan mengumpulkan nektar dan menghasilkan madu terbaik. Orang-orang berlari ke gerbangnya untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Di dalam dirinya terdapat tanda sebuah Keramat dalam mengetahui rahasia-rahasia kalbu para pengikutnya, dan dalam menunjukkan jalan bagi mereka untuk mencapai Maqam yang Sempurna dari Cinta Ilahi. Ia adalah seorang Sufi besar, seorang Arif yang terpandang di seluruh negeri yang mengelilingi Daghestan. Ketenarannya tersebar hingga ke Turki, Persia, dan di seluruh negeri di Arab. Kalbunya dipenuhi dengan keikhlasan. Ia mempelajari ilmu lahir dan batin. Ia adalah seorang ulama Qur’an dan Hadits, dan ia menguasai ilmu Fiqh. Ia juga menguasai ilmu Kimia, Astronomi dan Logika. Ia merupakan rujukan bagi setiap ilmu.
Ia melatih murid-muridnya yang jumlahnya ribuan. Di siang hari ia mengajari mereka strategi militer untuk menghadapi Rusia, dan di malam hari ia mengajari mereka spiritualitas. Ia sangat jarang tidur, seringkali hanya tidur tidak lebih dari dua jam sehari. Makanannya seringkali hanya air, dan pakaiannya hanya satu-satunya jubah wolnya. Ia sangat terkenal di seluruh Daghestan. Ia hidup di zaman seorang tiran terkenal, Syah Syamus, Gubernur Daghestan.
Ia dilahirkan di desa Kural, di Shirwan, Daghestan pada hari Selasa, 2 Dzul-Qai'dah 1191 H./1777 M.
Ia bertubuh tinggi, berkulit kuning langsat, janggutnya putih dan matanya hijau. Suaranya lembut.
Dari Kata-Katanya
Ia pernah berkata, “Jika para Pecinta dari Al-Ahad bicara mengenai cinta mereka terhadap-Nya, dari apa yang mereka gambarkan, setiap pecinta akan mati.”
“Seorang murid tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya kecuali apa yang Allah kehendaki baginya, dan ia tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta, kecuali Rabbnya.”
“Jika seorang murid setelah lima hari berpuasa kemudian berkata, ‘Aku lapar,’ ia tidak cocok berada di tarekat kita.”
“Depresi dalam kalbu berasal dari tiga penyakit: kehilangan harmoni dengan alam, menjaga kebiasaan seseorang yang bertentangan dengan Sunnah; dan berkumpul bersama orang-orang yang korup/fasad.”
“Ketika kalbu putus asa dalam memvisualisasikan Dzat Allah, Dia mengirimkan Sifat-Sifat-Nya kepadanya yang membuat kalbu itu tenang, diam dan menjadi gembira.”
“Mengamati adalah untuk mata. Menyaksikan (musyahada) adalah dari kalbu. Penyingkapan (kasyf) adalah untuk Rahasia-Rahasia (asrar) dari penglihatan.”
“Kapankah Allah menjadi tidak rida terhadap hamba-Nya? Yaitu ketika hamba-Nya merasa jengkel dengan lamanya berlangsungnya majelis Zikir. Jika cintanya untuk Allah adalah benar, maka itu akan seperti sekejap mata.”
“Kematian menyangkal kebahagiaan bagi orang yang mencintai kehidupan duniawi.”
“Allah tidak akan mengangkat orang yang mencintai uang.”
“Cinta seorang Mukmin merupakan pelita di dalam kalbunya.”
“Islam adalah menyerahkan hatimu kepada Tuhanmu dan tidak menyakiti orang lain.”
Sebagai tanda ketawadukannya, ia pernah berkata, “Jika ada pengumuman di masjid, ‘Orang yang korup/fasad dipersilakan keluar,’ aku akan menjadi orang pertama yang pergi.”
“Barang siapa yang datang kepada Allah dengan kalbunya, Allah akan mengirimkan kalbu semua hamba-Nya kepadanya.”
“Aku melihat karya Allah di dalam manusia, tetapi gagasan palsu mereka sendiri membuat mereka buta dari penglihatan ini; dan aku mendengar zikir dan tasbih yang tak pernah berhenti dalam diri mereka, tetapi telinga mereka tuli terhadapnya.”
“Tidak semua orang dapat memakai pakaian dari wol; untuk memakainya diperlukan kemurnian kalbu.”
“Barang siapa yang memakai pakaian wol dengan tawaduk, Allah akan mengangkatnya dan cahaya bersinar di dalam kalbunya. Barang siapa yang memakainya dengan arogan dan bangga, Allah akan menghinakannya.”
Ia mempunyai kebiasaan untuk menempatkan murid-muridnya untuk berkhalwat secara bertahap. Murid senior yang telah melakukan banyak khalwat akan ditempatkan dalam khalwat yang sangat intens dalam ruangan khusus di bawah tanah. Ia menerima pria dan wanita yang datang untuk meminta nasihatnya, dan ia mempunyai murid pria dan wanita yang ditempatkan di dalam khalwat, masing-masing dalam khalwat yang terpisah.
Seorang ulama yang iri dengan ketenaran Syekh Yaraghi berniat untuk menghancurkan reputasinya. Ia mendatangi Gubernur Daghestan, Syah Syamus, dan mengatakan bahwa Syekh Yaraghi (q) telah membaurkan pria dan wanita. Ulama itu berkata kepada Gubernur, “Orang itu telah menghancurkan Syariah,” padahal Syekh Yaraghi (q) dikenal sangat ketat dalam mempertahankan Syariah dan Sunnah. Ulama itu berusaha untuk meyakinkan Gubernur agar ia memasukannya ke dalam penjara. Gubernur lalu mengirimkan utusannya untuk menyampaikan surat kepada Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q). Syekh membaca surat itu dan ia mengatakan kepada utusan itu, “Tunggu! Aku akan mengirimkan hadiah untuk Gubernur dengan syarat jangan dibuka sampai aku datang ke sana.” Ia masuk ke dalam kamarnya, lalu keluar dengan membawa sebuah kotak yang diberikannya kepada utusan itu.
Gubernur menerima kotak itu dan ia merasa ngeri ketika terpikir untuk membukanya. Saat sidang Sayyidina Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) datang dengan seluruh muridnya. Ketika ia masuk, Gubernur berdiri. Orang-orang yang melihatnya berdiri tahu bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi, karena ia tidak biasa berdiri untuk menghormati seseorang.
Syekh berkata, “Bukalah kotak itu!” Ia membuka kotak itu dan mendapati sepucuk surat di dalamnya. Di bawah kotak itu terdapat batu bara yang menyala. Di bawahnya ada sehelai kain, sama sekali tidak terpengaruh dengan batu bara itu. Dan di bawah kain itu terdapat bubuk mesiu. Ia berkata, “Bacalah surat itu!” Gubernur membuka surat itu dan membacanya dengan suara lantang, “Kepada Gubernur. Meskipun tuduhan terhadap kami adalah tidak benar, namun demikian kami bertanya, ‘Dapatkah orang yang menjaga sebuah kotak penuh batu bara yang menyala yang diletakkan di atas bubuk mesiu selama satu minggu…’ saat itu Gubernur mulai gemetar. Syekh berkata kepadanya, “Jangan gemetar. Lanjutkan membacanya.” Gubernur melanjutkan, “... di mana di bawahnya terdapat bubuk mesiu selama satu minggu tanpa terjadi ledakan atau sesuatu yang membahayakan, apakah ia tidak sanggup menjaga murid-muridnya, pria dan wanita, dari ledakah akibat nafsu mereka?”
Suatu ketika ada seorang wanita yang membawa putranya kepada Syekh. Anak itu berusia empat bulan. Syekh memanggil anak itu dan yang membuat orang-orang heran adalah bahwa anak itu berjalan mendatanginya. Syekh berkata kepada anak itu, “Ikutilah kata-kataku,” dan Syekh membaca Surat al-Ikhlash diikuti oleh anak itu. Lalu Syekh berkata, “Sekarang, bacalah sendiri,” dan anak itu membacanya sendiri. Orang yang menceritakan peristiwa itu mengatakan, “Aku melihat anak itu 30 tahun kemudian, dan ia menunjukkan kecerdasannya seperti yang pernah ia perlihatkan di hadapan Syekh.”
Jihadnya
Leslie Blanch menyatakan di dalam bukunya, “The Sabres of Paradise,” bahwa Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) merupakan Syekh dari Imam Syamil an-Naqshbandi (q). Selama perangnya melawan Rusia, ia memberi arahan berupa taktik dan strategi, sebagaimana yang dilakukan oleh Sayiddina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) setelahnya.
Dalam Bab 34, Gammer mengatakan mengenai Syekh, di dalam bukunya, “Muslim Resistance to the Tsar…”
“... Sementara kilatan sangkur Rusia berusaha menghadang dari semua sisi, pengaruh Mula Muhammad [al-Yaraghi] terus berkembang dengan mantap, dari tahun ke tahun.
Tanpa wujud dan bentuk tertentu, ajarannya disampaikan dengan pasti dan dilakukan secara diam-diam melewati pagar baja yang kaku, bagaikan bayangan kapal menembus batu karang yang menghadang, atau seperti api yang membakar lumut di rawa-rawa yang terus merambat karena angin. Kedua kekuatan tersebut, baik moral maupun material, bergerak dalam lingkaran konsentris dengan arah berlawanan, dengan kecepatan yang sama, dan hanya ketika percikan kebebasan terakhir seolah-olah jatuh terinjak-injak oleh tentara Tsar di Daghestan tengah, api yang suci siap membara dan menyinari tanah (Daghestan) di setiap penjuru, bahkan sampai perbatasan terluarnya.”
“Sumber-sumber Rusia sepakat menyatakan bahwa Muhammad al-Yaraghi (q) dan murid-muridnya dari sejak awal selalu mengobarkan semangat jihad melawan Rusia. Hal ini tidaklah mengejutkan..... Terlebih lagi, peranan para ta’ifa Sufi, khususnya Tarekat Naqsybandiyya, dalam pergerakan jihad di dunia Islam telah ditekankan … [karena] pengaruh dari khotbah Muhammad al-Yaraghi (q).”
“...Perhatian utama dari Muhammad al-Yaraghi (q) dan murid-muridnya adalah membangun dan menegakkan Syariah dan menghilangkan adat istiadat (yang tidak sesuai dengan Syariah) yang masih bertahan.”
Syekh berbicara kepada para penduduk yang tinggal di pegunungan di Daghestan, “Kalian bukanlah Muslim atau Kristen atau Pagan (penyembah berhala)... Nabi (s) bersabda, ‘Seorang Muslim sejati adalah orang yang mematuhi Qur’an dan menyebarkan Syariahku. Siapa yang mengikuti perintahku akan berdiri lebih tinggi daripada seluruh awliya sebelumku.”...”Bersumpahlah wahai manusia, untuk menghentikan semua kebiasaan burukmu dan hindari perbuatan dosa. Isilah waktumu siang dan malam di dalam masjid. Berdoalah kepada Allah dengan penuh semangat. Menangislah dan mintalah pengampunan kepada-Nya.” [hal. 44]
Syekh Yaraghi (q) sering memprediksi masa depan murid-muridnya dan prediksinya selalu menjadi kenyataan. Ketika penyandang tuna netra dan orang yang cacat datang kepadanya dan ia berdoa untuk mereka, mereka dapat disembuhkan. Jika orang miskin datang dan ia berdoa untuknya, mereka akan menjadi kaya.
Ia wafat pada hari Rabu, 17 Muharram 1265 H./1848 M. Ia memberi otoritas kepada penerusnya, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) untuk melanjutkan sebagai Mursyid Tarekat, dengan Rahasia yang telah diberikan oleh Syekh mereka, Sayyidina Isma`il ash-Shirwani (q), dan sebagaimana yang telah diperintahkan olehnya.
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1cHlDXKHy841iR7fq0q2dqc3gUfqjtqGN-LtSY3UiQyE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
35. Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah salah satu dari Manusia Sempurna yang Allah busanai dengan Asmaul Husna wal Sifat. Ia membuatnya sebagai Pilar utama dari Ilham Ilahiah berupa Rahasia yang tesembunyi dan Kunci untuk membuka Singgasana Ilmu. Ia mewakili Tuhannya sebagai Bayangan-Nya di dunia ini, kalbunya dihiasi dengan permata dari Essensi Wahdaniah yang Unik. Dia menjadikannya sebagai Rumah bagi Cahaya-Nya. Ia adalah Rezeki bagi kalbu-kalbu para Salik dan ia merupakan wasilah bagi mereka yang ingin mendengar Kalamullah secara langsung. Ia adalah Sang Kibrit al-Ahmar, “Belerang Merah” menurut Timbangan Ilahiah, Sang Penjamin bagi Tersingkapnya Rahasia-Rahasia Ibadah yang dalam. Ia adalah Kamus bagi bahasa Ilmu-Ilmu Khusus: padanya bersemayam Zamrud Hijau dan Merah Delima bagi Sang Penyelam di Samudra itu, yang darinya muncul Warisan Besar dalam membangkitkan ilmu spiritual dan agama.
Ia memahami perkataan burung dan ia merupakan penerjemah Gairah Cinta Ilahi dan ia dimuliakan dengan Ilham-Ilham dari Tarekat ini. Ia adalah penampilan Maqam Kenabian dari Hakikat Muhammad (s). Ia adalah Mursyid dari Mursyid, Cahaya dari Cahaya, Arif dari Arif. Ia adalah seorang Mursyid dari tarekat ini yang mengambil kekuatannya melalui garis hubungan darah kepada Nabi (s), ia adalah seorang Sayyid Hasani wal Husayni, dan ia mengambil kekuatan spiritual tarekat ini dari Nabi (s) melalui Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dan Sayyidina `Ali (r).
Ia dilahirkan di distrik Kubu, dari Ghazikumuk, di Daghestan pada hari Kamis, 16 Muharam tahun 1203 H./1788 M. Sejak dilahirkan ke dunia ini ia sudah berada dalam Maqamul Syahadah (Penyaksian) dan sepanjang hidupnya ia berada dalam Maqamul Kasyf, atau tanpa hijab.
Ia adalah seorang ulama baik dalam ilmu lahir maupun ilmu batin. Ia dikenal dapat berbicara dalam 15 bahasa, termasuk bahasa Arab, Persia, Urdu, Pashtu, Hindi, Rusia, Turki, dialek Daghestani dan Circassia, dan Armenia. Ia telah menghafal Qur'an dalam hati dan mengingat 775.000 Hadits, baik yang sahih maupun yang palsu.
Ia adalah seorang ensiklopedia hadits dan referensi bagi tafsir kitab suci al-Qur’an. Ia adalah seorang ahli Fikih dan Logika. Ia adalah seorang ilmuwan dan ahli matematika. Ia memiliki kecakapan khusus dalam ilmu Fisika. Ia adalah seorang ahli homeopati. Bahkan tidak ada cabang ilmu apapun yang belum dipelajarinya secara mendalam. Ia adalah seorang Sufi besar dan menulis buku berjudul “Adab al-Muridiyya fi ‘th-Thariqat an-Naqsybandiyya,” “Adab Murid di dalam Tarekat Naqsybandi.”
Ia adalah seorang Kutub dari Syekhnya di zamannya dan ia menempati posisi itu selama empat puluh tahun. Syekhnya, yaitu Syekh Isma`il (q), menunjukkan berbagai ilmu rahasia yang penting untuk melatih dan mengangkat murid-muridnya.
Ketika Syekh Syekh Isma`il (q) masih hidup, Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sudah merupakan seorang wali. Di masa hidupnya dua wali besar lainnya dari Daghestan dan khalifah dari Syekhnya, Sayyidina Khas Muhammad (q) dan Syekh uhammad Effendi al-Yaraghi (q), ia terus menjadi wali yang membawa rahasia utama dari Tarekat Naqsybandi. Namun demikian, hanya ketika Syekhnya, Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) wafat, ia diberi izin untuk menjadi Mursyid tarekat ini.
Ia berbadan tinggi namun kurus. Kulitnya sangat putih. Janggutnya sangat panjang dan lebar. Matanya merah, suaranya lembut dan manis.
Ketika ia masih muda, ia adalah seorang murid dari ulama dan Sufi di Daghestan. Untuk beberapa saat ia menjadi sekretaris Gubernur Ghazikumuk. Ia memutuskan untuk meninggalkannya karena, “Allah memberiku kekuatan untuk melihat dengan dua mata istimewa, kekuatan untuk melihat ke dalam tujuh Langit dan melihat menembus bumi. Aku tidak bisa bekerja untuk seorang penindas.” Ia meinggalakan pekerjaan itu dan mengarahkan dirinya menuju Tarekat Naqsybandi, yang subur pada masa itu. Ia mempersiapkan orang-orang untuk berperang melawan Rusia. Kemudian ketika ia menjadi seorang Syekh, ia menjadi penasihat dan pemberi ilham di belakang perlawanan bersenjata Imam Syamil (q) yang juga adalah ayah mertuanya.
Ilmunya mengenai Tarekat Naqsybandi membuat orang-orang dari berbagai daerah datang untuk mendengar perkataannya. Ketika orang bertanya mengapa ia meninggalkan jabatannya di pemerintahan, ia menjawab dengan kata-kata sebagaimana yang dikutip di atas tadi. Mereka takjub dengan jawabannya. Dalam waktu yang singkat ia menjadi sangat terkenal.
Sepanjang zamannya Syekh Syamil (q), gubernur lainnya yang bernama Arlar Khan, memintanya untuk menerima posisi mufti (pemegang kewenangan agama). Ia menolaknya dengan berkata, “Aku tidak akan bekerja untuk para penindas.” Kemudian gubernur memerintahkannya untuk mengambil jabatan itu, tetapi ia mengabaikannya dan kemudian pergi. Gubernur kemudian memerintahkan agar ia digantung. Syekh Jamaluddin (q) berdiri dengan tali mengelilingi lehernya dan segera akan dieksekusi. Tiba-tiba Gubernur berlari ke arah balkon dan berteriak, “Stop! Stop! Jangan gantung dia.” Dalam keramaian itu, Gubernur terjatuh dari balkon dan menewaskan dirinya. Orang-orang segera melepaskan tali dari leher Sayyidina Jamaluddin (q) dan membiarkannya pergi. Ini adalah salah satu keramatnya.
Dari Kata-Katanya
Ia berkata,
“Kau harus menggunakan ilmumu. Jika engkau tidak menggunakannya, ia akan digunakan untuk menentangmu.”
“Langkah pertama dalam Maqam Wahdaniyah Yang Khas adalah menjaga sabda Nabi (s), yaitu ‘Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.’”
“Ibadah seorang yang Arif adalah lebih baik daripada mahkota di kepala raja.”
“Jika ilmu yang akan kubicarakan berasal dari diriku, maka ia akan musnah; tetapi bila itu berasal dari-Nya, dan karena itu berasal dari-Nya, maka ia tidak akan pernah musnah.”
“Di antara amal yang pahalanya tidak dapat dilihat oleh malaikat adalah Zikrullah.”
“Asosiasi terbaik dan tertinggi adalah duduk bersama-Nya dalam Maqam at-Tawhiid.”
“Jagalah waktumu, karena mereka berjalan dan tidak akan pernah kembali. Sungguh malang orang yang lalai. Sambungkan wazifa harianmu satu dengan yang lain, seperti mata rantai, kau akan mendapat manfaat darinya. Jangan membuat kalbumu sibuk dengan kehidupan duniawi, karena itu akan menyingkirkan pentingnya Akhirat dari dalam kalbumu.”
“Kisah orang-orang yang saleh dan para awliya bagaikan batalion Pasukan Allah, di mana maqam murid dibangkitkan dan ilmu rahasia dari Sang Arif menjadi dikenal. Bukti dari hal ini ada di dalam kitab suci al-Qur’an, ketika Allah berfirman kepada Nabi (s), ”Kami akan ceritakan kisah-kisah Rasul yang datang sebelummu, untuk meneguhkan hatimu” [11:120].
“Jadikanlah kalbumu bersama Allah `Azza wa Jalla, dan tubuhmu bersama orang-orang, karena siapa yang meninggalkan orang-orang akan meninggalkan jemaah dan siapa yang meninggalkan jemaah akan jatuh ke dalam kelalaian. Orang yang menggunakan Rahasianya untuk bersama orang-orang akan jatuh ke dalam ujian dan godaan dan ia akan dihijab dari Hadirat Tuhannya.”
“Allah telah menyingkapkan kepada hamba-hamba-Nya mengenai kekurangan mereka ketika Dia mengungkapkan bahwa mereka diciptakan dari tanah liat. Dia tunjukkan kepada mereka kehinaannya bahwa mereka berasal dari setetes air yang hina (mani). Dan Dia membuat mereka menyaksikan ketidakberdayaannya ketika Dia menciptakan kebutuhan untuk pergi ke kamar kecil.”
“Kebanggaan adalah bahaya yang sangat besar bagi manusia.”
“Ilmu mengenai Keesaan merupakan kekhususan bagi Sufi yang memungkinkan mereka dapat membedakan antara yang Abadi dan yang sementara.”
Dari Keramatnya
Dikatakan bahwa Allah mengaruniainya dengan dua mata tambahan dari kedua mata normalnya dan ini memberikan penglihatan tambahan baginya. Satu mata terletak di bawah pusarnya, dan satu lagi di atas pusarnya. Ketika ia masih bayi, para wanita di Ghazikumuk berdatangan untuk melihat kedua mata tambahan itu.
Allah memberi kekuatan spiritual kepada kedua mata ini di mana Dia menyingkapkan ilmu gaib untuk diketahui, baik Ilmu Surgawi maupun ilmu terkait makhluk spiritual (jin) dari dunia ini.
Dengan mata di atas pusarnya ia dapat melihat Ilmu Surgawi dan diberikan kekuatan spiritual untuk memindahkan dirinya ke Hadirat Ilahi dengan penglihatan yang lengkap, tanpa kehilangan kesadarannya. Ia dapat melihat Rahasia-Rahasia Ilahi dalam kesadaran penuh dan berbicara mengenainya kepada para pengikutnya. Setiap kali muridnya bertanya mengenai maqam-maqam Surgawi, ia akan menjawabnya dengan melihat maqam itu dengan Penglihatan yang Sempurna terlebih dahulu, baru kemudian memberikan jawabannya.
Mata di atas pusarnya digunakan untuk menjawab semua pertanyaan mengenai dunia ini dan mengenai jin. Ia sangat terkenal dalam menjelaskan kepada para pengikutnya mengenai apa yang mereka perlukan mengenai masa depan, masa sekarang dan masa lalu mereka. Silsilah dan hubungan kekerabatan antara murid-muridnya dengan leluhurnya disingkapkan baginya seperti sebuah kitab. Ia dapat memuaskan setiap orang yang bertanya mengenai leluhurnya karena ia dapat menyebutkan leluhur mereka satu per satu.
Suatu hari ia duduk bersama murid-muridnya dan memakan apel. Tiba-tiba ia mengambil apel-apel itu dari piring dan melemparkannya ke udara. Murid-muridnya terkejut melihat tindakan yang seperti kekanak-kanakan itu, khususnya dalam kaca mata prinsip Sufi yang dengan tegas menghindari semua perbuatan yang tergolong tidak berguna dan tidak ada urusannya (ma la ya`ni). Ia memandang mereka dan berkata, “Jangan melihat pada suatu perbuatan dan salah menafsirkannya, itu akan menjadi sebuah kesalahan yang fatal. Makna dari tindakan yang tadi kulakukan akan diketahui dalam beberapa jam, ketika seorang murid akan datang dari desa lain dan kalian akan mendapat penjelasannya.”
Sebagaimana yang diprediksikan, seorang pria datang dan berkata, “Wahai Syekhku, saudaraku baru saja meninggal dunia.” Syekh berkata, “Itulah yang terjadi. Sekarang katakan kepada mereka kapan tepatnya ia meninggal dunia.” Ia berkata, “Ia meninggal dunia empat jam yang lalu.” Syekh menjelaskan, “Aku melihat malaikat `Izra'il (a) datang untuk mencabut nyawa seorang pengikutku dengan kemarahan dan hukuman. Aku melemparkan apel itu ke atas dan dengan tindakan itu, aku menghentikan `Izra'il (a). Aku berkata agar ia kembali kepada Allah `Azza wa Jalla, dan mengatakan kepada-Nya bahwa Sayyid Jamaluddin (q) meminta agar Dia mengubah kematian hamba-Nya itu dari su’ul khatimah (akhir yang buruk) menjadi khusnul khatimah. Dalam perjalanan `Izra'il (a) kembali dengan jawaban bahwa Allah telah mengubah takdirnya dari hukuman menjadi rahmat, aku melemparkan apel kedua dan mengatakan kepada `Izra'il (a) agar ia pergi dan aku sendiri yang akan mencabut nyawa muridku. Akulah yang mencabut nyawanya keluar dari jasadnya pada tujuh napas terakhirnya.”
Suatu ketika ada beberapa pengunjung dari Kazan yang menempuh perjalanan untuk bertemu Sayyidina Jamaluddin (q). Dalam perjalanannya mereka melewati rumah seorang wanita tua yang bernama Salahuddin `Ayesya. Wanita itu berkata, “Bila kalian bertemu dengan Syekh, mintalah padanya untuk memberiku bay’at, karena aku sendiri tidak bisa pergi menemuinya.” Pada akhir pertemuan mereka dengan Syekh Jamaluddin (q), mereka memintanya untuk memberi wirid bagi Salahuddin `Ayesya. Ia berkata, “Bawakan sehelai kain ini kepadanya.” Mereka lalu membawakan sehelai kain yang diberikan oleh Syekh itu dan menyerahkannya kepada Salahuddin `Ayesya. Wanita itu mengambilnya, membukanya, melihatnya dan mengatakan, “Aku mengerti, aku mengerti!” dan ia mengangkat kain itu ke atas kepalanya. Lalu ia pergi dan beberapa waktu kemudian, ia datang kembali membawa sebuah bejana berisi susu. Ia berkata, “Bawakan ini kembali kepada Syekh.” Ketika mereka kembali dan memberikan susu itu, Syekh sedang dalam keadaan sakit parah karena telah dianiaya oleh Gubernur. Syekh lalu meminum susu itu dan berkata, “Alhamdulillah, aku disembuhkan melalui susu yang diperah dari rusa oleh wanita itu. Ia sangat bijaksana. Ia segera mengerti. Aku meletakkan sebuah arang yang menyala di dalam kain itu tetapi kain itu tidak terbakar. Ketika aku mengirimkannya kepadanya, ia mengerti bahwa memegang tarekat ini bagaikan memegang sebuah bara api yang menyala. Ia mengambil arang itu dan mengirimkan susu. Susu itu adalah lambang kemurnian kalbu. Jadi ia mengirimiku sebuah jawaban dengan mengatakan, “Aku menerima kesulitan di jalan ini (dalam tarekat ini), dan aku mendedikasikan kemurnian kalbuku kepadamu.” Kemudian orang-orang desa itu kembali menemui wanita itu dan mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Syekh. Ia berkata, “Ketika aku menerima arang itu, dua ekor rusa muncul di pintuku. Aku tidak pernah melihat hal itu. Aku segera mengerti bahwa aku harus memerah mereka dan mengirimkan susunya kepada Syekh.”
Suatu ketika Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q) sedang bersama murid-muridnya di sebuah masjid jami di sebuah kota untuk melakukan salat Isya berjamaah. Ketika salat telah selesai, semua orang keluar dan mereka mengunci masjidnya. Satu orang tetap tinggal di dalam masjid itu, ia bersembunyi di balik pilar. Namanya adalah Orkallisa Muhammad, salah satu murid terbaik dari Sayyid Jamaluddin (q). Ia berbicara sendiri, mengatakan, “Hei Orkallisa Muhammad, sekarang tidak ada orang lain bersamamu, kau sendiri sekarang. Bela dirimu.” Dan ia menjawab sendiri, “Bagaimana aku dapat membela diriku? Aku adalah orang terburuk yang pernah Allah ciptakan di bumi. Aku bersumpah bahwa jika apa yang aku katakan tidak sesuai dengan apa yang kuyakini, maka istriku menjadi haram bagiku!” Ia tidak tahu bahwa Syekhnya juga bersembunyi di dalam masjid itu dan mengamatinya. Syekh melihat ke dalam kalbunya. Ia melihat bahwa kalbunya sungguh menganggapnya sebagai orang terburuk di antara seluruh makhluk.
Sayyid Jamaluddin (q) menampakkan dirinya, tertawa dan berkata, “Wahai Orkallisa, datanglah ke sini.” Orkallisa sangat terkejut melihat Syekhnya karena ia berpikir bahwa ia sendirian. Syekh berkata kepadanya, “Kau benar, dan kau juga setia dan tulus.” Segera setelah ia mendengar hal ini, Orkallisa Muhammad melayang hingga kepalanya membentur langit-langit masjid. Ia kemudian jatuh dan melayang lagi dan jatuh lagi dan seterusnya hingga tujuh kali. Ketika seorang murid dibersihkan dari dunia ini, ruhnya akan mengangkatnya dan ia akan terbang seperti seekor burung.
Lalu Syekh Jamaluddin (q) berkata kepadanya, “Duduklah.” dan ia pun duduk. Syekh lalu menunjuk dengan telunjuknya ke kalbu Orkallisa Muhammad dan membuat gerakan berputar. Ketika ia memutarkan jarinya, ia membuka kalbunya, bukan kepada Hadirat Ilahi, tetapi kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi yang sudah berada di dalam kalbunya. Apa yang dibukakan Syekh kepadanya adalah enam level yang akan dibukakan kepada seorang salik agar ia dapat menapaki langkah pertamanya di dalam tarekat ini (level murid, setelah level muhib). Mereka adalah hakikat daya tarik (haqiqat al-jadzba), hakikat mencurahkan ilmu dengan melimpah (haqiqat al-fayd), hakikat untuk memfokuskan diri kepada Allah (haqiqat at-tawajjuh), hakikat memberi perantaraan atas izin Allah (haqiqat at-tawassul), hakikat memberi bimbingan (haqiqat al-irsyad), dan hakikat menggulung, dapat bergerak sesuka hatinya di dalam dimensi ruang (haqiqat at-tayy).
Keenam kekuatan yang dibukakan kepadanya adalah Langkah Utama yang pertama di dalam Jalan Sufi. Setelah ia membukakan keenam kekuatan ini, ia dapat membawanya ke Maqam Syahadah/Penyaksian. Di dalam maqam itu, ia melihat dirinya duduk bersama 124.000 burung putih yang mengelilinginya. Seekor burung hijau yang besar terbang di bagian tengah. Setelah penglihatan itu, burung-burung putih itu lenyap dan di tempatnya kini muncul rohani dari 124.000 awliya. Lalu burung hijau itu lenyap dan muncul rohani dari Sayiddina Muhammad (s). Nabi (s) berkata, “Aku bersaksi bahwa ia telah mencapai Maqamul Ihsan dan sekarang kau dapat mempercayainya. Berikan dia rahasia dari Tarekat Naqsybandi.” Kemudian Sayidd Jamaluddin (q) menuangkan dari kalbunya ke kalbu Orkallisa Muhammad, rahasia-rahasia dan ilmu yang tidak pernah diimpikannya. Ia berkata kepada Syekhnya, “Wahai Syekhku, apakah hal-hal ini ada di dalam tarekat?” Ia berkata, “Ya, wahai anakku, dan ini baru awal dari perjalanan ini.”
Dikatakan bahwa rahasia dari Syekhnya dapat terlihat pada diri Orkallisa Muhammad. Ia memberikan khotbah Jumat di atas minbar dan ia dapat menepukkan tangannya dan berkata, “Wahai manusia, menangislah!” kemudian orang-orang mulai menangis. Kemudian ia menepukkan tangannya lagi dan berkata, “Tertawalah!” dan mereka mulai tertawa. Kemudian ia memanjatkan doa, mengatakan, “Ya Allah, mereka telah menangis dalam pertobatan mereka dan mereka memohon ampunanmu, ampunilah mereka. Dan mereka tertawa atas nikmat dan rahmat-Mu!” Kemudian ia akan menepukkan tangan untuk yang ketiga kalinya, dan berkata, “Apakah kalian menerima Tarekat Naqsybandi menjadi tarekat kalian?” dan mereka semua menjawab, “Ya.” Lalu ia bertanya kepada mereka, “Apakah kalian mau berzikir 5000 kali ‘Allah’ di lidah dan 5000 kali ‘Allah,’ dalam hati?” dan mereka menjawab, “Ya.” Dengan metode ini ia menyebarkan Tarekat Naqsybandi ke seluruh Daghestan, Kazan, Rusia Selatan dan di antara pasukan Imam Syamil.
Jihadnya
Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) sangat terlibat dalam mengarahkan perang melawan Rusia. Ia berperang untuk menjaga agar ajaran spiritualitas tetap kuat di Rusia, sebagaimana di zaman sebelumnya. Ia mendukung Imam Syamil dalam perang melawan Rusia selama hampir 40 tahun. Prajuritnya semata-mata berasal dari murid Naqsybandi, karena ia tidak memperbolehkan ada afiliasi lain di dalam pasukannya. Leslie Blanch menulis hal berikut mengenai hubungan mereka di dalam bukunya, “The Sabres of Paradise”:
“Syamil mematuhinya [Syekh Jamaluddin] lama setelah ia [Syamil] menjadi penguasa yang angkuh yang tidak mentoleransi adanya kritikan. Dengan tutornya, Syamil termasuk murid yang sangat disiplin dan rajin. Ia mempelajari bahasa Arab dan literatur Arab, filosofi dan teologi, mengalami kemajuan menuju doktrin Sufi yang rumit di mana evolusi agama merupakan prinsip fundamental di dalam Sufisme, termasuk studi komparatif mengenai Adam, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad. Tampaknya ia bukanlah seorang murid biasa dan Jamaluddin mempersiapkan dirinya untuk takdir yang besar, yang menurut beberapa sumber, telah tertulis di keningnya.” [hal. 54-55]
“Ia [Imam kedua di Daghestan] mengalami kemajuan pesat dalam hierarki di madrasah, menjadi salah satu murid dalam lingkaran eksklusif. Namun, betapa pun jauhnya mereka menyusun rencana jihad mereka, tetap saja mereka mengambil inspirasi spiritualnya dari ajaran Sufi [Jamaluddin].”
“Imam Syamil menikah dengan putri Mullah Jamaluddin, Zaydat.” [hal. 211]
“Secara umum, Imam Syamil menghabiskan waktunya dalam tafakur atau berdoa, atau mengikuti diskusi teologis dengan guru spiritualnya, Mullah [Sayyid] Jamaluddin.” [hal. 352]
Ketika Syekh Syamil dikalahkan dan dijadikan tawanan oleh Rusia pada tahun 1279 H./1859 M. Syekh Jamaluddin (q) memutuskan untuk melakukan hijrah masal bersama para penduduk Daghestan ke Istanbul, Turki. Ketika keputusan itu telah ditetapkan, orang-orang dari Daghestan, Kazan, Chechnya, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan dan daerah lainnya, semuanya mulai mempersiapkan diri untuk meninggalkan daerah yang dikuasai Rusia. Mereka pergi ke Turki dan negeri-negeri Arab lainnya.
Syekh Syamil dibebaskan oleh Rusia dengan syarat bahwa ia bersumpah tidak akan melakukan perlawan lagi terhadap mereka. Ia lalu menunaikan ibadah haji dan mendapat sambutan sebagai pahlawan di Mekah, dikatakan bahwa ia diangkat ke atas Ka’bah untuk berdoa di sana agar semua orang memperoleh manfaat dengan melihatnya. Ia wafat di Madinah dan dimakamkan di Makam para Sahabat, al-Baqi`.
Hijrah
Syekh Jamaluddin (q) pindah ke Istanbul, ditemani oleh keluarganya dan keluarga Syekh Syamil. Di sana mereka tinggal di distrik Uskudar, di sisi Asia dari Istanbul. Dari sana ia menyebarkan ajaran Tarekat Naqsybandi ke seluruh Turki.
Pada saat itu semua rumah dibangun dari kayu. Suatu hari kebakaran hebat terjadi di kota Uskudar. Orang-orang meninggalkan rumah mereka untuk menyelamatkan diri. Mereka datang kepadanya, dan mendesaknya untuk segera pergi. Ia berkata dengan sangat tenang, “Aku tidak akan pergi karena rumahku tidak akan terbakar. Rumah ini dibangun dari uang yang diperoleh dengan tanganku sendiri. Rumah yang dibangun dengan uang yang murni dan halal tidak akan terbakar.” Seluruh distrik itu terbakar, tetapi rumahnya tidak tersentuh oleh api. Rumah itu terus diperlihara hingga sekarang, dan menjadi sangat terkenal.
Perilakunya bersama keluarga dan murid-muridnya selalu sempurna. Ia menjaga akhlak terbaik bersama mereka. Ia tidak pernah bereaksi terhadap keluhan atau keberatan dari keluarganya. Ia tidak pernah keberatan atau mengkritik murid-muridnya. Ia selalu berusaha untuk membuat mereka senang.
Suatu hari, tak lama sebelum wafatnya, ia memanggil istri dan putrinya. Ia berkata, “Hari ini aku telah melakukan sebuah pekerjaan besar, dan itu menyita seluruh tenagaku sehingga aku menjadi sangat lemah. Bila kalian nanti membaca koran, kalian akan melihat bahwa ada sebuah kapal besar yang kandas di Selat Bosphorus. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu dan mereka diselamatkan oleh seseorang yang tidak dikenal. Akulah orang itu, dan kalian akan mendengar mengenai hal itu.” Kemudian ia wafat. Keesokan harinya, putrinya dengan rasa takjub dan berurai air mata membaca berita itu di koran, mengenai sebuah kapal besar yang kandas dan seseorang yang tidak dikenal telah menyelamatkan semua orang di kapal itu. Koran itu masih disimpan oleh keturunannya.
Ia wafat pada tanggal 5 Syawal tahun 1285 H./1869 M. dalam usia 8o tahun. Ia dimakamkan di Uskudar, Istanbul, dekat dengan keluarga Imam Syamil.
Beberapa saat setelah wafatnya dan setelah pemakamannya, lokasi makamnya menjadi hilang, tidak ada orang yang dapat menemukannya. Ia tidak ditemukan lagi selama bertahun-tahun. Syekh Syarafuddin (q), yang muncul 40 tahun setelah wafatnya adalah orang yang menemukan kembali makamnya. Ketika ia tinggal di Rasyadiya, 150 mil dari Istanbul, ia mendapat suatu penglihatan di mana ia dibawa ke Uskudar. Ia dibawa ke sebuah makam dan seseorang muncul di hadapannya dengan memakai jubah hijau. Ia berkata, “Aku adalah Syekh Jamaluddin (q). Kau harus mengungkapkan kembali makamku.” Syekh Syarafuddin (q) bertanya, “Bagaimana aku dapat mengetahui makammu?” Ia berkata, “Ini adalah makam Karaja Ahmad, seorang wali yang dimakamkan di sini,” sambil menunjuk ke sebuah tempat tak jauh dari situ. Lalu ia berkata, “Anakku, lakukan yang terbaik untuk menemukan lokasi makamku.” Keesokan harinya Syekh Syarafuddin (q) menulis kepada orang-orang di Istanbul, dan mengatakan kepada mereka untuk menggali di tempat yang ia sebutkan. Mereka menggali di tempat itu dan mereka menemukan sebuah nisan bertuliskan nama Syekh Jamaluddin (q).
Syekh Jamaluddin (q) meneruskan Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi kepada Sayiddina Abu Ahmad as-Sughuri (q).
Sumber:
https://docs.google.com/document/d/1gBf2BtwdS40V6ysOXBtU6NHhxyPeUiiOWjCFDMdavy8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
36. Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Sang ‘Pedang Agama’ adalah ia yang memasuki pertempuran demi agama dan yang seluruh upayanya adalah untuk Allah. Ia pisahkan yang benar dari yang tidak benar, dan kebenaran dari kebatilan. Namun terlebih dahulu ia memerangi dirinya sendiri dan ia bersihkan akhlaknya sendiri. Sebagaimana Nabi (s) bersabda, ‘Mulailah dari dirimu sendiri!’”
Rumi, Fihi ma fihi.
Ia adalah Pewaris Ilmu dari Nabi (s) di zamannya, seorang Imam para Kutub, dan seorang Penasihat dari Kesultanan al-Irsyad. Ia memuaskan dahaga spiritualnya denga meminum dari sumber Ilmu Surgawi dan ia mencapai Maqamul Fana pada usia tiga puluh tahun. Ia adalah puncak bagi para Awliya yang zuhud. Kerajaan Langit menyebutnya sebagai Khalifahnya di bumi. Di dalam dirinya berpadu kedua macam ilmu dan ia memperoleh dan menguasai semua manfaat dari Tarekat dan Hakikat. Ia menjadi pusat dari semua Ilham Ilahiah. Ia adalah Rahasia dan Rahasia Allah dan Keajaiban dari Keajaiban Allah. Ia adalah Panji-Panji yang unik dari Ilmu Spiritualitas dan Ilmu Kalam. Ia bagaikan Bintang Kutub yang memberi arah dan menerangi jalan bagi orang-orang di zamannya. Ia membangkitkan kalbu-kalbu yang mati dan ia mengenakan jubah dari wali-wali besar. Ia tidak meninggalkan satu atom pun di dunia ini tanpa mendapat dukungan dari kekuatan spiritualnya.
Ia dilahirkan di Sughur, sebuah desa di Daghestan pada hari Rabu, tanggal 3 Rajab 1207 H./1789 M.
Ia berdiri di singgasana Kutub selama empat puluh tahun. Ketenarannya tersebar ke mana-mana. Ia melatih murid-muridnya dan mengangkat mereka melalui kekuatan spiritualnya. Jika seseorang muncul di dalam hadiratnya, bahkan selama satu jam, ia akan diangkat ke Maqam Pendengaran dan Maqam Penglihatan. Ia berkata, “Aku tidak bergantung pada upaya murid, tetapi aku bergantung kepada cahaya yang Allah berikan kepadaku untuk murid itu. Aku mengangkatnya melalui cahaya itu, karena aku tahu bahwa tidak mungkin bagi seseorang mencapai Maqam Tak Terhijab hanya dengan upayanya saja. Itulah makna dari doa Nabi (s), ‘Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan aku pada egoku walau hanya sekejap mata.’”
Berikut ini adalah di antara perkataannya:
“Allah telah menyediakan rezeki bagi setiap hamba-Nya. Barang siapa yang tidak mengetahui pengetahuan mengenai rezeki harian yang telah Allah berikan kepadanya, ia akan dianggap bodoh di dalam tarekat kita.”
“Orang-orang yang mencapai Hakikat dari tarekat ini sangat jarang. Dengan kekuatan dari Hakikat itu, seseorang dapat menjangkau seluruh wali di dunia ini, dan dengan Kekuatan Ilahiah yang diberikan ketika kalian mencapai Hakikat dari tarekat ini, kalian dapat menjangkau seluruh malaikat, satu per satu.”
“Cahaya spiritual yang Allah berikan kepadamu dalam perjalananmu di Tarekat ini adalah Mercu Suar yang menerangi Jalan menuju Hadirat Ilahiah-Nya tanpa takut.”
“Di dalam tarekat ini, memuliakan selain Allah adalah suatu kekufuran.”
Abu Ahmad as-Sughuri (q) menghabiskan sepanjang hidupnya dalam keadaan khalwat. Ia menyukai khalwat, ia senang mengasingkan diri dari orang-orang. Oleh sebab itu ia lumayan senang ketika Rusia menjadikannya sebagai tahanan rumah selama beberapa kali.
“Suatu hari ketika aku sedang berkhalwat dan ruangan itu dipenuhi dengan wangi semerbak. Aku tidak mengangkat pandanganku, tetapi tetap bertafakur dalam khalwatku. Lalu sebuah pedang spiritual yang bersinar dengan cahaya yang lebih terang daripada matahari turun ke arah kepalaku. Aku bertanya-tanya apakah yang kurasakan turun melalui kepalaku. Suatu penglihatan muncul di hadapanku, di mana Nabi (s) membungkusku dengan ruhnya, dan aku masuk ke dalam dirinya dan aku melihat diriku di dalamnya.”
“Suatu ketika aku memasuki hadirat Syekhkhu, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q). Ia berkata, ‘Wahai anakku, kau telah mencapai maqam tertinggi dari Kesempurnaan Muhammad.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, aku ingin mencapai silsilah dari maqam engkau.’ Segera setelah aku mengatakannya, aku melihatnya menghilang dari tempatnya dan muncul di dalam diriku, dan aku melihat diriku lenyap dan mencul di tempatnya lengkap dengan wujudnya.”
Dari Kekuatan Keramatnya
Ia dikaruniai keramat yang belum pernah diberikan kepada Awliya lainnya, berupa tersingkapnya hal-hal yang gaib di alam semesta ini, dan Ilmu Laduni mengenai keadaan-keadaan orang setelah mereka meninggal dunia, begitu luasnya hingga tidak ada buku yang dapat mencakup seluruh gambarannya.
Dikatakan bahwa ketika ia masih muda, ia biasa melihat Asma Allah tertulis dalam cahaya antara langit dan bumi. Hal itu membuatnya menjadi orang yang sederhana dan tawaduk. Tidak ada yang mampu mengambil fotonya. Ketika ada orang yang mencobanya, kameranya akan menjadi rusak. Setiap kali ada orang yang mencoba menggambarkannya pada sehelai kertas, penanya tidak mau menulis, atau keesokan harinya gambarnya akan hilang. Ia berkata, “Aku tidak ingin dikenal di dunia ini sepeninggalku karena aku tidak menginginkan suatu eksistensi apapun untuk diriku.”
Ia sering melakukan Salat Fajar dengan wudu yang sama dengan Salat Isya, menandakan bahwa ia tidak tidur.
Suatu hari ketika ia sedang bepergian bersama keluarganya, orang-orang mendapati mereka dalam keadaan tidak mempunyai air di gurun dalam perjalanan ke Hijaz. Keluarganya sangat kehausan. Ia berkata kepada pelayannya, “Pergilah, carikan air.” Ia berkata, “Wahai Syekhku, bagaimana aku akan menemukan air di gurun seperti ini?” Ia bertanya kepada orang-orang dalam kafilah mereka apakah ada di antara mereka yang mempunyai air. Tetapi tidak ada yang mempunyai air dan semua kantong air pun sudah kering. Syekh lalu mengambil sebuah kantong air yang kosong dan pergi ke gurun selama sepuluh menit. Ketika ia kembali kantong itu sudah penuh dan dengan air itu ia membuat keluarganya dan juga orang-orang dalam kafilahnya menjadi terpuaskan dahaganya. Ia lalu memenuhi kantong-kantong air yang kosong dengan air dari satu kantong yang dibawanya itu, dan kemudian kembali kepada keluarganya dengan kantong air yang masih penuh, seolah-olah tidak pernah digunakan.
Dari Kata-Katanya
Ia mengatakan,
“Aku mencapai tiga level kewalian: Fana’, Baqa’, dan Makrifat. Aku menerimanya dari hadirat Cahaya Nabi, Sayyidina Muhammad (s), dan aku menerima Tiga Maqamul Ihsan dan Tujuh Hakikat dari guruku, Sayyidina Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q).
“Kebanggaan tidak akan masuk ke dalam diri seseorang melainkan akalnya akan turun hingga ke derajat di mana kebanggaan itu meningkat di dalam kalbu.”
“Kesulitan boleh jadi menyentuh seorang Mukmin, tetapi kesulitan tidak akan mempengaruhi orang yang melakukan zikir.”
Jihadnya
Ia adalah orang yang menghidupkan Syariah dan Tarekat di zamannya dan ia menarik ribuan orang kembali kepada Islam dan Tarekat Naqsybandi.
Di Daghestan ia dianggap sebagai seorang Syekh spiritual yang membawa ajaran Tarekat Naqsybandi, dan sekaligus juga sebagai seorang kesatria, seperti Imam Syamil, lantaran ia berperang melawan Rusia. Ia adalah mufti utama setelah wafatnya Sayyid Jamaluddin (q). Tentara Rusia seringkali menahannya. Suatu saat ketika mereka menahannya, mereka ingin membawanya dengan sebuah kereta kuda. Semua orang di desanya datang untuk menyampaikan salam perpisahan. Mereka menangis seolah-olah mereka kehilangan jantung mereka. Ia duduk di dalam kereta kuda dengan tenang dan mencari seseorang di antara keramaian itu. Kusir kereta memecut kuda-kudanya agar mereka berjalan, tetapi mereka tidak mau bergerak. Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata, “Mengapa engkau memecut kuda-kuda itu?” Ia berkata, “Aku melakukannya agar kuda-kuda itu mau bergerak.” Syekh berkata, “Mereka tidak akan bergerak sampai aku memerintahkan mereka untuk bergerak. Mereka berada di bawah perintahku. Dan aku sedang menunggu seseorang.”
Mereka duduk seperti itu selama beberapa jam, sampai akhirnya ada seseorang yang datang dengan berlari di antara kerumunan orang. Ia adalah seorang tentara Rusia. Sayyidina Abu Ahmad (q) bertanya kepadanya, “Bukankah engkau putra temanku Ahmad? Mengapa kau bergabung dengan tentara Rusia? Kau adalah seorang Daghestani. Kau tidak boleh bergabung bersama tentara sementara mereka membunuh orang-orang Muslim.” Lalu ia berkata kepadanya, “Kau harus meninggalkan mereka dan mendengarkan kami.” Orang itu berkata, “Ya, wahai Syekhku, aku akan mendengarmu.” Syekh berkata, “Tentu saja kau akan mendengarkan kami, karena bahkan binatang-binatang liar di hutan pun mendengarkan kami ketika kami pergi ke sana untuk berzikir. Bahkan kuda-kuda ini mendengarkan kami dan mereka tidak akan bergerak kecuali atas perintah kami. Ayahmu adalah seorang Syekh besar dan aku katakan bahwa engkau harus meninggalkan mereka. Kau akan menjadi seorang wali. Wahai anakku, jangan tinggalkan orang-orang dengan ilmu eksoterik dan jangan tinggalkan orang-orang dengan ilmu esoterik/tersembunyi. Lihatlah makam itu, dan jangan lupa bahwa pada suatu hari kau dan aku akan dimakamkan di sana.” Dengan segera pemuda itu melepaskan seragamnya dan mengambil bay’at dari Syekh. Tentara Rusia juga menjadikannya tawanan. Kemudian Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata, “Sekarang kau mempunyai izin untuk berjalan,” dan kuda-kuda itu mulai berjalan.
Allah dan Nabi (s) mencintainya atas keikhlasan dan kesetiaannya. Syekhnya rida dengannya, dan penduduk desa menghargainya. Setiap kali ia dibebaskan dari penjara, rumahnya akan dipenuhi tamu-tamu dan berbagai sajian.
Mereka bertanya kepadanya, “Kau tidak bekerja, Rusia memerangimu dan kau berjuang melawannya, bagaimana rumahmu selalu penuh dengan berbagai rezeki? Ia berkata, “Setiap orang yang berjuang di Jalan Allah, Allah akan memberi rezeki untuknya. Dan itu adalah apa yang dikatakan oleh Allah di dalam Qur’an, “Setiap kali Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia mendapati makanan di sisinya.” [3:37].
Wafatnya
Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) wafat di Sughur pada tanggal 17 Rabi'ul-Awwal tahun 1299 H./1882 M. dalam usia 93 tahun.
Bertahun-tahun setelah wafatnya, putrinya melihatnya di dalam mimpi. Ia berkata, “Wahai putriku, batu di makamku telah jatuh menimpa dadaku. Batu itu menekan dadaku dan membuatku sakit.” Keesokan harinya putrinya pergi menemui para Syekh di kota itu dan menceritakan mimpinya. Ia juga menceritakan mimpinya kepada setiap orang yang ditemuinya. Orang-orang percaya bahwa mimpi itu benar dan mereka segera membuka makamnya. Mereka mendapati bahwa batu yang menutupi jasadnya telah jatuh dan dinding makamnya telah runtuh di sekelilingnya. Mereka juga mendapati jasadnya masih utuh, bersih dan tidak berubah. Kain kafannya masih putih seolah-olah ia baru dimakamkan pada hari itu.
Mereka memindahkan jasadnya, menggali ulang makamnya dan kemudian menempatkan jasadnya kembali. Setiap orang terheran-heran bagaimana ia muncul dalam mimpi putrinya dan mengatakan tentang situasi di makamnya. Yang lebih mengejutkan adalah kondisi jasadnya yang masih sempurna. Setelah melihat hal ini, mereka semua mengambil bay’at melalui penerusnya, Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q).
Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) mempunyai dua orang khalifah, yaitu: Abu Muhammad al-Madani (q) dan Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q). Rahasia dari Silisah Emas Tarekat Naqsybandi diteruskan kepada khalifah pertamanya dan kemudian kepada khalifah keduanya.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1D7SN1QVtvT5koV4kYe9uGNoeMgegwAV7dl_jqh11rA8/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
37. Syekh Abu Muhammad al-Madani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
“Seorang Ahlullah mabuk tanpa air,
Seorang Ahlullah merasa kenyang tanpa daging panggang.
Seorang Ahlullah semuanya membingungkan,
Seorang Ahlullah tidak memerlukan makanan dan tidur.
Seorang Ahlullah, ia adalah lautan yang tak bertepi,
Seorang Ahlullah menurunkan hujan mutiara tanpa awan.
Seorang Ahlullah tidak mengetahui kesalahan, melainkan hanya kebenaran.”
Rumi.
Berkahnya mencapai setiap orang di zamannya. Ia adalah seorang yang khas, yang membawa Rahasia dari Deskripsi Kenabian. Ia duduk di Singgasana Bimbingan, menyebarkan ilmu lahir dan batin, khususnya dari Hadirat Ilahi. Ia adalah seorang mursyid dari tarekat ini. Ia adalah seorang yang dihormati di antara orang-orang yang arif. Ia adalah pendukung bagi kaum yang lemah. Ia memiliki keramat yang besar, yang terlihat ke mana pun ia pergi.
Ia dilahirkan di Kikunu, sebuah desa di distrik Ghunib, di negeri Timurhansuro, Daghestan pada tahun 1251 H./1835 M. Bersama keluarganya ia hijrah dari Daghestan ke kota Rasyadiya, antara Bursa dan Istanbul pada tahun 1314 H./1896 M.
Ia merupakan seorang pewaris sejati dari penampilan fisik Nabi (s) dan pewaris spiritualnya. Ia sangat tampan, dan mirip dengan Nabi (s) sesuai dengan gambaran mengenai Nabi (s) di dalam Sirah Nabawiyah (Perjalanan Hidup Nabi (s)). Ia menulis sebuah buku berjudul “Ya waladi”, “Wahai Anakku,” di dalam tradisi Imam Ghazali yang menulis “Ayyuha-l-walad”, “Wahai Anak-Anakku.”
Desa Kikunu, di mana ia dibesarkan, merupakan sebuah tempat spiritual. Para penduduk desa memelihara Syariah dan mereka semua menjadi pengikut Syekh. Satu hari sebelum kelahirannya, Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) melewati desa itu dan berkata, “Dari desa ini seorang anak yang tercerahkan akan muncul. Cahayanya akan bersinar dari bumi ke langit. Ia akan menjadi seorang wali besar.” Beliau meramalkan kelahiran dan maqam yang tinggi dari Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q).
Daghestan di zamannya dikenal sebagai “Negeri para Wali.” Di tahun-tahun pertamanya, dua Syekh besar tinggal di sana, yaitu Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi (q) dan Sayyid Jamaluddin al-Ghumuqi (q).
Ia menerima kekuatan irsyad dalam enam tarekat: Qadiri, Rufa`i, Syadzili, Chisyti, Khalwati dan Naqsybandi. Ia terkenal sebagai seorang Syekh dalam enam tarekat.
Dari Keramatnya
Suatu ketika, sebelum Syekh Muhammad al-Madani (q) mengambil Tarekat Naqsybandi, Haji Nuri dan Haji Murtaza melewati desanya dan berkata kepadanya, “Kami akan mengunjungi Ahmad as-Sughuri untuk mengambil bay’at darinya. Apakah kau ingin ikut bersama kami?” Ia menjawab, “Ya,” dan ketiganya berniat untuk mengikuti tarekat ini melalui Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q).
Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) memberi nasihat kepada mereka, lalu beliau memanggil Abu Muhammad al-Madani (q), memberinya bay`at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan memberi talqin zikir di lidahnya. Beliau tidak memberi apa-apa kepada Haji Murtaza dan Haji Nuri. Beliau berkata, “Aku memberikan rahasia kepada Abu Muhammad al-Madani. Tidak perlu mengambil rahasia dariku. Ambillah darinya. Siapapun yang ingin mengikuti tarekatku boleh mengambilnya melalui Abu Muhammad al-Madani.” Mereka mengeluh di dalam hati, “Mengapa Ahmad as-Sughuri (q) menjadikan Abu Muhammad al-Madani (q) sebagai perantara di antara kami?”
Suatu hari desa mereka dilanda kekeringan. Penduduk desa meminta mereka singgah di desanya Abu Muhammad al-Madani (q) untuk memintanya berdoa memohon kepada Allah agar diturunkan hujan. Dalam perjalanan mereka untuk menemuinya, mereka berbicara satu sama lain, “Kita akan mengetahui sekarang, apakah ia sungguh seorang wali dan mengapa Sayyidina Ahmad as-Sughuri (q) mengedepankan ia di antara kita.” Dalam perjalanan, mereka melewati sebuah rumah, dan melihat seorang wanita cantik di dalamnya. Mereka sangat tertarik dengan kecantikan wanita itu sehingga mereka berdiri memandangnya untuk waktu yang cukup lama. Akhirnya mereka tiba di rumah Abu Muhammad (q) dan mereka mengetuk pintunya.
Dari dalam, ia berkata, “Siapa itu?” Mereka berbicara satu sama lain dengan suara yang pelan, mengatakan, “Bagaimana ia menjadi seorang Syekh bila ia tidak mengetahui siapa yang berada di pintunya?” Mereka mengetuk lagi, tetapi tidak ada jawaban. Lalu dari balik pintu terdengar suara, “Haji Murtaza dan Haji Nuri, adalah mudah bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid tanpa mengetahui siapa yang ada di balik pintu, tetapi sulit sekali bagi seseorang untuk menjadi seorang Syekh dan mursyid bila ia mengikuti hawa nafsunya di jalan yang tidak halal, dengan melihat seorang wanita telanjang.” Ia berkata kepada mereka, “Aku tidak bisa mempersilakan kalian untuk masuk ke dalam rumahku.”
Dalam ketergesaan mereka pergi, mereka sampai lupa untuk mengatakan kepadanya bahwa mereka datang untuk memintanya berdoa agar diturunkan hujan. Setelah lima menit, Syekh menyusul mereka dengan berlari dan mengatakan, “Sedangkan untuk maksud kedatangan kalian, segera setelah kalian tiba di desa kalian, hujan akan turun.” Setelah mereka tiba di desanya, awan berkumpul dan mulai menurunkan hujan.
Jihadnya
Rusia sangat takut kepadanya dan takut terhadap kekuatan yang dimilikinya sehingga mereka membawanya ke Siberia dengan niat untuk membunuhnya. Ia mampu membebaskan dirinya dan kemudian melarikan diri ke Turki. Penduduk Daghestan ingat betul bagaimana beratnya ia memerangi Rusia, baik secara fisik maupun spiritual. Bahkan tentara Rusia pun sering membicarakan keberaniannya dan keramat yang dimilikinya. Banyak peristiwa yang melibatkan dirinya dicacat oleh musuh-musuhnya.
Suatu ketika ia berperang dengan Rusia, sampai mereka menyerbu dengan kekuatan militer yang besar. Ia melarikan diri ke sebuah rumah, dan tidak ada orang yang tahu bahwa ia berada di sana. Seorang wanita melihatnya dari atap rumahnya dan ia berkata kepada tentara Rusia, “Muhammad al-Madani ada di rumah itu.” Mereka datang untuk menangkapnya. Mereka melihat bahwa rumah tempat persembunyiannya dikelilingi oleh rumput-rumput yang hijau dengan berkah dari kehadirannya, padahal di tempat lain tidak ada tanaman hijau yang dapat terlihat akibat cuaca yang sangat panas di musim panas itu. Berkat informasi wanita itu, mereka dapat menangkapnya. Pada malam harinya, wanita itu mengalami sakit parah, dan keesokan harinya ia meninggal dunia. Sebagaimana Allah `Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi (s) di dalam Hadits Qudsi, “Barang siapa yang memerangi wali-Ku, Aku akan menyatakan perang terhadapnya.”
Mereka menjadikannya sebagai tahanan rumah, dan mengatakan bahwa ia bisa pergi ke restoran terdekat untuk makan. Ia menolak untuk makan di restoran mereka dan ia tidak pernah memakan makanan mereka. Ia berkata, “Kalian adalah musuhku dan aku tidak akan memakan makananmu.” Ia tidak pernah memakan makanan mereka selama berbulan-bulan, dan mereka tidak tahu bagaimana ia bisa bertahan. Akhirnya seseorang datang dari Negeri Sartar, dan berkata kepada gubernur, “Jika ia tidak mau memakan makananmu, serahkan ia kepadaku, aku akan membawanya ke negeriku untuk merawatnya.” Mereka lalu mengirimkannya ke sana.
Ada seorang pemuda dari Kikunu yang sedang menuntut ilmu di Bukhara dan ia bertunangan dengan seorang gadis dari Sartar. Ia mempelajari Syariah. Ia telah pergi selama bertahun-tahun dan belum pernah kembali. Sementara itu pasangannya telah memutuskan untuk menikah dengan orang lain. Berita mengenai hal ini sampai ke Bukhara, dan pemuda itu pun mendengarnya. Ia menjadi gelisah. Malam itu, sebelum ia tertidur, ia mendengar sebuah suara yang mengatakan, “Kembalilah ke Sartar. Kembalilah ke Sartar.” Ia mendengar suara itu pada hari berikutnya dan berikutnya lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Sartar. Ia menempuh perjalanan yang sangat panjang, mendekati Moskow, untuk sampai ke Sartar. Ia terus berjalan dan berjalan sampai akhirnya sampai di desa itu.
Ia mendapati semua orang berkumpul di suatu tempat, membawa makanan. Mereka berkata kepadanya, “Seorang Syekh besar dari Kikunu telah datang ke Sartar, dan ia menyembuhkan orang dan memberi makan fakir miskin. Kami sangat tertarik dengan kekuatan spiritualnya sehingga kami semua menjadi pengikutnya. Ikutlah bersama kami untuk menemuinya.” Pemuda itu bergabung bersama mereka. Penduduk desa berkata kepada Syekh, yang merupakan Sayyidina Abu Muhammad al-Madani (q), “Kau mungkin akan dibawa oleh Rusia. Mohon tinggalkan seseorang di sini yang mempunyai kewenangan untuk membimbing kami dalam tarekat.” Ketika pemuda itu tiba di rumah Syekh, Syekh berkata kepadanya, dengan suara yang sama yang pernah didengarnya di Bukhara, “Wahai anakku, kau telah mendengar pesan kami, kau mendengar suara kami. Datanglah! Kau akan menjadi khalifahku dan kau akan mengajarkan orang-orang ini apa yang mereka perlukan mengenai spiritualitas dan kewajiban-kewajiban dalam agama. Dan kau akan menikahi tunanganmu.” Pemuda itu sangat senang. Ia mengambil bay’at Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya dari Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Syekh lalu menikahkannya dengan tunangannya.
Ini merupakan sebuah anugerah yang ajaib dari Abu Muhammad al-Madani (q) bagi kota Sartar. Itu juga merupakan sebuah tanda bahwa hari-harinya di Sartar akan berakhir. Hari berikutnya, Rusia datang untuk membawanya ke Siberia. Ia dikunci di dalam sebuah penjara dengan tingkat keamanan yang tinggi. Walaupun mereka mengurungnya di dalam selnya, mereka sering melihatnya berada di halaman untuk salat, duduk atau membaca. Para penjaga sangat terkejut, mereka membawanya kembali. Beberapa jam kemudian mereka menemukannya kembali di luar. Mereka lalu merantainya ke dinding. Tetap saja mereka menemukannya berada di luar selnya, sedang berjalan dengan seseorang. Belakangan ia mengatakan bahwa ia sedang berjalan dengan Sayyidina Khidr (a). Mereka kembali merantainya tetapi lagi-lagi mereka melihatnya berada di luar selnya. Mereka sangat kesal sehingga mereka mengirimkan surat ke Moskow, meminta nasihat untuk menanganinya. Moskow mengatakan, “Masukkan dia ke dalam penjara bawah tanah yang sangat dalam.” Mereka berusaha melakukannya, tetapi tidak peduli berapa dalam mereka memasukkannya, ia selalu dapat ditemukan di luar selnya. Akhirnya mereka menjadi muak dengannya dan membiarkannya bebas untuk pergi dalam perbatasan Rusia. Syekh berniat untuk melarikan diri ke Turki.
Ketika mereka sudah membiarkannya bebas pergi di Siberia, ia bertemu dengan seorang petugas dan berkata kepadanya, “Anakku, aku akan bertemu denganmu di Istanbul, Turki. Kami akan bertemu denganmu di sana.” Belakangan pemuda itu menjadi muak bekerja untuk militer Rusia dan ia mengundurkan diri. Dengan keluarganya, ia pindah ke Turki dan berakhir di Istanbul. Di sana ia bertemu dengan Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), seperti yang pernah dikatakannya.
Dalam perjalanannya ke Turki, Sayyidina Muhammad al-Madani (q) memutuskan untuk melewati kampung halamannya di Kaukasus untuk mengunjungi orang tua dan keluarganya. Satu hari sebelum tiba, saudarinya bermimpi bahwa ia bertemu dengannya dan mengatakan bahwa ia akan datang. Keesokan harinya saudarinya berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, buatlah makanan yang lebih banyak karena saudaraku akan datang hari ini.” Ibunya berkata, “Apa katamu? Bahkan tidak ada orang yang mengetahui apakah ia masih hidup di Siberia dan kau katakan bahwa ia akan datang ke sini?” Saat itu pintu diketuk dan Sayyidina Muhammad al-Madani (q) muncul.
Hijrahnya
Ketika ia sedang makan bersama keluarganya, ia memberitahu mereka, “Aku harus bergegas, karena ada kapal yang menunggu untuk membawaku ke Trabzon melalui Laut Hitam.” Mereka terkejut dan berkata kepadanya, “Kita di Kaukasia dan kau mengatakan tentang Trabzon?”
Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengarahkan dirinya ke pesisir Laut Hitam di wilayah Rusia. Ketika ia tiba di sana, kapal telah menunggu untuk membawanya ke Turki. Ia mendatangi kapten dan berkata kepadanya, “Bawalah aku ke Turki dengan kapalmu.” Kapten itu menjawab, “Aku telah mencoba untuk melaut selama dua puluh empat hari, tetapi kapal ini tidak berjalan dengan baik.” Syekh berkata, “Sekarang ia akan berjalan dengan baik. Ambillah uang ini sebagai tiketku dan antarkan aku ke Turki.” Kapten itu membawanya dan menempatkannya di dekat kamar mesin. Kemudian kapten itu tidur, sementara anak buahnya mengemudikan kapal. Di dalam mimpinya, kapten itu melihat bahwa mesin kapalnya telah berubah bentuk menjadi sosok Syekh dan kapal itu mempunyai sayap dan terbang menuju Trabzon. Ia bangun dan berlari keluar. Anak buahnya berkata, “Kita telah sampai di Trabzon.” Ia turun ke kamar Syekh dan Syekh bertanya kepadanya, “Apakah kita sudah sampai?” Ia berkata, “Ya Syekhku, aku datang untuk memberitahumu bahwa aku ingin mengambil bay’at darimu. Perjalanan ini secara normal memakan waktu tiga hari, tetapi kita tiba dalam satu hari.” Kapten itu lalu berbay’at ke dalam Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya.
Syekh meninggalkan kapal dan pergi ke sebuah kedai kopi. Ia melihat seorang mantan tahanan di dalam kedai itu yang pernah bersamanya di Siberia. Namanya Muhammad at-Tawil. Ia berkata, “Alhamdulillah Syekhku, kau telah sampai di sini dengan selamat. Kau akan menjadi tamu di rumahku.”
Ketika Sultan Abdul Hamid mendengar bahwa Syekh Muhammad al-Madani (q) telah tiba dengan selamat di Trabzon, ia mengirimkan kapal untuk membawanya dari Trabzon ke Istanbul. Sementara itu, Syekh tetap tinggal sebagai tamu di rumah Muhammad at-Tawil. Selama Syekh Abu Muhammad al-Madani (q) berada di rumahnya, setiap hari ia menemukan dua koin emas di bawah kasurnya. Ia begitu terheran-heran sehingga setelah hari kelima, ia menemui Syekh yang mengatakan, “Selama aku berada di sini dan selama engkau menyimpan rahasia ini, kau akan menemukan koin-koin ini di bawah bantalmu setiap hari. Jika engkau tidak memberitahu orang-orang, koin-koin ini akan terus berdatangan.”
Suatu hari, beberapa saat setelah Syekh pergi ke Istanbul, istri dari Muhammad at-Tawil membersihkan tempat tidur dan ia menemukan dua koin emas. Ia mulai ribut menanyakan darimana asal koin-koin itu. Akhirnya Muhammad at-Tawil mengatakan bahwa itu adalah berkah dari Syekh. Segera setelah itu istrinya pergi dan mengabarkan kepada tetangganya. Setelah kejadian itu, keajaiban itu pun berhenti.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 1308 H./1890 M. Namun demikian kisah itu tidak pernah diceritakan sampai putra Sayyidina Muhammad al-Madani (q) mengunjungi teman ayahnya, Muhammad at-Tawil beberapa waktu setelah ayahnya wafat. Muhammad at-Tawil menceritakan kisah itu dan memperlihatkan koin-koin yang ia dapatkan dengan begitu ajaibnya.
Sultan Abdul Hamid, Sultan dari Dinasti Utsmani adalah seorang pengikut Tarekat Naqsybandi, dan ia mengambil bay’at dari Sayyidina Muhammad al-Madani (q). Sultan memberinya pilihan lahan di Istanbul untuk dibangun zawiyah untuk tarekat ini dan rumah untuknya. Syekh menjawab, “Pilihan itu bukan terserah pada kami, tetapi itu terserah pada Hadirat Ilahi.” Jadi ia menunggu hingga keesokan harinya, dan Sultan Abdul Hamid sangat ingin mendengar jawabannya. Syekh Muhammad al-Madani berkata kepadanya, “Wahai anakku, Allah telah mengarahkan aku ke suatu tempat di mana Tarekat Naqsybandi akan berkembang. Di sanalah para pengikut Daghestani yang tulus akan berada dan di sanalah Tarekat Naqsybandi akan berkembang, dan di sanalah keponakanku akan mengambil kewenangan tarekat ini.” Sultan berkata, “Apapun keputusanmu, aku akan mematuhi keputusanmu.”
Hari berikutnya Abu Muhammad al-Madani (q) berkata kepada Sultan, “Kirimkan aku ke Yalova. Tempat yang kutuju berada di antara Yalova dan Bursa.” Sultan menyiapkan kereta kuda untuk membawanya ke mana pun yang ia inginkan. Ketika ia sampai di daerah Yalova, ia membiarkan kudanya pergi ke arah yang mereka inginkan. Mereka berhenti di sebuah tempat dekat Orhanghazi.
Di dalam hutan, ia membangun rumah pertama dari kayu. Dalam waktu singkat 680 rumah berdiri di hutan itu. Dan tempat itu diberi nama Rasyadiya, mengambil nama dari Sultan Rasyad, dan sekarang dikenal sebagai Gunekoy.
Semua imigran yang berasal dari Siberia dan dari Kaukasus pindah ke desa itu, di mana Syekh Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan Syekh `Abdullah (q) juga berada di sana. Suatu ketika orang-orang mendatangi Syekh Muhammad al-Madani (q) dengan mengeluh, “Bagaimana kami dapat makan? Tidak ada apa-apa di sini.” Ia menginjakkan kakinya di tanah, dan di tempat ia menginjakkan kakinya itu ditemukan sebuah tambang tanah liat dan besi. Pada saat yang sama, sebuah pohon tumbang. Dari tanda-tanda ini, ia memperlihatkan kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan nafkahnya melalui pekerjaan tambang tanah liat dan besi serta menjual kayu. Berikutnya berdiri 750 rumah dan dua masjid serta satu sekolah yang terdiri atas 16 kelas untuk mengajari anak-anak.
Beberapa tahun kemudian, selama Perang Balkan, tentara Yunani dan Serbia yang berperang dengan Turki datang ke desa ini. Banyak rumah yang dihancurkan dan banyak warga desa yang melarikan diri, hingga tersisa 220 rumah setelah serbuan itu. Namun demikian tidak terjadi apa-apa pada masjidnya, dan semua salat tetap berlangsung di sana.
Di desa itu tidak ada kejahatan atau korupsi yang terjadi. Tidak ada minum-minuman keras, perjudian, tidak ada kemungkaran yang terjadi. Sejak kanak-kanak, setiap orang dibesarkan dengan melakukan zikir. Itu adalah setitik surga di bumi. Setiap orang hidup dalam keharmonisan, melakukan zikir setiap malam. Itu adalah sebuah desa yang ideal dan sebuah kota yang ideal. Itulah sebabnya mengapa Syekh berkata kepada Sultan Abdul Hamid bahwa, "Cahaya akan terpancar dari desa itu.”
Desa itu penuh dengan berkah. Mereka tidak memerlukan rezeki dari luar. Kayu-kayu ada di sana untuk bahan bakar di musim dingin. Mereka mempunyai hewan peliharaannya sendiri dan mereka mengolah sendiri makanannya. Orang-orang mengisi waktu dan perbuatan mereka dengan zikir. Ibu menyusui anak-anaknya dengan zikir. Kaum pria melakukan pekerjaannya dengan zikir. Seluruh desa dipenuhi zikir. Inilah bagaimana Syekh Abu Muhammad al-Madani (q), Syekh Syarafuddin (q) dan berikutnya Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) memelihara orang-orang di desa itu. Desa itu menjadi terkenal di seluruh Turki dengan sebutan “Desa Zikir.”
Turki terlibat dalam perang Balkan. Suatu ketika tetangga Syekh Muhammad al-Madani (q) yang bernama Hasan Muhammad al-Effendi, mendatanginya dan berkata, “Aku ingin ikut dalam perang dan meninggal sebagai syuhada.” Syekh berkata kepadanya, “Tidak perlu bagimu untuk pergi keluar desa ini untuk menjadi seorang syuhada. Kau akan menjadi syuhada di sini.”
Tak lama tentara Yunani dan Serbia mendekati desa itu. Mereka melemparkan tembakan ke arah desa, dan salah satunya mengenai Hasan Muhammad al-Effendi dan menewaskan dirinya. Ia meninggal dunia sebagai syuhada sebagaimana yang diinginkannya, sesuai dengan jalan yang telah diramalkan oleh Syekh.
Syekh Abu Muhammad (q) telah menikah selama bertahun-tahun dan semua anaknya adalah perempuan. Ia tidak mempunyai anak laki-laki. Suatu hari ia berkata kepada orang-orang di sana, “Aku melihat ada tiga anak laki-laki mendatangiku.” Orang-orang sangat terkejut, karena istrinya sudah berusia lanjut dan telah melewati usia suburnya. Tak lama kemudian istrinya jatuh sakit dan kemudian wafat. Berikutnya Syekh menikah lagi dan dengan istri barunya ia mempunyai tiga anak laki-laki.
Suatu saat pada tanggal 27 Ramadan, pada malam Laylat ul-Qadr, ia sedang memimpin zikir dengan seluruh penduduk desa. Ia berkata, “Setiap orang terlibat dalam zikir. Seluruh binatang turut berzikir bersama kita. Cacing-cacing berzikir bersama kita. Burung-burung berzikir. Setiap makhluk di desa ini berzikir bersama kita kecuali seekor binatang yang terpisah dari ayahnya dan ia mengalami depresi. Allah tidak rida. Nabi (s) tidak rida dan para awliya tidak rida. Dan ini semua disebabkan oleh lelucon kekanak-kanakan!”
Ia berbicara kepada pemilik rumah di mana mereka melakukan zikir. “Pergilah ke putramu dan tanyakan apa yang ia miliki di dalam kotak.” Ia mendatangi putranya dan bertanya, “Apa yang kau miliki di dalam kotak? Binatang apa yang telah kau tangkap?” Anak itu kebingungan, “Kotak apa? Aku hanya mempunyai sebuah kotak korek api, dan di dalamnya aku masukkan seekor cacing.” Ayahnya berkata, “Ambil cacing itu dan kembalikan ke tanah.” Dari situ, para penduduk desa menjadi mengerti dan mereka membesarkan anak-anak mereka dengan pemahaman bahwa menyakiti makhluk apapun, betapapun kecilnya, akan mengakibatkan Allah tidak rida, Nabi (s) dan para Awliya tidak rida. Karena ajaran yang mendalam itu, desa itu menjadi murni dan tidak terjadi suatu kemungkaran.
Ia wafat pada hari Ahad, tanggal 3 Rabi`u'l-Awwal 1331 H./1913 M. Ia dimakamkan di Rasyadiya (Gunekoy), dan makamnya banyak diziarahi oleh orang-orang dari Daghestan, khususnya dari keluarga Syekh Syamil hingga sekarang.
Ia mewariskan rahasia dari lima tarekat yang dipegangnya dan memberikan kewenangan tarekat itu kepada keponakannya, Syekh Syarafuddin Daghestani (q) bersama dengan apa yang telah diwariskan oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) kepadanya, yaitu rahasia dari Tarekat Naqsybandi.
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1-ZQrznxy4zbeE9OB4xhso7_foA-mFoBOxivAmZ6pxoI/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
38. Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia adalah seorang Arif yang sempurna di Hadirat Ilahi. Ia adalah kunci bagi Ilmu Ilahi yang paling sulit diperoleh. Ia adalah seorang Ulama Sejati yang dihiasi Cahaya-Cahaya dari Atribut Ilahi. Ia didukung dengan Iman Sejati. Ia adalah seorang Pejuang di Jalan Allah `Azza wa Jalla. Ia adalah Suara untuk Hadirat Ilahi di zamannya. Ia adalah Syekh dari para Syekh dalam ilmu-ilmu keislaman. Ia adalah pemegang otoritas terhadap segala persoalan yang khusus, rumit, dan paling sulit di segala bidang ilmu.
Ia adalah Samudra Ilmu, bagaikan Topan bagi Spiritualitas, Air Terjun bagi Wahyu, Gunung Berapi bagi Cinta Ilahi, Pusaran Air bagi Daya Tarik dan Pelangi bagi Atribut Ilahi. Ia dibanjiri dengan ilmu bagaikan Sungai Nil ketika dilanda banjir. Ia adalah Pembawa Rahasia dari Sulthan adz-Dzikir, yang sebelumnya tidak seorang pun bisa membawanya. Ia adalah orang yang menguasai hikmah di awal abad 20 dan merupakan orang yang menghidupkannya. Ia adalah seorang yang jenius dalam Ilmu Syariah, seorang mujtahid (pembaharu) dalam ilmu Fikih, dan seorang narator hadits Nabi (s). Ratusan ulama selalu menghadiri shuhbah-nya. Ia adalah seorang mufti di zamannya. Ia juga merupakan seorang kaligrafer terbaik dalam menulis ayat al-Qur’an.
Ia adalah penasihat bagi Sultan Abdul Hamid. Ia memegang posisi Syaykh ul-Islam, pemegang otoritas keagamaan tertinggi dalam Dinasti Utsmani. Ia sangat dihormati bahkan oleh pemerintah rezim baru Turki di masa Ataturk. Hanya Syekh Syarafuddin (q) dan khalifahnya, Syekh `Abdullah (q) yang diizinkan untuk memakai turbannya di seluruh Republik Turki sekuler pimpinan Ataturk. Yang lainnya dipenjara karena memakai penutup kepala Nabi (s) itu. Mempraktikkan Islam dalam bentuk luarnya sama sekali dilarang.
Syekh Syarafuddin (q) sering mengalami keadaan dengan Penglihatan Spiritual, di mana ia akan memperoleh Manifestasi Kemegahan Ilahi (Tajalli-l-Jalal); dan pada saat itu, tidak ada orang yang dapat melihat matanya. Jika seseorang memandangnya, ia akan jatuh pingsan dan tertarik dengan kuat kepadanya. Oleh sebab itu, ketika ia sedang mengalami keadaan seperti itu, ia selalu menutupi matanya dengan cadar (burqa').
Warna kulitnya terang. Matanya biru dan janggutnya hitam. Di masa tuanya, janggutnya sangat putih, seperti kapas.
Ia dilahirkan dengan mata dan kalbu yang terbuka. Ia adalah seorang arif yang wajahnya bersinar bagaikan berlian dan kalbunya transparan bagaikan kristal. Sufisme adalah rumahnya, sarangnya, dan kalbunya. Islam adalah tubuhnya, keyakinannya, dan kepercayaannya. Hakikat adalah jalurnya, jalannya dan tujuannya. Hadirat Ilahi adalah guanya, tempat pengasingannya. Spiritualitas adalah kendaraannya. Ia merupakan lidah bagi para pengikutnya, orang-orang di Daghestan.
Ia dilahirkan di Kikunu, Distrik Ganep, Negara Bagian Timurhansuru, Daghestan, pada hari Rabu, 3 Dzul-Qaidah 1292 H. bertepatan dengan 1 Desember 1875 M. Syekh Muhammad al-Madani (q) adalah paman dan sekaligus mertuanya. Beliau memberinya kekuatan dari 6 tarekat jauh sebelum beliau wafat, dan mewariskan semua muridnya kepadanya ketika beliau masih hidup. Syekh Muhammad al-Madani (q) sering menerima pendapat dari Syekh Syarafuddin (q) dalam berbagai hal.
Ia dilahirkan di masa yang sangat sulit, ketika praktik agama dilarang dan spiritualitas telah hilang. Namun demikian ibunya berkata, “Ketika aku melahirkannya, ia mengucapkan kalimat la ilaha ill-Allah, dan setiap kali aku menyusuinya ia selalu mengucapkan Allah, Allah.” Ia menjadi sangat terkenal di masa bayinya karena keajaibannya ini. Setiap wanita di distriknya sengaja datang untuk melihatnya mengucapkan Allah, Allah ketika sedang disusui. Jari telunjuk kanannya selalu menunjukkan posisi syahadat. Sejak masa kanak-kanak, ia bisa mendengar pepohonan berzikir, bebatuan berzikir, binatang berzikir, burung berzikir, dan pegunungan berzikir.
Ia dibesarkan dengan sangat baik oleh orang tuanya dan diawasi oleh pamannya. Doanya selalu dikabulkan. Ia selalu berada dalam kondisi berkhalwat.
Ia mulai mendatangi shuhba atau asosiasi yang diadakan oleh Sayyidina Abu Ahmad as-Sughuri (q) ketika masih berusia enam atau tujuh tahun. Ia sangat pandai dan dengan segera ia dapat memahami ajaran Sufi yang disampaikan oleh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dari Hadirat Ilahi itu.
Pada usia tujuh tahun, ia berkata kepada ibunya, “Berikanlah aku anak sapi yang akan dilahirkan itu.” Ibunya berkata, “Jika anaknya betina, aku akan memeliharanya tetapi kalau jantan aku akan memberikannya kepadamu.” Ia berkata lagi, “Jangan repot-repot ibuku, karena sapi itu akan melahirkan sapi jantan.” Ibunya berkata,”Bagaimana kau mengetahuinya?” Ia berkata, “Aku dapat melihat apa yang ada di dalam rahimnya.” Satu jam kemudian, sapi itu melahirkan seekor sapi jantan. Ia membawa anak sapi itu dan menjualnya, lalu ia membeli sepasang domba dan berniat untuk menghadiahkannya kepada Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q). Dalam perjalanannya ke rumah Syekhnya, kedua domba itu melarikan diri. Ia terus melanjutkan perjalanannya ke rumah Syekhnya, lalu duduk di sampingnya, hatinya sedih karena kehilangan domba itu. Syekh bertanya kepadanya, “Ada apa?” Ia menjawab, “Aku mempunyai dua ekor domba yang akan kuhadiahkan untukmu, tetapi mereka hilang.” Beberapa waktu kemudian seorang pengembala datang dan berkata, “Aku menemukan dua ekor domba ini di antara hewan-hewan gembalaanku.” Itu adalah dua ekor domba yang melarikan diri darinya.
Ketika ia masih muda, ia sering pergi bersama teman-temannya untuk mengumpulkan kayu. Ia tidak memotong kayu dari pohon sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya, tetapi ia hanya mengumpulkan kayu-kayu kering di tanah. Hal ini sangat meresahkan ayahnya. Ia kemudian menemui Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) dan mengeluh bahwa anaknya hanya mengumpulkan kayu-kayu kering yang tidak berguna. Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q) berkata kepadanya, “Mengapa kau tidak bertanya langsung kepadanya mengapa ia melakukan hal itu?” Syarafuddin muda menjawab, “Bagaimana mungkin aku memotong pohon yang masih hijau ketika ia sedang berzikir, mengucapkan la ilaha ill-Allah? Aku lebih suka mengumpulkan ranting-ranting kering, dan tidak membakar ranting-ranting yang sedang berzikir.”
Ia meninggalkan Daghestan karena militer Rusia terus-menerus melakukan serangan ke kampung-kampung di distriknya. Ia pindah bersama keluarganya dan keluarga kakaknya ke Turki. Mereka menempuh perjalanan melewati beberapa daerah selama lima bulan di musim yang dingin. Mereka berjalan di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Mereka pertama pergi ke Bursa, lalu mereka pergi ke Yalova di tepi laut Marmara, kira-kira 150 km dari Istanbul. Di sana ia tinggal bersama kelurga dan kerabatnya di desa Rasyadiya, di mana pamannya telah lebih dulu tinggal di sana beberapa tahun sebelumnya dan membawa Tarekat Naqsybandi dari Daghestan ke Turki.
Di Daghestan ia dilatih oleh Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), yang memberinya Tarekat Naqsybandi ketika ia masih sangat muda. Selanjutnya di Rasyadiya, Turki, ia dilatih oleh Sayyidina Muhammad al-Madani (q), pamannya yang kemudian menjadi mertuanya. Ia membantunya membangun madrasah dan masjid pertama serta khaniqah bagi desa itu. Pamannya menyambut semua imigran yang melarikan diri dari tirani penjajahan Rusia yang kejam. Selain itu banyak pula pelajar yang mendatangi sekolah pamannya itu dari berbagai daerah di Turki. Dengan cepat mereka membangun rumah-rumah baru di Rasyadiya dan daerah sekitarnya antara Bursa dan Yelova.
Selain Tarekat Naqsybandiya, pamannya juga menghubungkannya dengan lima tarekat lain yang dibawanya, yaitu: Qadiri, Rifai’i, Syadzili, Chisyti dan Khalwati. Ia menjadi seorang mursyid bagi keenam tarekat ini pada usia 27 tahun.
Ia menjadi sangat dihormati di Rasyadiya, terutama setelah ia menikahi putri Syekh Muhammad al-Madani (q). Ia dikenal sebagai orang yang memiliki keramat di antara para pengikutnya, dan cerita mengenai kelebihannya itu segera tersebar ke seluruh penjuru Turki. Selain itu, ia juga sangat terkenal memiliki ilmu eksternal dari agama sehingga banyak ulama besar yang datang untuk mendengar ceramahnya.
Ia telah melaksanakan beberapa khalwat di Daghestan, yang terlama adalah 3 tahun. Di pegunungan Rasyadiya ia melakukan khalwat selama enam bulan atas perintah Syekh Abu Muhammad al-Madani (q). Ia selalu berada dalam keadaan khalwat ketika sedang berada dalam keramaian.
Suatu hari di dalam masa 6 bulan khalwatnya, ketika ia berdiri dan hendak bersujud, ia menemukan seekor ular yang besar di tempat sujudnya, dengan posisi yang siap mematuknya. Ia berkata di dalam hati, “Aku tidak takut kepada siapapun kecuali Allah (swt),” lalu ia menempatkan kepalanya langsung di atas kepala ular itu. Ular itu pun segera menghilang.
Selama khalwatnya itu banyak maqam Cinta Ilahi yang diperlihatkan kepadanya. Segera setelah ia menyelesaikan khalwatnya, Syekhnya menarik diri untuk membimbing murid-muridnya dan menyerahkan seluruh tanggung jawab itu kepada Syekh Syarafuddin (q). Syekh Abu Muhammad (q) kemudian selalu mengikuti shuhba menantunya sebagai muridnya. Ia adalah Syekh pertama yang menjadi murid dari muridnya. Karena kepatuhan terhadap desakan Syekhnya agar ia duduk di kursi tertinggi, Syekh Syarafuddin (q) kemudian menjadi orang yang memberikan ajaran Mata Rantai Emas walaupun berada dalam kehadiran Syekhnya.
Syekh Syarafuddin (q) mendapat dukungan spiritual dari Sayyidina Syekh Jamaluddin al-Ghumuqi al-Husayni (q) dan Sayyidina Syekh Abu Ahmad as-Sughuri (q), Syekhnya di Daghestan. Ia mencapai maqam Cinta yang Murni bagi Allah (swt). Pada maqam itu ia merasakan tubuhnya seolah-olah terbakar dengan Cinta dari Hadirat Ilahi, dan ia akan berlari dari khalwatnya, menanggalkan semua pakaiannya dan menyelam ke dalam air sungai yang dingin seperti es di musim dingin. Setiap kali ia melakukan hal itu, seluruh penduduk desa dapat mendengar suara gemuruh uap yang berasal dari sungai, seperti suara besi panas yang disiram air. Ada seorang murid Syekh Syarafuddin (q) yang masih hidup sampai sekarang (1994), yang ingat bahwa ia pernah mendengar suara gemuruh air dan uap dari jarak ratusan yard.
Syekh Syarafuddin (q) merupakan seorang pewaris spiritual Nabi (s). Melalui hubungan spiritual itu, ia mencapai maqam kesempurnaan. Ia adalah keturunan dari keluarga Miqdad bin al-Aswad (r), salah seorang Sahabat Utama Nabi (s), yang sering mewakili Nabi (s) ketika beliau (s) sedang bepergian dari Madinah. Beliau melaporkan 42 hadits Nabi (s), di antaranya adalah:
Rasulullah (s) bersabda, “Pada Hari Pembalasan matahari akan mendekati makhluk hingga berjarak kira-kira 1 mil dari mereka, manusia akan mengeluarkan keringat sesuai dengan perbuatan yang mereka lakukan, sebagian keringat mereka mencapai pergelangan kaki, sebagian lagi mencapai lutut, atau pinggang, sementara yang lain mendapati mulutnya penuh dengan keringat,” dan Rasulullah (s) menunjukkan tangannya ke mulutnya. (riwayat Muslim)
Syekh Syarafuddin (q) mempunyai tanda lahir berupa tapak tangan Nabi (s) di punggungnya. Tanda lahir ini ia dapatkan dari leluhurnya, Miqdad bin al-Aswad (r), di tempat di mana Nabi (s) meletakkan tangannya di punggungnya dan berdoa baginya dan untuk keturunannya. Tanda di punggung Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) selalu mengeluarkan cahaya, sama halnya dengan wajahnya yang selalu bercahaya. Ia menerima rahasia dari Nabi (s), yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu yang berada di belakangnya sejelas apa yang berada di depannya.
Pamannya, Syekh Muhammad al-Madani (q), memberinya Khilafat (suksesi) tarekat ini, dan menjadikannya sebagai pemimpin di desanya. Ia mengembangkan desanya agar dapat menampung lebih banyak emigran, dengan memperluas jalan, dan membuat saluran air ke dalam kota. Ia selalu menyambut emigran yang datang dari Rusia, menawarkan apa yang mereka butuhkan baik berupa makanan maupun tempat tinggal dan ini dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Hasilnya, penduduk Daghestan merasa menemukan rumah yang baru menggantikan rumah yang telah mereka tinggalkan kepada Rusia, mereka menemukan kebahagiaan dan kedamaian di tanah yang baru. Para emigran merasa lebih bahagia untuk berkumpul bersama seorang Syekh yang masih hidup yang membawa ajaran yang telah berkembang di Daghestan, sebagaimana di Asia Tengah ratusan tahun sebelumnya. Bersamanya di desa mereka, dan diberkati dengan keberadaannya yang membawa Rahmat Ilahi, mereka menemukan cinta dan kebahagiaan yang telah hilang di bawah tirani tentara Rusia.
Dari Kata-Katanya
Mengenai Sulthan adz-Dzikr (Zikir Kalbu)
Ia berkata mengenai Maqam Zikir Kalbu:
“Siapapun yang memasuki maqam itu, ia akan mengalami dan mencapai Inti dari Asma Allah. Itu adalah Sultan dari seluruh Asma Allah, karena ia mencakup seluruh makna Asma-Asma itu dan kepadanyalah seluruh Sifat Ilahi kembali. Ia bagaikan Kata yang berlaku untuk semua Sifat ini dan itulah sebabnya mengapa ia disebut Ism al-Jalalah, Nama Yang Paling Mulia karena Dia Yang Mahatinggi, Mahasuci, dan Mahabesar.”
“Melalui pemahaman akal saja tidak mungkin bisa memanen buah dari rahasia-rahasia ini. Tubuh manusia tidak dapat mencakup Hakikat Makna mengenai Tuhan. Tubuh manusia mustahil mencapai Kerajaan yang Tersembunyi dari Yang Maha Unik. Karena bagi Ahlul Dzat, yang mereka miliki hanyalah rasa kagum dan takjub, sekali mereka memasuki Maqam Ilm al-Ghayb, mereka akan lenyap, mengembara. Lalu bagaimana dengan Ahlul Sifaat, yaitu orang-orang yang mempunyai kualitas tinggi dan pada diri mereka tampak suatu Sifat Allah yang disandangkan pada mereka? Tetap saja mereka tidak bisa dihiasi dengan Inti dari Asma yang mencakup seluruh Asma, kecuali dengan memasuki Rahasia Yang Tersembunyi dari 99 Asma tersebut. Pada saat itulah mereka baru diizinkan untuk mencapai Maqam Tersingkapnya Cahaya dari Asma yang mencakup seluruh Asma wal Sifaat, Asma Allah.”
“Jika seorang salik terus melakukan zikir dengan Asma Allah Yang Mahasuci, ia akan mulai berjalan dalam tahapan zikir itu, yang jumlahnya ada tujuh. Setiap salik yang terus melakukan zikir Allah dalam hati, dari 5000 sampai 48.000 kali sehari, akan mencapai tingkat kesempurnaan sehingga ia akan menjadi sempurna dalam zikir itu. Pada saat itu ia akan menemukan bahwa kalbunya terus mengucapkan Asma Allah, Allah; tanpa perlu menggerakkan lidahnya. Ia akan membangun kekuatan internal dengan membakar semua najis di dalamnya karena Api Zikir melalap semua najis itu. Tidak ada yang tersisa kecuali permata yang bersinar dengan kekuatan spiritualnya.
“Ketika zikir masuk dan menjadi kokoh dalam kalbunya, ia akan meningkat lagi sampai ia mencapai maqam di mana ia bisa mengetahui zikir yang dilakukan oleh seluruh ciptaan Allah. Ia akan mendengar seluruh makhluk mengucapkan kalimat zikir dengan cara yang telah ditetapkan oleh Allah kepadanya. Ia mendengar setiap makhluk berzikir dengan nada masing-masing dan irama yang berbeda satu sama lain. Pendengarannya terhadap yang satu tidak mempengaruhi pendengarannya terhadap yang lain, ia mampu mendengar semuanya secara simultan dan ia bisa membedakan masing-masing jenis zikir.”
“Ketika salik melewati maqam itu, ia akan mengalami peningkatan lebih jauh dalam zikirnya, ia akan melihat bahwa setiap orang yang diciptakan oleh Allah melakukan zikir yang sama dengan dirinya. Pada saat itu ia akan menyadari bahwa ia telah mencapai Kesatuan Yang Unik dan Sempurna. Semua melakukan zikir yang sama dan menggunakan kata yang sama. Segala macam perbedaan akan dihapuskan dari pandangannya, dan ia akan melihat semua orang yang bersamanya mempunyai tingkatan yang sama dengan zikir yang sama pula. Ini adalah Maqam Penyatuan Setiap Orang dalam Satu Kesatuan. Di sini ia akan menarik semua bentuk syirik yang tersembunyi sampai ke akar-akarnya dan semua makhluk akan tampak sebagai Satu Kesatuan. Ini adalah langkah pertama dari tujuh langkah dalam perjalanannya.”
“Dari Maqam Kesatuan itu ia akan menuju ke Maqam Inti dari Kesatuan, di mana setiap orang yang Ada menjadi Tidak Ada (fana), dan hanya Kesatuan Allah saja yang muncul.”
“Kemudian ia akan menuju Maqam Primordial (paling dasar) dari Kesederhanaan Yang Sempurna, di mana ia bisa tampil dalam wujud apa saja.”
“Dari sana ia akan menuju Maqam Kunci dari Rahasia, yang dikenal dengan Maqam Nama-Nama, di mana tipe asli dari setiap makhluk ditunjukkan kepadanya dari alam gaib menuju dunia yang nyata. Ini akan membuatnya berenang dalam orbit Asma wal Sifat dan ia akan mengetahui semua Ilmu Yang Tersembunyi.”
“Selanjutnya ia akan menuju Maqam Yang Tersembunyi dari Yang Tersembunyi, Inti dari semua Yang Tersembunyi. Ia akan mengatahui semua Yang Tersembunyi melalui Kesatuan yang Unik dari Inti. Ia akan melihat semua kekuatan dan bentuknya.”
“Dari sana ia menuju Maqam Hakikat Sempurna dari Inti Asma dan Perbuatan. Ia akan muncul di dalam mereka semua, dalam atom mereka dan dalam totalitas mereka. Ia akan disandangkan dengan Asma Yang Paling Agung dan ia akan diagungkan dan dimahkotai dengan Maqam Kebesaran.”
“Kemudian ia akan menuju ke Maqam Turunnya Allah (munazala) dari Maqam-Nya Yang Agung menuju Maqam Surga Duniawi. Ia sampai pada Maqam tersebut, yang terdekat dengan Maqam Duniawi, di luar itu para Pembaca Zikir tidak mempunyai maqam lain untuk dicapai melalui bacaannya. Fajar datang ke dalam dirinya dan Mentari Kesempurnaan tampak dalam diri dan tubuhnya, sebagaimana ia telah muncul melalui zikir, di dalam kalbu dan jiwanya. Sebagai hasilnya, ketika Mentari Kesempurnaan tampak pada tubuh dan seluruh anggota tubuhnya, ia akan berada pada maqam yang telah disebutkan dalam sabda Rasulullah (s), “Allah akan menjadi Telinga yang dipakainya untuk mendengar, Mata yang dipakainya untuk melihat, Lidah untuk berbicara, Tangan untuk menggenggam, dan Kaki untuk berjalan.” Kemudian ia akan mendapati dirinya berikrar pada dirinya sendiri bahwa, ‘Aku tidak berdaya dan sungguh lemah.’ Karena pada saat itu ia telah memahami makna Kekuatan Ilahi.”
Setiap kali ia dimintai nasihat jika ia mengatakan, “Lakukan apa yang kau inginkan,” orang itu tidak akan berhasil. Tetapi bila ia berkata, “Lakukan ini dan lakukan itu,” orang itu akan berhasil.
Dikatakan bahwa ia tidak pernah suka menyebutkan sesuatu yang telah berlalu. Ia tidak akan menerima suatu gunjingan dan ia akan mengusir orang-orang yang suka bergunjing dari asosiasinya.
Dilaporkan pula bahwa setiap kali orang-orang berkumpul dalam asosiasinya, kecintaan terhadap dunia akan lenyap dari kalbu mereka.
Ia sering mengatakan, “Janganlah engkau duduk tanpa berzikir, karena kematian selalu mengikutimu.”
Ia berkata, “Peristiwa yang paling membahagiakan bagi manusia adalah ketika ia meninggal dunia, karena pada saat itu dosanya juga ikut mati bersamanya.”
Ia berkata, “Setiap salik yang tidak membiasakan diri dan melatih dirinya untuk berpuasa di siang hari dan bangun di malam hari untuk beribadah dan melayani saudaranya, tidak akan memperoleh kebaikan dalam tarekat ini.”
Pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekh Syarafuddin (q)
Penerusnya yang merupakan Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q), menceritakan kisah berikut di dalam salah satu pertemuan dengannya:
“Suatu saat, di dalam salah satu khalwatku, Syekh Syarafuddin (q) mendatangiku dan mengatakan tentang kebesaran dan keistimewaan Syah Naqsyband (q). Ia memujinya dan mengatakan bagaimana Syah Naqsyband (q) akan memberikan pertolongan pada Hari Kiamat. Ia mengatakan, ‘Jika seseorang melihat mata Syah Naqsyband (q), ia akan melihat mata beliau berputar, bagian yang putih di bagian yang hitam dan yang hitam di yang putih. Beliau bermaksud menyimpan kekuatan spiritualnya untuk Hari Kiamat dan tidak menggunakannya di dunia ini.”
“Pada Hari Kiamat beliau akan mengeluarkan cahaya dari mata kanannya, cahaya itu lalu mengelilingi sejumlah besar manusia di dalam pertemuan itu dan masuk kembali ke mata kirinya. Siapapun yang masuk ke dalam lingkaran cahaya itu akan diselamatkan dari Neraka dan masuk ke Surga. Beliau akan memenuhi empat Surga dengan pertolongannya itu.”
“Ketika ia sedang menggambarkan peristiwa besar itu, aku mendapatkan penglihatan spiritual yang kuat di mana aku menyaksikan peristiwa di Hari Kiamat dan melihat Syah Naqsyband (q) mengeluarkan cahaya, dan menyelamatkan manusia. Ketika Aku sedang mengamati penglihatan itu, aku merasakan cinta yang sangat dalam kepada Syah Naqsyband (q), lalu aku berlari menuju beliau dan mencium tangannya. Kemudian penglihatan itu menghilang dan Syekhku pergi. Aku melanjutkan khalwatku pada hari itu dengan berzikir, membaca al-Qur’an dan melakukan salat. Di malam harinya, setelah melaksanakan salat ‘Isya, aku mengalami keadaan tidak sadarkan diri dan menyebabkan aku mengalami keadaan kasyaf (memperoleh penglihatan spiritual). Aku melihat Syah Naqsyband (q) memasuki ruangan. Beliau berkata kepadaku, ‘Anakku, datanglah kepadaku.’ Kemudian rohku meninggalkan jasad dan aku melihat tubuhku berada di bawahku dan tidak bergerak. Aku lalu menemani Syah Naqsyband (q).”
“Kami menjelajahi ruang dan waktu, bukan dengan kekuatan melihat lalu mencapai tempat yang dilihat itu, tetapi dengan kekuatan di mana ketika kami baru memikirkan suatu tempat, kami sudah tiba di tempat itu. Selama tiga malam dan empat hari non-stop, kami melakukan perjalanan dengan cara ini.”
“Sudah menjadi kebiasaan dalam khalwatku, bahwa ketika aku menginginkan makanan dan minuman sehari-hari, aku tinggal mengetuk pintu. Mendengar ketukan dari lantai bawah, istriku akan membawakan makanan dan minuman untukku. Hari pertama ia tidak mendengar ketukan, hari kedua juga begitu. Akhirnya ia merasa sangat khawatir dan membuka pintu dan menemukan aku terbaring di sana tanpa gerakan. Ia berlari menghampiri Syekh Syarafuddin (q) dan berkata, ‘Lihatlah putramu. Ia terlihat seperti orang yang sudah meninggal dunia. Ia berkata kepadanya, ‘Ia tidak meninggal. Kembalilah, dan jangan berbicara kepada siapapun. Ia akan kembali.’
“Setelah tiga hari dan empat malam menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, Syah Naqsyband (q) berhenti. Beliau berkata, ‘Tahukah kau siapa yang tampak di cakrawala itu?’ Tentu saja aku tahu, tetapi untuk menghormatinya, aku berkata, ‘Wahai Guruku, kau yang lebih tahu.’ Lalu ketika orang itu mendekat beliau berkata, ‘Sekarang apakah kau mengenalinya?’ Aku berkata lagi, ‘Kau lebih tahu, wahai Guruku,’ walaupun Aku melihat itu adalah Syekhku. Beliau berkata, ‘Itu adalah Syekhmu, Syekh Syarafuddin (q).”
“Tahukah kau siapa makhluk yang berada di belakangnya?’ menunjuk kepada sosok makhluk raksasa yang lebih besar daripada gunung yang paling tinggi di bumi ini, yang ditariknya dengan sebuah tali. Untuk menghormatinya aku berkata lagi, ‘Kau yang paling tahu, wahai Syekhku.’ Beliau berkata, ‘Itu adalah Setan, dan Syekhmu diberi wewenang terhadapnya, dan belum ada orang yang diberi wewenang semacam itu sebelumnya. Sebagaimana setiap wali diberi kewenangan atas sesuatu yang khusus, begitu pula Syekhmu. Bidang khususnya adalah bahwa setiap hari dan setiap malam, atas nama seluruh orang yang telah melakukan dosa karena pengaruh Setan, Syekhmu diberi kewenangan untuk membersihkan orang-orang itu dari dosa-dosa mereka, dan mengembalikan dosa itu kepada Setan, dan membawa orang-orang itu dalam keadaan bersih kepada Rasulullah (s). Kemudian dengan kekuatan spiritualnya, ia mengangkat kalbu mereka, mempersiapkan mereka agar bisa masuk ke dalam lingkaran cahaya yang akan kusebarkan di Hari Kiamat nanti. Aku akan mengisi empat Surga dengan cara ini. Inilah yang menjadi spesialisasi Syekh Syarafuddin (q). Selain itu, orang-orang yang tidak termasuk di dalam keempat Surga itu akan memasuki Perantaraan Syekh Syarafuddin (q), dengan seizin Rasulullah (s) yang telah diberi kekuatan ini oleh Allah (swt). Ini adalah kewenangan yang luar biasa yang telah diberikan kepada Syekh Syarafuddin (q). Ketika ia membelenggu leher Setan, ia membatasi pengaruh dosa di bumi ini.”
“Kemudian beliau berkata, ‘Wahai anakku, kau menanam benih cinta di dalam kalbumu. Seperti halnya kincir air yang mengairi sepetak sawah tetapi tidak bisa mengairi dua petak sawah, cinta yang kau tumbuhkan terhadap Syekhmu seharusnya hanya untuk Syekhmu. Jika engkau membaginya untuk dua orang Syekh, mungkin cinta itu tidak akan mencukupi, seperti halnya kincir air yang tidak bisa mengairi dua petak sawah. Jangan berikan kalbumu kebebasan untuk pergi ke sana ke mari. Cintamu akan mencapaiku melalui Mata Rantai Emas dan akan berlanjut kepada Rasulullah (s). Jangan membagi dua cintamu untuk kami berdua. Sebelumnya tak seorang wali pun yang diberi kewenangan seperti yang diberikan kepada Syekhmu untuk umat Muhammad (s), untuk seluruh umat manusia.’”
“Kemudian Syah Naqsyband (q) membawaku kembali menempuh perjalanan dengan kekuatan yang luar biasa, selama empat hari dan tiga malam. Aku kembali ke tubuhku semula. Aku merasakan jiwaku memasuki tubuhku dan aku menyaksikan jiwaku masuk ke dalam tubuhku sedikit demi sedikit, sel demi sel, dan melalui penglihatan itu aku bisa mengerti fungsi dari setiap sel. Kemudian penglihatan spiritual itu berhenti dan aku mengetuk pintu agar istriku membawakan makanan dan minuman untuk memberi energi bagi tubuhku. Itulah pengungkapan Syah Naqsyband (q) mengenai Syekhku, Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu murid Syekh Syarafuddin (q) yang berusia 120 tahun dan tinggal di Bursa, Eskici Ali Usta melaporkan,
“Syekhku adalah seorang Syekh yang luar biasa. Suatu saat ketika aku masih muda, aku berada di Istanbul, dan baru saja mengambil bay’at tarekat ini dengan Syekh Syarafuddin (q). Kemudian aku bertemu dengan salah seorang teman dari Daghestan yang keras kepala dan tidak percaya dengan Sufisme. Aku bermaksud untuk berbicara dan melunakkan hatinya dengan menceritakan keramat yang dimiliki Syekhku. Ternyata ia lebih meyakinkan dan mampu mengubah keyakinanku. Aku menggantung tasbihku di dinding dan berhenti berzikir. Tak lama kemudian aku sudah dikuasai hawa nafsu dan melakukan dosa besar dua kali.”
“Seminggu kemudian, aku pergi ke Sirkici dan melihat Syekh dalam perjalanan. Ia juga sedang berjalan kaki di distrik itu, dalam perjalanannya menuju Rasyadiya. Ketika aku melihatnya datang dari satu sisi, aku pindah ke sisi yang lain, dan berusaha untuk menghindarinya. Ketika aku bersembunyi di ujung jalan, aku merasakan sebuah tangan menempel di bahuku dan Syekh berbicara kepadaku, ‘Mau kemana, wahai Ali?’ Aku kembali bersamanya dan di tengah perjalanan aku berpikir, ‘Aku tidak bisa menyembunyikan diriku lagi darinya, tetapi Syekh tidak dapat membawaku kembali lagi.”
“Kami melanjutkan perjalanan sampai bertemu dengan seseorang yang bernama Huseyyin Effendi. Syekh berkata kepadaku, ‘Ketika kau pertama kali datang kepadaku, Aku melihatmu dan menemukan akhlak buruk di dalam dirimu. Setiap orang mempunyai akhlak yang baik yang bercampur dengan akhlak yang buruk. Ketika kau mengambil bay’at seluruh perbuatan buruk yang telah kau lakukan sebelumnya, aku ganti dengan perbuatan yang baik. Kecuali dua hal, yaitu nafsu syahwat dan kemarahan. Minggu lalu kami hilangkan kedua akhlak buruk itu dari dirimu.’ Ketika ia mengucapkan hal itu, aku sadar bahwa ia telah duduk bersamaku dan melihat nafsu syahwat dan kemarahanku, aku mulai menangis, menangis, dan menangis. Ketika aku menangis, Syekh Syarafuddin (q) mulai berbicara dengan orang yang bernama Huseyyin dalam bahasa yang tidak pernah kudengar sebelumnya, padahal aku berasal dari Daghestan dan aku mengetahui semua bahasa di daerahku. Akhirnya aku tahu bahwa Syekh Syarafuddin (q) berbicara dalam bahasa Syriac, bahasa yang langka dan sangat jarang digunakan.”
“Setelah dua jam menangis, ia berkata, ‘Cukup! Allah (swt) telah mengampunimu, Rasulullah (s) juga telah mengampunimu.’ Aku berkata, ‘Wahai Syekhku, apakah engkau benar-benar mengampuniku? Apakah Rasulullah (s) telah mengampuniku? Apakah Allah (swt) telah mengampuniku? Apakah para Syekh yang matanya terbuka telah mengampuniku? Aku pikir aku melakukan perbuatan itu sendirian, tetapi sekarang aku tahu bahwa kalian semua melihatku.’ Ia berkata, ‘Wahai anakku, kita adalah hamba-hamba yang berada di pintu Rasulullah (s) dan di pintu Allah (swt). Apapun yang kita minta dari Mereka, Mereka akan menerima permintaan kita karena kita berada dalam hadirat mereka dan kita adalah Satu.’ Aku berkata, ‘Sebagai suatu itikad baik, karena aku telah diampuni, bagaimana aku bisa bersyukur kepada Allah (swt) dan memberi penghormatan kepadamu dan kepada Rasulullah (s)? Apakah dengan jalan merayakan mawlid Nabi (s), atau berkurban, atau mengeluarkan sedekah lainnya?’ Ia mengatakan, ‘Yang kami inginkan darimu adalah agar kau senantiasa melakukan zikir Tarekat Naqsybandi.’ Inilah yang terjadi pada diriku bersama Syekh Syarafuddin (q).”
Salah satu teman Eskici Ali Usta yang telah bermigrasi dengannya dari Daghestan menerima sepucuk surat dari Syekh Syarafuddin (q) ketika ia masih berada di Daghestan, isinya berbunyi, “Tinggalkan Daghestan. Tidak ada lagi spiritualitas di sana. Daghestan tidak lagi berada di bawah Perlindungan Ilahi karena di sana terlalu banyak penindasan. Datanglah ke sini, ke Turki, dan ke Rasyadiya.” Orang itu meletakkan surat dari Syekh, mengabaikannya dan berpikir, “Bagaimana Aku meninggalkan semua kekayaanku dan semua yang kumiliki di sini?” Beberapa saat kemudian Rusia menguasai kota itu dan menyita semua kekayaannya. Lalu ia teringat dengan surat yang dikirim oleh Syekh. Akhirnya ia segera menyusun rencana untuk melarikan diri ke Turki dan ke Rasyadiya. Namun ia telah kehilangan keluarga dan semua kekayaannya akibat penundaannya itu.
Suatu saat Syekh Syarafuddin (q) datang ke Istanbul dan tinggal di Hotel Massarat. Ia ditanya oleh seseorang yang bernama Syekh Zia, “Bagaimana engkau akan wafat?” Ia menjawab, “Apakah pertanyaan itu penting bagimu, bagaimana aku akan meninggal dunia?” Ia menjawab, “Pertanyaan itu datang begitu saja ke dalam hatiku.” Ia berkata, “Aku akan meninggal ketika kita mendapat serangan dari Armenia, dan pada saat itu banyak sekali orang-orang yang zalim.” Malam harinya Syekh Zia berwudu lalu salat 2 rakaat dan memohon kepada Allah, “Ya Allah, singkirkanlah kesulitan itu dari kami, serangan dari Armenia, dan panjangkanlah usia Syekh kami tercinta.” Hari berikutnya Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadanya, “Wahai Syekh Zia, apa yang telah kau lakukan sepanjang malam, berdoa? Doamu telah dikabulkan. Kesulitan itu telah dicabut dari diriku tetapi sebagai gantinya kau akan menderita dan wafat sebagai syuhada.” Delapan tahun setelah insiden di hotel itu, bangsa Armenia dan Yunani memasuki Rasyadiya. Zia Effendi tertembak mati, dan apa yang telah diprediksi oleh Syekh Syarafuddin (q) menjadi kenyataan.
Yusuf Effendi, seorang yang pada tahun 1994 berusia sekitar 100 tahun, menceritakan kisah berikut,
“Suatu ketika Syekh Syarafuddin (q) ditahan di Eskisehir, dan aku adalah penjaganya. Di penjara itu ada juga seorang yang terpandang, seorang Syekh yang terkenal, Sa`id Nursi. Syekh Syarafuddin (q) ditahan bersama khalifahnya, Syekh `Abdullah (q), dan murid-murid yang lain. Ketika Sa`id Nursi mengetahui bahwa Syekh Syarafuddin (q) ditahan dalam penjara yang sama, ia mengutus muridnya untuk bertanya apakah Syekh Syarafuddin (q) membutuhkan sesuatu dan juga menawarkan bantuan. Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Terima kasih, tetapi kami tidak memiliki apa-apa, dan kami tidak memerlukan apa-apa.’”
“Murid Sa`id Nursi tetap mendatangi Syekh Syarafuddin (q), bertanya apakah ia memerlukan sesuatu. Namun ia selalu menolaknya. Suatu hari Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada murid itu untuk menyampaikan pertanyaan kepada Syekhnya, ‘Mengapa kita berada di sini?’ Murid Sa`id Nursi itu pergi menemui gurunya. Ia menjawab, ‘Kita berada di sini untuk mencapai maqam Sayyidina Yusuf (q), Maqam Pilihan Diam.’ Setelah murid itu bertanya dan Syekh Sa`id Nursi memberi jawaban, pembicaraannya pun berakhir.”
“Perubahan ini membuatku bingung dan aku mulai merenungkannya secara mendalam. Kemudian aku bertanya kepada Syekh, ‘Apa rahasia keberadaanmu di sini?’ Akhirnya, atas desakanku, Syekh Syarafuddin (q) menjawab, ‘Aku dikirim ke sini untuk membawa rahasia orang banyak, orang-orang yang dipenjarakan tanpa sebab. Aku memberi dukungan kepada orang-orang ini. Allah (swt) mengutusku ke sini, karena kalian semua berkumpul di sini, dan sangat sulit untuk mengumpulkan kalian. Aku berada di sini untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kalian, karena kami akan segera akan meninggalkan dunia ini. Kami akan menyampaikan kepadamu mengenai rahasia-rahasiamu. Bagi kami tidak ada istilah penjara, kami selalu berada dalam Hadirat-Nya dan kami tidak pernah terpengaruh dengan penjara. Kalian semua akan meninggal dunia kelak, tetapi kalian akan bertemu lagi, ketika seorang tokoh penting akan wafat barulah kalian semua akan bertemu kembali.’ Murid-murid Sa`id Nursi mendengar hal ini sebagaimana para tahanan lain yang mendengarkan dengan penuh antusias.”
Mengenai Wafatnya
Setelah sekitar tiga bulan, ia dibebaskan dari penjara. Ia berkata kepada Syekh `Abdullah (q), “Aku akan segera pergi, karena aku terlalu menguras tenagaku untuk menyarikan rahasia Surat al-An'am.” Ia meninggalkan wasiat baginya, dan menunjuk Syekh `Abdullah (q) untuk menjadi penerusnya di Singgasana Pembimbing.
Tiga hari menjelang wafatnya, ia memanggil Sulthan ul-Awliya Mawlana Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) beserta beberapa pengikutnya, kemudian ia berkata, “Selama tiga bulan aku telah menyelami Samudra Surat al-An'am untuk mengeluarkan seluruh nama dari Tarekat Naqsybandi yang berjumlah 7007 dari salah satu ayatnya. Alhamdulillah, Aku berhasil mendapatkan nama-nama mereka beserta seluruh gelarnya dan aku telah mencatatnya pada catatan harianku yang kuberikan kepada penerusku, Syekh `Abdullah (q). Catatan itu berisi nama-nama berbagai kelompok wali yang berbeda-beda yang akan hadir pada masanya Imam Mahdi (a).”
Keesokan harinya ia memanggil khalifahnya, Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) dan ia berkata, “Wahai anakku, inilah wasiatku. Aku akan pergi dalam dua hari ini. Atas perintah Rasulullah (s), aku menunjukmu sebagai penerusku dalam Tarekat Naqsybandi, bersama dengan lima tarekat lain yang telah kuterima dari pamanku. Seluruh rahasia yang pernah diberikan kepadaku dan seluruh kekuatan yang telah disandangkan kepadaku dari para pendahuluku di Tarekat Naqsybandi dan kelima tarekat lainnya, kini kusandangkan kepadamu. Seluruh murid yang kau bay’at dalam Tarekat Naqsybandi, juga dengan sendirinya akan di-bay’at dalam kelima tarekat lainnya dan akan menerima rahasia-rahasia mereka. Tak lama lagi akan ada suatu pembukaan bagimu untuk meninggalkan Turki dan pergi menuju Damaskus (Syam asy-Syarif) [yang pada saat itu amatlah sulit untuk dicapai karena peperangan yang hebat].”
Syekh `Abdullah (q) berkata, “Ia memberikan wasiat itu dan aku berusaha menyembunyikannya sebagaimana aku ingin menyembunyikan diriku sendiri.”
Ia wafat pada tanggal 27 Jumadil Awwal, Ahad, 1355 H./1936 M. di Rasyadiya. Ia dimakamkan di pemakaman Rasyadiya, di suatu puncak bukit. Hingga kini masjid dan zawiyahnya masih terbuka, dan banyak orang mengunjunginya untuk mendapatkan rahmat dan berkahnya. Awrad yang sama yang dulu dikerjakan oleh Syekh Syarafuddin (q), Khatam Khwajagan (Zikir para Khwaja, Guru) masih ada di sana, tergantung di dinding.
Grandsyekh kita, Syekh `Abdullah (q), khalifah dan penerus Sayyidina Syekh Syarafuddin (q) berkata, “Ketika berita wafatnya diketahui, semua orang datang ke rumahnya untuk mendapatkan berkahnya. Bahkan Ataturk, Presiden Republik Turki yang baru, mengirimkan delegasi kehormatannya. Kami memandikan jenazahnya. Ketika kami membaringkannya untuk dimandikan, ia menggerakkan kedua tangannya ke pahanya untuk menampung air yang tercurah darinya ketika kami memandikannya, sehingga semua muridnya dapat minum dari air pemandian tersebut. Ketika semua muridnya telah selesai minum, ia kembali menggerakkan tangannya ke tempat semula. Itulah keramat dari Samudra Keramatnya, dan itu terjadi bahkan setelah kematiannya.”
“Ketika kami menguburkan jenazahnya keesokan harinya, lebih dari 300.000 orang datang ke pemakamannya dan kota pun tidak mampu mengakomodasi kerumunan massa tersebut. Mereka datang dari Yalova, Bursa dan Istanbul. Sungguh merupakan kerumunan massa yang besar, semuanya berduka. Kaum pria menangis, kaum wanita menangis, anak-anak pun menangis juga. Semoga Allah (swt) mengangkat derajat para awliya-Nya di setiap abad.”
Salah satu muridnya, Yusuf Effendi mengatakan, “Memang benar bahwa kami tidak pernah bersama-sama dengan seluruh muridnya di suatu tempat yang sama—karena kami terlalu banyak—namun pada saat wafatnya, seluruh kota mendengar, Bursa, Adapazar, Yalova, Istanbul, Eskisehir, Orhanghazi, Izmir, dan seluruh penduduknya bergabung untuk menyelenggarakan Salat Jenazah.”
Syekh Syarafuddin (q) telah menulis banyak buku, namun semuanya hilang selama Perang Balkan. Namun demikian, banyak manuskrip yang masih tersisa pada keluarganya, yang berisi rahasia dari Tarekat Naqsybandi. Para pengikutnya mendatangi mereka untuk membaca buku-buku tersebut.
Ia mewariskan Rahasianya kepada penerusnya, Sulthan ul-Awliya, Mawlana wa Sayyidina Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1QAaA0FOci3REvT-iCFW55_-OOhr2a2DJysLNuuSvK1w/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
39. Syekh `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Engkau adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari hati.
Kelopak mataku tidak pernah tertutup
Kecuali bahwa Engkau berada di antara mereka dan mataku.
Cinta-Mu adalah bagian dariku seperti pembicaraan internal jiwa.
Aku tidak dapat bernapas kecuali Engkau ada dalam napasku
Dan Aku menemukan-Mu berburu menembus setiap indraku.
Abul Hasan Sumnun
Ia dilahirkan di Daghestan pada tahun 1309 H./1891 M. dari sebuah keluarga dokter. Ayahnya adalah seorang dokter umum dan kakaknya adalah dokter bedah umum dalam Angkatan Bersenjata Rusia. Ia dibesarkan dan dididik oleh pamannya, Syekh Syarafuddin ad-Daghestani (q), mursyid Tarekat Naqsybandi pada masa itu, yang merawatnya dengan istimewa sejak awal kehidupannya.
Selama masa kehamilan saudarinya, Syekh Syarafuddin (q) mengatakan,
“Bayi lelaki yang kau kandung ini tidak mempunyai hijab di dalam kalbunya. Ia akan mampu melihat peristiwa-peristiwa yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Ia adalah salah satu di antara orang yang dapat membaca Ilmu Gaib dari Loh Mahfuz secara langsung. Ia akan menjadi seorang ‘Sulthan al-Awliya’ di zamannya. Di antara para awliya, ia akan dijuluki sebagai ‘Naqiib al-Ummah’, ‘Pemimpin Umat Muhammad’. Ia akan menyempurnakan kemampuan untuk bersama Tuhan dan pada saat yang sama bersama orang-orang. Ia akan mewarisi rahasia dari Nabi (s), di mana beliau (s) pernah bersabda, ‘Aku mempunyai satu wajah menghadap pada Sang Pencipta, dan satu wajah memandang pada ciptaan-Nya.’ Dan ‘Aku mempunyai satu jam dengan Sang Pencipta dan satu jam bersama ciptaan-Nya.’”
“Jika telah lahir, berilah ia nama `Abdullah, karena ia akan membawa rahasia penghambaan. Ia akan menyebarkan tarekat kembali ke negeri-negeri Arab, dan melalui dirinya, penerusnya akan menyebarkan tarekat ini di negeri-negeri Barat dan Timur Jauh. Jagalah ia baik-baik. Ketika ia sudah berusia tujuh tahun, serahkanlah ia padaku untuk dibesarkan dalam pengawasanku.”
Pada tanggal 12 Rabiul Awal, hari Kamis, ibunya yang bernama Amina melahirkan bayi yang kemudian diberi nama `Abdullah. Pada saat persalinannya sekitar tengah malam tak seorang pun menemaninya. Suaminya sedang sibuk dan saudaranya sedang pergi. Ia mengatakan bahwa ketika ia melahirkan bayinya, ia mendapat suatu penglihatan di mana ada dua wanita mendatanginya. Yang pertama adalah Rabi’a al-Adawiyya (q) dan yang satunya lagi adalah Asiya (q) (istri Firaun yang beriman kepada Nabi Musa (a)). Mereka membantu persalinannya. Beberapa saat kemudian penglihatan itu berakhir, dan ia melihat bayinya mulai keluar. Pada saat itu suaminya datang dan membantu persalinannya.
Orang tuanya tidak pernah mendengarnya menangis. Di masa kanak-kanaknya, pada usia satu tahun, mereka sering melihatnya dengan kepala di lantai dalam posisi sujud. Ibunya, keluarga dan tetangganya heran melihat hal ini. Ia berbicara pada usia 7 bulan dan mampu membuat orang lain memahami perkataannya dengan jelas. Ia sungguh berbeda dengan anak-anak seusianya. Sering dijumpai kepalanya bergerak dari kanan ke kiri ketika mengucapkan Asma Allah. Pada usia tiga tahun, ia sering mengatakan tentang masa depan tamu-tamu yang datang. Ia mampu mengetahui nama-nama mereka tanpa perlu mengenalnya atau diberitahu sebelumnya. Ia membuat kagum orang-orang di negerinya. Banyak orang berdatangan untuk melihat anak yang istimewa ini dan mendengarkan apa yang dikatakannya.
Pada usia 7 tahun, ia telah membaca al-Qur’an. Ia biasa berkumpul dengan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Jawaban-jawabannya selalu sangat jelas dalam hal Syariah, meskipun ia belum pernah mempelajari fikih Islam. Ia akan membacakan bukti-bukti pendukung dari Qur’an dan hadits Nabi (s) tanpa pernah mempelajari ilmu hadits. Hal ini membuat orang-orang semakin tertarik dengannya.
Rumah ayahnya selalu penuh dikunjungi orang yang ingin menanyakan masalah-masalah, kesulitan dan urusan sehari-hari mereka. Ia akan menjawabnya dan memprediksikan hasilnya. Pada usia 7 tahun ia menjadi sangat terkenal, sehingga bila ada orang di desanya yang ingin menikah, mereka akan menanyakan dulu kepadanya apakah pernikahan mereka ditakdirkan untuk berhasil. Lebih dari itu, mereka bertanya apakah pernikahannya itu telah sesuai dengan Kehendak Allah sebagaimana yang dituliskan di dalam Loh Mahfuz.
Para ulama saat itu memverifikasi keputusan-keputusannya dan menerima yurisdiksinya. Orang-orang yang alim di masanya sangat mengagumi ilmu yang dimilikinya, walaupun ia baru berusia 7 tahun, mereka akan datang dari jauh untuk mendengarkan ilmu spiritual yang mengalir darinya bagaikan sebuah mata air. Pamannya bertanya bagaimana ia bisa berbicara terus-menerus dengan begitu mudahnya. Ia menjawab, “Wahai pamanku, hal itu datang kepadaku seperti kata-kata yang tertulis di hadapanku dari Hadirat Ilahi. Aku hanya tinggal melihat dan membaca apa yang tertulis.”
Ia sering membahas masalah-masalah dari ilmu yang dalam yang sebelumnya belum pernah dibicarakan. Pada usia 7 tahun ia bicara kepada orang-orang arif di masa itu, “Jika aku berbicara mengenai Ilmu Ilahi yang telah dimasukkan ke dalam kalbuku, bahkan para awliya pun akan memotong tenggorokanku.”
Ia sangat teliti dalam menjaga rambu-rambu Syariah. Ia yang pertama kali datang ke masjid ketika waktu salat tiba, 5 kali sehari. Ia yang pertama hadir untuk berzikir. Ia yang pertama hadir dalam pertemuan dengan para ulama. Ia yang pertama hadir dalam pertemuan-pertemuan spiritual.
Ia termasyhur dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan membacakan Surat al-Fatihah. Banyak orang dibawa kepadanya dengan berbagai macam penyakit dan ia akan membacakan Surat al-Fatihah dan meniupkannya kepada mereka dan mereka akan sembuh. Ia mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam menyembuhkan orang walaupun berada di tempat yang jauh. Banyak orang yang datang kepadanya meminta bantuannya untuk orang tua, istri, atau siapapun yang sakit namun tidak dapat mendatanginya. Ia akan membacakan Surat al-Fatihah sekali dan mengirimkannya untuk mereka, dan dalam waktu singkat mereka akan sembuh, di mana pun tempatnya. Penyembuhan adalah salah satu keistimewaan yang dimilikinya di antara keistimewaan-keistimewaan lainnya yang sangat banyak.
Berbicara tentang Dirinya
“Aku adalah seorang keturunan Miqdad bin al-Aswad (r), seseorang yang ditunjuk oleh Nabi (s) sebagai wakil beliau setiap kali beliau meninggalkan Madinah dalam suatu perjalanan. Seperti pamanku, aku mewarisi lima tanda dari Tangan Nabi (s) yang penuh berkah, di mana beliau pernah menempelkan tangannya di punggung kakekku yang diberkati, Miqdad bin al-Aswad (r). Dari tanda lahir ini memancar seberkas cahaya yang istimewa.”
Pada saat itu sekitar tahun 1890-an, Daghestan berada di bawah kezaliman dan tirani tentara Rusia. Pamannya yang merupakan mufti di desanya, dan ayahnya yang merupakan seorang dokter terkenal, memutuskan untuk pindah dari Daghestan ke Turki. Setelah mencapai keputusan itu, mereka meminta Syekh `Abdullah (q) untuk melakukan istikharah mengenai hijrah mereka saat itu. Syekh `Abdullah (q) mengisahkan peristiwa itu,
Malam itu aku melakukan Salat Isya, lalu aku perbarui wuduku dan aku salat dua rakaat. Lalu aku duduk bertafakur, menghubungkan diriku melalui Syekhku—pamanku, kepada Nabi (s). Aku melihat Nabi (s) mendatangiku bersama 124.000 Sahabatnya. Beliau (s) berkata kepadaku, ‘Wahai anakku, aku lepaskan seluruh kekuatanku dan kekuatan 124.000 Sahabatku dari kalbuku. Katakan kepada pamanmu dan para pemuka desa ini untuk segera pindah ke Turki.’
Kemudian aku melihat Nabi (s) memelukku dan aku melihat diriku lenyap di dalam dirinya. Segera setelah aku lenyap di dalam dirinya, aku melihat diriku naik dari Baitul Maqdis, sebagaimana Nabi (s) melakukan perjalanan malamnya (Isra’ Mi’raj). Aku melihat diriku menaiki Buraq yang sama yang mengantarkan Nabi (s). Aku juga melihat diriku dibawa dalam suatu penglihatan yang nyata ke Maqam Qaba Qawsayni Aw Adna, ‘Sejarak Dua Busur Panah atau yang lebih dekat lagi’ [53:9], di mana aku dapat melihat Nabi (s), tetapi bukan diriku.
Aku merasakan diriku menjadi bagian dari keseluruhan bagian Nabi (s). Melalui mi’raj itu, aku menerima Hakikat yang Nabi (s) tuangkan ke dalam kalbuku dari apa yang beliau terima pada Malam Isra’ Mi’raj. Segala macam ilmu yang berbeda ini masuk ke dalam kalbuku dalam kata-kata yang bercahaya, dimulai dari warna hijau kemudian ungu, dan pemahaman-pemahaman dituangkan ke dalam kalbuku dalam jumlah yang tidak terukur banyaknya.
Aku mendengar sebuah suara dari Hadirat Ilahi yang mengatakan, “Mendekatlah wahai hamba-Ku, ke Hadirat-Ku.” Ketika aku mendekat melalui Nabi (s), segalanya lenyap, bahkan hakikat spiritual dari Nabi (s) pun lenyap. Tidak ada yang hadir, kecuali Allah `azza wa jalla.’
Lalu aku mendengar sebuah suara dari seluruh Cahaya dan Sifat-Sifat-Nya yang bercahaya di dalam Hadirat-Nya, ‘Wahai hamba-Ku, sekarang datanglah ke Maqam Kehadiran di dalam Cahaya ini.’ Aku merasakan diriku hadir melalui Nabi (s), setelah lenyap, lalu muncul dan hadir di dalam Hadirat Ilahi, dihiasi dengan ke-99 Sifat. Lalu aku melihat diriku di dalam diri Nabi (s), dan di dalamnya muncul seluruh ciptaan yang tercipta dengan Kekuasaan Allah. Itu membawa kami ke suatu maqam di mana kami mampu menyadari bahwa ada alam semesta lain selain dari alam semesta ini, dan di sana ada berbagai ciptaan Allah (swt) yang tak terhingga. Lalu aku merasakan pamanku menepuk pundakku sambil mengatakan, ”Wahai anakku, sudah waktunya Salat Subuh.”
Aku salat Subuh di belakang beliau bersama 300 penduduk desa yang salat berjamaah bersama kami. Selesai salat, pamanku berdiri dan mengatakan, “Kami telah meminta keponakan kami untuk melakukan istikharah.” Setiap orang tidak sabar mendengar apa yang telah aku lihat. Namun kemudian pamanku segera berkata, “Ia dibawa ke hadirat Nabi (s) dengan kekuatanku. Nabi (s) telah memberi izin bagi setiap orang untuk hijrah ke Turki. Lalu beliau (s) membawanya dalam mi’raj menuju berbagai maqam hingga mencapai maqam Qaba Qawsayni Aw Adna [53:9]’. Nabi (s) juga membawanya menuju sebuah maqam di mana beliau membukakan baginya sebuah penglihatan mengenai ilmu yang belum pernah dibukakan kepada seorang wali mana pun, termasuk diriku. Mi’rajnya adalah merupakan sebuah petunjuk bagi awliya di masa lalu maupun di masa sekarang, dan merupakan sebuah kunci untuk membuka Samudra Ilmu dan Hikmah yang sangat luas.”
Aku berkata pada diriku sendiri, “Pamanku bersamaku dalam penglihatan itu, dan dengan kekuatannyalah aku menerima penglihatan itu.”
Setiap penduduk di desa itu mulai bersiap untuk hijrah. Kami bergerak dari Daghestan menuju Turki dalam sebuah perjalanan yang penuh kesulitan baik akibat tentara Rusia maupun adanya para perampok yang tak segan membunuh.
Mendekati perbatasan Turki, kami memasuki kawasan hutan yang dikenal penuh dengan tentara Rusia. Saat itu adalah waktu Salat Subuh. Pamanku mengatakan, ”Kita akan melakukan Salat Subuh dan setelah itu kita akan menyebrangi hutan itu.” Kami lalu salat dan setelah itu kami mulai bergerak. Syekh Syarafuddin (q) berkata kepada semua orang, ”Berhenti!” lalu beliau meminta secangkir air. Seseorang membawakan air itu dan beliau membacakan ayat ke-9 dari Surat Yaa Siin, Wa ja`alnaa min bayni aydiihim saddan wa min khalfihim saddan fa aghsyaynaahum fahum laa yubshiruun. ‘Dan kami jadikan di depan mereka dinding dan di belakang mereka dinding, lalu Kami tutup matanya sehingga tidak melihat [36:9]. Kemudian beliau membaca ayat Fa’l-Laahu khayrun haafizha, wa huwa arhamu ‘r-Raahimiin. Allah (swt) adalah sebaik-baik penjaga. Dia Maha Penyayang dari semua Penyayang [12:64].
Ketika beliau membacakan ayat-ayat ini, setiap orang merasakan sesuatu memasuki kalbu mereka, dan aku melihat mereka gemetar. Tuhan memberiku suatu penglihatan pada saat itu di mana aku dapat melihat bahwa kami telah dikelilingi oleh tentara Rusia dari segala penjuru. Aku melihat bahwa mereka menembaki apapun yang bergerak, bahkan seekor burung. Lalu aku melihat bahwa kami dapat melewati hutan itu dan kami selamat. Kami menyebrangi hutam itu dan mereka tidak mendengar jejak langkah kami dan juga hewan-hewan peliharaan kami sampai kami tiba di sisi sebrang perbatasan dengan selamat.
Penglihatan itu berakhir ketika Syekh Syarafuddin (q) selesai membaca. Beliau cipratkan air itu ke kepala kami sambil mengatakan, “Bergerak sekarang! Tetapi jangan menengok ke belakang.” Begitu kami berjalan, kami dapat melihat tentara Rusia di segala penjuru, namun seolah-olah kami tidak terlihat oleh mereka. Kami bergerak sekitar 20 mil menembus hutan itu. Diperlukan waktu dari pagi hingga lewat waktu Isya. Kami tidak berhenti kecuali untuk salat dan kami tidak terlihat oleh mereka. Kami mendengar tentara itu menembaki orang, burung-burung, binatang-binatang dan segala yang bergerak, namun kami dapat melewati mereka tanpa terdeteksi. Hanya rombongan kami yang selamat. Kami keluar dari hutan dan menyebrang menuju Turki.
Awalnya kami menuju Bursa, di mana Syekh Syarafuddin (q) mendirikan rumahnya selama setahun. Kemudian beliau pindah ke Rasyadiyya, di mana beliau mendirikan sebuah desa untuk para imigran dari Daghestan. Desa itu terletak 30 mil dari Yelova di Pesisir Marmara, sekitar 50 mil dari Bursa, atau 60 mil dari Adapazar. Di sana beliau membangun satu-satunya masjid di desa itu dan di sebelahnya beliau membangun rumahnya sendiri. Setiap orang sibuk membangun rumah-rumah mereka. Ayah ibuku membangun sebuah rumah bersebelahan dengan rumah Syekh Syarafuddin (q).
Ketika aku menginjak usia 13 tahun, Turki mendapat serangan dari pasukan Inggris, Perancis, dan Yunani. Angkatan Bersenjata Turki mengenakan wajib militer bagi warganya, termasuk anak-anak. Mereka menginginkan aku untuk bergabung dengan tentara, tetapi pamanku yang mempunyai hubungan baik dengan Sultan Abdul Hamid, menolak untuk mengirimku. Ayahku telah wafat dan ibuku sendirian, sehingga aku harus membantunya. Ketika usiaku mencapai 15 tahun, Syekh Syarafuddin (q) berkata kepadaku, “Anakku, sekarang kau sudah dewasa, menikahlah sekarang.” Aku pun menikah pada usia yang masih belia, 15 tahun dan tinggal bersama ibu dan istriku.
Khalwat Pertama dan Latihan Spiritual
Syekh Syarafuddin (q) membesarkan dan melatih Syekh `Abdullah (q) dengan disiplin spiritual yang intensif dan dengan zikir yang panjang waktunya. Enam bulan setelah pernikahannya ia diperintahkan untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ia mengatakan,
Aku masih pengantin baru, baru 6 bulan ketika Syekhku memerintahkan aku untuk memasuki khalwat selama 5 tahun. Ibuku sangat kecewa, ia mengkomplain Syekhku, yang merupakan kakaknya sendiri. Istriku juga kecewa, tetapi kalbuku tidak pernah mengeluh. Bahkan sebaliknya, aku sangat senang memasuki khalwat yang sangat aku idam-idamkan itu.
Aku memasuki khalwat, meskipun ibuku menangis dan mengatakan, “Tidak ada lagi yang kumiliki selain dirimu. Kakakmu masih di Rusia, dan ayahmu telah wafat.” Aku merasa kasihan melihat ibuku, tetapi aku tahu bahwa itu adalah perintah dari Syekhku dan itu langsung dari Nabi (s). Aku memasuki khalwat itu dengan perintah untuk mandi enam kali sehari dengan air dingin, serta menjaga semua kewajiban dan wirid harianku. Sebagai tambahan, aku diperintahkan untuk membaca tujuh sampai lima belas juz al-Qur’an dan mengulang Nama Allah 148.000 kali dan shalawat Nabi (s) 24.000 kali setiap harinya.
Banyak lagi latihan-latihan lainnya yang harus dilakukan dengan bertafakur dan fokus. Aku berada di sebuah gua, jauh di tengah hutan belantara, tinggi di atas gunung yang tertutup salju. Satu orang ditunjuk untuk melayaniku dengan 7 buah zaitun dan 2 ons roti setiap harinya. Aku memasuki khalwat itu saat berusia lima belas setengah tahun dengan badan yang agak gemuk. Ketika aku keluar dari khalwat itu pada usia dua puluh dua tahun, berat badanku hanya 100 pound (sekitar 45 kg), sangat kurus.
Penglihatan-penglihatan dan pengalaman-pengalaman yang telah disingkapkan untukku tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Ketika aku memasuki khalwat itu, aku mengatakan kepada egoku, “Wahai ego, ketahuilah, aku tidak akan meninggalkan khalwat ini, bahkan jika aku harus mati. Jangan coba-coba mengubah pikiranku atau menipuku.”
Ada sebuah celah di atas gua ke arah luar, namun ketika aku memasuki khalwat aku menutupnya dengan sehelai kain.
Aku hanya tidur sebentar dalam khalwat itu. Aku tidak merasa memerlukan tidur, karena aku mendapat dukungan surgawi yang sangat kuat. Suatu ketika aku mendapat penglihatan ketika Nabi (s) sedang berkhalwat di gua Hira. Selama 40 hari aku duduk di belakangnya dan beliau (s) tidak pernah tidur tetapi tetap terjaga dalam keadaan seperti itu.
Suatu hari ketika aku sedang berzikir di tengah malam, badai hebat mengamuk di pegunungan itu. Aku dapat mendengar badai itu merobohkan pepohonan, menurunkan hujan dan akhirnya turun salju. Saat itu sangat dingin dan tidak ada yang dapat menghangatkanku kecuali panasnya zikirku. Angin yang kencang menerbangkan kain penutup celah di atap gua. Aku membeku, dan salju mulai berjatuhan di tubuhku. Begitu dinginnya, sehingga aku tidak dapat menggerakkan jari-jemariku untuk menghitung zikirku. Jantungku hampir berhenti. Kemudian terlintas dalam pikiranku untuk menutup lubang itu kembali. Segera setelah pikiran itu datang, aku melihat suatu penglihatan di mana Syekhku berteriak, “Wahai anakku! Apakah engkau sibuk dengan dirimu sendiri atau dengan Dia yang menciptakanmu?! Jika engkau mati kedinginan, itu lebih baik bagimu daripada membiarkan kalbumu sesaat dalam kelalaian.” Penglihatan itu memberikan kehangatan di dalam kalbuku dan tekad untuk segera memulai kembali zikirku. Ketika aku melanjutkan zikirku, angin bertiup lebih kencang dan membawa lebih banyak salju. Aku berjuang melawan diriku, dan akhirnya aku mengatakan pada diriku, “Biarlah aku mati, tetapi aku akan tetap melanjutkan zikirku.” Tiba-tiba, angin berhenti bertiup dan salju pun berhenti. Lalu sebuah pohon tumbang dan menutupi lubang di atap gua.
Suatu hari setelah melakukan salat terakhir pada malam itu, ketika aku sibuk berzikir dan kalbuku terhubung dengan Asalnya, aku mendapat penglihatan di mana diriku sedang berzikir di Hadirat Ilahi. Pada saat yang sama aku merasakan sesuatu membelitku, aku menyadari bahwa itu bukanlah sesuatu yang bersifat surgawi, melainkan itu adalah susuatu yang bersifat fisik. Aku teringat dengan sabda Nabi (s), “Tidak ada yang dapat menyebabkan rasa takut di dalam kalbuku kecuali takut kepada Allah.” Meskipun aku merasa ada sesuatu yang membelit tubuhku, kalbuku tetap tidak terganggu di dalam Hadirat Ilahi.
Pada tingkatan itu aku mencapai Maqam Kesadaran akan Jumlah (Wuquf `Adadi) dari 777.777 kali pengulangan Asma Allah. Ketika akan melanjutkannya ke angka 777.778 aku mendengar suara dari Hadirat Ilahi, “Wahai hamba-Ku, malam ini engkau telah mencapai rahasia dari Wuquf `Adadi dan telah mendapat kunci untuk maqam tersebut. Masuklah ke dalam Hadirat Kami dalam Maqam Kalimullah (maqam seseorang yang mampu berbicara kepada Tuhannya), Maqamnya Nabi Musa (a) ketika beliau berbicara langsung dengan Allah.” Aku melihat bahwa aku berbicara dengan Hadirat Ilahi dan aku menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum pernah dicapai oleh para awliya sebelumnya. Aku ambil kesempatan itu untuk bertanya kepada Allah (swt), “Ya Allah, apakah Nama-Mu Yang Teragung?” Dan aku mendengar, “Wahai hamba-Ku, kau akan diberi jawabannya nanti.” Lalu penglihatan itu lenyap bertepatan dengan waktunya untuk Salat Subuh.
Sebelum melakukan salat, aku diwajibkan untuk mandi dengan air dingin. Tentu saja di sana tidak ada air yang mengalir, oleh sebab itu aku harus menggunakan salju yang dicairkan untuk mandi. Ketika aku akan mandi untuk salat, aku melihat kepala seekor ular tepat menghadap ke wajahku, ternyata dialah yang telah membelit tubuhku. Kepalanya sangat tenang, bila ada sedikit gerakan saja karena takut, ia akan menyerangku. Aku tidak mempedulikan ular itu. Aku tahu jika aku merasa takut, ia akan menyerangku. Jadi di dalam pikiranku, aku membuatnya tidak ada. Aku tidak bisa mandi dengan ular yang membelitku, namun perintah Syekh harus kupatuhi. Jadi aku mengguyur air di sekujur pakaianku dan ular itu. Selama 40 hari, ular itu tetap membelitku. Ketika salat, ular itu menggerakkan kepalanya untuk memberi kesempatan aku bersujud. Selama 40 hari, ular itu terus menatapku, menungguku berbuat kesalahan atau ketakutan, untuk kemudian menyerangku. Itu adalah ujian dari Syekhku, untuk melihat apakah aku takut kepada sesuatu selain Allah (swt). Akhirnya hal itu berakhir, ular itu mulai melepaskan belitannya dari tubuhku. Ia berhenti sebentar di hadapanku dan kemudian menghilang.
Syekh `Abdullah (q) menghabiskan waktu 5 tahun dalam khalwat khusus itu, yang berakhir ketika usianya 22 tahun. Ketika ia kembali, ia sudah memenuhi syarat untuk mengikuti wajib militer. Kali ini ia pun bergabung dengan angkatan bersenjata.
Mi’rajnya
Syekh `Abdullah (q) bercerita mengenai sebuah insiden yang terjadi selama pengabdiannya dalam Angkatan Bersenjata Kekhalifahan Utsmani (Ottoman),
Aku berjumpa dengan ibuku hanya dalam waktu satu atau dua minggu. Mereka lalu membawaku ke sebuah pertempuran yang dikenal dengan Safar Barlik di Dardanelles. Suatu hari terjadi serangan dari musuh dan sekitar 100 orang dari kami ditinggalkan untuk mempertahankan wilayah perbatasan. Aku adalah seorang penembak jitu yang mampu mengenai sehelai benang dari jarak jauh. Kami mendapat serangan bertubi-tubi sehingga tidak mampu lagi mempertahankan posisi kami. Aku merasakan sebuah peluru menembus jantungku, aku pun tersungkur ke tanah dengan keadaan terluka parah.
Ketika aku terbaring sekarat, aku melihat Nabi (s) menghampiriku. Beliau (s) berkata, ”Wahai anakku, kau ditakdirkan untuk meninggal dunia di sini, namun kami masih memerlukanmu di bumi ini, baik secara spiritual maupun secara fisik. Aku datang padamu untuk menunjukkan bagaimana seorang manusia mengalami kematian dan bagaimana malaikat `Izra’il mencabut nyawa.” Beliau (s) memberiku suatu penglihatan di mana aku melihat rohku mulai meninggalkan tubuhku, sel demi sel, dimulai dari jari-jemari kakiku. Ketika kehidupan itu ditarik, aku dapat melihat berapa banyak sel di dalam tubuhku dan mengetahui fungsi-fungsi dari setiap sel, dan penyembuh bagi setiap penyakit masing-masing sel. Aku juga mendengar zikir dari setiap sel itu.
Begitu rohku mulai bergerak meninggalkan tubuhku, aku mengalami apa yang orang rasakan ketika meninggal dunia. Aku dibawa untuk melihat berbagai keadaan saat kematian: kematian yang menyakitkan, kematian yang mudah, dan kematian yang sangat membahagiakan. Nabi (s) mengatakan, “Engkau termasuk orang yang meninggal dengan keadaan bahagia.” Aku sangat menikmati kematian itu karena aku akan kembali ke tempat Asalku, yang membuatku memahami ayat Qur’an, ‘Inna lillaahi wa inna ilayhi raji`uun, ‘Sesungguhnya kami adalah milik Allah (swt), dan kepada-Nya kami kembali‘ [2:156].
Penglihatan itu berlanjut sampai aku mengalami keadaan di mana rohku sampai pada napas terakhir. Aku melihat malaikat `Izra’il datang dan mendengar pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan. Segala macam penglihatan mengenai orang yang sedang sekarat aku alami, namun demikian aku masih dalam keadaan hidup ketika mengalaminya dan hal ini membuatku dapat memahami rahasia dari maqam itu.
Kemudian dalam penglihatan itu aku melihat rohku memandang ke bawah pada tubuhku, dan Nabi (s) berkata padaku, “Datanglah padaku!” Aku menemani Nabi (s) dan beliau (s) membawaku ke dalam sebuah penglihatan mengenai Tujuh Surga. Aku melihat segala sesuatu yang Nabi (s) inginkan aku melihatnya di dalam Tujuh Surga itu, kemudian beliau mengangkatku ke Maqam Ash-Shiddiq di mana aku bertemu dengan seluruh nabi, para awliya, seluruh syuhada, dan orang-orang yang saleh.
Beliau (s) lalu mengatakan, “Wahai anakku, sekarang aku akan membawamu melihat siksaan di Neraka.” Di sana aku melihat semua yang pernah disebutkan oleh Nabi (s) di dalam hadits-hadits dan sabda beliau (s) tentang siksa Neraka. Aku pun berkata, “Wahai Nabi (s), engkaulah yang dikirim sebagai wasilah bagi umat manusia, adakah cara agar mereka dapat diselamatkan?” Beliau (s) berkata, “Ya, wahai anakku, dengan syafaatku mereka dapat diselamatkan. Aku akan menunjukkan padamu, takdir dari orang-orang itu bila aku tidak mempunyai kekuatan untuk memberi syafaat bagi mereka.”
Nabi (s) lalu berkata, “Anakku, kini aku akan mengembalikan dirimu ke dunia, ke dalam tubuhmu.” Begitu Nabi (s) mengatakan hal itu, aku melihat ke bawah dan aku melihat tubuhku yang sudah membengkak. Aku melihatnya dan berkata, “Wahai Nabi (s), lebih baik aku berada di sini bersamamu. Aku tidak ingin kembali. Aku bahagia bersamamu di Hadirat Ilahi. Lihatlah dunia itu. Aku sudah pernah berada di sana dan sekarang aku telah meninggalkannya. Mengapa aku harus kembali? Lihat, tubuhku sudah membengkak.”
Nabi (s) menjawab, “Wahai anakku, kau harus kembali. Itulah tugasmu.” Atas perintah Nabi (s), aku kembali pada tubuhku, meskipun aku tidak menginginkannya. Ketika aku memasuki tubuhku, aku melihat peluru di jantungku telah terbungkus dalam daging, dan pendarahan telah berhenti. Ketika aku memasuki tubuhku dengan lembut, penglihatan itu pun berakhir. Aku melihat tim medis di medan peperangan sedang mencari orang-orang yang masih hidup di antara mereka yang telah gugur. Salah seorang berteriak, “Orang itu masih hidup! Orang itu masih hidup!” Aku terlalu lemah untuk bergerak ataupun berbicara, dan aku menyadari bahwa tubuhku telah tergeletak di sana selama 7 hari.
Mereka membawaku dan merawatku, sampai kesehatanku kembali pulih. Mereka mengembalikan aku pada pamanku. Begitu aku bertemu, beliau mengatakan, “Wahai anakku, apakah kau menikmati kunjunganmu?” Aku tidak menjawab “Ya” ataupun “Tidak” karena aku tidak tahu mana yang dimaksud pamanku, kunjungan ke Angkatan Bersenjata atau kunjungan untuk bertemu Nabi (s). Beliau kembali bertanya, “Wahai anakku, apakah kamu menikmati kunjunganmu bersama Nabi (s)?” Barulah aku menyadari bahwa beliau mengetahui segala hal yang telah terjadi padaku. Aku pun langsung menghampirinya dan mencium tangannya sambil berkata, “Wahai Syekhku, aku pergi bersama Nabi (s) dan harus ku akui bahwa aku tidak ingin kembali. Tetapi beliau (s) berkata bahwa itu adalah tugasku.”
Kepasrahan Mutlak Syekh `Abdullah QS
Syekh `Abdullah (q) melanjutkan hidupnya di bawah pengawasan pamannya, Syekh Syarafuddin (q) dan ia mengalami kemajuan yang lebih tinggi lagi dalam ilmu spiritual. Suatu hari Syekh Syarafuddin sedang duduk di dalam pertemuan dengan 300 ulama, termasuk para tokoh spiritual, dan mereka membahas masalah-masalah yang penting dalam kehidupan spiritual mereka. Mereka berkumpul di sebuah bukit di dekat masjidnya.
Syekh `Abdullah (q) pergi ke bukit menuju pertemuan itu. Beberapa di antara ulama itu berkata kepada Syekh Syarafuddin (q), ”Kami heran mengapa engkau begitu mementingkan anak itu.” Syekh Syarafuddin (q) menjawab,
“Lihatlah dia. Ia datang untuk menemuiku. Jika seorang anak berusia 7 tahun datang padanya dan mengatakan, ‘Syekhmu berpesan agar engkau pergi ke Mekah,’ bahkan jika aku tidak mengirimkan anak itu, `Abdullah akan segera menerimanya dan melakukan apa yang dikatakan oleh anak kecil itu. Hal ini karena ia menghubungkan segala sesuatunya denganku, dan ia tahu bahwa apapun yang datang padanya adalah berasal dariku, terlepas bagaimanapun caranya. Ia paham bahwa jika itu berasal dariku, maka perintahnya adalah dari Nabi (s), karena kalbuku tersambung dengan kalbunya (s), dan itu asalnya dari Allah (swt). Sekarang, jika hal itu terjadi, ia akan segera pergi tanpa menemui istri atau ibunya untuk berpamitan dan tidak pula mempersiapkan segala sesuatu sebagai bekal. Ia akan langsung melangkahkan kakinya menuju ke Mekah. Itulah sebabnya mengapa aku menganggap dirinya penting, selain itu aku juga mengetahui pada maqam apa ia berada sekarang.
Maqamnya saat ini belum pernah mampu dimasuki atau bahkan dilihat oleh orang-orang sebelumnya, termasuk diriku. Ia telah mencapai maqam yang lebih tinggi daripada maqamku dan lebih tinggi daripada maqam syekhku dalam tarekat ini. Karena tarekat berlanjut dari satu Syekh kepada Syekh lainnya, ia bergerak semakin tinggi tingkatannya. Karena rahasia diteruskan dari satu Syekh kepada Syekh berikutnya, maka derajatnya akan semakin tinggi, yaitu dari rahasia yang diwarisinya ditambah rahasia yang ia terima. Pada saat yang sama, derajat Nabi (s) senantiasa meningkat dalam setiap saat, karena beliau (s) selalu dalam keadaan mi’raj, begitu pula para awliya umatnya. Inilah arti dari ayat wa fawqa kulli dzi `ilmin `aliim, “di atas orang-orang yang berilmu ada Yang Maha Tahu. [12:76].
Sebuah Pertemuan dengan Gurdjieff
Grandsyekh `Abdullah (q) sering berkhidmah di khaniqah pamannya. Setiap hari ratusan tamu datang mengunjungi Syekh, kebanyakan berasal dari Daghestan. Di antara tamu itu ada seorang guru dari Rusia, George Gurdjieff. Ia baru tiba di Turki setelah melewati sebuah perjalanan panjang dan sulit dalam pelariannya dari Rusia ketika terjadi revolusi komunis. Gurdjieff datang menemui Syekh Syarafuddin (q). Gurdjieff mempunyai hubungan dengan banyak pengikuti Sufi dari berbagai tarekat dan telah sering mengembara ke seluruh pelosok Kaukasus. Ia senang dapat bertemu dengan para pewaris silsilah Tarekat Mulia Naqsybandi Daghestani.
Syekh Syarafuddin (q) meminta Syekh `Abdullah (q) untuk menerima tamunya. Syekh `Abdullah (q) menceritakan peristiwa pertemuan itu dengan beberapa murid bertahun-tahun kemudian. Ketika keduanya bertemu, Syekh `Abdullah (q) mengatakan, “Engkau tertarik dengan ilmu mengenai Sembilan Titik. Kita dapat membicarakannya besok pagi setelah Salat Subuh. Sekarang silakan makan dan istirahat.” Pada waktu Subuh, Syekh `Abdullah (q) memanggil Gurdjieff untuk salat bersamanya. Segera setelah selesai, Syekh mulai membaca Surat Yaa Siin. Setelah Syekh selesai membaca, Gurdjieff mendekatinya dan bertanya apakah ia bisa berbicara mengenai apa yang baru saja dialaminya.
Gurdjieff berkata,
Begitu engkau selesai salat dan mulai membaca surat itu, aku melihat engkau mendatangiku dan meraih tanganku. Kita dipindahkan ke sebuah kebun mawar yang indah. Kau mengatakan bahwa kebun itu adalah milikmu dan mawar-mawar itu adalah murid-muridmu, masing-masing mempunyai warna dan wangi yang berbeda-beda. Kau mengantarkan aku pada salah satu mawar merah dan berkata, ”Ini adalah milikmu. Ciumlah.” Saat aku menciumnya, aku melihat mawar itu mekar dan aku lenyap di dalamnya dan menjadi mawar itu. Aku memasuki akarnya dan aku dibawa ke hadiratmu. Aku melihat diriku memasuki kalbumu dan menjadi bagian dirimu.
Melalui kekuatan spiritualmu, aku bisa naik menuju ilmu mengenai Sembilan Titik. Lalu sebuah suara yang memanggilku dengan `Abdan Nur, berkata, “Cahaya dan ilmu ini telah dianugerahkan kepadamu dari Hadirat Ilahi untuk memberi kedamaian dalam hatimu. Namun kau tidak boleh menggunakan kekuatan ilmu ini,” Suara itu mengucapkan selamat tinggal dan penglihatan berakhir saat engkau selesai membaca Yaa Siin.
Syekh `Abdullah (q) menjawabnya,
Surat Yaa Siin dinamakan “Kalbu al-Qur’an” oleh Nabi Suci (s) dan ilmu mengenai Sembilan Titik ini dibukakan padamu melalui surat ini. Penglihatan itu adalah berkah dari ayat Salaamun Qawlan min Rabbin Rahiim, “Salam! Sebagai ucapan dari Yang Maha Penyayang [36:58].
Setiap titik dari Sembilan Titik itu diwakili oleh satu dari 9 wali yang mempunyai tingkatan tertinggi di Hadirat Ilahi. Mereka adalah kunci-kunci menuju kekuatan yang tak terhingga di dalam manusia, tetapi belum ada izin untuk menggunakan kunci-kunci ini. Ini adalah sebuah rahasia yang secara umum tidak akan dibuka sampai Hari Kiamat ketika Imam Mahdi (a) telah muncul dan Nabi Isa (a) telah kembali.
Pertemuan kita ini telah diberkati. Jagalah itu sebagai rahasia di dalam hatimu dan jangan membicarakan hal itu dalam kehidupan ini. `Abdan Nur, itulah namamu bersama kami, kau bebas untuk tinggal di sini atau pergi karena tanggung jawabmu memungkinkan. Engkau selalu kami terima. Engkau telah mencapai keselamatan dalam Hadirat Ilahi. Semoga Allah memberkatimu dan memberimu kekuatan dalam pekerjaanmu.
Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) bersama murid-muridnya di Damaskus. Syekh Nazim (q) di sebelah kanan dan Syekh Hussein (q) di sebelah kirinya.
Maqam-Maqam dan Perkataannya setelah Khalwat Kedua
Pada usia 30 tahun, Syekh `Abdullah (q) diperintahkan untuk memasuki khalwat kedua selama 5 tahun. Selama khalwat itu, banyak penglihatan dan maqam-maqam yang dianugerahkan kepadanya, yang mustahil untuk dijabarkan di sini. Setelah ia menyelesaikan khalwat kedua, kekuatan Haqiqatul Jadzbah, Daya Tarik Spiritualnya semakin meningkat. Ia menjadi sangat terkenal bahkan semasa hidup Syekh Syarafuddin (q), orang-orang berdatangan untuk belajar darinya.
Berikut ini adalah beberapa perkataannya:
Aku tidak berbicara kepada kalian tentang suatu maqam atau tajali atau peringkat (rutbah) tertentu kecuali aku pernah memasuki maqam itu atau mengalami tajalinya. Aku tidak seperti yang lain. Aku tidak berbicara dengan memisahkan pandanganku dari kalbuku, menerangkan secara detail mengenai maqamat kepada kalian tanpa mengetahui hakikatnya. Tidak! Pertama-tama aku mengikuti jalurnya dan melihat apa itu. Aku mempelajari hakikat-hakikat dan rahasia-rahasia yang dapat ditemukan sepanjang jalur itu dan aku bekerja dengan caraku sepanjang jalur itu sampai aku mencapai `Ilm al-yaqiin, `Ayn al-yaqiin, dan Haqq al-yaqiin (tahapan penyaksian/musyahadah seseorang kepada Allah (swt)). Barulah setelah itu aku berbicara kepada kalian, memberi kalian sedikit rasa dari apa yang telah kurasakan sampai aku mampu membuat kalian mencapai maqam itu tanpa membuat kalian lelah dan memberi kalian kesulitan.
Ada lima maqam dalam kalbu, yaitu: Qalb, Sirr, Sirr as-Sirr, Khafa dan Akhfa. Qalb adalah kalbu, sirr adalah rahasia, sirr as-sirr adalah rahasia dari rahasia, khafa adalah yang tersembunyi, dan akhfa adalah yang paling tersembunyi. Rahasia tarekat ini berdasarkan pada kelima lathaif kalbu ini.
Lathifah al-Qalb, Latifah Kalbu, berada di bawah wewenang Sayyidina Adam (a), karena ini mewakili aspek fisik dari kalbu.
Lathifah as-Sirr, Latifah Rahasia, di bawah wewenang Sayyidina Nuh (a), karena ini melambangkan bahtera yang diselamatkan dari Samudra Kegelapan dan diselamatkan dari banjirnya kebodohan.
Lathifah Sirr as-Sirr, Latifah Rahasia dari Rahasia, berada di bawah wewenang dua orang Nabi, yaitu: Ibrahim (a) dan Musa (a), yang melambangkan Hadirat Ilahiah Allah di bumi. Tuhan menjadikan Ibrahim (a) sebagai simbol dari semua khalifah-Nya di bumi, sebagaimana disebutkan dalam ayat penciptaan manusia: Innii jaa`ilun fi ‘l-ardhi khaliifah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi. [2:30]. Musa (a) telah diberkati dengan pendengaran dan berbicara kepada Allah yang merupakan dua 2 atribut penting dari ilmu.
Lathifah al-Khafa, Latifah Yang Tersembunyi, di bawah wewenang Sayyidina Isa (a), karena hubungannya dengan ilmu yang tersembunyi, beliau melambangkan pemahaman spiritual.
Lathifah al-Akhfa, Latifah Yang Paling Tersembunyi, berada di bawah Hakikat Sayyidina Muhammad (s), karena beliau dianugerahi sebuah maqam yang tinggi di atas semua Nabi dan Rasul-Nya. Beliau adalah yang diangkat pada malam Isra’ Mi’raj menuju Hadirat Ilahi. Ini dilambangkan oleh Kalimat Tauhid, karena tidak ada Laa ilaha illAllah tanpa Muhammadun Rasulullaah (s).
Cahaya-cahaya dari maqam-maqam ini telah ditunjukkan kepadaku. Cahaya dari kalbu adalah kuning, cahaya dari Sirr adalah merah, cahaya dari Sirr as-Sirr adalah putih, cahaya dari Khafa adalah hijau dan cahaya dari Akhfa adalah hitam.
Kelima Maqam itu merupakan pusat dari Sembilan Titik, yang melambangkan lokus bagi wahyu dan ilham dari Hadirat Ilahi di dalam kalbu manusia. Sembilan Titik ini terletak di dada setiap orang dan mereka melambangkan sembilan maqam tersembunyi yang berbeda-beda pada setiap orang. Setiap maqam terhubung dengan seorang wali, yang mempunyai wewenang untuk mengontrol titik itu.
Jika seorang pencari dalam Tarekat Naqsybandi dapat menyingkap hijab dan membuat kontak spiritual dengan awliya yang berwewenang atas titik-titik ini, ia dapat diberikan ilmu dan kekuatan untuk menggunakan kesembilan titik ini.
Persyaratan terkait untuk membuka kesembilan titik ini hanya dapat disinggung secara tak langsung. Maqam pertama, berkenaan dengan kekuataan untuk memenjarakan ego. Kunci dari maqam kedua adalah zikir dengan Laa ilaha ill-Allah. Maqam ketiga berisi penyaksian (musyahadah) ukiran Nama Allah (swt) di dalam kalbu (naqsy). Maqam keempat berhubungan dengan makna ukiran pada kalbu itu. Maqam kelima adalah menanamkan ukiran itu dengan zikir kalian. Pada maqam keenam kalbu atau jantung dibuat untuk berhenti berdetak atas perintahnya dan berdetak kembali atas perintahnya. Maqam ketujuh adalah menjadi awas atau menyadari berapa kali seseorang menghentikan jantungnya berdetak dan berapa kali ia membuat jantungnya kembali berdetak.
Pada maqam kedelapan seseorang menyebutkan kalimat Muhammadun Rasulullah (s) setiap kali menghentikan detak jantungnya dan setiap kali memulihkannya lagi. Maqam kesembilan adalah kembali ke dalam gua kalian, sebagaimana Allah berfirman di dalam Surat al-Kahfi, “Dan jika kamu menjauhkan diri dari mereka dan apa yang mereka sembah selain dari Allah (swt), maka bersembunyilah kamu ke dalam gua, niscaya Tuhan kamu akan mencurahkan kepada kamu rahmat-Nya... [18:16].”
Gua itu adalah Hadirat Ilahi. Di sini seseorang mengucapkan doa Nabi (s), “Ya Allah Engkau adalah tujuanku dan Rida-Mu yang kuinginkan (Ilahi Anta maqshuudi wa ridhaaka mathluubi).” Kalbu atau jantung, ketika melakukan siklusnya antara berhenti dan kembali memompa/berdetak, ia hadir pada tingkatan Inti dari Hadirat Ilahi. Karena Inti Ilahiah itu adalah sumber bagi seluruh makhluk, kalbu itu akan menyatu dengan seluruh makhluk terkecil di alam semesta ini. Kalbu yang telah mencapai rahasia-rahasia dari kesembilan titik ini akan mampu melihat segala sesuatu, mendengar segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, merasakan segala sesuatu dan menjadi peka terhadap segala sesuatu, “Sampai Dia (Allah) akan menjadi telinganya untuk mendengar, matanya untuk melihat, lidahnya untuk berbicara, tangannya untuk menggenggam, dan kakinya untuk berjalan. Ia menjadi ‘seperti Tuhan’, ia hanya perlu mengatakan, ‘Kun! Jadilah!’ dan itu akan terjadi.”
Surat Wasiat Syekh Syarafuddin (q)
Pada hari-hari terakhir beliau, Syekh Syarafuddin (q) menulis surat wasiatnya dan memberikannya kepada Syekh `Abdullah (q). Saat itu beliau meramalkan, “Sepeninggalku, sebuah kesempatan akan datang padamu untuk meninggalkan Turki. Ambillah kesempatan itu, karena tugasmu bukan di sini, tetapi di luar Turki.”
Syekh `Abdullah (q) mempunyai dua orang putri dari istrinya yang bernama Halima. Yang tertua bernama Rabia dan adiknya bernama Madiha. Sembilan anak lainnya tidak bertahan hidup. Begitu Syekh Syarafuddin (q) wafat, sebuah utusan Raja Faruq dari Mesir datang untuk menyampaikan belasungkawa dari Raja, karena Syekh Syarafuddin (q) mempunyai banyak pengikut dari Mesir. Salah satu pangeran yang ikut dalam delegasi itu tertarik pada putri Syekh `Abdullah (q), Madiha, dan ingin melamarnya.
Syekh `Abdullah (q) menyadari bahwa ini adalah kesempatan untuk meninggalkan Turki sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Syekhnya. Ia segera menerima lamaran itu, dan tanpa keberatan dari putrinya, pernikahan pun segera dilangsungkan. Tak lama kemudian ia menerima undangan dari menantunya untuk datang ke Mesir. Ia mengatakan,
Aku pergi ke Mesir dan tinggal bersama putriku. Hubungan antara putriku dengan suaminya tidak begitu baik. Tidak berapa lama pernikahan itu pun berakhir pada perceraian. Aku melaksanakan nasihat Syekhku untuk mengambil kesempatan itu. Bersama istri dan putri-putriku, aku berangkat dari Alexandria menuju Latakia dengan kapal. Dari Latakia, aku pergi ke Aleppo, di mana kami mendarat hanya dengan uang 10 piastres (10 sen) di dalam saku dan tidak ada perbekalan sama sekali. Kami menuju masjid untuk Salat Maghrib. Di sana ada seorang pria mendekati kami dan berkata, “Wahai Syekhku, jadilah tamuku.” Ia membawa kami ke rumahnya. Aku menganggap bahwa ini adalah salah satu keramat Syekhku, di mana Allah membukakan sebuah pintu bagi kami, dari Mesir ke Aleppo.
Untuk sementara Syekh `Abdullah (q) tinggal di Aleppo, orang-orang di sana merasa terhormat dengan keberadaannya. Para ulama berdatangan, mereka berkumpul dan mendengarkan nasihatnya, mereka kagum dengan perkataan dan ilmunya. Mereka menyebutnya sebagai Yang Membangkitkan Agama.
Dari sana ia kemudian pindah ke Homs dan sempat berziarah ke masjid dan makam sahabat Nabi (s), Khalid bin Walid (r). Ia hanya tinggal sebentar di Homs, selanjutnya ia pindah ke Damaskus, di distrik Maidan, dekat dengan makam Sa`ad ad-Din Jibawi (q), seorang wali dari keluarga Nabi (s). Di sana ia mendirikan zawiya pertamanya, sebagai cabang dari Tarekat Naqsybandi yang telah hilang dari Damaskus setelah dibawa oleh Syekh Khalid al-Baghdadi (q) bersama khalifahnya Syekh Ismail (q) ke India, Baghdad, dan Daghestan. Sekarang tarekat ini dikembalikan lagi ke Damaskus.
Kedua putrinya kemudian menikah. Rabi’a mempunyai empat anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Madiha menikah dengan Syekh Tawfiq al-Hibri, salah satu ulama besar di Lebanon.
Dalam waktu singkat banyak orang memenuhi zawiyahnya. Mereka datang dari berbagai kota dan berbagai latar belakang: Sufi, orang-orang dari pemerintahan, pengusaha dan masyarakat umum. Murid-murid berdatangan setiap hari untuk duduk di pintu khaniqahnya. Setiap hari mereka menyajikan makanan untuk ratusan orang, dan banyak juga orang yang menginap di sana.
Kemudian ia menerima perintah spiritual untuk pindah ke Jabal Qasyun. Ini adalah tempat tertinggi di Damaskus, seluruh pemandangan kota dapat terlihat dari sana. Dengan bantuan dari dua murid seniornya, yaitu Syekh Muhammad Nazim `Adil (q) dan Syekh Husein `Ali (q), ia membangun sebuah rumah. Rumah dan masjid di sampingnya masih berdiri sampai sekarang, dan masjid itu juga merupakan tempatnya dimakamkan. Dalam suatu penglihatan ketika ia membangun masjid itu, ia melihat Nabi (s) bersama Abu Bakar ash-Shiddiq (r), `Ali (r), Syah Naqsyband (q) dan Ahmad al-Faruqi (q) datang dan meletakkan beberapa tiang penanda bentuk dan lokasi dinding masjid. Setelah penglihatan itu berakhir, tanda-tanda itu dapat terlihat dan orang-orang yang hadir pun bisa melihatnya. Selama bertahun-tahun, ratusan ribu orang telah mendatangi masjid itu untuk penyembuhan, salat, praktik-praktik ibadah dan mempelajari berbagai ilmu eksternal/lahir dan internal/batin.
Sering kali ia diperintahkan oleh Nabi (s) untuk melaksanakan khalwat-khalwat lainnya. Waktunya bervariasi antara 40 hari hingga setahun. Ia telah melakukan lebih dari dua puluh khalwat sepanjang hidupnya. Beberapa diantaranya dilaksanakan di Damaskus, Jordan, Baghdad di makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), dan banyak yang dilakukan di Madinah. Dalam setiap khalwat, kekuatan spiritual dan derajatnya semakin tinggi.
Suatu hari ia mengirimkan pesan melalui Syekh Nazim (q) untuk Syarif `Abdullah, Raja Yordania pada waktu itu. Ia adalah salah satu murid Syekh. Pesannya berbunyi, “Jangan melakukan salat berjamaah khususnya pada hari Jumat, karena aku mendapat penglihatan, bahwa kau akan terbunuh.” Namun Raja tidak mengindahkan peringatan itu, dan seminggu kemudian ia tewas ketika kembali dari Salat Jumat.
Bertahun-tahun kemudian, seorang sepupu kami mendapat kecelakaan karena terjadi penembakan di Beirut. Ia dibawa ke ruang gawat darurat untuk dioperasi. Kami menemui Grandsyekh, karena khawatir dengan keadaannya. Baru saja kami sampai dan hendak memberitahunya, ia sudah berkata, “Kembalilah! Sudah tertulis bahwa dia akan meninggal dunia, namun dengan doa-doaku dia akan hidup. Operasi yang dilakukan akan berhasil.” Ketika kami kembali, sepupu kami sudah dalam keadaan koma dan mereka membawanya untuk dioperasi. Kami memberi tahu ibunya tentang apa yang dikatakan oleh Grandsyekh untuk memberinya harapan. Besoknya, sepupu kami telah siuman. Ia mengatakan, “Aku melihat Grandsyekh datang dan mengoperasiku. Itulah yang telah menyelamatkan aku.”
Syekh `Abdullah (q) sering berbicara tentang qadhaa’ atau hal-hal yang telah ditentukan oleh Allah (swt) sebelumnya. Ia mengatakan,
Telah diketahui bahwa ada dua macam qadhaa’, atau takdir Allah. Yang pertama adalah qadhaa’an mu`allaq, yaitu takdir yang bergantung kepada sesuatu atau dapat berubah. Hal ini sudah tertulis di Loh Mahfuz. Hal ini akan bervariasi tergantung pada kemauan dan perilaku, sebab dan akibat. Semua awliya dapat mengubah qadhaa’ semacam ini bagi murid-muridnya untuk melatih mereka dan mempengaruhi takdirnya dengan mengubah perilaku dan perbuatan mereka. Wewenang untuk mengubah qadhaa’an mu`allaq ini diberikan kepada Syekh untuk murid-muridnya karena mereka terhubung satu sama lain dengan Kehendak Ilahi.
Qadhaa yang kedua terkandung di dalam Ummul Kitab, sebagaimana disebutkan dalam ayat: Allah (swt) menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan di Sisi-Nya Ummul Kitab [13:39], dan ini disebut qadhaa’an mubram, yang artinya takdir Allah yang pasti berlaku. Para awliya tidak pernah mencampuri qadhaa’an mubram yang berada di Tangan Sang Pencipta.
Allah memberi wewenang untuk mengubah qadhaa’an mubram ini hanya kepada sembilan awliya yang mempunyai posisi tertinggi dalam Hadirat Ilahi, dengan izin dari Nabi (s) yang merupakan orang pertama yang mendapat kekuatan itu dari Allah. Kesembilan awliya itu mengontrol Sembilan Titik kesadaran manusia yang berhubungan dengan maqam-maqam yang berbeda dalam kenaikan (mi’raj) seseorang dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi. Allah (swt) memberi kesembilan awliya ini, yang jumlahnya tidak pernah berubah dari zaman Nabi (s) sampai sekarang, kekuatan untuk menggunakan Sulthan adz-Dzikir.
Setiap orang tahu bahwa zikir terutama adalah pengulangan dari La ilaha ill-Allah dan itu adalah yang dipraktikkan oleh semua tarekat, termasuk Naqsybandi. Namun Sulthan adz-Dzikir adalah zikir yang sama sekali berbeda.
Allah berfirman, “Innaa nahnu nazzalnaa ‘dz-dzikra wa innaa lahuu la haafizhuun” “Sesungguhnya Kami yang menurunkan zikir dan sesungguhnya Kami memelihara zikir itu dalam dirimu” [15:9]. Zikir yang dimaksud di sini adalah kitab suci Al-Qur’an. Zikir kesembilan awliya ini di samping La ilaha ill-Allah, adalah Rahasia dari Al-Qur’an. Mereka membaca Al-Qur’an, tetapi bukan seperti kita membacanya dari awal sampai akhir, tetapi mereka membacanya dengan semua rahasianya dan hakikat di dalamnya karena Allah berfirman, “Wa laa rathbin wa laa yaabisin illaa fii kitaabin mubiin”, “Tidak ada sesuatu yang basah atau yang kering melainkan sudah tertulis di dalam sebuah kitab yang nyata.” [6:59]. Tidak ada satu pun ciptaan Allah di seluruh alam semesta ciptaan-Nya, dengan segala rahasia mereka yang belum pernah disebutkan sebelumnya di dalam Kitab Yang Nyata, Al-Qur’an.
Awliya yang membaca Qur’an dalam Sulthan adz-dzikir dengan demikian membacanya dengan seluruh rahasia dari setiap makhluk, dari awal sampai akhir. Allah memberikan setiap huruf Qur’an dua belas ribu ilmu, menurut Sembilan Wali Tertinggi dalam Tarekat Naqsybandi (inilah pertama kalinya Syekh membuka rahasia ini). Qur’an berisi sekitar 600.000 huruf, jadi untuk setiap huruf, para awliya ini mampu mengambil 12.000 ilmu!
Setiap wali dari kesembilan wali ini juga berbeda levelnya satu sama lain. Kita bisa melihat salah satu di antara mereka, misalnya ada yang mampu membaca Qur’an dengan kekuatan Sulthan adz-Dzikir, mampu menyerap 12.000 makna dalam setiap huruf, sekali dalam hidupnya. Yang lainnya mampu melakukannya tiga kali seumur hidupnya. Yang ketiga misalnya mampu melaksanakan sembilan kali seumur hidupnya. Dan yang lain lagi mampu melakukannya 99 kali dalam hidupnya.
Rahasia ini berbeda dari satu wali dengan wali lainnya. Syah Naqsyband (q) mampu melakukannya 999 kali sepanjang hidupnya. Grandsyekh kita, Syekh Ahmad al-Faruqi (q) mampu membacanya 9.999 kali. Dan Syekh Syarafuddin (q) mampu membacanya dalam 19.999 kali sepanjang hidupnya.
Di sini Syekh `Abdullah (q) berhenti. Namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “Dalam setiap napas, Grandsyekh `Abdullah Daghestani (q) menghembuskan napas dengan Sulthan adz-Dzikir dan menghirup napas dengan Sulthan adz-Dzikir. Ia biasa mengkhatamkan Qur’an dua kali dalam setiap napasnya.”
Sebuah Pertemuan dengan John Bennett
Di antara banyak pengunjung dan para pencari di pintu Grandsyekh ada seorang Inggris yang bernama John G. Bennett. Dalam beberapa bukunya, ia menceritakan tentang pertemuannya dengan Grandsyekh `Abdullah (q). Di bawah ini adalah bagian dari perkataannya yang dikumpulkan dari buku Concerning Subud dan Witness.
Di dalam buku Concerning Subud, Bennett menulis, ”Syekh `Abdullah (q) adalah seorang wali sejati di mana seseorang segera bisa merasa dapat mempercayainya sepenuhnya.” Selanjutnya dalam Witness ia menjelaskan lebih rinci mengenai pertemuannya:
Syekh menungguku di atas atap rumahnya. Rumah itu terletak di atas kota dengan panorama yang sangat-sangat indah… Sejak awal aku merasa nyaman, kemudian dalam waktu singkat aku mengalami perasaan yang sangat membahagiakan yang sepertinya memenuhi semua tempat itu. Aku menyadari bahwa aku sedang berada dalam hadirat orang yang sungguh-sungguh baik.
Setelah mengucapkan salam seperti biasa dan pujian terhadap bahasa Turkiku, ia mengejutkan aku dengan pertanyaannya, “Mengapa engkau tidak membawa saudara perempuan yang bersamamu? Aku mempunyai sebuah pesan untuknya juga, selain untukmu.” Tamapaknya tidak ada seorang pun yang pernah mengatakan kepadanya tentang saudariku, Elizabeth. Kami langsung datang ke rumahnya, dan Dadji, pemanduku telah pergi meninggalkan aku di pintunya tanpa berbicara dengan siapapun. Aku menjawabnya bahwa karena ia seorang Muslim, aku berpikir ia tidak berkenan untuk berbicara dengan seorang wanita. Ia berkata dengan sederhana, “Mengapa tidak? Peraturan dan adat istiadat adalah untuk perlindungan bagi orang yang bodoh; aku tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Lain kali, jika engkau melewati Damaskus, maukah engkau membawanya kepadaku?” Aku berjanji untuk melakukannya bila ada kesempatan.
Kami lama duduk terdiam, melihat pemandangan kota kuno di bawahnya. Ketika ia mulai berbicara, aku merasa sulit untuk bangkit dari lamunanku. Ia mengatakan, “Aku sedang menanti kedatangan seseorang pada hari ini, tetapi aku tidak tahu kalau itu adalah dirimu. Beberapa malam yang lalu, seorang malaikat datang ke kamarku, dan mengatakan bahwa engkau akan datang menemuiku dan aku akan memberikan tiga pesan kepadamu. Engkau telah memohon petunjuk Tuhan mengenai istrimu. Ia berada dalam penjagaan Tuhan. Engkau telah berusaha untuk menolongnya, tetapi ini adalah hal yang salah. Engkau telah mengganggu pekerjaan yang sedang dilakukan Tuhan terhadap rohnya. Tidak ada alasan untuk mengkhawatirkannya, dan tidak ada gunanya bagimu untuk mencoba mengerti. Pesan kedua adalah tentang rumahmu. Engkau memohon kepada Tuhan agar diberi petunjuk, apakah harus mengikuti kata hatimu atau mengikuti orang lain. Kau harus percaya pada diri sendiri. Kau akan dianiaya oleh orang Armenia, tetapi jangan takut. Kau harus menarik banyak orang untuk mengikutimu, jangan ragu-ragu walaupun hal itu membuat orang lain marah.”
Ia kembali terdiam. Aku kagum dengan 2 hal yang disampaikan tadi; memang benar bahwa aku telah berdoa agar diberi petunjuk terhadap kedua pertanyaan itu.
Pesan terpenting adalah yang terakhir. Kau harus tahu bahwa ada kejahatan besar di dunia ini. Manusia telah menyerahkan diri mereka pada pemujaan materi, dan mereka telah kehilangan kemauan dan kekuatan untuk menyembah Tuhan. Tuhan selalu mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk menunjukkan jalan keluar dari situasi semacam itu, dan Dia telah melakukannya lagi pada zaman sekarang. Seorang utusan telah ada di bumi, dan identitasnya telah banyak diketahui orang. Tidak lama lagi ia akan datang ke Barat. Orang-orang telah dipilih untuk mempersiapkan jalan baginya... dan telah diperlihatkan kepadaku bahwa engkau adalah salah satu di antara orang-orang pilihan itu… Utusan itu akan datang ke negerimu dan bahkan ke rumahmu…”
“Jangan sampai kau berhenti menyembah Tuhan, hanya saja tidak perlu menunjukkannya. Di luar bersikaplah seperti yang lain. Tuhan telah menunjuk dua malaikat untuk menjagamu. Yang pertama akan membimbing dan mengarahkanmu sehingga engkau tidak membuat kesalahan seperti dulu lagi. Yang kedua akan melakukan kewajiban-kewajiban agama yang tidak dapat kau lakukan untuk dirimu.
Aku menyarankan agar engkau banyak mengucapkan La ilaha ill-Allah di dalam kalbumu, yang artinya tunduk hanya kepada Allah (swt) semata. Ketika aku mengatakan bahwa ini adalah pernyataan keimanan bagi seorang Muslim, ia menjawab bahwa pada prinsipnya ajaran umat Kristen dan Islam adalah sama, karena fondasi dari semua agama adalah bahwa manusia tidak boleh mengikuti kehendaknya sendiri, melainkan pada Kehendak Tuhan...”
Ketika Ia Meninggalkan Kehidupan ini
Kami mengalami berbagai peristiwa yang luar biasa bersama Grandsyekh kami. Kehidupannya penuh dengan aktifitas yang bermanfaat. Ia selalu tersenyum dan tak pernah marah. Ia tidak mempunyai penghasilan, namun demikian makanan selalu berlimpah di rumahnya. Bagaimana ia memperoleh tunjangan hidup, adalah pertanyaan di dalam pikiran semua orang. Orang-orang akan berdatangan secara mendadak, kadang-kadang jumlahnya mencapai 200 orang, tetapi mereka akan selalu mendapati makanan yang tersedia dan siap disantap bagi mereka. Kami sering bertanya-tanya, “Dari mana asal nasi, roti dan daging ini?”
Aku jarang melihatnya tidur di malam hari. Di siang hari, ia selalu menerima tamu-tamu dan malamnya duduk di kamar pribadinya membaca Qur’an, Dalail al-Khayrat, mengamalkan zikir pribadinya atau membaca shalawat Nabi (s). Ia sering melakukan salat setelah tengah malam hingga subuh. Ia membantu orang-orang yang membutuhkan semampunya dan ia menampung banyak orang yang tidak mempunyai rumah dalam masjidnya. Jiwa kemanusiaannya kuat. Lidah ini rasanya tidak mampu menggambarkan akhlak dan perilaku baiknya.
Hingga pada suatu hari di tahun 1973 ia mengatakan, “Nabi (s) memanggilku. Aku harus pergi dan menemuinya. Beliau (s) mengatakan, ‘Kau tidak dapat menemuiku sampai kau menjalani operasi pada matamu,’” mengacu pada mata kirinya yang tidak begitu baik. Ia memberi tanda pada kami bahwa ia akan meninggalkan kami, namun kami tidak mampu menangkapnya. Ia hidup di dalam sanubari kami dan hidup di dalam semua orang yang pernah mengenalnya, bahkan kucing-kucing yang selalu berada di sekitarnya.
Setelah ia menjalani operasi mata, ia tidak mau makan. Kami membujuknya agar ia mau makan, namun ia menolaknya dengan mengatakan, “Aku sedang berada dalam khalwat sepenuhnya, karena Nabi (s) memanggilku.” Ia hanya berkenan menerima roti kering yang dilembutkan dalam air, sekali sehari. Ia berkata, “Aku tak mau hidup lebih lama lagi. Aku ingin bergabung bersama Nabiku (s) dan berkumpul bersamanya. Beliau (s) memanggilku, Allah (swt) memanggilku.” Ini seperti petir yang menyambar bagi kami, tetapi kami masih belum bisa mempercayainya. Ia kemudian menulis sebuah wasiat yang menyatakan, “Hari Ahad depan aku akan wafat.” Berarti tanggal 30 September 1973 atau tanggal 4 Ramadan 1393 H. Semua orang merasa terkejut dan merasa takut menghadapi apa yang akan terjadi pada hari itu.
Saat itu pukul sepuluh, pada hari Ahad, tepat di saat yang telah diprediksikannya, kami semua duduk di kamarnya. Ia berkata kepada saya, ”Rasakan detak jantungku.” Saya merasakan detak jantungnya, dan itu lebih dari 150. Lalu ia berkata, “Wahai anakku, ini adalah detik-detik terakhir dalam hidupku. Aku tidak ingin ada orang yang berada di sini. Semua orang harus pergi ke aula pertemuan.” Di kamar itu hanya ada 10 orang. Pada saat itu, dua orang dokter datang, yang pertama adalah kakak saya dan yang satunya lagi seorang teman kami. Mereka berdua adalah ahli bedah. Grandsyekh tidak memperbolehkan orang lain berada di kamarnya, kecuali keluarganya.
Kami mendengar putrinya menjerit, “Ayahku telah wafat, ayahku telah wafat.” Kami semua berlari menuju kamarnya dan melihat Grandsyekh sudah tidak bergerak lagi. Segera kakak saya memeriksa denyut jantungnya dan tekanan darahnya, tetapi keduanya tidak terdeteksi. Ia berlari dengan histeris menuju mobil untuk mengambil suntikan dengan obatnya, dan beberapa menit kemudian ia kembali lagi. Ia kembali masuk ke kamar Grandsyekh dan ingin menyuntik di bagian jantungnya agar kembali berdenyut. Dokter yang lain mengatakan, “Apa yang kau lakukan? Syekh sudah wafat lebih dari 7 menit yang lalu. Hentikan kebodohanmu.” Namun kakak saya tidak mau berhenti dan bersikeras untuk menyuntiknya.
Kemudian Grandsyekh membuka matanya, mengangkat tangannya dan berkata dalam bahasa Turki, “Burak!” yang artinya, “Hentikan!”
Semua orang terkejut. Mereka tidak pernah mendengar ada jenazah yang bisa berbicara sebelumnya. Saya tidak akan melupakan hal ini sepanjang hidup saya. Semua yang hadir, profesor dan dokter, mereka pun tidak akan melupakannya. Kakak saya lalu meletakkan peralatannya kembali. Kami berdiri di sana dalam keadaan takjub, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Apakah ia sudah wafat atau belum? Apakah ia hanya menyembunyikan diri sementara lalu kemudian kembali lagi? Itulah rahasia yang dianugerahkan oleh Allah kepada kekasih-kekasih-Nya dan wali-Nya yang menempuh perjalanan di dalam Kerajaan-Nya, di dalam Cinta-Nya, di dalam Rahasia-Rahasia-Nya. Itu adalah hari yang tak terlupakan.
Berita mengenai wafatnya Grandsyekh bagaikan tornado yang hebat, berputar ke seluruh Damaskus, Aleppo, Jordan, dan Beirut. Orang-orang datang dari berbagai penjuru untuk melihatnya terakhir kalinya. Kami memandikannya, dan dari jasad sucinya tercium wangi yang harum. Kami mempersiapkannya untuk salat janazah dan pemakaman keesokan harinya. Seluruh ulama Damaskus menghadiri pemakaman itu. 400 ribu orang turut dalam salat jenazah untuknya. Orang-orang berbaris dari rumah mereka hingga ke Masjid Ibnu Arabi, di mana jenazahnya dibaringkan.
Ketika kami kembali ke rumahnya setelah salat jenazah, kami melihat peti jenazah meluncur di antara kepala-kepala para pelayat tanpa ada bantuan siapapun, bergerak dari masjidnya menuju tempat pemakaman. Perlu waktu 3 jam untuk kembali dari Masjid Muhyiddin Ibnu Arabi (q) menuju Masjid Grandsyekh, padahal biasanya hanya ditempuh dalam waktu 20 menit karena padatnya kerumunan para pelayat di jalan.
Semua orang menangis, mereka tidak ingin Syekh dimakamkan. Tidak ada yang dapat mempercayainya dan tidak ada yang mau menerimanya. Hal itu membuat kami ingat dengan keadaan para Sahabat ketika ditinggalkan oleh Nabi (s). Kami memahami mengapa Sayyidina `Umar (r), Sayyidina `Utsman (r), dan Sayyidina `Ali (r) tidak menerima bahwa Nabi (s) telah wafat. Kami mengalami keadaan yang sama, bahkan kami membayangkan bagaimana bisa Sayyidina Abu Bakar (r) tidak merasakan hal yang sama.
Semua pejabat pemerintah dan para ulama datang ke masjid menunggu pemakamannya. Tiba-tiba ada sebuah pesan yang disampaikan kepada imam yang mengatakan, “Jangan menguburkan Grandsyekh sampai Syekh Nazim tiba.” Tak seorang pun dapat mempercayai pesan itu, karena tidak ada cara untuk mengontak Syekh Nazim (q) yang berada di Siprus. Tidak ada telepon, mesin faks, bahkan telegram pun memerlukan waktu 2 hari. Tidak ada yang percaya bahwa pesan itu adalah nyata. Namun karena cinta kami kepada Syekh, kami senang untuk menunda pemakamannya dan menunggu sampai Syekh Nazim (q) tiba.
Saat itu adalah Ramadan, semua orang berpuasa. Para ulama dan masa menjadi gelisah. Orang-orang berkata bahwa mereka ingin pergi. Kami mengatakan bahwa mereka bebas untuk pergi kalau mau, tetapi kami tetap akan menunggu. Setelah beberapa saat, sebagian besar orang lalu pergi, dan hanya pengikutnya yang paling setia yang masih berada di sana. Sebelum matahari terbenam, Syekh Nazim (q) terlihat menaiki tangga. Bagaimana ia bisa sampai dengan cepat, tidak ada yang tahu dan hal itu masih menjadi misteri sampai sekarang.
Syekh Nazim (q) membawa jenazah Grandsyekh kembali ke dalam masjid dan melakukan salat jenazah untuknya. Ia menguburkan jenazah Grandsyekh dengan tangannya sendiri. Ketika ia mengangkat kain kafan dari wajahnya, kami mencium wangi cendana, amber, dan musk yang tidak pernah kami dapati sebelumnya. Ia lalu memerintahkan kami semua untuk berbuka puasa. Syekh Nazim (q) meminta kami untuk keluar. Hanya saya dan saudara saya yang tetap berada di sana, menyaksikan dari dari jendela untuk melihat apa yang terjadi di dalam.
Ia berdiri di bagian kepala dari makam Grandsyekh, seperti sedang salat. Lalu dalam sekejap ia menghilang. Peristiwa ini menambah kejutan bagi kami setelah berbagai kejutan yang terjadi. Tidak ada kata yang mampu melukiskan apa yang kami rasakan. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba kami melihat Syekh Nazim (q) muncul kembali di tempat yang sama. Setelah Syekh Nazim (q) keluar, kami segera berlari ke pintu. Ia berkata, “Apa! Kalian masih di sini? Belum berbuka puasa? Baiklah, lebih baik bersamaku!” Kami pun turun dan berbuka puasa bersamanya. Syekh Nazim (q) kembali ke Beirut malam itu juga, kemudian naik pesawat menuju Siprus.
Ramalan Syekh `Abdullah (q)
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q), naqiib al-ummah, semoga Allah memberkahi ruhnya, meramalkan berbagai peristiwa, sebagian telah terjadi dan sebagian lagi masih kita tunggu.
Pada tahun 1966, ia mengatakan, “Tahun depan akan terjadi perang antara Israel dan Arab. Dan Arab akan mengalami kekalahan.” Ia meramalkan pula bahwa akan terjadi lagi perang antara keduanya. Sebelum wafat ia mengatakan, “Akan terjadi sebuah perang besar di bulan ini antara Arab dan Israel.” Hal ini menjadi kenyataan. Pada tanggal 3 Oktober, 3 hari setelah wafatnya, Arab dan Israel kembali berperang.
Suatu hari putri Grandsyekh, Madiha dan suaminya berpikir untuk membeli sebuah rumah di Beirut, tetapi Grandsyekh mengatakan, ”Jangan!” Ia tetap bersikukuh untuk membelinya, tetapi Grandsyekh tetap berkata, “Jangan!” Madiha tetap ingin membelinya, tetapi Grandsyekh tetap melarangnya sambil mengatakan, “Beirut akan dipenuhi dengan pertumpahan darah. Setiap rumah akan terkena imbas dari pertumpahan darah itu dan tidak akan ada yang bisa melarikan diri.” Ia mengatakan hal ini pada tahun 1972 dan peristiwa itu terjadi pada 1975. Sebelum wafat, ia mengatakan kepada kami, ”Aku melihat kalian di Tripoli, di utara Lebanon.” Inilah caranya menyarankan kami agar pindah dari Beirut.
Ia berkata, “Aku melihat Inggris memasuki Islam.” Ia meramalkan bahwa keluarga kerajaan di Eropa akan mendukung Islam, karena mereka masih mempunyai darah keturunan Arab.” Hal ini akan menarik mereka menuju spiritualitas dan menimbulkan berbagai jenis aliran spiritual, dan menarik mereka menuju Hadirat Tuhan.”
Pada masalah terkait, ia mengatakan, “Ketika John Bennett bertemu denganku dan mengucapkan syahadat, ia bertanya apa yang dapat dilakukannya. Aku mengatakan agar merahasiakan syahadatnya. Dengan demikian ia dapat membawa banyak orang di negerinya, Inggris untuk mengucapkan syahadat dan membuat mereka tertarik dengan spiritualitas.
Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada usia lebih dari 85 tahun.
Cina berada di bawah wewenang seorang wali besar yang akan menjadi salah satu awliya besar di zaman Imam Mahdi (a) dan Nabi Isa (a). Namanya adalah `Abdur Ra’uf al-Yamani (q). Melalui pengaruhnya, Cina akan menandatangani kesepakatan dengan Barat untuk tidak menggunakan senjata nuklirnya. Cina akan terpecah menjadi negara-negara kecil. Akan terjadi berbagai masalah di Timur Jauh, di Semenanjung Korea, dan sebuah kekuatan besar akan mengintervensi untuk meredakannya.
Sebuah negara non Arab di Timur Tengah akan menyerang wilayah Teluk Persia. Hal ini akan menyebabkan seluruh dunia ketakutan bahwa sumber minyak bumi akan terputus.
Ia mengatakan, “Kairo akan tenggelam di dalam air.” Beberapa waktu kemudian Rusia membangun Bendungan Aswan, berisi air berjumlah besar dan baru-baru ini ditemukan bahwa tiang fondasinya longgar karena terkikis. Ia mengatakan,
Siprus akan tenggelam di bawah laut, dan Gunung Olympus dekat Bursa akan meletus. Di bawahnya terdapat dua elemen, gas dan api yang sampai sekarang masih terpisah, dan para awliya selalu berdoa agar kedua elemen ini tidak tercampur. Dari letusannya, ratusan ribu orang akan terluka dan kehilangan tempat tinggalnya.
Akan terjadi perang di Wilayah Teluk, di mana api yang besar akan muncul dan melibatkan seluruh dunia.
Jerman dan Inggris akan memimpin seluruh Eropa. Di Jerman ada seorang wali, yang ditunjuk oleh Mahdi (a) dan Nabi Isa (a). Tugasnya adalah menghidupkan dan melatih orang-orang di dalam spiritualitas. Wali itu tersembunyi namun ia berada di antara mereka.
Akan terjadi suatu perubahan besar dalam pendekatan Arab di bidang politik, dan satu rezim yang kuat akan mengubah Arab menjadi pemerintahan yang lebih baik.
Sebelum ia wafat, di dalam sebuah pertemuan pribadi dengan beberapa murid terdekatnya, Syekh `Abdullah (q) mengatakan,
Akan terjadi perdamaian, dan Amerika akan menjadi pemimpin pembicaraan mengenai perdamaian, hal itu akan mengakhiri peperangan antara Arab dan Israel. Hal ini akan terjadi. Tandanya adalah runtuhnya Komunisme dan Rusia pecah menjadi banyak bagian. Tidak ada kekuatan di dunia, kecuali Amerika. Banyak negeri Arab yang akan berpihak ke Amerika. Konflik akan menjadi reda sepenuhnya, Arab dan Israel akan hidup damai. Lambat laun seluruh konflik di bumi akan berakhir dan perdamaian terjadi di mana-mana. Amerika akan memimpin hal itu. Semua orang menjadi bahagia dan tidak ada orang yang mengharapkan perang akan terjadi lagi.
Tiba-tiba, di tengah-tengah situasi damai itu, sebuah serangan terjadi di Turki oleh negara tetangganya dan perang akan dimulai lagi, disusul oleh sebuah invasi ke Turki oleh negara tetangganya itu. Ini membuat ancaman bagi pangkalan Amerika di Turki dan mengakibatkan perang yang lebih besar terjadi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan parah di muka bumi dan terjadi perang mengerikan. Selama perang itu, Mahdi (a) akan muncul dan Nabi Isa (a) akan kembali. Tujuannya adalah membawa spiritualitas, perdamaian dan keadilan untuk mengalahkan penindasan, ketakutan dan ancaman. Cinta dan kebahagiaan serta perdamaian akan memenuhi bumi, dengan kekuatan Mahdi (a) dan Nabi Isa (a) atas Kehendak Allah (swt).
Rahasia dari Rantai Emas diteruskan kepada Sang Matahari dari Matahari, Pemimpin bagi orang-orang yang didekatkan, Sang Penemu Rahasia-Rahasia, yaitu Syekh Muhammad Nazim Adil al-Qubrusi ar-Rabbani an-Naqsybandi al-Haqqani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/12RctIIU-nwMg8c7eWLdbN5gasHDVXOiW7_vgM6bWpRE/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
40. Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani (q)
Semoga Allah Mensucikan Ruhnya
Ia dilahirkan di Larnaka, Siprus, pada hari Ahad, tanggal 23 April 1922 – atau 26 Sya`ban 1340 H. Dari sisi ayah, ia adalah keturunan Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), pendiri Tarekat Qadiriah. Dari sisi ibunya, ia adalah keturunan Jalaluddin Rumi (q), pendiri Tarekat Mawlawiyyah, yang juga merupakan keturunan Sayyidina Hasan (a) dan Hussein (a), cucu Nabi Muhammad (s). Selama masa kanak-kanak di Siprus, ia selalu berkumpul bersama kakeknya, salah seorang Syekh Tarekat Qadiriah untuk mempelajari spiritualitas dan disiplin. Tanda-tanda yang luar biasa telah tampak pada Syekh Nazim (q) kecil, perilakunya sempurna. Ia tidak pernah berselisih dengan siapapun, ia selalu tersenyum dan sabar. Kedua kakek dari pihak ayah dan ibunya melatihnya pada jalan spiritual.
Ketika remaja, Syekh Nazim (q) sangat diperhitungkan karena tingkat spiritualnya yang tinggi. Setiap orang di Larnaka mengenalnya, karena dengan usia yang masih teramat muda ia mampu memberi nasihat kepada orang-orang, meramal masa depan dan dengan spontan membukanya. Sejak umur 5 tahun ibunya sering mencarinya, dan mendapatinya sedang berada di dalam masjid atau di makam Ummu Hiram (r) yang berada di sebelah masjid. Ummu Hiram (r) adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad yang makamnya terdapat di Siprus. Banyak sekali peziarah yang datang ke sana karena tertarik akan pemandangan sebuah batu yang tergantung di atas makam itu.
Ketika ibunya mengajaknya pulang, ia berkata, “Biarkan aku di sini dengan Ummu Hiram (r), beliau adalah leluhur kita.” Biasanya Syekh Nazim (q) terlihat sedang berbicara, mendengar atau menjawab seperti sedang berdialog dengannya. Bila ada yang mengusiknya, ia akan berkata, “Biarkan aku berdialog dengan nenekku yang berada di makam ini.”
Ayahnya mengirimkannya ke sekolah umum di siang hari dan sore harinya ia mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia adalah seorang anak yang jenius di antara teman-temannya. Setelah menamatkan sekolahnya (setara SMU) Syekh Nazim (q) menghabiskan malam harinya untuk mempelajari Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah. Ia mengikuti shuhba Tarekat Mawlawiyyah dan Qadiriah pada hari Kamis dan Jumat.
Putra-putri keluarga Adil. Syekh Nazim muda berada paling kiri pada usia 16 tahun.
Ia mempelajari ilmu syariah, fikih, ilmu hadits, ilmu logika dan tafsir Qur’an. Ia mampu memberikan penjelasan hukum tentang masalah-masalah Islam secara luas. Ia juga mampu berbicara dengan orang-orang dari berbagai tingkatan spiritual. Ia diberi kemampuan untuk menjelaskan masalah-masalah yang sulit dalam bahasa yang sederhana dan jelas.
Setelah tamat SMU di Siprus, Syekh Nazim (q) pindah ke Istanbul pada tahun 1359 H. /1940 M., Di sana ia tinggal bersama kedua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya. Ia menimba ilmu di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul, di daerah Bayazid. Pada saat yang sama ia memperdalam hukum Islam dan bahasa Arab pada gurunya, Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q), yang wafat pada tahun 1375 H./1955 M. Syekh Nazim (q) meraih gelar sarjana di bidang Teknik Kimia dengan hasil yang memuaskan dibandingkan teman-temannya. Ketika profesor di universitasnya memberi saran agar ia melanjutkan penelitiannya, ia mengatakan, ”Aku tidak tertarik dengan ilmu modern. Hatiku selalu tertarik pada ilmu-ilmu spiritual.”
Sebagai seorang mahasiswa, Syekh Nazim muda meraih nilai yang sangat memuaskan di bidang Teknik Kimia di Universitas Istanbul.
Pada tahun pertamanya di Istanbul, ia bertemu dengan guru spiritual pertamanya, Syekh Sulayman Arzurumi (q), seorang Syekh dari Tarekat Naqsybandi yang wafat pada tahun 1368 H./1948 M. Sambil kuliah Syekh Nazim (q) belajar dengannya sebagai tambahan dari ilmu tarekat yang telah dimilikinya, yaitu Mawlawiyyah dan Qadiriah. Biasanya beliau akan terlihat di masjid Sultan Ahmad, bertafakur sepanjang malam.
Syekh Nazim (q) menuturkan,
“Di sana aku menerima berkah dan kedamaian hati yang luar biasa. Aku melakukan salat subuh bersama kedua guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) dan Syekh Jamaluddin al-Lasuni (q). Mereka mengajariku dan meletakkan ilmu spiritual di dalam kalbuku. Aku mendapat banyak penglihatan spiritual agar pergi ke Damaskus, tetapi hal itu belum diizinkan. Aku sering melihat Nabi (s) memanggilku ke hadiratnya. Ada keinginan yang mendalam agar aku meninggalkan segalanya dan pindah ke kota suci Nabi (s).
Suatu hari ketika keinginan hati ini semakin kuat, aku diberi “penglihatan” itu. Guruku, Syekh Sulayman Arzurumi (q) datang dan menepuk pundakku seraya mengatakan, ’Sekarang izin sudah turun. Rahasia-rahasia, amanat, dan ajaran spiritualmu bukan berada padaku. Aku menahanmu karena amanat sampai engkau siap bertemu dengan guru sejatimu yang juga guruku sendiri yaitu Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q). Beliau adalah pemegang kunci-kuncimu. Temuilah beliau di Damaskus. Izin yang kuberikan ini berasal dari Nabi (s).’ (Syekh Sulayman Arzurumi (q) adalah salah satu dari 313 awliya Tarekat Naqsybandi yang merepresentasikan 313 rasul).
Penglihatan itu pun berakhir. Aku mencari guruku untuk menceritakan pengalaman itu. Dua jam kemudian aku melihat Syekh menuju masjid, aku berlari menghampirinya. Beliau membuka kedua tangannya dan berkata, ”Wahai anakku, apakah kau bahagia dengan penglihatan itu?” Aku sadar bahwa beliau juga telah mengetahui semuanya. “Jangan tunda lagi, segeralah berangkat ke Damaskus.” Beliau bahkan tidak memberiku alamat atau informasi lainnya, kecuali sebuah nama: Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) di Damaskus.
Dari Istanbul ke Aleppo aku naik kereta. Selama di perjalanan aku pergi dari satu masjid ke masjid lainnya untuk salat, berkumpul dengan para ulama dan menghabiskan waktu untuk beribadah dan tafakur.
Kemudian aku menuju Hama, kota kuno mirip Aleppo. Aku berusaha untuk langsung menuju Damaskus, namun mustahil. Perancis yang saat itu menduduki Damaskus sedang mempersiapkan diri dari serangan Inggris. Jadi aku pergi ke Homs di mana terdapat makam Khalid bin Walid (r), Sahabat Nabi (s) di sana. Ketika aku masuk ke dalam masjid untuk salat, seorang pelayan mendatangiku dan berkata, ‘Aku bermimpi tadi malam, Nabi (s) mendatangiku. Beliau (s) mengatakan, “Salah satu cucuku akan datang esok hari. Jagalah dia demi aku.” Beliau (s) memberi petunjuk bagaimana ciri-ciri cucunya yang sekarang aku lihat semua tanda-tandanya pada dirimu.’
Ia memberiku sebuah kamar di dalam masjid itu. Aku tinggal selama setahun di sana. Aku tidak pernah keluar kecuali untuk salat dan duduk ditemani oleh 2 ulama Homs yang mumpuni, mereka mengajar bacaan Al-Qur’an, tafsir, fikih dan tradisi-tradisi Islam. Mereka adalah Syekh Muhammad Ali Uyun as-Sud (q) dan Syekh `Abdul Aziz Uyun as-Sud (q). Di sana, aku juga mengikuti pelajaran-pelajaran dari dua orang Syekh Naqsybandi, yaitu Syekh `Abdul Jalil Murad (q) dan Syekh Said as-Suba’i (q). Hatiku semakin menggebu untuk segera tiba di Damaskus, namun karena perang masih berkecamuk maka kuputuskan untuk menuju Tripoli di Lebanon, dari sana menuju Beirut lalu ke Damaskus lewat jalur yang lebih aman.
Pada tahun 1364 H./1944 M., Syekh Nazim (q) pergi ke Tripoli dengan bus. Bus ini membawanya sampai ke pelabuhan yang masih asing, dan tak seorang pun di sana yang dikenalinya. Ketika ia sedang berjalan mengelilingi pelabuhan, ia melihat seseorang yang datang dari arah berlawanan. Orang itu adalah Mufti Tripoli yang bernama Syekh Munir al-Malek (q). Beliau juga merupakan Syekh atas semua Tarekat Sufi di kota itu. Beliau bertanya, “Apakah engkau Syekh Nazim (q)? Aku bermimpi di mana Nabi (s) mengatakan, ‘Salah satu cucuku tiba di Tripoli.’ Beliau (s) menunjukkan gambaran mengenai sosokmu dan menyuruhku mencarimu di daerah ini. Nabi (s) menyuruhku untuk menjagamu.”
Syekh Nazim (q) menuturkan hal ini,
Aku tinggal dengan Syekh Munir al-Malek (q) selama sebulan. Beliau mengatur perjalananku menuju Homs dan kemudian dilanjutkan ke Damaskus. Aku tiba di Damaskus pada hari Jumat tahun 1365 H./1945 awal tahun Hijriah. Aku tahu bahwa Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tinggal di wilayah Hayy al-Maidan, dekat dengan makam Bilal al-Habasyi (r) dan banyak keturunan dari keluarga Nabi (s). Sebuah daerah kuno yang penuh dengan monumen-monumen bersejarah.
Aku pun tidak tahu yang mana rumah Syekh `Abdullah (q). Sebuah penglihatan datang ketika aku berdiri di pinggir jalan; Syekh keluar dari rumahnya dan memanggilku untuk masuk. Penglihatan itu segera lenyap, dan aku tetap tidak melihat seorang pun di jalan. Keadaan tampak senyap akibat invasi Perancis dan Inggris. Penduduk ketakutan dan bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Aku sendirian dan mulai bertafakur di dalam hati untuk mengetahui yang mana rumah Syekh` Abdullah (q). Sekilas gambaran itu muncul, sebuah rumah dengan sebuah pintu yang khas. Aku berusaha mencari sampai akhirnya aku menemukannya. Ketika akan kuketuk, Syekh membuka pintu rumah menyambutku, ”Selamat datang anakku, Nazim Effendi.”
Penampilannya yang tidak biasa segera menarik hatiku. Tidak pernah aku bertemu dengan Syekh yang seperti itu sebelumnya. Cahaya terpancar dari wajah dan keningnya. Kehangatan yang berasal dari dalam hatinya dan dari senyuman di wajahnya. Beliau mengajakku ke lantai atas dengan menaiki tangga di dalam kamarnya dan berkata, “Kami sudah menunggumu.”
Di dalam hati, aku sangat bahagia bersamanya, namun masih ada keinginan untuk mengunjungi kota Nabi (s). Aku bertanya kepadanya, “Apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab, ”Besok akan kuberi jawaban, sekarang waktumu untuk istirahat!” Beliau menawari makan malam lalu kami salat Isya berjamaah, dan kemudian tidur.
Pagi-pagi sekali beliau membangunkan aku untuk melakukan salat. Tidak pernah aku merasakan kekuatan luar biasa seperti cara beliau beribadah. Aku merasa sedang berada di Hadirat Ilahi dan hatiku semakin tertarik padanya. Kembali sebuah ‘penglihatan’ terlintas. Aku melihat diriku sendiri menaiki sebuah tangga dari tempat salat kami menuju ke Bayt al-Ma`mur, Ka’bah Surgawi, setingkat demi setingkat. Setiap tingkat yang kulalui adalah maqam yang diberikan oleh Syekh kepadaku. Di setiap maqam aku menerima ilmu di dalam kalbuku yang sebelumnya tidak pernah kudengar atau kupelajari. Kata-kata, kelompok kata, kalimat diletakkan sekaligus dalam tata cara yang indah, dialirkan ke dalam kalbuku, dari maqam yang satu ke maqam berikutnya sampai terangkat menuju Bayt al-Ma`mur. Di sana aku melihat 124.000 (seratus dua puluh empat ribu) nabi berbaris melakukan salat, dan Nabi Muhammad (s) bertindak sebagai imamnya.
Aku melihat 124.000 sahabat Nabi (s) yang berbaris di belakang beliau (s). Aku melihat 7007 awliya Tarekat Naqsybandi berdiri di belakang mereka mengerjakan salat. Aku juga melihat 124.000 awliya tarekat lain berbaris melaksanakan salat.
Sebuah tempat sengaja disisakan untuk dua orang tepat di sebelah Abu Bakar ash-Shiddiq (r). Grandsyekh mengajakku menuju tempat itu dan kami pun melaksanakan Salat Subuh. Suatu pengalaman beribadah yang sangat indah. Ketika Nabi (s) memimpin salat itu, bacaan yang dilantunkannya sungguh syahdu. Tidak ada kata-kata yang mampu melukiskan pengalaman itu, sesuatu yang sifatnya Ilahiah.
Begitu salat selesai, penglihatan itu pun berakhir, tepat ketika Syekh menyuruhku untuk mengumandangkan azan subuh. Beliau menjadi imam dan aku di belakangnya. Dari luar aku mendengar suara peperangan antara 2 pihak tentara. Grandsyekh segera membay’at-ku dalam Tarekat Naqsybandi; beliau berkata, ‘Anakku, kami mempunyai kekuatan untuk bisa membuat seorang murid mencapai maqamnya dalam waktu sedetik saja.’ Sambil melihat ke arah kalbuku, kedua matanya berubah warna, dari kuning menjadi merah, lalu berubah putih, kemudian hijau dan akhirnya hitam. Perubahan warna itu berhubungan dengan ilmu-ilmu yang dipancarkan ke dalam kalbuku.
Pertama adalah warna kuning yang menunjukkan maqam ‘kalbu’. Beliau mengalirkan segala jenis ilmu eksternal/lahir yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan manusia sehari-hari.
Yang kedua adalah maqam ‘rahasia/sirr’, ilmu dari seluruh 40 Tarekat yang berasal dari `Ali bin Abi Thalib (r). Aku rasakan diriku menjadi ahli dalam seluruh tarekat ini. Mata beliau berubah warna menjadi merah saat hal ini terjadi. Tahap yang ketiga adalah tingkatan ‘sirr as-sirr’ yang hanya diizinkan bagi para Syekh Naqsybandi dengan imamnya Abu Bakar (r). Saat itu mata Grandsyekh telah berubah menjadi putih.
Maqam keempat yaitu ‘ilmu spiritual tersembunyi/khafa’ di mana saat itu mata beliau berubah warna menjadi hijau.
Dan terakhir adalah tahap akhfa, maqam yang paling rahasia di mana tak ada apapun yang tampak di sana. Mata beliau berubah menjadi hitam, dan di sinilah beliau mengantarku menuju Hadirat Allah (swt). Kemudian Grandsyekh mengembalikan aku pada kondisi semula.
Rasa cintaku pada Grandsyekh begitu meluap, sehingga tidak terbayangkan bila harus berjauhan dengannya. Aku tak menginginkan apapun kecuali agar bisa berdekatan dan berkhidmah kepada beliau selamanya. Namun perasaan damai itu terasa bagaikan disambar petir, badai dan tornado. Ujian yang sungguh luar biasa dan membuatku putus asa ketika kemudian beliau mengatakan, ‘Anakku, orang-orang membutuhkanmu. Aku telah cukup memberimu untuk saat ini. Pergilah ke Siprus hari ini juga.’
Aku telah menempuh perjalanan selama satu setengah tahun untuk bisa bertemu dengannya. Aku habiskan satu malam bersamanya dan kini beliau memintaku untuk kembali ke Siprus, sebuah tempat yang telah kutinggalkan selama 5 tahun. Perintah yang amat mengerikan bagiku, namun dalam Tarekat Sufi, seorang murid harus menyerah pada kehendak Syekhnya. Setelah mencium tangan dan kaki beliau sambil meminta izin, aku mencoba menemukan jalan menuju Siprus.
Perang Dunia II akan segera berakhir dan sama sekali tidak ada sarana transportasi. Ketika aku sedang memikirkan jalan keluarnya, seseorang menghampiriku, ‘Syekh, kau butuh tumpangan?’ ‘Ya! Ke mana tujuanmu?’ Aku balik bertanya. ‘Ke Tripoli,’ jawabnya. Kemudian setelah dua hari perjalanan dengan truknya, kami pun sampai di Tripoli. ‘Antarkan aku sampai pelabuhan,’ kataku. ‘Untuk apa?’ ‘Agar bisa naik kapal ke Siprus.’ ‘Bagaimana bisa? Tak ada yang bepergian lewat laut saat perang seperti ini.’ ‘Tidak apa-apa. Antarkan aku ke sana.’ Ketika ia menurunkan aku di pelabuhan, aku kembali terkejut ketika Syekh Munir al-Malek (q) menghampiriku. Beliau berkata, ‘Cinta macam apakah yang dimiliki kakekmu padamu? Nabi (s) datang lagi lewat mimpiku dan mengatakan, ‘Cucuku Nazim akan segera tiba, jagalah dia.’
Aku tinggal bersama Syekh Munir (q) selama 3 hari. Aku memintanya untuk mengatur perjalananku sampai ke Siprus. Beliau telah berusaha, namun karena keadaan perang dan minimnya bahan bakar, maka hal itu sangat mustahil. Akhirnya hanya ada sebuah perahu. ‘Kau bisa pergi, tetapi amat berbahaya!’ kata Syekh Munir (q). ‘Tetapi aku harus pergi, ini adalah perintah Syekhku.’ Syekh Munir (q) membayar sejumlah uang kepada pemilik perahu untuk membawaku. Kami berlayar selama 7 hari agar sampai ke Siprus, yang biasanya hanya memakan waktu 2 hari saja dengan perahu bermotor. Segera setelah sampai di daratan Siprus, penglihatan spiritual terlintas dalam hatiku.
Aku merasa Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) mengatakan kepadaku, ‘Wahai anakku, tidak seorang pun mampu menahanmu membawa amanatku. Engkau telah banyak mendengar dan menerima. Mulai detik ini aku akan selalu dapat terlihat olehmu. Setiap kali kau arahkan kalbumu kepadaku, aku akan selalu berada di sana. Segala pertanyaan yang kau ajukan akan dijawab langsung dari Hadirat Ilahi. Segala tingkatan spiritual yang ingin kau capai, akan dianugerahkan kepadamu karena kepasrahan dirimu sepenuhnya. Semua awliya puas denganmu, Nabi (s) pun bahagia terhadap dirimu.’
Ketika hal itu terjadi, aku merasakan Syekh ada di sisiku dan sejak saat itu beliau tidak pernah meninggalkan aku. Beliau selalu berada di sampingku.
Syekh Nazim (q) mulai menyebarkan bimbingan spiritual dan mengajar agama Islam di Siprus. Banyak murid yang mendatangi beliau dan menerima Tarekat Naqsybandi. Namun sayang, waktu itu semua agama dilarang di Turki dan karena beliau berada di dalam komunitas orang-orang Turki di Siprus, agama pun dilarang di sana. Bahkan mengumandangkan azan pun tidak diperbolehkan.
Langkahnya yang pertama adalah menuju masjid di tempat kelahirannya dan mengumandangkan azan di sana; akibatnya ia segera dimasukkan ke dalam penjara selama seminggu. Setelah dibebaskan, Syekh Nazim (q) pergi ke masjid besar di Nikosia dan mengumandangkan azan di menaranya. Hal itu membuat para pejabat marah dan ia dituntut atas pelanggaran hukum. Sambil menunggu sidang, Syekh Nazim (q) terus mengumandangkan azan di menara-menara masjid di seluruh Nikosia. Sehingga tuntutannya pun terus bertambah, ada 114 kasus yang menunggunya. Pengacara menasihatinya untuk berhenti melakukan azan, namun Syekh Nazim (q) mengatakan, “ Tidak, aku tidak bisa berhenti. Orang-orang harus mendengar panggilan untuk salat.”
Hari persidangan tiba. Jika tuntutan 114 kasus itu terbukti, ia bisa dihukum 100 tahun penjara. Pada hari yang sama hasil pemilu diumumkan di Turki. Seorang pria bernama Adnan Menderes dicalonkan untuk berkuasa. Langkah pertamanya ketika terpilih menjadi Presiden adalah membuka seluruh masjid dan mengizinkan azan dikumandangkan dalam bahasa Arab. Itulah keajaiban Syekh kita.
Syekh Nazim (q) sebagai murid muda dari Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q)
Selama bertahun-tahun di sana, ia telah melakukan perjalanan ke seluruh penjuru Siprus. Ia juga mengunjungi Libanon, Mesir, Saudi Arabia dan tempat-tempat lain untuk mengajar Tarekat Sufi. Syekh Nazim (q) kembali ke Damaskus pada tahun 1952, ketika ia menikahi salah satu murid Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu Hajah Amina Adil (q). Sejak saat itu ia tinggal di Damaskus dan mengunjungi Siprus setiap tahunnya, yaitu selama 3 bulan pada bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadan.
Syekh Nazim (q) dan keluarganya tinggal di Damaskus. Keluarganya selalu menyertai bila Syekh Nazim (q) pergi ke Siprus. Syekh Nazim (q) mempunyai dua anak perempuan dan dua anak laki-laki.
Perjalanan Syekh Nazim (q)
Syekh Nazim (q) menunaikan ibadah haji setiap tahunnya untuk memimpin jemaah haji dari Siprus. Ia telah melaksanakan ibadah haji sebanyak 27 kali, baik untuk menjaga murid-muridnya atau mengikuti Grandsyekh `Abdullah (q).
Suatu saat Grandsyekh mengatakan agar ia pergi ke Aleppo dari Damaskus dengan berjalan kaki, dan berhenti di setiap desa untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, ajaran Sufisme dan ajaran Islam. Jarak antara Damaskus menuju Aleppo sekitar 400 kilometer. Perlu waktu lebih dari satu tahun untuk perjalanan pergi dan kembali. Syekh Nazim (q) berjalan kaki selama satu atau dua hari. Ketika sampai di sebuah desa, ia tinggal di sana selama seminggu untuk menyebarkan Tarekat Naqsybandi, memimpin zikir, melatih penduduk dan melanjutkan perjalanannya sampai ke desa selanjutnya. Namanya pun mulai terdengar di setiap lidah orang-orang, mulai dari perbatasan Yordania sampai perbatasan Turki dekat Aleppo.
Hal yang sama juga diperintahkan dan dijalankan oleh Syekh Nazim (q), yaitu agar ia berjalan kaki ke Siprus. Dari desa yang satu ke desa lainnya, ia berdakwah, menyeru orang agar kembali pada Tuhannya dan meninggalkan kehidupan materialistik, sekularisme dan atheisme.
Ia amat dicintai di seluruh Siprus, dan masyhur dengan sebutan ‘Syekh Nazim (q) Yesilbas, atau Syekh Nazim yang berturban hijau’ karena turban dan jubahnya yang berwarna hijau.
Syekh Nazim (q) di rumah beliau di Siprus
Ia sering mengunjungi Libanon, di mana kami bertemu dan mengenalnya. Pada tahun 1955, saya berada di kantor paman saya, yang menjabat sebagai sekjen urusan agama di Libanon, sebuah jabatan yang tinggi dalam pemerintahan. Ketika itu tiba waktunya Salat Ashar dan paman saya, Syekh Mukhtar Alayli sering melakukan salat di masjid al-Umari al-Kabir di Beirut. Di sana ada juga gereja pada masa `Umar bin al-Khaththab (r), yang telah berubah menjadi masjid di masa beliau. Di bawah tanah masjid masih terdapat fondasi gereja. Paman saya menjadi imam sementara saya bersama dua saudara saya menjadi makmumnya.
Seorang Syekh datang dan salat di sebelah kami. Kemudian ia memandang kedua saudara saya dan menyebut nama-nama mereka, selanjutnya ia menoleh ke arah saya dan menyebutkan nama saya. Kami amat terkejut, karena kami tidak saling mengenal sebelumnya. Paman saya juga tertarik padanya. Itulah pertama kali kami bertemu Syekh Nazim (q). Kakak tertua saya bersikeras untuk mengajak Syekh Nazim (q) dan paman untuk menginap di rumah kami.
Syekh Nazim (q) mengatakan, “Aku dikirim oleh Syekh `Abdullah (q). Beliau yang mengatakan, ‘Setelah Salat Ashar nanti, yang berada di sebelah kananmu bernama ini dan yang lain bernama ini. Ajaklah mereka masuk Tarekat Naqsybandi. Mereka akan menjadi pengikut kita.‘“ Kami masih amat muda dan kagum akan caranya mengetahui nama-nama kami.
Sejak saat itu ia mengunjungi Beirut secara rutin. Kami pergi ke Damaskus setiap minggunya, dengan cara memohon pada ayah kami agar diizinkan mengunjungi Grandsyekh. Saya dan saudara saya menerima banyak ilmu spiritual dan menyaksikan kekuatan-kekuatan ajaib yang dialirkan ke dalam kalbu kami.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari pengunjung. Sedikitnya seratus orang silih berganti mengunjungi rumahnya setiap harinya dan dilayani dengan baik. Rumahnya dekat dengan rumah Grandsyekh di Jabal Qasiyun, sebuah pegunungan yang tampak dari kotanya, di sebelah tenggara Damaskus. Rumah semen beliau sangat sederhana dengan perabotan dari kayu atau bahan-bahan alami lainnya yang dibuat dengan tangan.
Mulai tahun 1974, beliau mengunjungi Eropa. Dari Siprus menuju London dengan pesawat dan kembalinya dengan mengendarai mobil lewat jalan darat. Ia melanjutkan pertemuan dengan setiap kalangan masyarakat dari berbagai daerah, bahasa, adat sampai keyakinan yang berbeda-beda. Orang-orang mulai mengucap kalimat Tauhid dan bergabung dengan Tarekat Sufi dan belajar tentang rahasia-rahasia spiritual darinya. Senyum dan wajahnya yang bersinar amat dikenal di seluruh benua Eropa dan disayangi karena membawa cita rasa spiritualitas yang sebenarnya dalam kehidupan masyarakat.
Tahun-tahun selanjutnya, ia melakukan perjalanan dengan berjalan kaki di wilayah negara Turki. Sejak tahun 1978, ia menghabiskan tiga sampai empat bulan di setiap daerah di Turki. Dalam setahun ia bepergian di daerah Istanbul, Yalova, Bursa, Eskisehir dan Ankara. Di lain kesempatan ia mengunjungi Konya, Isparta dan Kirsehir. Tahun berikutnya mengunjungi pesisir selatan dari Adana menuju Mersin, Alanya, Izmir dan Antalya. Kemudian di tahun berikutnya ia bepergian ke sisi timur, Diyarbakir, Erzurm sampai perbatasan Irak. Kemudian kunjungan selanjutnya adalah di laut hitam, bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya, dari kota menuju kota lain, dari masjid ke masjid mensyiarkan kalamullah dan spiritualitas di mana pun ia berada.
Ke mana pun Syekh Nazim (q) pergi, ia selalu disambut oleh kerumunan massa dari yang sederhana hingga pejabat pemerintahan. Ia termasyhur dengan sebutan ‘Al-Qubrusi’ di seluruh Turki. Syekh Nazim (q) merupakan Syekh dari Presiden Turki terakhir, Turgut Ozal yang amat menghormatinya. Akhir-akhir ini Syekh Nazim (q) terkenal karena pemberitaan yang luas dari media dan pers. Ia diwawancarai hampir setiap minggu oleh berbagai stasiun TV dan reporter yang menanyakan tentang berbagai kejadian serta masa depan Turki. Ia mampu menjembatani antara pemerintahan yang sekuler dan kelompok Islam fundamental, seperti yang diajarkan oleh Nabi (s) sehingga tercipta kedamaian di setiap hati dan pikiran kedua belah pihak, baik kalangan awam maupun yang cerdas sekalipun.
Tahun 1986, ia terpanggil untuk mengadakan perjalanan ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, dan Sri Lanka. Ia diterima dengan baik oleh para Sultan, Presiden, anggota parlemen, pejabat pemerintah dan tentu saja rakyat pada umumnya. Ia disebut sebagai orang suci zaman ini di Brunei. Ia disambut dengan keramahan warga dan khususnya oleh Sultan Haji Hasan al-Bolkiah. Ia digolongkan sebagai salah satu Syekh terbesar Tarekat Naqsybandi di Malaysia. Di Pakistan, ia dikenal sebagai pembangkit Tarekat Sufi dan ia mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, muridnya lebih dari 20.000 (dua puluh ribu) orang, dari kalangan pemerintahan maupun rakyat biasa. Di kalangan Muslim Singapura, ia juga amat dihormati.
Pada tahun 1991, untuk pertama kalinya ia mengunjungi Amerika. Lebih dari 15 negara bagian dikunjunginya. Ia bertemu dengan banyak kalangan masyarakat dari berbagai aliran dan agama: Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu, New age, dan lain-lain. Kunjungan ini membuahkan berdirinya lebih dari 13 pusat-pusat Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Kunjungan kedua pada tahun 1993, ia mendatangi berbagai daerah dan kota, masjid, gereja, sinagog, dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang di Amerika Utara telah masuk Islam dan ber-bay`at dalam Tarekat Naqsybandi.
Pada bulan Oktober 1993, ia menghadiri peresmian kembali masjid dan sekolah Imam Bukhari di Bukhara, Uzbekistan. Ia adalah orang pertama di antara banyak generasi Imam Bukhari yang mampu mengembalikan daerah pusat para awliya di Asia Tengah yang sangat kuat mengabadikan nama dan ajarannya dalam tarekat ini.
Syekh Nazim (q) bersama istrinya (Hajah Amina (q), w.2004), dan kedua putrinya (di depan) di rumah beliau di Siprus. Sebagai seorang Syekh dari Tarekat Mawlawiyyah, Syekh Nazim (q) mengenakan turban tradisional yang merupakan ciri khasnya, dililitkan pada sikke Mawlawiyyah yang tinggi.
Sebagaimana Syah Naqsyband (q) sebagai pelopor di daerah Bukhara dan Asia Tengah, juga Ahmad as-Sirhindi al-Mujaddidi (q) pelopor di milenium ke-2, dan Khalid al-Baghdadi (q) pelopor kebangkitan Islam, syariat, dan tarekat di Timur Tengah; maka Syekh Nazim Adil al-Haqqani (q) adalah pelopor, pembaharu dan penyeru umat agar kembali pada Tuhannya di abad ini, abad perkembangan teknologi dan materialisme.
Pada tahun 1991 ia memulai perjalanannya ke Amerika. Dalam perjalanannya, ia mengunjungi lebih dari 15 negara bagian. Ia berjumpa dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan, mencakup umat Muslim, Kristen, Yahudi, Sikh, Buddha, Hindu dan penganut New Age. Kunjungan ini memprakarsai berdirinya lebih dari 15 majelis Tarekat Naqsybandi di Amerika Utara. Ia melakukan kunjungan keduanya pada tahun 1993. Ia bepergian ke berbagai kota, mengunjungi masjid, gereja, sinagoga dan kuil. Melalui Syekh Nazim (q), lebih dari 10.000 orang masuk Islam dan menjadi pengikut Tarekat Naqsybandi.
Syekh Nazim (q) bersama Sultan Brunei (kiri) dan Pengeran dari Malaysia, Raja Ashman (kanan).
Pada tahun 1986 ia terpanggil untuk berkunjung ke Timur Jauh: Brunei, Malaysia, Singapura, India, Pakistan, Sri Lanka. Ia mengunjungi kota-kota besar di negara-negara tersebut. Di sana ia disambut oleh Sultan, Presiden, anggota parlemen, para pejabat pemerintah dan tentu saja oleh masyarakat pada umumnya. Di Brunei, ia dianggap sebagai wali di zaman ini, ia mendapat sambutan yang hangat di negara itu, khususnya oleh Sultan, Haji Hasanal Bolkiah. Di Malaysia, ia dianggap sebagai salah satu dari wali besar dalam Tarekat Naqsybandi. Di Pakistan, ia dikenal sebagai Yang Membangkitkan Tarekat dan mempunyai ribuan murid di sana. Di Sri Lanka, ia memiliki lebih dari 20.000 murid, dari kalangan pejabat dan masyarakat umum. Ia sangat dihormati di Singapura dan mempunyai banyak murid di sana.
Rumah Syekh Nazim (q) tidak pernah sepi dari orang-orang yang berkunjung. Sedikitnya 100 orang pengunjung datang setiap harinya. Ia melayani mereka semuanya.
Khalwat Syekh Nazim (q)
Khalwat pertamanya atas perintah Syekh `Abdullah ad-Daghestani (q) pada tahun 1955 di Sweileh, Yordania. Ia berkhalwat selama 6 bulan. Kekuatan dan kemurnian dalam setiap kehadirannya mampu menarik ribuan murid di Sweileh dan desa-desa sekitarnya, Ramta dan Amman menjadi penuh oleh murid-muridnya. Ulama, pejabat resmi dan banyak kalangan tertarik akan pencerahan dan kepribadiannya.
Ketika ia baru mempunyai 2 orang anak, satu perempuan dan satu laki-laki, Syekh Nazim (q) dipanggil oleh Grandsyekh `Abdullah (q), “Aku menerima perintah dari Nabi (s) untukmu agar melakukan khalwat di masjid `Abdul Qadir Jailani (q) di Baghdad. Pergilah ke sana dan lakukan khalwat selama 6 bulan.”
Syekh Nazim (q) bercerita mengenai peristiwa ini,
Aku tidak bertanya apapun pada Grandsyekh. Aku bahkan tidak pulang ke rumah. Aku langsung melangkahkan kakiku menuju Marja, di dalam kotanya. Tidak pernah terlintas dalam benakku, ‘aku perlu pakaian, uang atau makanan.’ Ketika beliau berkata, ‘Pergilah!’ maka aku segera pergi. Aku memang ingin melakukan khalwat bersama Syekh `Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika sampai di kota, aku melihat seorang pria yang sedang menatapku. Ia mengenaliku. “Syekh Nazim (q), kau mau ke mana?“ “Ke Baghdad,” jawabku. Ternyata ia adalah murid Grandsyekh. “Aku juga mau ke sana.” Kami pun berangkat dengan naik truk yang penuh dengan muatan barang untuk dikirim ke Baghdad.
Ketika memasuki masjid Syekh `Abdul Qadir Jailani (q), ada seorang pria tinggi besar yang berdiri di pintu. Ia memanggilku, ”Syekh Nazim (q)!” “Ya,” jawabku. “Aku ditunjuk untuk melayanimu selama engkau tinggal di sini. Mari ikuti aku.” Sebenarnya aku terkejut dengan hal ini, namun di dalam tarekat segala hal telah diatur dalam Kehendak Ilahi. Aku mengikutinya sampai ke makam sang Ghawts. Aku mengucapkan salam pada kakek buyutku, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Sambil menunjukkan kamarku, orang itu mengatakan, ‘‘Setiap hari aku akan memberimu semangkuk sup dan sepotong roti.’’
Aku keluar dari kamar hanya untuk menunaikan salat 5 waktu saja. Aku mencapai sebuah maqam di mana aku mampu khatam al-Qur’an dalam waktu 9 jam. Setiap harinya aku membaca La ilaha ill-Allah 124.000 kali dan shalawat 124.000 kali, ditambah membaca seluruh Dalail al-Khayrat, dan membaca 313.000 kali Allah, Allah, dan seluruh ibadah yang dibebankan kepadaku. ‘Penglihatan-penglihatan spiritual’ mulai bermunculan mengantarku dari satu maqam ke maqam lainnya sampai akhirnya aku menjadi fana’ dalam Hadirat Allah.
Suatu hari aku mendapat penglihatan bahwa Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) memanggilku menuju makamnya. Beliau berkata, ‘Wahai cucuku, aku sedang menunggumu di makamku, datanglah!” Aku bergegas mandi, salat 2 rakaat dan berjalan menuju makamnya yang hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampainya di sana, aku mulai melakukan muraqaba. “As-salam alayka ya jaddi’ (semoga kedamaian tercurah padamu, wahai kakekku).“ Segera aku melihat beliau keluar dari makam dan berdiri di sampingku. Di belakang beliau ada sebuah singgasana indah yang dihiasi batu-batu mulia. Beliau berkata, “Mendekatlah dan duduklah bersamaku di singgasana itu.”
Kami duduk layaknya seorang kakek dan cucunya. Beliau tersenyum dan mengatakan, “Aku bahagia denganmu, Nazim Effendi. Maqam Syekhmu, `Abdullah al-Faiz ad-Daghestani (q) amat tinggi dalam Tarekat Naqsybandi. Aku ini kakekmu. Sekarang aku turunkan padamu, langsung dariku, kekuatan yang dipegang oleh Ghawts. Aku memberi bay’at untukmu dalam Tarekat Qadiriah sekarang.” Kemudian Grandsyekh nampak di hadapanku, Nabi (s) pun hadir, juga Syah Naqsyband (q). Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) berdiri memberi hormat pada Nabi (s) beserta para Syekh yang hadir, aku pun melakukannya.
Beliau berkata,
‘Wahai Nabi (s), ya Rasulullah (s), aku adalah kakek dari cucuku ini. Aku bahagia dengan kemajuannya dalam Tarekat Naqsybandi dan aku ingin menambahkan Tarekat Naqsybandi pada maqamku.‘
Nabi (s) tersenyum dan memandang Syah Naqsyband (q), selanjutnya Syah Naqsyband (q) memandang pada Grandsyekh `Abdullah (q). Inilah adab pimpinan yang baik, karena Syekh `Abdullah (q) yang masih hidup pada saat itu. Grandsyekh menerima rahasia Tarekat Naqsybandi yang diterima beliau dari Syah Naqsyband (q) melalui silsilah Nabi (s), dari Abu Bakar ash-Shiddiq (r), agar ditambahkan pada maqam Syekh Abdul Qadir Jailani (q).
Ketika Syekh Nazim (q) menyelesaikan khalwatnya, dan akan segera meninggalkan makam kakeknya dan mengucapkan salam perpisahan. Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) muncul dan memperbarui bay’at Syekh Nazim (q) dalam Tarekat Qadiriah. Beliau berkata, “Cucuku, aku akan memberimu kenang-kenangan karena telah berkunjung ke sini.” Beliau memeluk Syekh Nazim (q) dan memberinya 10 buah koin yang merupakan uang yang berlaku semasa beliau hidup. Koin itu masih disimpan oleh Syekh Nazim (q) sampai sekarang.
Sebelum pergi, Syekh Nazim (q) memberi tanda kenangan berupa jubah kepada Syekh yang telah melayaninya selama khalwat di sana. “Aku memakai jubah ini selama khalwat, sebagai alas tidurku, bahkan juga saat salat dan zikir. Simpanlah, Allah (swt) dan Nabi (s) akan memberkatimu.” Syekh itu mengambil jubah, menciumnya dan memakainya. Syekh Nazim (q) meninggalkan Baghdad dan kembali ke Damaskus, Suriah.
Pada tahun 1992, ketika Syekh Nazim (q) mengunjungi Lahore, Pakistan; ia berziarah ke makam Syekh Ali Hujwiri (q). Lalu salah seorang Syekh dari Tarekat Qadiriah mengundangnya ke rumahnya. Syekh Nazim (q) menginap di sana. Setelah Salat Subuh, tuan rumah itu berkata,
‘Wahai Syekh, aku memintamu menginap malam ini untuk menunjukkan sebuah jubah berharga yang telah kami warisi sejak 27 tahun yang lalu. Jubah ini diwariskan dari seorang Syekh besar Tarekat Qadiriah dari Baqhdad sampai akhirnya berada di tangan kami. Semua Syekh kami menyimpan dan menjaganya karena dulunya ini adalah jubah pribadi dari ‘Ghawts’ pada masa itu.
Seorang Syekh Turki dari Tarekat Naqsybandi berkhalwat di masjid dan makam Syekh `Abdul Qadir Jailani (q). Setelah selesai, ia memberikan jubah ini sebagai hadiah karena sudah melayaninya selama khalwat. Menjelang wafatnya, Syekh Qadiriah pemegang jubah ini mengatakan pada penerusnya agar menjaga jubahnya, karena siapapun yang mengenakan jubahnya, semua penyakitnya akan hilang. Setiap murid yang mengenakan jubah ini dalam perjalanannya menuju Hadirat Ilahi akan mudah terangkat dalam tingkat kasyf.’
Ia membuka lemari dan memperlihatkan sebuah jubah yang disimpan di kotak kaca. Ia keluarkan jubah itu. Syekh Nazim (q) tersenyum melihatnya. Syekh Qadiriah itu bertanya pada Syekh Nazim (q), ”Apakah sebenarnya ini, Syekh?“
Syekh Nazim (q) menjawab, “Ini membuatku bahagia. Jubah ini aku berikan pada Syekh Tarekat Qadiriah saat aku selesai khalwat.”
Ketika mendengar hal ini, Syekh tersebut mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at di dalam Tarekat Naqsybandi.
Khalwat di Madinah
Sering kali Syekh Nazim (q) diperintahkan untuk melakukan khalwat dengan kurun waktu antara 40 hari sampai setahun. Tingkatan khalwatnya juga berbeda-beda, mulai diisolasi dari kontak dunia luar, salat, atau hanya diperkenankan adanya kontak saat melaksanakan zikir atau pertemuan karena memberi kajian. Ia sering melaksanakan khalwat di kota Nabi (s).
Ia mengatakan,
‘Tidak seorang pun diberi kehormatan melakukan khalwat bersama Syekh mereka. Aku mendapatkan kesempatan ini berada dalam satu ruangan dengan Syekh Abdullah (q) di Madinah. Sebuah ruangan kuno dekat masjid suci Nabi Muhammad (s). Di sana terdapat satu pintu dan sebuah jendela. Segera setelah kami memasuki ruangan itu, Syekh menutup jendela rapat-rapat dan beliau mengizinkan aku keluar hanya pada saat menunaikan salat 5 waktu di Masjid Nabi (s).
Beliau mengingatkan aku agar ‘mengawasi langkah/nazar bar qadam’ dalam perjalanan menuju tempat salat. Dengan disiplin dan mengontrol pandangan kita berarti memutuskan diri dari segala hal kecuali pada Allah (swt) `azza wa jalla beserta Nabi-Nya (s).
Syekh `Abdullah (q) tidak pernah tidur selama khalwat berlangsung. Selama satu tahun aku tidak pernah melihat beliau tidur dan menyentuh makanan. Hanya semangkuk sup dan sepotong roti disediakan untuk kami setiap harinya. Beliau selalu memberikan bagiannya kepadaku. Beliau hanya minum air dan tidak pernah meninggalkan ruangan itu.
Malam demi malam, hari demi hari, Grandsyekh duduk membaca Qur’an hanya dengan penerangan lilin, berzikir dan mengangkat tangannya dalam doa. Kadang aku tidak mengerti apa yang beliau ucapkan karena beliau menggunakan bahasa langit. Aku hanya mampu memahaminya lewat ilham dan penglihatan yang masuk ke dalam kalbuku.
Aku tidak tahu kapan saatnya malam ataupun siang kecuali saat salat. Grandsyekh tidak pernah melihat sinar matahari selama setahun penuh, kecuali cahaya dari lilin. Dan aku melihat cahaya matahari hanya ketika pergi untuk salat.
Melalui khalwat tersebut, spiritualitasku meningkat ke tingkatan yang berbeda-beda. Suatu hari aku mendengar beliau mengatakan, ‘Ya Allah, berilah aku kekuatan “Ghawts”/perantara/penolong, dari kekuatan yang Engkau berikan pada Nabi-Mu (s) untuk meminta ampunan-Mu bagi seluruh umat manusia saat kiamat nanti dan mengangkat mereka menuju Hadirat-Mu.’
Ketika beliau mengatakan hal ini, aku mengalami ‘penglihatan’ mengenai keadaan saat Hari Kiamat. Allah (swt) turun dari Arasy-Nya dan mengadili umat manusia. Nabi (s) berada di samping kanan-Nya. Grandsyekh berada di sebelah kanan Nabi (s), dan aku berada di sebelah kanan Grandsyekh.
Setelah Allah (swt) mengadili umat manusia, Dia memberi wewenang pada Nabi (s) untuk menjadi perantara bagi ampunan-Nya. Ketika Nabi (s) selesai melakukannya, beliau (s) meminta Grandsyekh untuk memberi berkahnya dan mengangkat mereka dengan kekuatan spiritual yang telah diberikan. Penglihatan itu berakhir dan aku mendengar Grandsyekh mengatakan, ‘alhamdulillah, alhamdulillah, Nazim Effendi, aku sudah mendapat jawabannya.’
Suatu hari setelah selesai Salat Subuh Grandsyekh mengatakan, ‘Nazim Effendi, lihat!’ Ke mana harus kulihat, atas, bawah, kanan atau kiri? Ternyata ada di bagian kalbu beliau. Sebuah penglihatan muncul. Aku melihat Syekh `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q) muncul dengan tubuh fisiknya dan mengatakan padaku, ’Wahai anakku, Syekh-mu memang unik. Tidak ada yang seperti dirinya sebelumnya.‘ Kemudian kami diajak beliau ke tempat lain di bumi ini.
‘Allah (swt) memintaku untuk pergi ke batu itu dan memukulnya’ sambil menunjuk sebuah batu. Ketika beliau memukulnya, sebuah semburan air memancar deras keluar dari batu itu. Beliau berkata, ‘Air itu akan terus memancar seperti ini sampai kiamat nanti, dan Allah (swt) mengatakan padaku bahwa pada setiap tetes air ini Dia menciptakan satu malaikat bercahaya yang akan selalu memuji-Nya sampai kiamat nanti.’
Allah (swt) berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, `Abdul Khaliq al-Ghujdawani (q), tugasmu adalah memberi nama malaikat-malaikat ini dengan nama yang berbeda dan tidak boleh ada pengulangan. Hitunglah berapa kali pujian-pujian mereka, kemudian bagikan pada seluruh pengikut Tarekat Naqsybandi. Itulah tanggung jawabmu.” Aku takjub terhadap beliau beserta tugas luar biasa yang diembannya.
Penglihatan itu terus berlanjut serasa menghujaniku. Pada hari terakhir khalwat kami setelah Salat Subuh aku mendengar suara-suara dari arah luar ruangan kami. Suara orang dewasa dan suara anak-anak menangis. Tangisan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung selama berjam-jam. Aku tidak tahu siapa yang menangis karena tidak diizinkan untuk melihatnya. Grandsyekh bertanya, “Nazim Effendi, tahukah kamu siapa yang sedang menangis?” Walaupun aku tahu bahwa itu bukan tangisan manusia, namun aku menjawab, “Wahai Syekh, engkaulah yang lebih mengetahuinya.” “Setan mengumumkan pada kelompoknya bahwa 2 manusia di bumi ini telah lolos dari kendalinya.”
Kemudian aku melihat setan dan bala tentaranya telah dirantai dengan rantai surgawi untuk mencegah mereka mendekati Syekh dan aku. Penglihatan itu berakhir. Grandsyekh meletakkan tangannya di dadaku sambil mengatakan, ”Alhamdulillah, Nabi (s) bahagia terhadapmu, beliau (s) juga bahagia denganku.”
Lalu aku melihat Nabi Muhammad (s) beserta 124.000 nabi-nabi lain, 124.000 sahabat-sahabatnya, 7007 awliya-awliya Naqsybandi, 313 awliya agung, 5 Qutub dan Ghawts. Semuanya memberi selamat kepadaku. Mereka mengalirkan ilmu spiritual mereka ke dalam kalbuku. Aku mewarisi dari mereka rahasia-rahasia Tarekat Naqsybandi dan 40 Tarekat-Tarekat lainnya.
Keramat Syekh Nazim (q)
Pada tahun 1971, Syekh Nazim (q) seperti biasa ia berada di Siprus selama 3 bulan; Rajab, Sya`ban, dan Ramadan. Suatu hari di bulan Sya`ban, kami mendapat telepon dari bandara di Beirut. Ternyata dari Syekh Nazim (q) yang meminta kami untuk menjemputnya. Kami terkejut karena tidak mengira ia akan datang.
“Aku diminta oleh Nabi (s) untuk menemui kalian hari ini karena ayah kalian akan wafat. Aku yang akan memandikan jenazahnya, mengkafani dan menguburkannya lalu kembali ke Siprus.” “Oh Syekh, Ayah kami dalam keadaan sehat. Tidak ada sesuatu terjadi padanya.” “Itulah yang dikatakan padaku,” jawabnya dengan amat yakin. Kami pun menyerah saja karena apapun yang dikatakan Syekh, kami harus menerimanya.
Ia meminta kami mengumpulkan seluruh keluarga untuk melihat ayah kami terakhir kalinya. Kami mempercayainya dan melaksanakan permintaanya walaupun ada yang terkejut dan ada yang tidak mempercayainya saat kami menghubunginya. Ada yang hadir dan ada pula yang tidak. Ayah saya tidak mengetahui masalah ini, hanya melihat kunjungan keluarga sebagai hal yang biasa. Pukul tujuh kurang seperempat. Syekh Nazim (q) berkata, “Aku harus naik ke apartemen ayahmu untuk membaca Surat Ya Sin tepat ketika beliau wafat.” Lalu ia naik dari flat kami di bawah. Ayah saya memberi salam pada Syekh Nazim (q), lalu mengatakan, ”Wahai Syekh Nazim (q), sudah lama kami tak mendengarmu membaca Qur’an. Maukah kau melakukannya untuk kami?” Syekh Nazim (q) pun mulai membaca Surat Ya Sin. Ketika ia selesai membacanya, jarum jam menunjukkan tepat pukul tujuh. Persis ketika ayahku berteriak, “Jantungku, jantungku...!!” Kami merebahkan beliau, kedua saudara saya yang sama-sama dokter memeriksanya. Jantungnya berdebar keras tak terkontrol dan dalam hitungan menit, beliau menghembuskan napas terakhirnya.
Semua orang melihat pada Syekh Nazim (q) dengan takjub dan keheranan. “Bagaimana ia mengetahuinya? Wali macam apakah dia? Bagaimana bisa dari Siprus, ia datang hanya untuk hal ini? Rahasia seperti apakah yang ada di dalam kalbunya?“
Rahasia yang disimpannya adalah berkat rahmat Allah (swt) pada beliau. Allah (swt) memberi wewenang untuk kekuatan dan ramalan karena ia memelihara keikhlasan, ketaatan, dan kesetiaan pada agama Allah. Ia menjaga kewajiban dan ibadahnya. Ia menghormati al-Quran. Ia sama dengan seluruh awliya Naqsybandi sebelumnya, seperti halnya seluruh awliya tarekat lain dan para leluhurnya, Syekh `Abdul Qadir Jailani (q) dan Jalaluddin Rumi (q) dan Muhyiddin Ibn Arabi (q) yang menaati tradisi-tradisi Islam selama 1400 tahun. Dengan cinta Ilahi itu ia akan dianugerahi Ilmu Ilahiah, kebijaksanaan, spiritualitas dan segala hal. Ia akan menjadi orang yang mengetahui masa lalu, saat ini dan masa depan.
Kami merasa terperangkap di antara dua emosi. Pertama karena tangis kesedihan kami karena wafatnya ayah kami dan yang kedua bahagia atas apa yang dilakukan oleh guru kami pada almarhum ayah kami. Kedatangannya demi ayah kami pada akhir hayatnya tidak akan pernah kami lupakan. Ia memandikan jasad ayah dengan tangannya yang suci. Setelah semua tugas dijalankan, ia kembali lagi ke Siprus tanpa ditunda.
Syekh Nazim (q) memimpin zikir Tarekat Naqsybandi, Khatm Khwajagan di Masjid Peckham yang dulunya merupakan Gereja Katedral St. Mark di London.
Suatu hari Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon selama 2 bulan pada musim haji. Gubernur kota Tripoli, Libanon yang bernama Ashar ad-Danya merupakan pemimpin resmi subuah kelompok haji. Ia menawari Syekh Nazim (q) untuk pergi bersama menunaikan ibadah haji. Syekh berkata, ”Aku tidak bisa pergi denganmu, tetapi insya Allah, kita akan bertemu di sana.”
Gubernur tetap memaksa. “Jika engkau pergi, pergilah denganku. Jangan pergi dengan orang lain.” Syekh Nazim (q) menjawab, “Aku tidak tahu apakah aku akan pergi atau tidak.”
Ketika musim haji telah usai dan gubernur telah kembali, ia segera menuju ke rumah Syekh Nazim (q). Di hadapan sekitar 100 orang, kami mendengar ia mengatakan, “Wahai Syekh Nazim (q), mengapa engkau pergi dengan orang lain dan tidak bersama kami?” Kami pun menjawab, “Syekh tidak pergi haji. Ia bersama kami di sini selama 2 bulan berkeliling Libanon.” Gubernur berkata lagi, “Tidak! Ia pergi haji, kami punya saksi-saksi. Waktu itu aku sedang tawaf dan Syekh Nazim (q) mendatangiku lalu mengatakan, ‘Oh Ashur, kau di sini?’ Aku mengiyakan dan kami melakukan tawaf bersama-sama. Ia menginap di hotel kami di Mekah. Dan menghabiskan siang hari bersama di tenda kami di Arafat. Ia juga menginap bersamaku di Mina selama 3 hari. Lalu ia mengatakan, ‘Aku harus ke Madinah mengunjungi Nabi (s).’
Kemudian kami memandang Syekh Nazim (q) yang menampakkan senyum khasnya dan seakan-akan mengatakan, “Itulah kekuatan yang dianugerahkan Allah (swt) kepada para awliya-Nya. Bila mereka berada di Jalan-Nya, meraih Cinta-Nya dan Hadirat-Nya, Allah (swt) akan menganugerahi segala hal.”
“Oh Syekhku, keramat yang kau tunjukkan kepada kami adalah sangat luar biasa. Tidak pernah aku melihatnya sepanjang hidupku. Aku ini seorang politikus. Aku percaya pada akal dan logika. Kini aku harus mengakui bahwa engkau bukanlah orang biasa. Engkau mempunyai kekuatan yang istimewa. Sesuatu yang Allah sendiri anugerahkan kepadamu!”
Gubernur itu mencium tangan Syekh Nazim (q) dan meminta bay’at dalam Tarekat Naqsybandi. Setiap kali Syekh Nazim (q) mengunjungi Libanon, gubernur dan perdana menteri Libanon akan hadir dalam majelis Syekh Nazim (q). Sampai saat ini, keluarga-keluarganya dan masyarakat Libanon menjadi pengikut Syekh Nazim (q).
Kata-Kata Syekh Nazim (q)
Tentang Keesaan Tuhan yang Khas (Wahdaniyyah), Syekh Nazim (q) mengatakan,
“Itu artinya mustahil adanya kemajemukan, dan ia terdiri dari tiga kategori:
Keesaan yang Khas dalam Dzat-Nya, artinya Dzat-Nya tidak berlipat ganda dan bukan merupakan gabungan dari dua bagian atau lebih, dan tidak ada yang mirip dengan Dzat Ilahiah-Nya.
Keesaan yang Khas dalam Sifat-Sifat-Nya, artinya Allah (swt) tidak memiliki dua macam Sifat yang mewakili hal yang sama. Sebagai contoh, Dia tidak mempunyai dua Kehendak dan tidak pula dua Niat. Dia adalah Satu dalam segala Sifat-Nya.
Keesaan yang Khas dalam segala Perbuatan-Nya, artinya Dia-lah Sang Pencipta, dengan Keinginan-Nya sendiri dan Kehendak-Nya sendiri atas segala yang muncul di alam semesta ini. Seluruh ciptaan-Nya baik itu suatu substansi, atau suatu deskripsi atau suatu perbuatan. Jadi, semua Perbuatan-Nya diciptakan-Nya untuk hamba-hamba-Nya.
“Jika cintanya benar, maka sang pecinta harus menjaga penghormatannya terhadap Sang Kekasih dan bertingkah laku yang semestinya terhadapnya.”
“Haqqul Yaqiin yang tertinggi adalah ketika Syekh memuji Hadirat-Nya di mata kalian dan mengecilkan segala sesuatu selain Allah (swt).”
“Ada 3 ular besar yang dapat merusak manusia: tidak toleransi dan tidak sabar dengan orang-orang di sekitar kalian, menjadi terbiasa dengan sesuatu yang tidak bisa kalian tinggalkan, dan terbelenggu oleh ego kalian.”
“Menggapai dunia adalah hina sedangkan menggapai akhirat adalah mulia. Aku heran dengan orang-orang yang lebih memilih menjadi hina daripada mulia.”
“Jika Allah (swt) membuka Intisari dari Cinta Ilahiah-Nya, semua orang di bumi ini akan mati karena cinta itu.”
“Kita harus selalu terlibat dalam hal-hal berikut: merenungkan ayat-ayat Allah di dalam kitab suci al-Qur’an dan tanda-tanda Kebesaran-Nya yang akan menyebabkan cinta berkembang di dalam hati kita; memikirkan Janji-Nya untuk memberi pahala bagi kita, yang akan melahirkan kerinduan di dalam diri kita; dan memikirkan tentang ancaman hukuman-Nya akan menimbulkan perasaan malu kepada-Nya di dalam diri kita.
“Allah (swt) berfirman, ‘Barang siapa yang bersabar dengan Kami, ia akan mencapai Kami.’”
“Jika takwa tertanam di dalam hati, lidah tidak akan berbicara hal-hal yang tidak ada manfaatnya.”
“Tasawuf adalah penyucian terus-menerus dalam menuju Hadirat Ilahiah Allah (swt) dan inti sarinya adalah meninggalkan kehidupan materialistik ini.”
“Suatu saat Junaid (q) melihat Iblis dalam suatu penglihatan, dan Iblis itu dalam keadaan telanjang. Junaid (q) berkata, ‘Wahai yang terkutuk, apakah kau tidak malu terlihat telanjang oleh manusia?’ Ia menjawab, ‘Oh Junaid, mengapa aku harus malu kepada orang-orang, sementara mereka sendiri tidak merasa malu pada dirinya sendiri.”
“Bila kalian bertemu dengan seorang pencari di jalan Allah (swt), dekatilah dia dengan ketulusan, kesetiaan dan kasih sayang. Jangan mendekatinya dengan ilmu. Ilmu akan membuatnya menjadi liar pada awalnya, tetapi kasih sayang akan cepat membawanya kepadamu.”
“Seorang pencari haruslah seseorang yang telah meninggalkan dirinya sendiri dan menghubungkan kalbunya kepada Hadirat Ilahi. Ia berdiri di Hadirat-Nya melakukan kewajiban-kewajibannya sambil membayangkan Hadirat Ilahi dengan kalbunya. Cahaya Ilahi telah membakar kalbunya yang membuatnya kehausan akan nektar mawar, dan menarik tirai dari matanya agar ia dapat melihat Tuhannya. Jika ia membuka mulutnya, itu adalah atas perintah dari Hadirat Ilahi. Jika ia bergerak, itu adalah atas perintah Allah, dan jika ia merasa damai, itu adalah atas perbuatan dari Atribut Ilahiah. Ia berada dalam Hadirat Ilahi dan bersama Allah.”
“Seorang Sufi adalah orang yang menjaga kewajiban-kewajiban yang telah Allah sampaikan kepada Nabi (s), dan berjuang untuk meningkatkan dirinya menuju Maqamul Ihsan, yang merupakan Makrifatullah, ilmu untuk mengenal Allah.”
“Tasawuf adalah sebuah ilmu di mana orang belajar mengenai keadaan jiwa manusia, apakah terpuji atau tercela. Jika keadaannya tercela, ia belajar bagaimana membersihkannya hingga menjadi terpuji dan menjadikannya mampu menempuh perjalanan menuju Hadirat Ilahiah Allah. Buahnya adalah perkembangan kalbu: Makrifatullah, melalui pengalaman langsung; keselamatan di akhirat; memperoleh kemenangan dengan meraih rida Allah; pencapaian kebahagiaan yang kekal; dan pencerahan dan penyucian sehingga hal-hal yang mulia menyingkapkan dirinya sendiri, maqam-maqam yang luar biasa menjadi terbuka dan ia dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh mata batin orang lain.”
“Tasawuf bukanlah semacam ibadah tertentu, tetapi lebih pada mengaitkan kalbu kepada Allah. Dalam pelaksanaannya bila ada sesuatu yang lebih disukai (mandub) menurut standard Syariah, bagi seseorang dalam situasi tertentu, maka orang itu dapat melakukannya. Inilah sebabnya mengapa kita melihat bahwa kaum Sufi telah berkhidmah di dalam Islam dalam kapasitas yang beragam. Para cendikiawan Muslim harus mendapat pendidikan mengenai Sufisme ini.”
Prediksi Grandsyekh `Abdullah ad-Daghestani (q) tentang Syekh Nazim (q)
Grandsyekh, sebelum beliau wafat, mengatakan dalam wasiatnya, “Atas perintah Nabi (s) aku telah melatih dan mengangkat penerusku, Nazim Effendi (q) dan memerintahkannya dalam berbagai khalwat dan melatihnya dalam latihan yang berat dan aku menunjuknya sebagai penerusku. Aku melihat bahwa di masa depan ia akan menyebarkan tarekat ini melalui Timur dan Barat. Allah akan membuat beragam orang, kaya dan miskin, para ulama dan politikus mendatanginya, belajar darinya dan masuk ke dalam Tarekat Naqsybandi, yaitu pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Tarekat ini akan menyebar ke seluruh dunia, sehingga tidak ada satu benua pun yang tidak mendapatkan harum wanginya.
“Aku melihatnya membangun dan mendirikan markas yang besar di London dan dari sana ia akan menyebarkan tarekat ini ke Eropa, Timur Jauh dan Amerika. Ia akan menyebarkan keikhlasan, cinta, kesalehan, harmoni dan kebahagiaan di tengah masyarakat dan mereka akan meninggalkan kejahatan, terorisme dan politik. Ia akan menyebarkan ilmu tentang kedamaian dalam hati, ilmu tentang kedamaian dalam masyarakat, ilmu tentang perdamaian di antara bangsa-bangsa, agar peperangan dan pergulatan dapat dihentikan dari dunia ini dan perdamaian menjadi faktor yang dominan. Aku melihat generasi muda mendatanginya dari berbagai penjuru dunia, meminta restu dan berkahnya. Ia akan memperlihatkan kepada mereka jalan untuk menjaga kewajiban-kewajiban mereka dalam tradisi Islam, menjadi moderat, hidup damai dengan setiap orang dengan agama-agama yang berbeda, meninggalkan kebencian dan permusuhan. Agama adalah bagi Allah (swt), dan Allah adalah Hakim bagi hamba-hamba-Nya.”
Prediksi itu telah terjadi, sebagaimana yang digambarkan oleh Grandsyekh `Abdullah (q). Setelah Grandsyekh wafat pada tahun 1973, Mawlana Syekh Nazim (q) melakukan perjalanan pulangnya yang pertama ke Turki, mengunjungi Bursa. Kemudian ia pergi ke London. Banyak generasi muda, terutama pengikut John Bennett datang menemuinya. Ketika mulai banyak orang yang berdatangan untuk mendengarnya, ia mendirikan pusat dakwah pertamanya di sana pada tahun 1974.
Setelah kunjungan pertamanya ia melanjutkan kunjungannya setiap tahun ke Inggris dan benua Eropa selama dan setelah Ramadan. Tarekat ini menyebar dengan cepat, menembus seluruh Eropa, juga Amerika, Kanada dan Amerika Selatan. Ia membuka tiga pusat dakwah di London untuk melatih orang-orang di jalan spiritualitas, menghilangkan depresi mereka dan mengangkat mereka ke dalam keadaan damai di hati mereka. Dakwahnya berlanjut ke seluruh bagian Eropa, Afrika Utara, Afrika Selatan, negara-negara Teluk, Amerika Utara dan Selatan serta sub benua India, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa daerah di China, Australia dan Selandia Baru.
Pada kunjungan pertamanya ke Amerika, Syekh Nazim (q) bertemu Pir Wilayat Khan di Pusat Spiritualnya di New York.
Anda mungkin tidak akan menemukan di negeri-negeri yang telah kami sebutkan atau negeri-negeri yang belum kami sebutkan, suatu tempat di mana sentuhan Syekh Nazim (q) tidak dirasakan. Inilah yang membedakannya dengan semua wali lainnya yang masih hidup sekarang dan semua wali yang hidup sebelumnya. Anda akan menemukan berbagai bahasa digunakan di dalam majelisnya. Setiap tahun di bulan Ramadan, sebuah pertemuan besar diadakan di London, lebih dari 5.000 orang dari seluruh dunia menghadirinya. Sebagaimana firman Allah (swt), “Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” [49:13]
Para pengikutnya berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Orang miskin, menengah, kaya, pengusaha, dokter, pengacara, psikiater, astronom, tukang pipa, tukang kayu, menteri, politikus, senator, anggota parlemen, perdana menteri, presiden, raja, sultan dan anggota keluarga kesultanan, semuanya tertarik dengan kesederhanaannya, dengan senyumnya, dengan cahayanya dan spiritualitasnya. Jadi, ia dikenal sebagai Syekh universal dengan beragam latar belakang.
Perkataan-perkataannya dan asosiasinya (shuhba) telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam banyak buku, termasuk serial Mercy Oceans dan lebih dari 35 judul lainnya. Ribuan rekaman video dan ribuan dan ribuan jam ceramahnya juga telah didokumentasikan.
Kehidupannya senantiasa aktif. Ia adalah seorang musafir di jalan Allah, jarang tinggal di rumah, selalu bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya. Satu hari ia berada di Timur, hari berikutnya sudah berada di Barat. Satu hari ia di Utara, hari berikutnya ia di Selatan. Anda tidak akan mengetahui ke mana ia akan pergi dari satu hari ke hari berikutnya. Ia selalu bertemu para pejabat untuk mendorong dilakukannya rekonsiliasi dan mendorong perdamaian, serta memelihara lingkungan. Ia selalu menanamkan benih-benih cinta, perdamaian dan keharmonisan dalam hati manusia. Kami berharap dengan semangat ajarannya, semua agama akan menemukan jalurnya menuju rekonsiliasi dan meninggalkan perbedaan-perbedaan untuk hidup secara damai dan harmonis.
Prediksi Syekh Nazim (q) tentang masa depan dunia merupakan kelanjutan dari prediksi Grandsyekh `Abdullah (q), yaitu dengan mengungkapkan kejadian-kejadian sebelum mereka terjadi, memberi peringatan kepada orang-orang agar mereka memperhatikan apa yang akan terjadi. Seringkali ia mengatakan, “Komunisme akan berakhir, dan Uni Soviet akan terpecah menjadi negara-negara kecil.” Ia juga memprediksikan bahwa Tembok Berlin akan dihancurkan.
Rahasia dari Silsilah Emas Tarekat Naqsybandi berada di tangannya. Ia membawanya dengan kekuatan tertinggi. Rahasia itu bersinar ke mana-mana. Semoga Allah (swt) memberkatinya dan memberi kekuatan padanya dalam melaksanakan pekerjaan sucinya. Semoga Allah (swt) mengirimkan lebih banyak kedamaian, berkah, keselamatan dan cahaya kepada Nabi Tercinta Muhammad (s), keluarga dan sahabatnya. Juga kepada semua nabi, awliya khususnya hamba-hamba-Nya yang taat di dalam Tarekat Naqsybandi dan semua Tarekat Sufi khususnya kepada wali-Nya di masa kita, Syekh Nazim al-Haqqani (q).
Sumber :
https://docs.google.com/document/d/1wut5MKZYz5rnsbWEGzDQOxduDdJlPEH-zoGvEQEBk1c/edit
https://naqsybandi.com/silsilah-emas/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar