"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Jumat, 27 Februari 2009

Kiat Meringankan Beban Takdir

Source Link :http://jonrock74.blog.friendster.com/
Kiat Meringankan Beban Takdir
Saturday, October 11th, 2008

Kiat Meringankan Beban Takdir

(Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)

“Pedihnya bencana menjadi ringan, manakala anda mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala adalah yang memberi cobaan bagimu. Dzat Yang memnghadapkan takdir-takdir padamu adalah Dia yang mengembalikan padamu agar ada kebaikan ikhtiar darimu.”.

Allah Ta’ala Maha Indah sifatNya, Mulia tindakanNya, sama sekali tidak bertujuan mencederai hambaNya, kecuali demi kemashlahatan si hamba itu sendiri, untuk meraih anugerah dan keutamaan dariNya. Bukan untuk menyiksa mereka.

Allah Ta’ala telah berfirman kepada NabiNya, “Bersabarlah pada hukum Tuhanmu, karena sesungguhnya kamu ada dalam penglihatan Kami.” (Ath-Thuur 48), sebagaimana Allah Ta’ala mengambalikan padamu apa yang engkau suka, maka bersabarlah terhadap apa yang ditakdirkan padamu.

Mayoritas orang merasa pedih dengan takdir yang menderanya, semata karena belum faham, bahwa semua itu adalah caraNya menguji mereka. Ujian itu dari Allah jua. Ujian tentu demi peningkatan derajat, dan sekaligus kesiapan ikhtiar yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga anugerah dan keutamaan dari Allah Ta’ala diterima dengan jiwa yang benar.

Inilah perlunya ridlo, sabar dan pasrah jiwa kepadaNya dalam situai dan kondisi apa pun.
Imam Al-Junayd al-Baghdady pernah mengisahkan:
“Pada suatu malam aku tidur di dekat Sary as-Saqathy ra (paman dan sekaligus gurunya), lalu sary membangunkan aku.

“Hai Junaid, aku sepertinya sedang berada di hadapan Allah, dan Allah berfirman padaku, “Hai Sary, aku telah menciptakan makhluk dan semua makhluk itu mengaku telah mencintaiKu. Lantas Aku ciptakan dunia, tiba-tiba 90% dari semua itu lari dariKu dan tersisa 10% saja, Kemudian aku ciptakan syurga, ternyata (yang 10%) itu pun lari dariKu (menuju syurga), hingga tersisa 1% saja. Lantas pada yang tersisa itu Aku berikan sedikit saja cobaan, rupanya mereka pun lari dariKu, tinggal 0,99%. Aku katakan kepada yang tersisa yang masih bersamaKu itu:
“Dunia bukan kalian kehendaki. Syurga juga bukan yang kalian inginkan. Neraka juga bukan membuatmu lari. Lalu apa mau kalian ini?”

“Engkau Maha Tahu apa yang kami mau…” kata mereka.
“Bila Aku memberikan cobaan sejumlah nafas kalian yang tidak bisa dipikul oleh bukit-bukit dan lembah jurang, apakah kalian bersabar?” tanyaKu.

“Bila Engkau adalah Yang Memberikan cobaan, lakukanlah sekehendakMu….” Kata mereka yang tersisa.
“Sungguh mereka kitu adalah benar-benar hamba-hambaKu …”
Karena itu Ibnu Thaillah as-Sakandary melanjutkan:

“Siapa yang menyangka lepasnya KeMaha LembutanNya dari takdirNya (yang keras), sesungguhnya karena sangkaan itu muncul dari piciknya pandangan.”

Seringkali ketika cobaan tiba, orang mengeluhkan, “Wah, Allah tidak sayang lagi padaku…Allah tidak lagi berlemah lembut kepadaku…mungkin karena dosaku, sehingga siksaNya menimpaku, hingga aku kehilangan Maha LembutNya…dsb…”
Kalimat dan keluhan demikian karena melihat pada kerasnya dan wujudnya takdir. Padahal pedih dan keras itu hanya bungkus atas Kelembutan Ilahi, demi Cinta dan KasihNya pada sang hamba. Sebab, tanpa cekaman keras itu sang hamba tidak sadar, tidak bangkit kepadaNya dan tidak tergugah untuk terus bersamaNya.

Di sinilah perlunya Husnudzon kepadaNya, karena justru dengan Husnudzon kepada Allah itu segela derita terbebaskan, segala kegembiraan tumpah padanya, dan segala kemerdekaan jiwa tumbuh berkembang bagai ranum bunga.

Secara psikhologis, bagi yang mengalami cobaan terasa berat untuk memahami kelembutan Ilahi dibalik cobaan itu. Tidak jarang yang justru protes kepada Allah, protes pada kenyataan-kenyataan, protes pada diri sendiri. Inilah yang membuat mereka sulit untuk menghayati makna cobaan.

Namun jika mereka bisa membuka pintu sabar dan gerbang ridlo, pemahaman akan KeMaha Lembutan Ilahi dibalik semua itu, pasti muncul, bahkan akan tumbuh rasa syukur dibalik semua itu.

Posted in Uncategorized | No Comments »
Introspeksi
Saturday, October 11th, 2008

1. Barangsiapa yang mengintrospeksi dirinya, maka dia telah beruntung dan barangsiapa yang lalai akan dirinya, maka dia telah merugi. Barangsiapa yang takut (akan siksa Allah), maka. dia akan aman (dari siksa-Nya). Barangsiapa yang mau mengambil pelajaran, maka dia akan terbuka pandangannya. Barangsiapa yang telah terbuka pandangannya, maka dia akan memahami. Dan barangsiapa yang telah memahami, maka dia akan mengetahui.
2. Semoga Allah merahmati seorang hamba yang takut kepada Tuhannya, menasihati dirinya, menyegerakan tobatnya, dan mengalahkan hawa nafsunya. Sebab, sesungguhnya ajalnya tersembunyi darinya, angan-angannya menipunya, sedangkan syetan menyertainya (berupaya menyesatkannya).
3. Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatianmu (dari mengingat Allah Ta’ala).
4. Ingatlah kalian akan berakhirnya segala kesenangan dan yang tersisa adalah pertanggungjawaban.
5. Amal-amal hamba terjadi dalam dunia ini, seimbang dengan perhitungannya kelak di akhirat.
6. Lihatlah wajahmu setiap waktu di cermin. jika wajahmu itu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau menambahkannya dengan perbuatan. yang buruk, yang dengannya engkau telah memberi noda padanya. Dan jika (engkau dapati bahwa) wajahmu itu buruk, anggaplah. ia memang buruk karena engkau telah menggabungkan dua keburukan (buruk rupa dan amal).

1. Didiklah dirimu dengan apa yang engkau tidak suka pada orang lain.
2. Ketika seseorang mencela terhadap dirinya sendiri secara terang-terangan adalah diam-diam ia memuji dirinya.
3. Tidaklah kemaluanmu akan berzina jika engkau memejamkan pandanganmu.
4. Syetan setiap orang adalah (sepadan dengan keadaan) dirinya sendiri.

Posted in Uncategorized | No Comments »
Dibalik Sifat - Sifat Allah
Saturday, October 11th, 2008

1. (Allah) Yang sifat-Nya tidak terbatasi oleh batasan tertentu, tidak dapat tergambarkan oleh ungkapan kata, tidak terikat oleh waktu, dan tidak ada waktu yang menyudahi-Nya. Dan kesempurnaan keikhlasan kepada-Nya adalah dengan menafikan segala sifat dariNya. Sebab, setiap, sifat adalah berlainan dengan yang disifati, dan setiap yang disifati bukanlah persarnaan dari sifat yang menyertainya. Maka, barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu dengan-Nya.
2. Dialah Allah Yang Benar lagi Yang Merjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya), Yang lebih benar dan lebihj elas daripada yang dilihat oleh mata. Dia tidak dapat dicapai oleh akal dengan pernbatasan, maka, tiadalah Dia dapat disamakan (dengan sesuatu). Tidak pula Dia ditimpa oleh waham. dengan perkiraan, maka Dia tidak dapat diserupakan. Tidak ada dalam keawalan-Nya permulaan, dan tidak ada dalam keazalian-Nya kesudahan (kesirnaan). Dialah Yang Awal dan senantiasa Awal (tidak berubah keadaan-Nya), dan Dia Mahakekal tanpa ada batas waktu (kematian). Dahi-dahi bersuJud kepada-Nya dan bibir-bibir pun mentauhidkan-Nya. Dia membatasi segala sesuatu saat penciptaannya, yang menjadi penjelas bagi kesamaannya.
3. Dia (Allah) tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan mata, tetapi hati yang penuh dengan hakikat, keirnanan sajalah yang dapat mencapai-Nya. Dia Dekat dari segala hal tanpa sentuhan. Jauh tanpa adajarak. Berpikir tanpa perlu berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa keinginan. Berbuat tanpa mernerlukan tangan. Lembut namun tidak tersembunyi. Besar namun tidak kasar. Maha Melihat namun tidak bersifat inderawi. Dan Maha Penyayang namun tidak bersifat lunak.
4. Ya Allah, Engkaulah Pemilik sifat yang bagus dan penghitungan yang banyak. jika Engkau diharapkan, maka Engkau adalah sebaik-baik yang diharapkan. Dan jika Engkau dimintai (suatu pennohonan), maka Engkau adalah sebaik-baik yang dimintai.
5. Mahasuci Allah yang tidak dapat dicapai oleh angan-angan yang jauh, dan tidak dapat pula diraih oleh dugaan orang yang tajam pikirannya. Dialah Yang Awal yang tidak ada batas akhir bagi-Nya; dan tidak ada akhir bagi-Nya, maka Dia tidak akan sirna.
6. Dia (Allah) tidak pernah dilalui oleh masa, maka keadaan-Nya tidak pernah berbecla. Tidak pula Dia berada dalam suatu tempat yang menghar-uskan-Nya berpindah tempat. Dia Maha Mengetahui (segala) rahasia yang ada di dalarn hati yang tersembunyi, bisikan orang~ orang yang berbisik-bisik, dan kecenderungan seseorang dalarn hatinya.
7. Sesungguhnya Allah SWT tidak tersembunyi bagi-Nya apa yang diperbuat oleh hamba-hamba-Nya pada waktu malam mereka dan siang hari mereka. Dia Mahalembut lagi Maha Mengetahui dan Dia benar-benar meliputi segala sesuatu. Anggota-anggota tubuhmu adalah saksi-saksi-Nya dan tentara-tentara-Nya, hati kalian adalah mata-Nya, dan kesendirian kalian adalah pandangan-Nya.
8. Segala puj i bagi Allah Yang Awal, yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya; Yang Akhir, yang tidak sesuatu pun setelah-Nya; Yang Dzahir, yang tidak ada sesuatu pun di atasnya; dan Yang Batin, yang tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya. Ilmu-Nya menembus segala tirai batin kegaiban dan Meliputi segala kesamaran rahasia.

Posted in Uncategorized | No Comments »
Hati
Saturday, October 11th, 2008

Hati

1. Yang paling menakjubkan pada diri manusia adalah hatinya, padahal ia merupakan sumber hikmah sekaligus lawan kontranya.
* Jika timbul harapan, maka ia ditundukkan ketamakan, ia akan dibinasakan oleh kekikiran.
* Jika ia telah dikuasai keputus-asaan, penyesalan akan membunuhnya.
* Jika ditimpa kemarahan, menjadi keras kepalalah ia.
* Jika sedang puas, ia alpa menjaganya.
* Jika dilanda ketakutan, dia disibukkan oleh kehati-hatian.
* Jika sedang dalam kelapangan (kaya), bangkitlah kesombonganya.
* Jika mendapatkan harta, kekayaan menjadikannya berbuat sewenang-wenang.
* Jika kefakiran menimpa, ia tenggelam dalam kesusahan.
* Jika laparnya menguat, kelemahan menjadikannya tidak mampu berdiri tegak.
* Dan jika terlampau kenyang, perutnya akan mengganggu kenyamanannya.
* Sesungguhnya setiap kekurangan akan membahayakan dan setiap hal yang melampaui batas akan merusak dan membinasakan.
2. Ada empat hal yang mematikan hati, yaitu: dosa yang bertumpuk-tumpuk, (mendengarkan) guyunon orang tolol, banyak bersikap kasar dengan kaum perempuan dan duduk bersama orang-orang mati.
Mereka bertanya , “Siapakah orang-orang mati itu, wahai Amirul Mu’minin?”
Imam ‘Ali, kw, menjawab, “Yaitu setiap hamba yang hidup bergelimang dalam kemewahan.”
3. Ketahuilah! Sesungguhnya diantara bencana ada kefakiran, yang lebih berat daripada kefakiran adalah penyakit badan dan yang lebih berat daripada penyakit badan adalah penyakit hati. Ketahuilah! Sesungguhnya di antara kenikmatan adalah banyak harta, yang lebih utama daripada banyak harta adalah kesehatan badan dan yang yang lebih utama daripada kesehatan badan adalah ketaqwaan hati.
4. Tanyalah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap.
5. Sebaik-baik hati adalah yang paling waspada menjaganya.
6. Nyalakan hatimu dengan adab, sebagaimana nyalanya api dengan kayu bakar.
7. Harta simpanan yang paling bemanfaat adalah cinta hati.
8. Sesungguhnya hati memiliki keinginan, kepedulian, dan keengganan. Maka, datangilah ia dari arah kesenangan dan kepeduliannya. Sebab jika hati itu dipaksakan, ia akan buta.
9. Sesungguhnya hati mengalami kejemuan, sebagaimana jemunya badan. Maka, berikanlah padanya anekdot-anekdol hikmah.
10. Jika engkau ragu dalam hal kecintaan seseorang, maka tanyakanlah hatimu.

Sayyidina Ali Karomallahu Wajha

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Kesalah Pahaman Terhadap Dunia Sufi

Source Link:http://jonrock74.blog.friendster.com

Kesalah Pahaman Terhadap Dunia Sufi III

*Seputar Akidah Sufi terhadap Rasulullah SAW*

Diantara persoalan yang digugat oleh mereka yang anti Tasawuf adalah mengenai akidah kaum Sufi terhadap Rasulullah SAW. Mereka menuduh kaum Sufi bahwa, kaum Sufi berpandangan kalau Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi.

Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.

Bahkan Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qolam, langit dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama Maujud, dan dialah yang bersemayam di Arasy.

*JAWABAN*

Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia Sufi sebegitu dangkal Memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga memiliki tuduhan terhadap kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan sesat?

Para Sufi sama sekali tidak pernah berpandangan bahwa Rasulullah SAW. Tidak mencapai martabat Sufi. Justru sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insan Kamil, sebagai puncak paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah, dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para penempuh itu.

Coba jika mereka mau mencoba memahami karya Ibnu Araby maupun Al-Jily
Yang selama ini mereka tuduh sebagai biang kerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah. Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya imajiner mereka?

Salah satu contoh betapa mereka dangkal memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul. Coba renungkan dengan jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.

Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.

Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad yang menjadi awal maujud ini. Mereka yang kontra dengan dunia Sufi memang tidak memahami apakah
sesungguhnya hakikat Nur (Cahaya) itu sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nurullah dengan Nur Muhammad, apa pula bedanya dengan Nurun alan-Nuur, yang ada di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.

Belum lagi makna dari Kegelapan (Dzulumat), bagaimana wujud dzulumat, apa pula lapisan dzulumat, fakta dzulumat, rekayasa dzulumat dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan muncul dari wahana dzulumat?

Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali diciptakan adalah An-Nuur”, dan
hadits lain menyebutkan, “Awal yang diciptakan Allah adalah al-Qolam…”
serta hadits lain berbunyi, “Awal yang diciptakan Allah adalah akal…”

Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan tahu bagaimana sistematika
Istimbath manakala ada hadits satu sama lain yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nasikh dan mansukh. Tetapi hadits tersebut cukup difahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam keragaman”.

Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara eksistensial maupun fungsional. Artinya Nur adalah esensi dari akal, dan Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal yang membuat Titik dari huruf Nun dalam Kun itu.

Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu jika disebutkan dalam ayat Ar-Rahmaanu ‘alal Arsyisy Istawa (Yang Maha Rahman bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahman secara makrokosmos adalah jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahman yang termaujud dalam Ar-Rahim. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir, menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ro’ufur Rohiim.

Maka, dengan akal yang dangkal dan pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallahu A’lam.

*Tuduhan terhadap Dunia Wali*

Mereka menuduh kaum Sufi, dengan suatu tudingan keliru. Diantara tudingan mereka yang kontra pada dunia Sufi, tentang Kewalian antara lain:

1. Sufi dituduh mengutamakan Wali daripada Nabi.

2. Para Wali dianggap sama dengan Allah dalam setiap sifatNya, bermula dari salah paham mereka mempersepsi tentang ragam dunia Wali dengantugas-tugas ruhani masing-masing, seakan-akan tugas itu menyamai tugas Allah.

3. Para Wali seperti memiliki dewan, majlis, berkumpul di gua Hira untuk menunggu takdir.

Tiga tudingan itulah yang membuat orang salah paham terhadap dunia Sufi.

*JAWABAN*

Ummat Islam sepakat adanya para Auliya’ atau kekasih-kekasih Allah. Bahkan mereka yang kontra terhadap dunia Tasawuf pun memiliki definisi khusus, menurut penafsiran formal mengenai para Wali ini, yang tentu saja berbeda jauh antara langit dan bumi dengan pemahaman kaum sufi.

1. Kaum Sufi tidak pernah menempatkan derajat para Wali lebih ungguldibanding para Nabi dan Rasul. Para Auliya adalah sebagai pewaris dan pemegang amanah Risalah setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Sebagai Khalifah dan sekaligus juga sebagai pewaris Nubuwwah. Jika, muncul ungkapan-ungkapan kehebatan para Auliya dalam kitab-kitab Tasawuf, sama sekali tidak ada satu pun kata atau isyarat yang menunjukkan keunggulan maqom Auliya’ dibanding maqom Ambiya dan Rasul. Semata hanya ingin mempresentasikan jika para Auliya’ diberi karomah (hal-hal yang di luar nalar akal rasional) oleh Allah swt, apalagi para Anbiya dan Mursalin.

2. Para Sufi yang diangkat derajatnya oleh Allah meraih maqom kewalian atas KehendakNya, diberi anugerah, fadlal dan rahmatNya, menurut kehendakNya. Kesalahpamahan mereka yang kontra terhadap dunia Wali semacam ini bersumber pada fenomena karomah, fenomena hikmah-hikmah terdalam yang tidak bisa dipahami oleh mereka, karena hanya merujuk pada teks Qur’an dan Hadits tanpa mengenal hakikat kedalaman dibalik ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah itu.

Apakah anda tega menyalahkan Syeikh Abdul Qadir al-Jilany, Abul Hasan Asy-Syadzily, Hujjatul Islam al-Ghazaly, Ibnu Araby. Al-Bisthamy, Asy-Syibly, Junaid al-Bahgdady, para Imam Mazhab, yang sangat terkenal sebagai para Auliya’ Allah, dan sama sekali mereka jauh dari perspesi anda tentang kewalian itu?

Padahal mereka adalah para penjaga Al-Qur’an dan as-Sunnah, para pelestari tradisi Syariat, Thariqat dan hakikat Risalah Nabi besar Muhammad SAW.

Jadi jika ada Istilah Abdal sebagaimana juga pernah disebut oleh Nabi Muhammad SAW, tentu saja, tidak gampang memahami tugas-tugas para Wali itu. Sedangkan siapa pun dalam menjelajah dunia ruhani, metafisika, dunia hakikat senantiasa justru akan dlolalah (tersesat) sepanjang perjalanannya tidak dibimbing oleh Wali yang Mursyid, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Siapa yang sesat (jalan menuju kepada Allah) maka ia tidak akan Pernah menemukan Wali yang Mursyid”.

Kriteria Wali Mursyid tentu tidak sesederhana yang mereka pahami. Kata Iman dan Taqwa saja, sangat berlapis-lapis kedalamannya, dan beragam pula wilayah implementasinya dalam dunia jiwa para hamba Allah. Apakah sebegitu mudah orang mengaku menjadi Wali Allah, hanya karena merasa beriman dan merasa bertaqwa dan bahkan mengklaim merasa dirinya beramal shaleh?

Sedangkan tahap agar hamba Allah bisa bebas dari rasa takut dan gelisah saja sulitnya bukan main. Gelisah terhadap cobaan dunia dan cobaan akhirat, takut terhadap fitnah dunia dan siksa akhirat, pun manusia akan sulit membebaskan psikhologinya. Padahal para Wali itu tidak pernah takut dan tidak pernah susah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an. Inilah yang dipresentasikan dunia Tasawuf sebagai tradisi ilmu-ilmu Islam bidang hakikat, yang juga bisa difahami manakala melalui pendekatan hakikat pula, dengan logika bathiniyah yang suci. Sebab wilayah hakikat bukanlah wilayah rasional empiris, juga bukan wilayah inderawi. Itu pun harus dalam bimbingan mereka yang telah meraih keparipurnaan hakikat sebagai Insan Kamil.

Karena itu Ibnu Araby, membagi komunitas para auliya’ menurut komunitas kebajikan yang disebut dalam berbagai ayat Al-Qur’an, semisal,komunitas Sholihun, Muhsinun, Shobirun, Syakirun, Dzakirun, Mujahidun, Muttaqun, ‘Aminun, Mukhlishin, Mukhlashin, ‘Abidun, dan ratusan Komunitas Sholeh disana yang tentu saja, merupakan kualifikasi moral yang begitu dalam. Jika Allah menyebutkan suatu kelompok moral, dengan Menggunakan istilah tertentu, pasti memiliki rahasia tertentu pula. Kata Robb, beda dengan kata Ilah, beda lagi dengan penyebutan yang menggunakan Sifat dan Asma’ sepetri Al-Khaliq, Al-Bari’, al-Mushowwir, misalnya.

Munculnya istilah Ghauts, Quthub, Abdal, Nuqaba’, Nujaba’, tentu memiliki dasar-dasar yang tersirat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dan tugas-tugas amanah kewaliyan mereka tentu Allah sendiri Yang Maha Tahu, yang dengan KemahakuasaanNya, dan Irodah MutlakNya, memberikan wewenang dan tugas khusus. Dan semua tugas itu juga dalam rangka meneruskan amanah Rasul SAW.

3. Soal adanya dewan para Wali, sesungguhnya juga tidak bias dipersepsi sebagaimana kita memahami majlis sosial politik, dengan dewan pimpinan tertentu itu, dengan cara pemilihan ketua dewan atau ketua organisasi. Bahwa dalam dunia Kewalian ada hirarki struktural secara ruhani, pasti sangat berbeda hirarki strukturalnya dengan dunia sosial manusiawi. Kalau suatu saat memang ada tugas bermajlis di gua Hira’, itu bukan Suatu tugas yang bisa dinilai sebagaimana berkumpulnya sebuah majlis PBB atau lainnya. Namun, karena tugas kasuistis, menyangkut perkara moralitas ummat manusia di dunia, bahkan yang hidup maupun yang sudah mati, yang begitu tampak jelas dalam Alam Mukasyafah mereka, melalui Nur Ilahi.

Tetapi wajar jika anda mempersoalkan, adanya kelompok tertentu yang mengklaim dewan para wali, lalu membuat pertemuan alam ghaib, lalu mereka merasa sebagai para wali, padahal tidak lebih dari sebuah tipudaya alam Jin dan Iblis, bisa saja demikian. Karena Iblis dan Syetan pun punya kelompok tandingan Wali yang disebut dalam Al-Qur’an “Auliya’ as-Syayathin”. Atau para Wali Syetan, yang seringkali menggunakan jubah religius dan keagamaan. Mereka berjubah, tapi penuh dengan kebusukan, ketakaburan, riya’ dan ‘ujub, hubbud dunya (cinta dunia), penghamba nafsu dan takut mati.

Namun alangkah piciknya kita kalau memahami dunia Wali dari sekadar gelombang sosial ummat atau dari fenomena keagamaan (khususnya di bidang bathiniyah), lalu anda membuat kesimpulan gradual, kesimpulan salah kaprah, sebagaimana para orientalis dan pengamat Sufi yang lebih banyak salah kaprahnya dalam memaknai istilah dan terminologi Sufi itu sendiri.

Wallahul Muwaffiq ila Aqwamith Thoriq, wallahu A’lam bish-Showab.

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Pidato Syekh Nazim Adil al-Haqqoni di Pesantren TQN

Pidato Syekh Nazim Adil al-Haqqoni di Pesantren Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah “Suryalaya pada tanggal 05 Mei 2001″

Mursyid Kammil Mukammil Thoriqoh Naqsyabandi Al-Haqqani, As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani dan kholifahnya Syekh Hisyam Al-Kabbani berkunjung ke Mursyid Kammil Mukammil As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom ) sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah yang berada di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia.

Source Link :http://daikembar.wordpress.com/422/

Pidato Syekh Nazim Adil al-Haqqoni di Pesantren Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah

“Suryalaya pada tanggal 05 Mei 2001″




“Banyak para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan pengetahuan agama kepada umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah artinya lilin-lilin yang banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau lilin-lilin itu tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam kalbunya beliau ( Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin).

Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi itu.Siapakah orangnya, saya tidak tahu.

Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari kalbu beliau kepada kalbu anda masing-masing. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin.

Dari kalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada kalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi kalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari kalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada kalbu beliau. Saya malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada kalbu saya sendiri.”

Pidato Syekh Nazim diatas juga pernah dimuat di Majalah Sufi “Lilin-lilin tapi tidak bercahaya”



Syekh Nazim adil al-Haqqani berpamitan kepada Syeikh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin (Abah Anom) untuk kembali ke Jakarta

Dan dibawah ini pidato yang diterjemahkan oleh KH.Wahfiudin yang telah mendampingi Syekh Nazim Haqqoni dan Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ( Abah Anom ) disuryalaya.

Diterjemahkan Oleh Wahfiudin, M.B.A

(Wakil Talqin Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin r.a)

dan sebagai

(Muballigh Tv-Tv Swasta)

1. Hamdalah, sholawat, do’a untuk seluruh yang hadir, maupun muslimin/muslimat seluruhnya.

2. Kalau saya berbicara dalam bahasa Inggris tentu hanya sedikit orang yang faham, maka saya membutuhkan perterjemah. Sebenarnya saya ingin berbicara panjang lebar, tetapi orang-orang yang hadir sudah letih menunggu dan punya kepentingan-kepentingan yang lain. Maka saya akan berbicara kurang lebih setangah jam saja.

3. Kita saat ini hidup di zaman sulit dan serba kekurangan. Kekurangan orang-orang yang kuat, kekurangan orang-orang yang memiliki iman, kekurangan orang yang memiliki cahaya (nur) ilahi. Padahal tanpa nur Ilahi, segala kepandaian yang dimiliki manusia menjadi tidak ada apa-apanya.

4. Banyak ‘ulama dan cendikiawan di berbagai madrasah dan mejelis ilmu mengajarkan macam-macam ilmu pengetahuan. Tapi ilmu pengetahuan itu hanya ibarat lilin-lilin kecil saja dan menjadi tak berguna tanpa adanya api yang membawa cahaya. Meskipun orang membuat lilin-lilin sebesar pohon-pohon kelapa, apa artinya lilin-lilin itu kalau tidak dapat menerangi. Maka selain mencari lilinya, cari pula apinya yang menimbulkan cahaya.

5. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Cahaya Allah disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. lalu meneruskannya kepada para Sahabatnya dan para sahabatnya meneruskannya lagi kepada generasi-generasi sholih berikutnya. Dari mereka cahaya itu terus tersalurkan kepada orang-orang yang “siap” dan “mau” menerimanya. Itulah para mursyid thoriqoh. Ada 41 thariqoh di dunia, 40 diantaranya memperoleh Nur Ilahi melalui Sayyidina Ali bin Abi Tholib KW. Hanya satu yang memperoleh Nur Ilahi melalui Sayyidina Abu Bakar as-Shadiq, itulah thariqah Naqsyabandiyyah.

6. Sekarang, tidak banyak lagi orang-orang yang membawa obor Nur Ilahi itu. Di Indonesia yang penduduknya banyak inipun, orang pembawa obor Nur Ilahi tidak lebih dari sepuluh jari tangan jumlahnya. salah satunya adalah Beliau yang ada disebelah saya, Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin.

7. Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin ini sudah berusia lanjut, dan sudah agak lemah keadaan fisiknya. Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.

8. Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari kalbu beliau kepada kalbu anda masing-masing.

9. Orang yang hidup di dunia tanpa Nur Illahi adalah orang yang buta. Dan (Syekh Nazim mengutip al-Qur’an), “Barang siapa yang didunia ini buta, maka di akhiratnya pun akan buta”. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin.

10. Beliau (Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul ‘Arifin) nampaknya saja tertunduk dan tidur. Sebetulnya beliau tidak tidur. Dari kalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada kalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi kalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari kalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada kalbu beliau. Saya malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada kalbu saya sendiri.

11. Demikianlah apa yang saya perlu saya sampaikan kepada anda semua. (Lalu Syekh Nazim menutup pembicaraannya dengan tahlil, sholawat dan do’a). Saya tuliskan point-point ceramah Syekh Nazim ini berdasarkan sisa ingatan saya ketika mendengar dan menterjemahkan pidato beliau empat hari setelah kejadian, sepulang saya dari Medan. Tentu saja ada banyak kekeliruan ataupun kekurangannya. Saya mohon maaf, dan kepada Allah Swt., saya bersimpuh memohon ampun. Jakarta09 Mei 2001**

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Urgensi Mursyid Dalam Tareqat

Source Link :http://saziliyahtareqat.blogspot.com/

Wednesday, December 6, 2006
Urgensi Mursyid Dalam Tareqat
Allah Swt. berfirman:“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).

Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual.

Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual.

Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.


Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.


Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka.


Tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.

Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.

Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.

Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid.

Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu sendiri.

Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya.

Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul.


Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal:

“Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan”.


Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi, mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid.

Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.

Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya. Bukan demikian.

Tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan persimpangan.Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha’at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:

“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas.

Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin ‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak – minimal –ada lima:

1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.


Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:

1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.


Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani:

1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan thaat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.

Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu.


”Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan, “Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah”.

Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi.

Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri:

1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.

Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah. Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka, dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.


Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:

1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.


Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt.Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah.Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.> anda juga bisa baca artikel ini di www.sufinews.com
Posted by Sazaliah Tareqat at 9:19 AM 0 comments

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

RAHASIA DIBALIK DZIKIR JAHAR

Source Link: http://daikembar.wordpress.com/

RAHASIA DIBALIK DZIKIR JAHAR

Hingga kini, masih banyak orang yang under estimate, merasa tidak mempercayai dengan dalil suudzon dan syak wasangka, apakah benar ada yang dinamakan dzikir jahar atau dzikir keras. Kebanyakan dari mereka, mengira bahwa yang dinamakan dzikir keras itu sesuatu yang tidak ada riwayat dari Rasulnya. Benarkah?

Sebagai ilustrasi, sebagaimana orang bijak pernah berkata, bahwa manusia akan dikumpulkan dengan orang yang disukainya. Jika ia mencintai musik, maka ia akan berkumpul dengan para pecinta musik. Jika ia mencintai hobi motor cross misalnya, maka ia akan berkumpul dengan mereka yang mencitai hobi yang sama. Tidak perduli dengan suara bising dan dentuman musik yang menjadi-jadi. Bagi mereka yang penting adalah mencari kenikmatan.

Ya, begitulah bahwa manusia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang memiliki hobi dan minat yang sama. Demikian juga dengan dzikir, atau bagi mereka yang menyukai dzikir. Timbulnya pertanyaan, benarkah ada dzikir jahar, ialah keluar dari mereka yang memang belum mencintai apa itu dzikir jahar. Padahal, Allah sendiri adalah firman-Nya menyatakan bahwa orang yang beriman yang memiliki hati suci, jika mendengar dzikir akan tersentuh dan gemetar hatinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” (QS. Al Anfal ayat 2).

Dalam ayat ini, Allah memberi isyarat bahwa mereka yang beriman tidak akan merasa resah tetapi akan tersentuh hati dan jiwanya jika mendengarkan dzikir. Dari ayat ini yang menjadi titik tekan adalah dalam kata dzukiro, yang berarti dzikir itu dibacakan. Berarti orang yang beriman itu mendengar bacaan dzikir, lalu mereka bergetar hatinya. Kemudian, kita bisa menyimpulkan bahwa apa pun yang bisa didengar atau terdengar itu adalah suara yang dinyaringkan atau dikeraskan. Berarti dzikir dalam ayat tersebut adalah dzikir jahar atau dzikir yang dinyaringkan. Untuk lebih jelasnya, maka kita uraikan satu per satu ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan tentang dzikir jahar.

HUKUM DZIKIR KERAS (JAHAR) DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS
HUKUM DZIKIR JAHAR DALAM AQUR’AN

- 1. Q.S. AL-‘AROF AYAT 204 :

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat .”

Penjelasan ayat ini bukan menunjukan dzikir dalam hati tapi dzikir yang terdengar atau dzikir keras. Namun, Ayat di atas seakan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits yang lain tentang anjuran untuk berdzikir dalam hati seperti Q.S.Al-‘Arof ayat 205: “Sebutlah nama Allah di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan tidak dengan suara yang keras dari pagi sampai petang, Dan janganlah dirimu menjadi golongan yang lupa (lalai).”

Sebenarnya Ayat 205 ini tidaklah bertentangan dengan ayat 204 yang menunjukan akan diperintahkannya dzikir jahar. Dan ayat 205 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang dzikir keras karena akan bertentangan dengan dzikir yang telah umum yang biasa dibaca dengan suara keras, seperti takbiran, adzan, membaca talbiyah ketika pelaksanakan haji, membaca al-qur’an dengan dikeraskan atau dilagukan, membaca sholawat dangan suara keras dan lain-lain. Hanya saja, Q.S Al’Arof ayat 205 ini hanya menjelaskan tentang dzikir yang tidak memakai gerak lidah yaitu dzikir dalam hati atau khofi. Jadi penjelasan Ayat 205 ini menunjukan, bagaimanapun bentuknya dzikir jika dibaca dalam hati pasti tidak akan mengeluarkan suara karena dzikirnya sudah menggunakan hati, bahkan sudah tidak menggunakan gerak lidah.

Kesimpulan dari dua ayat itu, Allah menunjukan adanya perintah dibolehkannya berdzikir dengan jahar (keras) maupun dzikir dalam hati (khofi) yang tidak memakai gerak lidah.

- 2. Q.S.AL-BAQOROH AYAT 200 :

“Apabila engkau telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menywebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikirlah lebih (nyaring dan banyak) daripada itu.”

Menurut Ibnu Katsir, latar belakang turunnya ayat ini ialah kebiasaan bangsa Arab, baik suku quraisy maupun lainnya pada musim haji mereka biasanya berkumpul di Mudzalifah setelah wukuf di Arafah. Disitu mereka membanggakan kebesaran nenek moyang mereka dengan cara menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka itu dalam pidato mereka. Ketika telah memeluk agama Islam, Nabi memerintahkan mereka hadir di Arafah untuk wukuf kemudian menuju mudzdalifah. Setelah mabit di mudzdalifah mereka diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu dengan tidak menunjukan perbedaan diantara mereka (dengan cara menyebut kebesaran nenek moyang) seperti yang mereka lakukan pada masa pra Islam.

Berbeda dengan Ibnu Katsir, yaitu Mahmud Hijazi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bila kamu selesai mengerjakan haji maka berdzikirlah kepada Tuhanmu dengan baik (dengan cara menyebut-nyebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu sewaktu kamu jahiliyah atau sebutlah nama Allah itu lebih keras daripada kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu itu. Begitu pun penafsiran Ibnu Abbas, seperti terdapat dalam kitab Tanwir al Miqbas ketika menafsirkan kata aw asyadda dzikro yang berarti menyebut Allah dengan mengatakan “Ya Abba” seperti menyebut nenek moyang “Ya Allah”.

Dua pendapat mufasir di atas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa menyebut nama Allah dalam pengertian dzikrullah dianjurkan setelah menunaikan ibadah haji,. Dzikrullah tersebut dikerjakan dengan suara keras, bahkan boleh dengan suara yang lebih keras daripada suara jahiliyah tatkala mereka menyebut nama nenek moyang mereka ketika berhaji.

- 3. Q.S. AL-BAQOROH AYAT 114 :

“ Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalangi-halangi menyebut nama Allah di dalam mesjid-mesjid-Nya ..”

- 4. Q.S. AN-NUR AYAT 36 :

“ Didalam semua rumah Allah diijinkan meninggikan (mengagungkan) suara untuk berdzikir dengan menyebut nama-Nya dalam mensucikan-Nya sepanjang pagi dan petang.”

- 5. Dan lain-lain

HUKUM DZIKIR JAHAR MENURUT HADITS ROSUL

HADITS KE SATU

Dalam Kitab Bukhori jilid 1:

Dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas ra., berkata: “Inna rof’ash shauti bidzdzikri hiina yanshorifunnaasu minal maktuubati kaana ‘ala ‘ahdi Rosuulillaahi sholallaahu alaihi wasallam kuntu ‘alamu idzaanshorrofuu bidzaalika sami’tuhu.” Artinya :“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir setelah manusia-manusia selesai dari sholat fardlu yang lima waktu benar-benar terjadi pada zaman Nabi Saw. Saya (ibnu Abbas) mengetahui para sahabat melakukan hal itu karena saya mendengarnya .”

Selanjutnya dalam hadits :“Suara yang keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu atau ba’da waktu sholat fardhu, akan berbekas dalam menyingkap hijab, menghasilkan nur dzikir” (HR. Bukhari).

- HADITS KE DUA

Dari Abu Khurairah ra, katanya Rasulullah bersabda: “Allah berfirman; ‘Aku berada di dalam sangkaan hamba-Ku tentang diri-Ku, Aku menyertainya ketika dia menyebut-Ku, jika dia menyebut-Ku kepada dirinya, maka Aku menyebutnya kepda diri-Ku. Maka jika menyebut-tu di depan orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tempat yang lebih baik daripada mereka” (HR. Bukhari). Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut ‘di depan orang banyak’, berarti dzikir tersebut dilakukan secara jahar.

- HADITS KE TIGA

Diriwayatkan di dalam Al Mustadrak dan dianggap saheh, dari Jabir ra. berkata: “Rasulullah keluar menjumpai kami dan bersabda: ‘Wahai saudara-saudara, Allah memiliki malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis-majlis dzikir di dunia. Maka penuhilah taman-taman syurga’. Mereka bertanya:’Dimanakah taman-taman syurga itu?’. Rasulullah menjawab: ‘Majlis-majlis dzikir.’ Kunjungilah dan hiburlah diri dengan dzikir kepada Allah” (HR. Al Badzar dan Al Hakim).

Penjelasan hadits ini, bahwa dalam kalimat ‘malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis dzikir di dunia’ maksudnya berarti dzikir dalam hal ini adalah dzikir jahar yang dilakukan manusia. Karena malaikat hanya mengetahui dzikir jahar dan tidak mampu mengetahui dzikir khofi. Hal ini sebagaimana sabda Rasul: “Adapun dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat yakni dzikir khofi atau dzikir dalam hati yakni dzikir yang memiliki keutamaan 70x lipat dari dzikir yang diucapkan” (HR. Imam Baihaqi dalam Kitab Tanwirul Qulub hal.509).

- HADITS KE EMPAT

Hadits yang dishohehkan oleh An Nasai dan Ibdu Majjah dari As Sa’ib dari Rasululah SAW, beliau bersabda: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata, ‘Perintahkanlah kepada sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suaranya di dalam takbir”(HR. Imam Ahmad Abu Daud At Tirmidzi).

Penjelasan hadits ini, bahwa sangat jelas tidak dilarangnya dzikir keras tetapi dianjurkan untuk melakukan dzikir jahar.

- HADITS KE LIMA

Didalam kitab Sya’bil Iman dari Abil Jauza’ ra. berkata :“Nabi Saw, bersabda, “Perbanyaklah dzikir kepada Allah sampai orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” (H.R.Baihaqi)

Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut “orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” Hadits ini menunjukan dzikir jahar karena dengan dzikir jahar (terdengar) itulah orang munafik akhirnya menyebutnya ria .

- HADIITS KE ENAM

Juga dalam kitab Sya’bil Iman yang di shohehkan oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., berkata :“Nabi Saw, bersabda,” Perbanyaklah dzikir kepada Allah kendati kalian dikatakan gila”. (H.R.Al-Hakim danAl-Baihaqi)

- HADITS KE TUJUH,

Dari Jabir bin Abdullahra, berkata :“Ada seorang yang mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka seorang berkata, “ semestinya dia merendahkan suaranya.” Rosulullah bersabda,” Biarkanlah dia,sebab sesungguhnya dia adalah lebih baik.“ (Al-Baihaqi). Dari Sa’id bin Aslam ra., katanya Ibnu Adra’ berkata, “ Aku menyertai Nabi Saw. Pada suatu malam, lalu melewati seseorang di mesjid yang mengeraskan suaranya, lalu aku berkata, “ Wahai Rosulullah, tidaklah ia termasuk orang ria ? “ Beliau menjawab, “ Tidak,tetapi dia pengeluh,” (H.R.Baihaqi).

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR JAHAR

Imam An-Nawawi berkata : “Bahwa bacaan dzikir sir (samar) lebih utama apabila takut ria, atau khawatir mengganggu orang yang sedang sholat atau tidur. Sedangkan yang jahar (dzikir keras) lebih baik apabila tidak ada kekhawatiran tentang hal ini, mengingat amalan di dalamnya lebih banyak manfaatnya, karena ia dapat membangkitkan kalbu orang yang membaca atau yang berdzikir, ia mengumpulkan semangat untuk berfikir, mengalahkan pendengaran kepadanya, mengusir tidur, dan menambah kegiatan” (dalam Kitab Haqiqot Al-Tawwasulu wa Al-Wasilat Al-Adlow’il kitabi wa As-Sunnah).

Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih didalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang kepada Allah yang telah menjadikan hati jadi keras bagaikan batu, penghalangnya yaitu seperti sipat malas, sombong, ria, iri dengki dan sebagainya)

Imam Al-Ghozali r.a. mengatakan: “Sunnat dzikir keras (jahar) diberjemaahkan di mesjid karena dengan banyak suara keras akan memudahkan cepat hancurnya hati yang keras bagaikan batu, seperti satu batu dipukul oleh orang banyak maka akan cepat hancur”.

KENAPA MESTI DZIKIR KERAS?

Ulama ahli ma’rifat mengatakan bahwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah bisa diperoleh dengan kebeningan hati. Sedangkan kebeningan hati itu bisa dicapai dengan suatu thoriqoh (cara), diantaranya banyak berdzikir kepada Allah. Jadi, ma’rifat tidak akan bisa diperoleh jika hati kita busuk penuh dengan kesombongan, ria, takabur, iri dengki, dendam, pemarah, malas beribadah dan lain-lain. Oleh sebab itu dzikir diantara salah satu cara (thiriqoh) untuk membersihkan hati.

Sebab, manusia sering menyalahgunakan fitrah yang diberikan Tuhan, sehingga hati mereka menjadi keras. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut, mendorong manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hal tersebut sebagaimana kalimat yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 74: “tsumma qosat quluubukum minba’di dzaalika fahiya kal hijaaroti aw asyaddu qoswatun”, artinya “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,bahkan lebih keras lagi”. Dari ayat tersebut hati manusia yang membangkang terhadap Allah menjadikan hatinya keras bagaikan batu bahkan lebih keras daripada batu.

Maka, jalan keluarnya untuk melembutkan hati yang telah keras bagaikan batu sehingga kembali tunduk kepada Allah, sebagaimana Ulama ahli ma’rifat mengatakan penafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitab miftahu Ash-Sshudur karya Sulthon Awliya Assayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “fakamaa annal hajaro laa yankasiru illa biquwwatin dlorbil muawwil fakadzaalikal qolbu laayankasiru illa biquwwati ”, artinya “sebagaimana batu tidak pecah kecuali bila dipukul dengan tenaga penuh pukulan palunya, demikian hati yang membatu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan kuatnya suara dzikir. “liannadz dzikro laa yu’tsiru fiijam’i tsanaati qolbi shohibihi illa biquwwatin”, artinya “ Demikian pula dzikir tak akan memberi dampak dalam menghimpun fokus hati pendzikirnya yang terpecah pada Allah kecuali dengan suara keras”.

Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih di dalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang yang akan menghalangi kita dekat kepada Allah, seperti sifat-sifat jelek manusia: iri, dengki, sombong, takabur,dll yang disumberkan oleh hati yang keras).

CARA BERDZIKIR DENGAN KERAS YANG DIAJARKAN ROSUL

Dalam hadits shohihnya, dari Yusuf Al-Kaorani : “Sesungguhnya Sayyidina ‘Ali r.a. telah bertanya pada Nabi Saw. : Wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku macam-macam thoriqot (jalan) yang paling dekat menuju Allah dan yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama di sisi Allah, maka Nabi Saw menjawab: wajiblah atas kamu mendawamkan dzikkrullah: Sayyidina ‘Ali r.a bertanya lagi: Bagaimana cara berdzikirnya ya Rosulallah? Maka Nabi menjawab: pejamkan kedua matamu, dan dengarkan (ucapan) dariku tiga kali, kemudian ucapkan olehmu tiga kali, dan aku akan mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sedangkan Sayyidina ‘Ali r.a mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali, sedangkan Nabi Saw memdengarkannya”. (Hadits dengan sanad sahih, dalam kitab Jami’ul Ushul Auliya)

Dalam kitab Tanwirul Quluub dijelaskan cara gerakan dzikir agar terjaga dari datangnya Syetan, merujuk Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al’Arof ayat 17: “Demi Allah (kami Syetan) akan datang kepada manusia melalui arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri”. Ayat ini menunjukan arah datangnya syetan untuk menggoda manusia agar menjadi ingkar terhadap Allah. Jelas, sasarannya manusia melalui empat arah; 1. Depan 2.Belakang 3.Kanan 4.Kiri.Maka, dzikirnya pun harus menutup empat arah. Dalam kitab Tanwirul Qulub: ucapkan kalimat “LAA” dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai otak hal ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah depan dan belakang. Adapun ditarik kalimat itu ke otak karena syetan mengganggu otak/pikiran kita sehingga banyak pikiran kotor atau selalu suuddzon. Dan “ILAA” dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat “HA” diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah adapun ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah kanan. Dan “ILLALLAH” diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, hal ini untuk menutup pintu syetan yang datangnya dari arah kiri, namun lapadz jalalah yaitu lapadz “ALLAAH”nya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari, karena disanalah letaknya jantung atau hati (keras bagaikan batu) sebagaimana pendapat Imam Al-ghozali.



(Contoh gambar metode dzikir)

Syarat berdzikir menurut para Ulama Tasawuf:

1. Dengan berwudlu sempurna

2. Dengan suara kuat/ keras

3. Dengan pukulan yang tepat ke hati sanubari

MANA YANG PALING UTAMA, DZIKIR KERAS (JAHAR) ATAU DZIKIR HATI (KHOFI)?

Dalam kitab ulfatu mutabarikin dan kitab makanatu Adz-dzikri bahwasanya Rosul pernah bersabda: “sebaik-baik dzikir adalah dalam hati”. Dalam kitab tersebut dijelaskan hal itu bagi orang yang telah mencapai kelembutan bersama Allah, hati bersih dari penyakit, hati yang sudah lembut. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama bagi orang yang hatinya keras bagaikan batu, sehingga sulit untuk tunduk pada perintah Allah karena sudah dikuasai oleh nafsunya.

Dalam kitab Miftahu Ash-Shudur karya Sulthon Auliya As-Sayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “ Sulthon Awliya As-Sayyid Syekh Abu A-Mawahib Asy-Syadzili r.a. berkata: “Para ulama toriqoh berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah dzikir sir (hati) atau dzikir jahar (keras), menurut pendapat saya bahwa dzikir jahar lebih utama bagi pendzikir tingkat pemula (bidayah) yang memang hanya dapat meraih dampak dzikir dengan suara keras dan bahwa dzikir sir (pelan) lebih utama bagi pendzikir tingkat akhir (nihayah) yang telah meraih Al-Jam’iyyah (keteguhan hati kepada Allah)” .

Imam Bukhori, dalam kitab Sahihnya bab dzikir setelah salat fardlu, berkata: “ Ishaq ibnu Nasr memberitahu kami, dia berkata’Amru memberitahu saya bahwa Abu Ma’bad, pelayan Ibnu Abbas, semoga Allah meridloi keduanya, memberitahu Ibnu Abbas bahwa “Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama’ah selesai dan shalat fardlu sudah biasa dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Ibnu Abbas berkata: “Aku tahu hal itu, saat mereka selesai shalat karena aku mendengarnya”. Sayyid Ahmad Qusyayi. Q.s., berkata: ”inilah dalil keutamaan dzikir keras (jahar) yang didengar orang lain, dengan demikian ia membuat orang lain berdzikir kepada Allah dengan dzikirnya kepada Allah“.

DZIKIR KERAS MERESAHKAN?

Dzikir keras tidak akan meresahkan atau mengganggu orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Dengan terdengarnya dzikir menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an QS.Al-Anfal ayat 2 :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” .

ALLAH TIDAK TULI

Ada anekdot dari seorang Ulama Tasawuf pengamal thoriqoh: suatu hari ada dialog antara mahasiswi dan ulama tasawuf. Mahasiswi bertanya: “Pak Kiai, kenapa dzikir mesti keras (jahar) padahal Allah itu tidak tuli?”. Ulama Tasawuf menjawab dengan membalikan pertanyaan: “yang bisa kena sifat tuli itu yang memiliki telinga atau tidak?”. Mahasiswi menjawab: “iya yang punya telinga”. Ulama Tasawuf kembali bertanya: “Kalau Allah punya telinga tidak?”. Mahasiswi menjawab: “tidak punya”. Ulama tasawuf kembali bertanya lagi: “apakah dengan suara keras makhluk akan merusak pendengaran Allah?”. Mahasiswi menjawab: “tidak Pak Kiai”.

Selanjutnya Ulama Tasawuf mengatakan: “oleh sebab itu istighfarlah dan bersyahadatlah dengan baik, bagaimanapun Allah tidak akan tuli dan tidak akan rusak pendengaran-Nya oleh suara kerasnya makhluk. Bagi-Nya suara keras maupun pelan terdengar oleh Allah sama. Hanya saja, hati manusia yang tuli akan perintah Allah. Jadi, dzikir keras bukan untuk Allah dan bukan ingin didengar oleh Allah karena Allah sudah tahu. Tapi tujuan dzikir keras itu diarahkan untuk hati yang tuli kepada Allah yang keras bagaikan batu sedangkan kita tahu batu itu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan yang kuat, begitupun hati yang keras bagaikan batu tidak akan hancur kecuali dengan suara pukulan dzikir yang kuat. Jadi, Allah tidak butuh akan dzikir kita, sebaliknya kitalah yang butuh akan dzikir kepada Allah supaya hati menjadi lembut, bersih dan ma’rifat kepada Allah.

Wallahu’alam bishowab

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

TAWASHULAN – ASRAFIYAH

Source Link :http://menembuslangit.blogspot.com

1 From: HaBaSA - Date: Sun, Oct 3 2004 10:19 am
Email: pakuj...@yahoo.com (HaBaSA)



TAWASHULAN – ASRAFIYAH

1. Ta'awudz – Basmallah


2. Syahadat ( 7 X )


3. Liridlollohi ta'ala………………………………al fatihah
4. illa hadrotih nabiyyil musthafa Muhammaddin
sawwb sayiddil anbiya'i wal mursalin wa auliya'i
was sholihin………………………………………………al fatihah


5. illa hadhroti alaa alihi wa azwajihi wa
dzuriyatihi wa auladihi khusushon ashabul kisa'
wa al muthathohirin sayyidatina Fathimah az
zahra wa quthb ul Imam sayyidina Aly kmwj wa al
Hassan assibty wa al Hussain assibty radhiyallahu
ajmain...…al fatihah


6. ilaa hadhroti jami'il malaikati muqorrobin,
malaikatul arsy wa malaikatul arba' wa jami'il
anbiya'i wal mursalin wa illa hadhroti
ashabunnaby saw wa khulafaurrasyidin khusushon
ahlul badri wa ahlul baiaturridwan…….al fatihah


7. ilaa hadhroti al imam ahlul bayt al-imam assayed
Ali karamallahuwajhah , al-imam assayed Hasan al-
mustsanna, al-imam assayed Husain al-mujtaba, al-
imam assayed Ali zain abidin assajad, , al-imam
assayed Muhammad al-baqir, al-imam assayed jafar
asshodiq,al-imam assayed Musa al-kadzim, al-imam
assayed Ali arridha, al-imam assayed Muhammad at
taqy, al-imam assayed ali an naqy ,al-imam
assayed Hasan al askari, al-imam Muhammad al
mahdi quthubul Zaman……….……………………..al fatihah


8. ilaa hadhroti walisanga ing jawi, Kanjeng sunan
Ampel, Kanjeng Sunan Benang, Kanjeng sunan Giri,
Kanjeng Sunan Demak, Kanjeng sunan Drajat,Kanjeng
sunan Kalijaga, Kanjeng sunan Muria, Kanjeng
sunan Kudus, Kanjeng Sunan Gunung Jati wa
khususon Kanjeng sunan tembayat
waliyullah kalifatullah wa kalifaturrosulullah
saw shohibil karommati
fiddunya wal akhirah assayed Abdurrachman al
fatah billah imam panetep panotogomo....al fatihah


9. ilaa hadhroti Syaih wa syaihuna wa masyaikh ahlul
thoriqati fi shirati rasulullah saw wa
atthoriqati qadiriyya wa tariqati naqsabandiyya
wa tariqati sadziliyya wa tariqati riffaiyya wa
syatariyya wa tijaniyya wa tariqati ahl bayt wa
tariqati ba'alawiyya,wa ahlu shalafusholihi ra wa
imam madzhabi fil islam…….....al fatihah


10. ilaa hadhroti abina wa ummina wa jadda jaddatina
wa azwajina wa
dzurriyatina wa alaa alina wal jami'il muslimin
wal muslimat wa fil ummati Muhammad saw fiddunya
wal akhirat……………………………………………….alfatihah.


11. ilaa hajatii…………………………………………………………………alfatihah


a. Audzu billahi minnasyaitonnirojiem
Bismillahirrochmannirochiem
b. Astaghfirullah hal Adzhim………………………..( 100 X )
c. Al – Ihlas…………………………………………..….( 100 X )
d. La ilaaha ilallah……………………………..………( 100 X )
e. ALLAH – ALLAH – ALLAH……………………..….( 100 X )
f. Sholallahu `alaa Muhammad……………………..( 100 X )


1. Allahumma sholli `alla sayyidina Muhammad wa alaa
`ali sayiddina Muhammad kamma sholaita alla
sayyidina ibrohim wa alaa ali sayiddina
ibrohim innaka hamidummajid
2. Allahulaa illa ha ila huwal hayyul qayyum……………………
3. syahidallah ……………………………….
4. amanna rasuulu bimaa unzila………………
5. allahumma sholi wa shalim wa barik allaa
sayyidina Muhammad rasulullah wa ladzina
ma'ahum…………..………..
6. subkhanaka robbika izzati amma yasifun wa
ssalamun alaa mursalin wal hamdulillahirrobil
`alamin.


( Haris bin Sayyid Abdurrachman )

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Minggu, 22 Februari 2009

Sholawat Badar Kiyai 'Ali

Source :http://bahrusshofa.blogspot.com/2008/09/sholawat-badar.html

Sholaatullaah salaamullaah
alaa Thooha rosuulillaah
Sholaatullaah salaamullaah
alaa Yaasin habiibillaah
Tawassalna bi Bismillaah
wabil Haaadi Rosulillaah
wakulli mujaahidin lillaah
bi ahlil badri yaa Allaah

Ilaahi sallimi ummah
minal aafaati wannigmah
wa min hammin wa min ghummah
bi ahlil badri yaa Allaah

Ilaahi-ghfir wa akrimna binaili mathoolibin minna
wadafi masaa-ati 'anna
bi-ahlil badri yaa Allaah

* sholawat_badar-lyrics


Sholawat Badar adalah rangkaian sholawat berisikan tawassul dengan nama Allah, dengan Junjungan Nabi s.a.w. serta para mujahidin teristimewanya para pejuang Badar. Sholawat ini adalah hasil karya Kiyai Ali Manshur, yang merupakan cucu Kiyai Haji Muhammad Shiddiq, Jember. Oleh itu, Kiyai 'Ali Manshur adalah anak saudara/keponakan Kiyai Haji Ahmad Qusyairi, ulama besar dan pengarang kitab ""Tanwir al-Hija" yang telah disyarahkan oleh ulama terkemuka Haramain, Habib 'Alawi bin 'Abbas bin 'Abdul 'Aziz al-Maliki al-Hasani, dengan jodol "Inarat ad-Duja".

Diceritakan bahawa karya ini ditulis oleh Kiyai 'Ali Manshur sekitar tahun 1960, tatkala kegawatan umat Islam Indonesia menghadapi fitnah Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika itu, Kiyai 'Ali adalah Kepala Kantor Departemen Agama Banyuwangi, juga menjadi Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama di situ. Keadaan politik yang bercelaru saat itu dan kebejatan PKI yang bermaharajalela membunuh massa, bahkan ramai kiyai yang menjadi mangsa mereka, menyebabkan terlintas di hati Kiyai 'Ali, yang memang mahir membuat syair 'Arab sejak nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri lagi, untuk menulis satu karangan sebagai sarana bermunajat memohon bantuan Allah s.w.t. Dalam keadaan sedemikian, Kiyai 'Ali tertidur dan dalam tidurnya beliau bermimpi didatangi manusia-manusia berjubah putih - hijau, dan malam yang sama juga, isteri beliau bermimpikan Kanjeng Nabi s.a.w. Setelah siang, Kiyai 'Ali langsung pergi berjumpa dengan Habib Hadi al-Haddar Banyuwangi dan menceritakan kisah mimpinya tersebut. Habib Hadi menyatakan bahawa manusia-manusia berjubah tersebut adalah para ahli Badar. Mendengar penjelasan Habib yang mulia tersebut, Kiyai 'Ali semakin bertekad untuk mengarang sebuah syair yang ada kaitan dengan para pejuang Badar tersebut. Lalu malamnya, Kiyai 'Ali menjalankan penanya untuk menulis karya yang kemudiannya dikenali sebagai "Sholawat al-Badriyyah" atau "Sholawat Badar". Apa yang menghairankan ialah keesokan harinya, orang-orang kampung mendatangi rumah beliau dengan membawa beras dan lain-lain bahan makanan. Mereka menceritakan bahawa awal-awal pagi lagi mereka telah didatangi orang berjubah putih menyuruh mereka pergi ke rumah Kiyai 'Ali untuk membantunya kerana satu kenduri akan diadakan di rumahnya. Itulah sebabnya mereka datang dengan membawa barangan tersebut menurut kemampuan masing-masing. Tambah pelik lagi apabila malamnya, hadir bersama untuk bekerja membuat persiapan kenduri orang-orang yang tidak dikenali siapa mereka.

Menjelang keesokan pagi, serombongan habaib yang diketuai oleh Habib 'Ali bin 'Abdur Rahman al-Habsyi @ Habib 'Ali Kwitang tiba-tiba datang ke rumah Kiyai 'Ali. Tidak tergambar kegembiraan Kiyai 'Ali menerima tetamu istimewanya tersebut. Setelah memulakan perbicaraan bertanyakan khabar, tiba-tiba Habib 'Ali Kwitang bertanya mengenai syair yang ditulis oleh Kiyai 'Ali tersebut. Tentu sahaja Kiyai 'Ali terkejut kerana hasil karyanya itu hanya diketahuinya dirinya seorang dan belum dimaklumkan kepada sesiapa pun. Tapi beliau mengetahui, ini adalah satu kekeramatan Habib 'Ali yang terkenal sebagai waliyullah itu. Lalu tanpa lengah, Kiyai 'Ali Manshur mengambil helaian kertas karangannya tersebut lalu membacanya di hadapan para hadirin dengan suaranya yang lantang dan merdu. Para hadirin dan habaib mendengarnya dengan khusyuk sambil menitiskan air mata kerana terharu. Setelah selesai dibacakan Sholawat Badar oleh Kiyai 'Ali, Habib 'Ali menyeru agar Sholawat Badar dijadikan sarana bermunajat dalam menghadapi fitnah PKI. Maka sejak saat itu masyhurlah karya Kiyai 'Ali tersebut. Selanjutnya, Habib 'Ali Kwitang telah menjemput ramai ulama dan habaib ke Kwitang untuk satu pertemuan, antara yang dijemput ialah Kiyai 'Ali Manshur bersama pamannya Kiyai Ahmad Qusyairi. Dalam pertemuan tersebut, Kiyai 'Ali sekali lagi diminta untuk mengumandangkan Sholawat al-Badriyyah gubahannya itu. Maka bertambah masyhur dan tersebar luas Sholawat Badar ini dalam masyarakat serta menjadi bacaan popular dalam majlis-majlis ta'lim dan pertemuan. Moga Allah memberikan sebaik-baik ganjaran dan balasan buat pengarang Sholawat Badar serta para habaib tersebut..... al-Fatihah.

Allahu ... Allah, inilah kisah bagaimana terhasilnya penulisan Sholawat Badar oleh Kiyai 'Ali Manshur. Cerita ini telah ambo dengar daripada beberapa kerabat Kiyai Haji Ahmad Qusyairi di Kota Pasuruan. Juga ianya dimuatkan dalam buku "Antologi NU : Sejarah - Istilah - Amaliah - Uswah " karangan H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan dengan kata pengantar Kiyai Haji 'Abdul Muchith Muzadi. Benar atau tidak, percaya atau tidak, itu tidak penting, apa yang nyata ialah Sholawat Badriyyah ini adalah karyanya Kiyai 'Ali Manshur dan telah diterima serta diamalkan oleh para ulama dan habaib yang menjadi pegangan dan panutan kita. Maka sempena memperingati peristiwa Perang Badar al-Kubra, marilah kita bermunajat memohon keselamatan dunia akhirat dengan bertawassulkan Junjungan Nabi s.a.w. dan para pejuang Badar radhiyAllahu 'anhum ajma'in.

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini

Minggu, 08 Februari 2009

SULUK SARIDIN (SYEKH JANGKUNG)

Link :http://alangalangkumitir.wordpress.com/category/suluk-saridin-syekh-jangkung/

SULUK SARIDIN (SYEKH JANGKUNG)
Dikirim SULUK SARIDIN (SYEKH JANGKUNG pada Oktober 14, 2008 oleh Mas Kumitir)

MUQADIMAH

Bismillah, wengi iki ingsung madep, ngawiti murih pakerti, pakertining budi kang fitri, sujud ingsun, ing ngarsané Dzat Kang Maha Suci.

Artinya :

Bismillah, malam ini hamba menghadap, mengawali meraih hikmah/ hikmah budi yang suci, hamba bersujud, di hadapan Keagungan Yang Mahasuci.

Bismillah ar-rahman ar-rahim, rabu mbengi, malam kamis, tanggal lima las, wulan poso, posoning ati ngilangi fitnah, posoning rogo ngeker tingkah.

Artinya :

Bismillâh ar-Rahmân ar-Rahîm, Rabu malam Kamis, tanggal 15 bulan Ramadhan, puasa hati menghilangkan fitnah, puasa raga mencegah tingkah buruk.

Bismillah, dhuh Pangeran Kang Maha Suci, niat ingsun ndalu niki, kawula kang ngawiti, nulis serat kang ingsun arani, serat Hidayat Bahrul Qalbi, anggayuh Sangkan Paraning Dumadi.

Artinya :

Bismillâh, wahai Tuhan Yang Mahasuci, niat hamba malam ini, hamba yang mengawali, menulis surat yang dinamai, surat Hidayat Bahrul Qalbi, untuk memahami asal tujuan hidup ini.

Bismillah, dhuh Pangeran mugi hanebihna, saking nafsu ingsun iki, kang nistha sipatipun, tansah ngajak ing laku drengki, ngedohi perkawis kang wigati.

Artinya :

Bismillâh, wahai Tuhan semoga Engkau menjauhkan, dari nafsu hamba ini, yang buruk sifatnya, senantiasa mengajak berlaku dengki, menjauhi perkara yang baik.

Bismillah, kanthi nyebut asmaning Allah, Dzat ingkang Maha Welas, Dzat ingkang Maha Asih, kawula nyenyuwun, kanthi tawasul marang Gusti Rasul, Rasul kang aran Nur Muhammad, mugiya kerso paring sapangat, kanthi pambuka ummul kitab.

Artinya :

Bismillâh, dengan menyebut nama Allah, Dzat Yang Maha Pengasih, Dzat Yang Maha Penyayang, hamba memohon, melalui perantara Rasul, Rasul yang bernama Nur Muhammad, semoga berkenan memberi syafaat, dengan pembukaan membaca ummul kitab.

Sun tulis kersaneng rasa, rasaning wong tanah Jawa, sun tulis kersaneng ati, atining jiwa kang Jawi, ati kang suci, tanda urip kang sejati, sun tulis kersaning agami, ageming diri ingkang suci.

Artinya :

Hamba tulis karena rasa, perasaan orang tanah Jawa, hamba tulis karena hati, hati dari jiwa yang keluar, hati yang suci, tanda hidup yang sejati, hamba tulis karena agama, pegangan diri yang suci.

Kang tinulis dudu ajaran, kang tinulis dudu tuntunan, iki serat sakdermo mahami, opo kang tinebut ing Kitab Suci, iki serat amung mangerteni, tindak lampahé Kanjeng Nabi.

Artinya :

Yang tertulis bukan ajaran, yang tertulis bukan tuntunan, surat ini sekadar memahami, apa yang tersebut dalam Kitab Suci, surat ini sekadar mengetahui, perilaku hidup Kanjeng Nabi.

Apa kang ana ing serat iki, mong rasa sedehing ati, ati kang tanpa doyo, mirsani tindak lampahing konco, ingkang tebih saking budi, budining rasa kamanungsan, sirna ilang apa kang dadi tuntunan.

Artinya :

Apa yang ada di surat ini, hanya rasa kesedihan hati, hati yang tiada berdaya, melihat sikap perilaku saudara, yang jauh dari budi, budi rasa kemanusiaan, hilang sudah apa yang menjadi tuntunan.

Mugi-mugi dadiho pitutur, marang awak déwé ingsun, syukur nyumrambahi para sadulur, nyoto iku dadi sesuwun, ing ngarsane Dzat Kang Luhur.

Artinya :

Semoga menjadi petunjuk, terhadap diri hamba sendiri, syukur bisa berguna untuk sesama, itulah yang menjadi permohonan, di hadapan Dzat Yang Mahaagung.

01. SYARIAT

Mangertiyo sira kabéh, narimoho kanthi saréh, opo kang dadi toto lan aturan, opo kang dadi pinesténan, anggoning ngabdi marang Pangeran.

Artinya :

Mengertilah kalian semua, terimalah dengan segala kerendahan jiwa, terimalah dengan tulus dan rela, apa yang menjadi ketetapan dan aturan, apa yang telah digariskan, untuk mengabdi pada Keagungan Tuhan.

Basa sarak istilah ‘Arbi, tedah isarat urip niki, mulo kénging nampik milih, pundhi ingkang dipun lampahi, anggoning ngabdi marang Ilahi.

Artinya :

Istilah syarak adalah bahasa Arab, yang berarti petunjuk atau pedoman untuk menjalani kehidupan ‘agama’, untuk itulah diperbolehkan memilih, mana yang akan dijalani sesuai dengan kemampuan diri, guna mengabdi pada Keagungan Ilahi.

Saréngat iku tan ora keno, tininggal selagi kuwoso, ageming diri kang wigati, cecekelan maring kitab suci, amrih murih rahmating Gusti.

Artinya :

Apa yang telah di-syari‘at-kan hendaknya jangan kita tinggal, selama diri ini mampu untuk menjalankan, aturan yang menjadi pegangan hidup kita, aturan yang sudah dijelaskan dalam kitab suci al-Qur’an, Itu semua, tidak lain hanya usaha kita untuk mendapat rahmat, dan pengampunan dari Yang Maha Kuasa.

Saréngat iku keno dén aran, patemoné badan lawan lésan, ono maneh kang pepiling, sareh anggoné kidmat, nyembah ngabdi marang Dzat.

Artinya :

Syariat juga diartikan, sebuah pertemuan antara badan dengan lisan, bertemunya raga dengan apa yang dikata, ada juga yang memberi pengertian, bahwa syariat adalah pasrah dalam berkhidmat, menyembah dan mengabdi pada Keagungan Yang Mahasuci.

Saréngat utawi sembah raga iku, pakartining wong amagang laku, sesucine asarana saking warih,

kang wus lumrah limang wektu, wantu wataking wawaton.

Artinya :

Syari`at atau Sembah Raga itu, merupakan tahap persiapan, di mana seseorang harus melewati proses pembersihan diri, dengan cara mengikuti peraturan-peraturan yang ada, dan yang sudah ditentukan—rukun Islam.

Mulo iling-ilingo kang tinebut iki, sadat, sholat kanthi kidmat, zakat bondo lawan badan, poso sak jroning wulan ramadhan, tinemu haji pinongko mampu, ngudi luhuring budi kang estu.

Artinya :

Maka ingat-ingatlah apa yang tersebut di bawah ini, syahadat dengan penuh keihklasan, shalat dengan khusuk dan penuh ketakdhiman, mengeluarkan zakat harta dan badan untuk sesame, puasa pada bulan ramadhan atas nama pengabdian pada Tuhan, menunaikan ibadah haji untuk meraih kehalusan budi pekerti.

Limo cukup tan kurang, dadi rukune agami Islam, wajib kagem ingkang baligh, ngaqil, eling tur kinarasan, menawi lali ugi nyauri.

Artinya :

Lima sudah tersebut tidak kurang, menjadi ketetapan sebagai rukun Islam, wajib dilakukan bagi orang ‘Islam’ yang sudah baligh, berakal, tidak gila dan sehat, adapun, jika lupa menjalankan hendaknya diganti pada waktu yang lain.

Syaringat ugi kawastanan, laku sembah mawi badan, sembah suci maring Hyang, Hyang ingkang nyipto alam, sembahyang tinemu pungkasan.

Artinya :

Syariat juga dinamakan, melakukan penyembahan dengan menggunakan anggota badan, menyembah pada Keagungan Tuhan, Tuhan yang menciptakan alam, Sembah Hyang, begitu kiranya nama yang diberikan.

SYAHADAT

Sampun dados pengawitan, tiyang ingkang mlebet Islam, anyekseni wujuding Pangeran, mahos sadat kanthi temenan, madep-manteb ananing iman.

Artinya :

Sudah menjadi pembukaan, bagi orang yang ingin masuk Islam, bersaksi akan wujudnya Tuhan, bersungguh-sungguh membaca syahadat, disertai ketetapan hati untuk beriman.

Asyhadu an-lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, Tinucapo mawi lisan, Sareh legowo tanpa pameksan, Mlebet wonten njroning ati, Dadiho pusoko anggoning ngabdi.

Artinya :

Asyhadu an-lâ ilâha illâ Allâh wa asyhadu anna Muhammad Rasulullah, ucapkanlah dengan lisan, penuh kesadaran tanpa paksaan, masukkan maknanya ke dalam hati, semoga menjadi pusaka untuk terus mengabdi.

Tan ana Pangeran, kang wajib dén sembah, kejawi amung Gusti Allah, semanten ugi Rasul Muhammad, kang dadi lantaran pitulungé umat.

Artinya :

Hamba bersaksi bahwa tak ada tuhan, yang wajib disembah, kecuali Allah swt, begitu pula dengan Nabi Agung Muhammad saw, yang menjadi perantara pertolongan umat.

SHALAT

Syarat limo ajo lali, kadas najis, badan kedah suci, nutup aurat kanti kiat, jumeneng panggonan mboten mlarat, ngerti wektu madep kiblat, sampurno ingkang dipun serat.

Artinya :

Lima syarat jangan lupa, badan harus suci dari hadats dan najis, menutup aurat jika tidak kesulitan, dilaksanakan di tempat yang suci, mengerti waktu untuk melakukan shalat, lalu menghadap kiblat, sempurna sudah yang ditulis.

Wolu las kang dadi mufakat, rukun sahe nglakoni shalat, niat nejo, ngadek ingkang kiat, takbir banjur mahos surat, al-fatihah ampun ngantos lepat.

Artinya :

Delapan belas yang menjadi mufakat, rukun sahnya menjalankan shalat, niat melakukan shalat, berdiri bagi kita yang mampu, mengucapkan takbiratul ikhram membaca surat, al-Fatichah jangan sampai keliru.

Rukuk, tumakninah banjur ngadek, aran iktidal kanti jejek, tumakninah semanten ugi, banjur sujud tumurun ing bumi, sareng tumakninah ingkang mesti, kinaranan ing tumakninah, meneng sedelok sak wuse obah.

Artinya :

Rukuk dengan tenang lalu berdiri, disebut i’tidal dengan tegap, hendaknya juga tenang seperti rukuk, lalu sujud turun ke bumi, bersama thumakninah yang benar, dinamakan thumakninah, diam sebentar setelah bergerak.

Sewelas iku lungguh, antarane rong sujudan, tumuli tumakninah, kaping telulas lungguh akhir,

banjur maos pamuji dikir.

Artinya :

Sebelas itu duduk, di antara dua sujud, disertai thumakninah, tiga belas duduk akhir, lalu membaca pujian dzikir.

Limolas iku moco sholawat, kagem Gusti Rosul Muhammad, tumuli salam kang kawitan,

sertane niat rampungan, tertib sempurna dadi pungkasan.

Artinya :

Lima belas membaca shalawat, kepada Rasul Muhammad, kemudian salam yang pertama, bersama niat keluar shalat, tertib menjadi kesempurnaan.

ZAKAT

Zakat iku wus dadi prentah, den lampahi setahun pindah, tumprap wong kang rijkine torah, supados bersih awak lan bondo, ojo pisan-pisan awak déwé leno.

Artinya :

Zakat sudah menjadi perintah, dilakukan setahun sekali, bagi orang yang hartanya berlimpah, supa bersih raga dan harta, jangan sekali-kali kita lupa.

Umume wong dho ngenthoni, malem bodho idul fitri, zakat firah den arani, bersihaké badan lawan ati, zakat maal ugo mengkono, nanging kaprahing dho orak lélo.

Artinya :

Umumnya orang mengeluarkan, malam Hari Raya Idul Fitri, zakat fitrah dinamai, membersihkan raga dan hati, zakat harta juga begitu, namun umumnya pada tidak rela.

Ampun supé niating ati, nglakoni rukun pardune agami, lillahi ta`ala iku krentekno, amrih murih ridaning Gusti, supados dadi abdi kang mulyo.

Artinya :

Jangan lupa niat di hati, menjalankan rukun fradhunya agama, karena Allah tanamkanlah, untuk mendapat keridhaan-Nya, supaya menjadi hamba yang mulia.

PUASA

Islam, balék, kiat, ngakal, papat sampun kinebatan, wonten maleh ingkang lintu, Islam, balék lawan ngakal, dados sarat nglampahi siam.

Artinya :

Islam, baligh, kuat, berakal, empat sudah disebutkan, ada juga yang mengatakan, Islam, baligh, dan berakal, menjadi syarat menjalankan puasa.

Kados sarat rukun ugi sami, kedah dilampai kanthi wigati, niat ikhlas jroning ati, cegah dahar lawan ngombé, nejo jimak kaping teluné, mutah-mutah kang digawé.

Artinya :

Seperti syarat, rukun juga sama, harus dijalanlan dengan hati-hati, niat ikhlas di dalam hati, mencegah makan dan minum, jangan bersetubuh nomor tiga, jangan memuntahkan sesuatu karena sengaja.

Papat jangkep sampun cekap, dadus sarat rukuné pasa, ngatos-ngatos ampun léna, mugiyo hasil ingkang dipun seja, tentreming ati urip kang mulya.

Artinya :

Empat genap sudah cukup, menjadi syarat rukunnya puasa, hati-hati jangan terlena, semoga berhasil apa yang diinginkan, tentramnya hati hidup dengan mulia.

HAJI

Limo akhir dadi kasampurnan, ngelampahi rukun parduné Islam, bidal zaroh ing tanah mekah,

menawi kiat bandane torah, lego manah tinggal pitnah kamanungsan.

Artinya :

Lima terakhir menjadi kesempurnaan, menjalankan rukun fardhunya Islam, pergi ziarah ke tanah Makah, jika kuat dan hartanya berlimpah, hati rela menjauhi fitnah kemanusiaan.

Pitu dadi sepakatan, sarat kaji kang temenan, Islam, balik, ngakal, merdeka, ananing banda lawan sarana, aman dalan sertané panggonan.

Artinya :

Tujuh jadi kesepakatan, syarat haji yang betulan, Islam, baligh, berakal, merdeka, adanya harta dan sarana, aman jalan beserta tempat.

Ikram sertané niat, dadi rukun kang kawitan, wukuf anteng ing ngaropah, towaf mlaku ngubengi kakbah, limo sangi ojo lali, sopa marwah pitu bola-bali.

Artinya :

Ikhram beserta niat, menjadi rukun yang pertama, thawaf berjalan mengelilingi ka‘bah, lima sa’i jangan lupa, safa-marwah tujuh kali.

02. THARIQAT

Muji sukur Dzat Kang Rahman, tarékat iku sak dermo dalan, panemoné lisan ing pikiran, nimbang nanting lawan heneng, bener luputé sira kanthi héling.

Artinya :

Puji syukur Dzat Yang Penyayang, tarekat hanyalah sekadar jalan, bertemunya ucapan dalam pikiran, menimbang memilih dengan tenang, benar tidaknya engkau dengan penuh kesadaran.

Tarékat ugi kawastanan, sembah cipto kang temenan, nyegah nafsu kang ngambra-ambra, ngedohi sipat durangkara, srah lampah ing Bathara.

Artinya :

Tarekat juga dinamakan, sembah cipta yang sebenarnya, mencegah nafsu yang merajalela, menjauhi sifat keburukan, berserah di hadapan Tuhan.

Semanten ugi aweh pitutur, makna tarékat ingkang luhur, den serupaaken kados segoro, minongko saréngat dadus perahu, kang tinemu mawi ngélmu.

Artinya :

Kiranya juga memberi penuturan, makna tarekat yang luhur, diibaratkan laksana samudera, dengan syariat sebagai perahunya, yang ditemukan dengan ilmu.

Mila ampun ngantos luput, dingin nglampahi saréngat, tumuli tarékat menawi kiat, namung kaprahé piyambak niki, supe anggenipun ngawiti.

Artinya :

Maka jangan sampai keliru, mendahulukan menjalani syariat, kemudian tarekat jika mampu, namun umumnya kita ini, lupa saat memulai.

Mila saksampunipun, dalem sawek sesuwunan, mugiya tansah pinaringan, jembaring dalan kanugrahan,

rahmat welas asihing Pangeran.

Artinya :

Maka setelahnya, hamba senantiasa memohon, semoga terus mendapat, lapangnya jalan anugerah, cinta dan kasih sayang Tuhan.

SYAHADAT

Lamuno sampun kinucapan, rong sadat kanthi iman, kaleh puniko dereng nyekapi, kangge ngudari budi pekerti, basuh resék sucining ati.

Artinya :

Jika sudah diucapkan, dua syahadat dengan iman, dua ini belumlah cukup, untuk mengurai budi pekerti, membasuh bersih sucinya hati.

Prayuginipun ugi mangertosi, sifat Agungé Hyang Widhi, kaleh doso gampil dipun éngeti, wujud, kidam lawan baqa, mukalapah lil kawadisi.

Artinya :

Seyogyanya juga mengerti, sifat Keagungan Tuhan, dua puluh mudah dimengerti, wujud, qidam, dan baqa, mukhalafah lil hawâdis.

Limo qiyam binafsihi, wahdaniyat, kodrat, irodat, songo ilmu doso hayat, samak basar lawan kalam,

pat belas iku aran kadiran.

Artinya :

Lima qiyâmuhu bi nanafsihi, wahdaniyat, qodrat, iradat, sembilan ilmu, sepuluh hayat, sama&lsquo, bashar, kalam, empat belas qadiran.

Muridan kaping limolas, aliman, hayan pitulasé, lawan samian ampun supé, banjur basiron madep manteb, mutakalliman ingkang tetep.

Artinya :

Muridan nomor lima belas, aliman, hayan nomor tujuh belas, kemudian samian jangan lupa, terus bashiran dengan mantab, mutakalliman yang tetap.

Nuli papat kinanggitan, dadi sifat mulyané utusan, sidik, tablik ora mungkur, patonah sabar kanthi srah,

anteng-meneng teteping amanah.

Artinya :

Kemudian empat disebutkan, menjadi sifat kemuliaan utusan, sidiq, tabligh tidak mundur, fathanah sabar dengan berserah, diam tenang bersama amanah.

Kaleh doso sampun kasebat, mugiyo angsal nikmating rahmat, tambah sekawan tansah ingeti, dadiho dalan sucining ati, ngertosi sir Hyang Widhi.

Artinya :

Dua puluh sudah disebut, semoga mendapat nikmatnya rahmat, ditambah empat teruslah ingat, jadilah jalan mensucikan hati, mengetahui rahasia Yang Mahasuci.

SHALAT

Limang waktu dipun pesti, nyekel ngegem sucining agami, agami budi kang nami Islam, rasul Muhammad dadi lantaran, tumurune sapangat, rahmat lan salam.

Artinya :

Lima waktu sudah pasti, memegang kesucian agama, agama budi yang bernama Islam, rasul Muhammad yang menjadi perantara, turunnya pertolongan, rahmat, dan keselamatan.

Rino wengi ojo nganti lali, menawi kiat anggoné nglampahi, kronten salat dadi tondo, tulus iklasing manah kito, nyepeng agami tanpo pamekso.

Artinya :

Siang malam jangan lupa, jika kuat dalam menjalani, karena shalat menjadi tanda, tulus ikhlasnya hati kita, mengikuti agama tanpa dipaksa.

Ngisak, subuh kanthi tuwuh, tumuli luhur lawan asar, dumugi maghrib ampun kesasar, lumampahano srah lan sabar, jangkep gangsal unénan Islam.

Artinya :

Isyak, Shubuh dengan penuh, kemudian Luhur dan Ashar, sampai Maghrib jangan kesasar, jalanilah dengan pasrah dan sabar, genap lima disebut Islam.

Kanthi nyebut asmané Allah, Sak niki kita badé milai, ngudari makna ingkang wigati, makna saéstu limang wektu, pramila ingsun sesuwunan, tambahing dungo panjengan.

Artinya :

Dengan menyebut nama Allah, sekarang kita akan mulai, mengurai makna yang tersembunyi, makna sesungguhnya lima waktu, karenanya hamba memohon, tambahnya doa Anda sekalian.

ISYAK

Sun kawiti lawan ngisak, wektu peteng jroning awak, mengi kinancan cahya wulan, sartané lintang tambah padang, madangi petengé dalan.

Artinya :

Hamba mulai dengan isyak, waktu gelap dalam jiwa, malam bersama cahaya bulan, bersanding bintang bertambah terang, menerangi gelapnya jalan.

Semono ugi awak nira, wonten jroning rahim ibu, dewekan tanpa konco, amung cahyo welasing Gusti,

ingkang tansah angrencangi.

Artinya :

Seperti itu jasad kamu, di dalam rahim seorang ibu, sendirian tanpa teman, hanya cahaya kasih Tuhan, yang senantiasa menemani.

SHUBUH

Tumuli subuh sak wusé fajar, banjur serngéngé metu mak byar, padang jinglang sedanten kahanan,

sami guyu awak kinarasan, lumampah ngudi panguripan.

Artinya :

Kemudian shubuh setelah fajar, lalu matahari keluar bersinar, terang benderang semua keadaan, bersama tertawa badan sehat, berjalan mencari kehidupan.

Duh sedulur mangertiya, iku dadi tanda lahiring sira, lahir saking jroning batin, batin ingkang luhur,

batin ingkang agung.

Artinya :

Wahai saudara mengertilah, itu menjadi tanda kelahiranmu, lahir dari dalam batin, batin yang luhur, batin yang agung.

ZHUHUR

Luhur teranging awan, tumancep duwuring bun-bunan, panas siro ngraosaké, tibaning cahyo serngéngé,

lérén sedélok gonmu agawé.

Artinya :

Zhuhur terangnya siang, menancap di atas ubun-ubun, panas kiranya kau rasakan, jatuhnya cahaya matahari, berhenti sebentar dalam bekerja.

Semono ugo podho gatékno, lumampahing umur siro, awet cilik tumeko gedé, tibaning akal biso mbedakké, becik lan olo kelakuné.

Artinya :

Seperti itu juga pahamilah, perjalanan hidup kamu, dari kecil hingga dewasa, saat akal bisa membedakan, baik dan buruk perbuatanmu.

ASHAR

Ngasar sak durungé surup, ati-ati noto ing ati, cawésno opo kang dadi kekarep, ojo kesusu ngonmu lumaku, sakdermo buru howo nepsu.

Artinya :

Ashar sebelum terbenam, hati-hatilah menata hati, persiapkan apa yang menjadi keinginan, jangan tergesa-gesa kamu berjalan, hanya sekadar menuruti hawa nafsu.

Mulo podho waspadaha, dho dijogo agemaning jiwa, yo ngéné iki kang aran urip, cilik, gedé tumeko tuwo, bisoho siro ngrumangsani, ojo siro ngrumongso biso.

Artinya :

Maka waspadalah, jagalah selalu pegangan jiwa, ya seperti ini yang namanya hidup, kecil, besar, sampai tua, bisalah engkau merasa, janganlah engkau merasa bisa.

MAGHRIB

Maghrib kalampah wengi, serngéngé surup ing arah kéblat, purna oléhé madangi jagad, mego kuning banjur jedul, tondo rino sampun kliwat.

Artinya :

Maghrib mendekati malam, matahari terbenam di arah kiblat, selesai sudah menerangi dunia, mega kuning kemudian keluar, tanda siang sudah terlewat.

Duh sedérék mugiyo melok, bilih urip mung sedélok, cilik, gedé tumeko tuwa, banjur pejah sak nalika,

wangsul ngersané Dzat Kang Kuwasa.

Artinya :

Wahai saudara saksikanlah, bahwa hidup hanya sebentar, kecil, besar, sampai tua, kemudian mati seketika, kembali ke hadapan Yang Kuasa.

ZAKAT

Lamuno siro kanugrahan, pikantuk rijki ora kurang, gunakno kanthi wicaksono, ampun supé menawi tirah,

ngedalaken zakat pitrah.

Artinya :

Jika engkau diberi anugerah, mendapat rezeki tidak kurang, gunakanlah dengan bijaksana, jangan lupa jika tersisa, mengeluarkan zakat fitrah.

Zakat lumantar ngresiki awak, lahir batin boten risak, menawi bondo tasih luwih, tumancepno roso asih,

zakat mal kanthi pekulih.

Artinya :

Zakat untuk membersihkan diri, lahir batin tidak rusak, jika harta masih berlimpah, tanamkanlah rasa belas kasih, zakat kekayaan tanpa pamrih.

Pakir, miskin, tiyang jroning paran, ibnu sabil kawastanan, lumampah ngamil, tiyang katah utang, rikab, tiyang ingkang berjuang, muallap nembé mlebu Islam.

Artinya :

Fakir, miskin, orang berpergian, ibn sabil dinamakan, kemudian amil, orang yang banyak hutang, budak, tiyang ingkang berjuang, muallaf yang baru masuk Islam.

Zakat nglatih jiwo lan rogo, tumindak becik kanthi lélo, ngraosaken sarané liyan, ngudari sifat kamanungsan, supados angsal teteping iman.

Artinya :

Zakat melatih jiwa dan raga, menjalankan kebajikan dengan rela, merasakan penderitaan sesame, mengurai sifat kemanusiaan, supaya mendapat tetapnya iman.

PUASA

Posoning rogo énténg dilakoni, cegah dahar lan ngombé jroning ari, ananging pasaning jiwa, iku kang kudhu dén reksa, tumindak asih sepining cela.

Artinya :

Puasa badan mudah dilakukan, mencegah makam dan minum sepanjang hari, namun puasa jiwa, itu yang seharusnya dijaga, menebar kasih sayang menjauhi pencelaan.

Semanten ugi pasaning ati, tumindak alus sarengé budi, supados ngunduh wohing pakerti, pilu mahasing sepi, mayu hayuning bumi.

Artinya :

Demikian pula puasa hati, sikap lemah lembut sebagai cermin kehalusan budi, supaya mendapat kebaikan sesuai dengan apa yang dingini, tiada harapan yang diinginkan, kecuali hanya ketentraman dan keselamatan dalam kehidupan.

HAJI

Kaji dadi kasampurnan, rukun lima kinebatan, mungguhing danten tiyang Islam, zarohi tanah ingkang mulyo, menawi tirah anané bondo.

Artinya :

Haji menjadi kesempurnaan, rukum lima yang disebutkan, untuk semua orang Islam, mengunjungi tanah yang mulia, jika ada kelebihan harta.

Nanging ojo siro kliru, mahami opo kang dén tuju, amergo kaji sakdermo dalan, dudu tujuan luhuring badan, pak kaji dadi tembungan.

Artinya :

Tapi janganlah engkau keliru, memahami apa yang dituju, karena haji hanya sekadar jalan, bukan tujuan kemuliaan badan, jika pulang dipanggil Pak Haji.

Kaji ugi dadi latihan, pisahing siro ninggal kadonyan, bojo, anak lan keluarga, krabat karéb, sederek sedaya, kanca, musuh dho lélakna.

Artinya :

Haji juga untuk latihan, perpisahanmu meninggalkan keduniaan, istri, anak, dan keluarga, karib kerabat, semua saudara, teman dan musuh relakanlah.

By Alang Alang Kumitir

Read more >>>>

Al Fatiha

 Print Halaman Ini