"Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak" (Ar-Rahman: 37)





















Tawassul

Yaa sayyid as-Saadaat wa Nuur al-Mawjuudaat, yaa man huwaal-malja’u liman massahu dhaymun wa ghammun wa alam.Yaa Aqrab al-wasaa’ili ila-Allahi ta’aalaa wa yaa Aqwal mustanad, attawasalu ilaa janaabika-l-a‘zham bi-hadzihi-s-saadaati, wa ahlillaah, wa Ahli Baytika-l-Kiraam, li daf’i dhurrin laa yudfa’u illaa bi wasithatik, wa raf’i dhaymin laa yurfa’u illaa bi-dalaalatik, bi Sayyidii wa Mawlay, yaa Sayyidi, yaa Rasuulallaah:

(1) Nabi Muhammad ibn Abd Allah Salla Allahu ’alayhi wa alihi wa sallam
(2) Abu Bakr as-Siddiq radiya-l-Lahu ’anh
(3) Salman al-Farsi radiya-l-Lahu ’anh
(4) Qassim ibn Muhammad ibn Abu Bakr qaddasa-l-Lahu sirrah
(5) Ja’far as-Sadiq alayhi-s-salam
(6) Tayfur Abu Yazid al-Bistami radiya-l-Lahu ’anh
(7) Abul Hassan ’Ali al-Kharqani qaddasa-l-Lahu sirrah
(8) Abu ’Ali al-Farmadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(9) Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani qaddasa-l-Lahu sirrah
(10) Abul Abbas al-Khidr alayhi-s-salam
(11) Abdul Khaliq al-Ghujdawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(12) ’Arif ar-Riwakri qaddasa-l-Lahu sirrah
(13) Khwaja Mahmoud al-Anjir al-Faghnawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(14) ’Ali ar-Ramitani qaddasa-l-Lahu sirrah
(15) Muhammad Baba as-Samasi qaddasa-l-Lahu sirrah
(16) as-Sayyid Amir Kulal qaddasa-l-Lahu sirrah
(17) Muhammad Bahaa’uddin Shah Naqshband qaddasa-l-Lahu sirrah
(18) ‘Ala’uddin al-Bukhari al-Attar qaddasa-l-Lahu sirrah
(19) Ya’quub al-Charkhi qaddasa-l-Lahu sirrah
(20) Ubaydullah al-Ahrar qaddasa-l-Lahu sirrah
(21) Muhammad az-Zahid qaddasa-l-Lahu sirrah
(22) Darwish Muhammad qaddasa-l-Lahu sirrah
(23) Muhammad Khwaja al-Amkanaki qaddasa-l-Lahu sirrah
(24) Muhammad al-Baqi bi-l-Lah qaddasa-l-Lahu sirrah
(25) Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi qaddasa-l-Lahu sirrah
(26) Muhammad al-Ma’sum qaddasa-l-Lahu sirrah
(27) Muhammad Sayfuddin al-Faruqi al-Mujaddidi qaddasa-l-Lahu sirrah
(28) as-Sayyid Nur Muhammad al-Badawani qaddasa-l-Lahu sirrah
(29) Shamsuddin Habib Allah qaddasa-l-Lahu sirrah
(30) ‘Abdullah ad-Dahlawi qaddasa-l-Lahu sirrah
(31) Syekh Khalid al-Baghdadi qaddasa-l-Lahu sirrah
(32) Syekh Ismaa’il Muhammad ash-Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(33) Khas Muhammad Shirwani qaddasa-l-Lahu sirrah
(34) Syekh Muhammad Effendi al-Yaraghi qaddasa-l-Lahu sirrah
(35) Sayyid Jamaaluddiin al-Ghumuuqi al-Husayni qaddasa-l-Lahu sirrah
(36) Abuu Ahmad as-Sughuuri qaddasa-l-Lahu sirrah
(37) Abuu Muhammad al-Madanii qaddasa-l-Lahu sirrah
(38) Sayyidina Syekh Syarafuddin ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(39) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh ‘Abd Allaah al-Fa’iz ad-Daghestani qaddasa-l-Lahu sirrah
(40) Sayyidina wa Mawlaana Sultan al-Awliya Sayyidi Syekh Muhammad Nazhim al-Haqqaani qaddasa-l-Lahu sirrah

Syahaamatu Fardaani
Yuusuf ash-Shiddiiq
‘Abdur Ra’uuf al-Yamaani
Imaamul ‘Arifin Amaanul Haqq
Lisaanul Mutakallimiin ‘Aunullaah as-Sakhaawii
Aarif at-Tayyaar al-Ma’ruuf bi-Mulhaan
Burhaanul Kuramaa’ Ghawtsul Anaam
Yaa Shaahibaz Zaman Sayyidanaa Mahdi Alaihis Salaam 
wa yaa Shahibal `Unshur Sayyidanaa Khidr Alaihis Salaam

Yaa Budalla
Yaa Nujaba
Yaa Nuqaba
Yaa Awtad
Yaa Akhyar
Yaa A’Immatal Arba’a
Yaa Malaaikatu fi samaawaati wal ardh
Yaa Awliya Allaah
Yaa Saadaat an-Naqsybandi

Rijaalallaah a’inunna bi’aunillaah waquunuu ‘awnallana bi-Llah, ahsa nahdha bi-fadhlillah .
Al-Faatihah













































Mawlana Shaykh Qabbani

www.nurmuhammad.com |

 As-Sayed Nurjan MirAhmadi

 

 

 
NEW info Kunjungan Syekh Hisyam Kabbani ke Indonesia

More Mawlana's Visitting











Durood / Salawat Shareef Collection

More...
Attach...
Audio...
Info...
Academy...
أفضل الصلوات على سيد السادات للنبهاني.doc.rar (Download Afdhal Al Shalawat ala Sayyid Al Saadah)
كنوز الاسرار فى الصلاة على النبي المختار وعلى آله الأبرار.rar (Download Kunuz Al Asror)
كيفية الوصول لرؤية سيدنا الرسول محمد صلى الله عليه وسلم (Download Kaifiyyah Al Wushul li ru'yah Al Rasul)
Download Dalail Khayrat in pdf





















C E R M I N * R A H S A * E L I N G * W A S P A D A

Minggu, 04 November 2007

WAYANG

Peertunjukan Wayang Sebuah Proses Penciptaan Manusia

Pada waktu pertunjukan belum dimulai, suasana masih kosong. Yang ada hanya kelir, sebagai gambaran alam semesta, gedebog (simbol bumi), dan blencong (simbol matahari). Dalam suasana kosong itu, manusia hanya ada dalam angan-angan saja. Manusia telah ada dalam ketiadaan. Yakni, ada dalam lakon ki dhalang dan atas permintaan ”tuan rumah”. Jadi, kedudukan pengundang dhalang banyak menentukan pertunjukan.

Struktur dramatik wayang kulit, dari tetalu (gending awal)sampai tancep kayon ternyata memuat perjalanan mistik manusia Jawa. Gending wayang kulit yang paling awal adalah tetalu yang memuat 7 macam gending, yaitu Cucur Bawuk, Srikaton, Pareanom, Suksma Ilang, Ayak-ayakan, Slepegan, dan Sampak. Tujuh macam gending ini merupakan gambaran perjalanan manusia yang harus melewati 7 martabat hidup. Ketujuh martabat tersebut meliputi: pohon dunia (kayun), nur (cahaya), cermin, roh ilafi (nyawa), dian (qandil), permata (darah), dan dinding jalal (penjelmaan alam insan kamil). Martabat tujuh tersebut telah dilukiskan dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya R. Ng. Ranggawarsita.

Ketika tetalu, ki dalang segera mengetuk kotak lima kali. Bilangan lima merujuk pada pembentangan dzat, yaitu nur, rahsa, roh, nafsu, dan budi yang melengkapi hidup manusia. Kelima hal inilah yang akan mengemudikan hidup manusia, kemana harus menempuh jalan. Setelah itu gunungan segera ditarik ki dhalang untuk diberi mantra. Gunungan akan berhenti tiga kali, sebelum ditancapkan kembali. Mistisisme yang terkandung di dalamnya adalah sebagai pembukaan tata mahligai yang meliputi tiga tingkatan, baitul makmur, baitul mukharam, baitul muqadas.

Ketika gunungan di atas kepala ki dhalang, merupakan pertanda hidup telah ada. Hidup diawali dengan lahir, ditandai oleh ki dhalang dengan mengayunkan gunungan ke kanan dan kiri. Gunungan yang dibelah ke dua arah itu merupakan simbol pecahnya placenta atau wadah bayi. Sejak itu, kelahiran mulai berproses yang ditandai dengan keluarnya emban. Dua emban ini merupakan lambang kakang kawah yang mendahului bayi. Bayi digambarkan sebagai raja yang keluar menuju Siti Hinggil atau dhampar.

Kehadiran raja juga diikuti oleh adik-adik raja, sebagai simbol adhi ari-ari yang menyertai bayi lahir. Selanjutnya pertunjukkan berjalan semalam suntuk mulai gamelan patet nem (jam 21.00-24.00). Jika jejeran raja telah pergi menuju ke kedaton menemui permaisuri, ini menunjukkan fase bahwa sang bayi tadi mulai diasuh oleh ibunya. Adegan paseban jawi, merupakan lambang anak sudah mulai mengenal dunia luar. Kemudian dilanjutkan dengan adegan jaranan (pasukan binatang), ini mempresentasikan watak anak seperti binatang sebelum dewasa, artinya belum tahu aturan. Adegan perang ampyak untuk mengahadapi rintangan, adalah gambaran perjalanan anak yang mulai remaja. Adegan sabrangan, menjadi petunjuk bahwa anak-anak sering masih bersifat emosional dalam hidupnya. Sedangkan adegan perang gagal, adalah lambang bahwa hidup manusia masih ragu-ragu.

Pada jam 12.00-03.00 biasanya menggunakan gamelan patet sanga. Dalam hal ini dibagi tiga adegan, yaitu adegan bambangan yaitu menggambarkan bahwa hidup manusia telah mulai mencari guru sejati. Adegan perang kembang, adalah lambang keberanian seseorang untuk menumpas angkara murka, karena adegan ini menampilkan buta Cakil yang dikalahkan satria. Adegan sintren, yaitu adegan satria yang telah jelas jalan hidupnya. Ini melambangkan bahwa seseorang telah dapat menentukan hidupnya sendiri.

Pada jam 03.00-06.00 menggunakan gamelan patet manyura. Yakni dimulai dengan jejer manyura, yaitu satria yang telah jelas jalan hidupnya. Dia telah akan tercapai cita-citanya. Kemudian masuk perang brubuh, sebagai lambang seseorang telah mengalahkan segala rintangan hidup. Kini jalan hidup sudah semakin jelas. Apa yang akan dicapai sudah jelas. Ketika itu manusia sudah tidak lagi bercita-cita setinggi langit, melainkan lebih berpikir realistis. Terakhir adalah tancep kayon, yaitu gunungan ditancapkan sebagai pertanda hidup manusia selesai. Manusia telah mencapai ajal, dan tinggal menuju pada adegan golekan (tari golek). Makna dari tarian ini tidak sekedar carilah makana pertunjukan, melainkan manusia harus sampai pada penilaian hidup. Manusia akan ditimbang, dicari mana amal yang baik dan yang buruk.

Sumber: Endraswara, Suwardi. 2006. Mistik Kejawen: Sinkritisme, Simbolisme dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi.

SUMBER :http://bayu-utomo.web.ugm.ac.id/?p=18

Al Fatiha

 Print Halaman Ini