Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam metrum sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah “zaman gila” atau jaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau “pujangga terakhir”. Sebab setelah itu tidak ada “pujangga kerajaan” lagi.

Bait Serat Kalatidha yang paling dikenal adalah bait ke-7. Sebab bait ini adalah esensi utama syair ini. Amanat syair ini bisa diringkas dalam satu bait ini.

Bahasa Jawa Alih bahasa
Amenangi jaman édan, Menyaksikan zaman gila,
éwuhaya ing pambudi, serba susah dalam bertindak,
mélu ngédan nora tahan, ikut gila tidak akan tahan,
yén tan mélu anglakoni, tapi kalau tidak mengikuti (gila),
boya kéduman mélik, tidak akan mendapatkan bagian,
kaliren wekasanipun, kelaparan pada akhirnya,
ndilalah kersa Allah, namun telah menjadi kehendak Allah,
begja-begjaning kang lali, sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
luwih begja kang éling klawan waspada. akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Ketenaran Serat Kalatidha juga mencapai kota

Leiden, negeri Belanda. Di sini petikan dari Serat Kalatidha dilukis di sebuah tembok rumah.

Ini adalah Budaya bangsa, peninggalan Leluhu r bangsa Indonesia, Wajib hukumnya bagi generasi mudah menggali budaya sendiri.

karena itulah identitas kita, jati diri kita dan eksistensi kita.

bukan mengikuti budaya barat, karena itu identitas mereka (bangsa barat).



SUMBER : http://xendro.wordpress.com/2007/07/09/serat-kalatidha/